Langkah Awal Bali TV

Narliswandi Piliang

Sun, 6 January 2002

AWAN menggantung di langit kota Denpasar, Bali, November 2002 itu. Gerimis telah turun. Masuk ke gerbang stadion utama Ngurah Rai, suasana hangat menyengat.

AWAN menggantung di langit kota Denpasar, Bali, November 2002 itu. Gerimis telah turun. Masuk ke gerbang stadion utama Ngurah Rai, suasana hangat menyengat. Di pelataran pintu utama berderet menyamping puluhan pedagang mengipasi sate, mengepulkan asap.

Petang itu digelar pertandingan sepakbola antara Perseden (Persatuan Sepakbola Denpasar) dan Persik (Persatuan Sepakbola Indonesia Kediri). Di tengah hawa dingin, semilir angin yang mengundang kantuk, menyantap sate panas sambil menyimak pertandingan sepakbola, memberi kesan tersendiri. Di stadion itu pula kru Bali TV meliput sepakbola untuk siaran tunda dan pada saat yang sama di gedung parlemen, Senayan, Jakarta sedang berlangsung sidang paripurna untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran menjadi Undang-Undang Penyiaran.

Melalui telepon selulernya I Gde Nyoman Suryawan, direktur pemberitaan Bali TV, memonitor situasi di Jakarta. Demo kalangan televisi swasta di Senayan ia simak. Perlawanan kalangan televisi swasta Jakarta cukup kencang. Tapi, tak lama kemudian Suryawan mendapat kabar, RUU Penyiaran itu akhirnya disahkan parlemen. "Sudah kami duga hasilnya begitu," tuturnya.

Sejak hari itu secara operasional keberadaan televisi daerah diayomi undang-undang. "Begitulah janji Bapak Syamsul Muarif, ketika ke Bali. Kalau undang-undang itu tak disahkan, bagaimana nasib televisi daerah macam Bali TV," kata Agung Sanjaya, manajer produksi.

"Masyarakat Bali akan marah," kata Sanjaya, mengutip Syamsul Muarif.

Tapi, kegembiraan menyambut Undang-Undang Penyiaran tak tampak di wajah Sanjaya dan 15 kru Bali TV petang itu. Mereka lebih asyik mengulur kabel ke tengah lapangan, menyusun televisi monitor ke sebuah pojok, lalu melalui sebuah handy talkie dan mencoba berkomunikasi dengan empat kamerawan yang menguji kamera Panasonic DV 500 dari lapangan hijau.

"Kami bekerja dengan perlataran sederhana. Stager tukang cat kami pakai untuk tangga kamerawan," ujar Sanjaya, sambil menunjuk ke sayap kiri lapangan. Mereka memang tak memiliki Jimmy Jip ataupun crane, yang biasa dipakai sebagai alat bantu untuk menempatkan kamera.

"Kalau OB Van siap, kami tak perlu di sini empat jam sebelum acara," tutur Sanjaya. OB Van yang dimaksud adalah mobil Operational Broadcasting (OB), biasa dipakai untuk liputan luar ruang.

Lho, di halaman parkir ‘kan ada?

"Hahaha, itu OB-OB-an, karoserinya saja seperti OB Van, isinya belum," Sanjaya tertawa.

Sebuah OB Van, dengan peralatan microwave dan mobil keluaran General Motor, macam yang dipakai Metro TV di Jakarta, bisa berharga Rp 9 miliar. Sedangkan OB Van yang belum jadi, milik Bali TV, hanyalah sebuah bus baru berukuran sedang yang dipermak berbentuk OB Van canggih.

Stasiun Bali TV terletak di Jalan Kebo Iwa, Denpasar. Dari bilangan Gatot Subroto Barat, terlihat pemancarnya mencapai 130 meter. Studio televisi ini berada di lingkungan percetakan koran Den Post, milik Kelompok Bali Post. Bali TV memang bernaung di kelompok usaha Bali Post. Langkah ke usaha televisi diprakarsai Satria Naradha, putra almarhum Ketut Nadha, pendiri suratkabar Bali Post. Bali TV mengudara sejak 26 Mei 2002 lalu, dan kini berawak 200 orang.

Lantai bawah kantor Bali TV yang arsitekturnya bersentuhan dengan tradisional Bali itu belum rampung. Puing-puing masih berserak. Tamu dapat langsung menuju lantai dua, tempat operasional mereka. Di areal seluas dua kali lapangan basket tersebut dibagi per kapling. Ada jatah studio, master control, marketing, redaksi, grafis, bisnis, dan penyuntingan.

Ruang penyuntingan laksana bilik warung telepon yang hanya dibatasi penyekat kaca dan tak berdaun pintu. Tak tampak ruang pengisi suara yang kedap. Lingkungan ruang penyuntingan itu sendiri cukup berisik.

"Kami langsung take voice offer di sini," kata Sanjaya.

"Apa tidak masuk suara luar?" tanya saya.

"Tidak tuh. Bersih," jawabnya.

Sanjaya lalu menunjukkan hasil penyuntingan yang sudah diisi suara, dan memang bersih kedengarannya. Mereka hanya mengandalkan personal computer rakitan biasa dengan dukungan software Adobe Premiere dan Pincale Studio. Biaya per unit alat ini tak akan lebih dari Rp 20 juta. Di ruangan itu terdapat delapan unit komputer.

Di dalam studio, kesahajaan pun terasa kental. Background pembaca berita sebuah lukisan di atas triplek bernuansa rona matahari. Logo Bali TV adalah setengah bulatan matahari yang bersinar, kuning dan oranye. Statement positioning-nya: Matahari dari Bali!

Di ruang master control ada belasan monitor televisi, hanya televisi biasa layaknya televisi rumahan. Kalaupun ada peralatan yang canggih, cuma dua buah server seukuran kulkas besar. Alat yang terakhir inilah yang menjadi jantung content siaran tersalur dan terpancarluaskan ke seantero Pulau Bali melalui frekuensi 39 UHF.

Dengan alat-alat yang sederhana itu ternyata andalan utama Bali TV adalah semangat dan kreativitas awaknya.

"Juga teknik akal-akalan," kata Sanjaya, menimpali dengan tertawa.

Bagaimana tak akal-akalan, kepada saya ia memperlihatkan sebatang bambu kecil, lalu di bagian tengahnya digulung naskah berita yang telah di-print dengan font ukuran 24, cukup besar sehingga dari jauh terbaca oleh penyiar. Dua orang kru akan memegang bambu itu dan secara manual memutar gulungannya. Pelan.

Mereka memang belum memiliki telepromter, alat yang berisi teks di layar untuk dibawakan pembaca berita.

"Untuk siaran telewicara langsung dengan reporter, bersama penyiar di studio, kami belum punya," ujar Sanjaya.

Namun, saat penangkapan Imam Samudra, tersangka kasus peledakan bom Bali, wawancara langsung dengan reporter Bali TV di Serang, Jawa Barat, dapat dilakukan. Peristiwa ini membuat Sanjaya tergopoh-gopoh naik motor menuju kantor. Dalam hatinya, pastilah bos sudah membeli peralatan baru. Ia ingin menyaksikan segera.

"Betapa kagetnya saya, ternyata itu hanya akal-akalan operator, yang menaruh gagang pesawat ke kaki lalu menempelkannya ke speaker, sementara tangan operator tetap mengontrol tombol switcher, dan penyiar tetap dapat ber-teleconference," katanya.

Dengan kesahajaan ini, investasi yang ditanamkan untuk Bali TV mencapai Rp 30 miliar. Sebagai perbandingan, JTV yang mengudara di Surabaya menghabiskan Rp 50 miliar. Biaya operasional Bali TV per bulan mencapai Rp 500 juta. Setidaknya untuk dua tahun pertama, masih harus mendapatkan suntikan dari pemodal.

Hingga kini, iklan yang masuk masih minim. Tak sampai Rp 200 juta sebulan. Di luar dugaan, menurut Suryawan, kini penerimaan terbesar malah masuk melalui divisi pemberitaan. Sebuah kenyataan aneh bagi sebuah jurnalisme televisi di Indonesia.

Di suratkabar Bali Post tercantum agenda acara Bali TV. Di bawah jadwal acara ada dua catatan. Pertama menyebutkan bahwa wartawan Bali TV tak menerima apa pun dari sumbernya. Kedua, Dana Punia (Punia semacam zakat, dalam istilah Bali), bagi pengembangan sumber daya manusia dan teknologi Bali TV dapat disalurkan ke sebuah rekening bank. Acara stasiun ini berlangsung dari pukul 06.30 sampai 09.00, kemudian dilanjutkan pada pukul 17.00 sampai 23.00. Di pagi hari ada berita 30 menit dan satu jam di malam hari. Selebihnya siaran hiburan, yang 80 persen berbahasa Bali.

Minimnya iklan Bali TV tak mengecilkan hati Suryawan. "Menurut bagian bisnis, disahkannya Undang-Undang Penyiaran, akan mebawa harapan besar bagi masuknya iklan ke televisi daerah," tutur Suryawan.

Liputan Bali TV tentang peristiwa bom Bali, 12 Oktober 2002 lalu, dipancarsiarkan ulang oleh banyak jaringan televisi dunia. Acara dakwah agama Hindu yang semula tak diperkirakan menyedot penonton, ternyata booming. Ida Pedanda Made Gunung, ulama Hindu, bagaikan juru dakwah Islam Zainudin M.Z., atau Aa Gym, yang khotbahnya dinanti warga Bali di Bali TV, menjadi tontonan sangat digemari.

"Kini sehari kami menerima sekitar 19 undangan liputan," ujar Suryawan. Bandingkan dengan TVRI Denpasar yang hanya menerima empat liputan. Inilah kenyataan lain di balik peluang televisi daerah setelah Undang-Undang Penyiaran disahkan.*

kembali keatas

by:Narliswandi Piliang