SESOSOK jaksa, sesosok ketua parlemen Akbar Tandjung, dan seonggok meja. Si jaksa bertanya pada meja yang di atasnya tergeletak selembar cek senilai 40 miliar rupiah: “Saudara meja, siapa yang menerima cek itu?”

Tandjung yang ngumpet di sudut menukas, “Bukan saya (teman saya kok …) saya megang juga tidak!”

Adegan karikatural itu digambar G.M. Sudarta, kartunis editorial Kompas, pada 24 November 2001. Pesannya jelas. Ia menyindir keterangan Akbar Tandjung yang di depan kejaksaan agung mengaku hanya meletakkan cek itu di atas meja. Dia mengaku tak menerimanya secara fisik.

Karikatur tersebut bisa dimaknai bahwa Tandjung berusaha tampil tak berbohong tapi melecehkan akal sehat. Cek tersebut adalah dana dari Badan Urusan Logistik (Bulog) yang digelontorkan ketua Bulog merangkap Menteri Perdagangan dan Perindustrian Rahardi Ramelan pada Maret 1999. Resminya, dana itu untuk membantu penduduk kurang mampu dalam menghadapi krisis moneter pada Maret 1999.

Tapi Tandjung memberikan keterangan yang berbeda-beda perihal cek itu. Mulanya Tandjung mengatakan cek diserahkan ke sebuah yayasan yang dia lupa namanya. Dia menolak memberikan nama yayasan, yang teoritis menggunakan dana itu untuk mengatasi bahaya kekurangan, walau didesak wartawan.

Berikutnya dia mengatakan secara rinci cek diserahkan ke sebuah sebuah yayasan, dan sekali kemudian berbeda lagi rinciannya, termasuk yang dia katakan bahwa cek itu tak pernah dia pegang sama sekali dan langsung tergeletak di atas meja.

Usai diperiksa di Kejaksaan Agung pada Kamis 22 November 2001, Tandjung menegaskan bahwa dirinya tak pernah secara fisik menerima cek senilai Rp 40 miliar dari deputi keuangan Badan Urusan Logistik (Bulog) Achmad Ruskandar pada 2 Maret 1999. Cek itu diletakkan Ruskandar di mejanya, dan kemudian diambil ketua Yayasan Raudlatul Jannah, Dadang Sukandar.

Sebelumnya Tandjung mengatakan menerima cek dari Achmad Ruskandar.

Dalam keterangan susulan, Tandjung yang saat skandal terjadi terjadi menempati posisi menteri sekretaris negara kabinet Presiden B.J. Habibie menyebutkan, dirinya hanya menyaksikan serah terima cek dari Ruskandar pada Sukandar.

Keterangan ini kemudian diubah lagi: cek diletakkan di atas meja.

Dari kejadian macam itu, apa yang harus dilakukan wartawan? Tentu saja tak bertanya pada meja seperti gurauan G.M. Sudharta. Tapi wartawan seharusnya mencari jawab: benarkah Akbar Tandjung tak sedang berbohong? Wartawan mestinya melakukan penyelidikan perihal kemungkinan yang sesungguhnya terjadi ketimbang sekadar mengutip keterangan yang berubah-ubah dari satu sumber ke sumber lain. Tapi itulah yang terjadi.

Kasus ini mencuat sejak Rahardi Ramelan diperiksa di Kejaksaan Agung sebagai tersangka kasus korupsi dana Bulog pada 3 Oktober 2001. Dalam pemeriksaan Ramelan mengakui ada pengeluaran dana nonbujeter Bulog Rp 54,6 miliar, sebanyak Rp 40 miliar di antaranya diserahkan ke Akbar Tandjung. Media memberitakan perkembangan kasus ini, tapi khalayak disodori informasi yang simpang siur dari berbagai sumber yang berbicara dari satu tempat ke tempat lain. Bahkan Kejaksaan Agung, yang seyogyanya memberikan kejelasan, seringkali keterangannya justru saling bertolak belakang. Ketidakjelasan makin membesar ketika media hanya mengandalkan ucapan sumber —seperti Dadang Ruskandar, Achmad Sukandar, Akbar Tandjung, B.J. Habibie, dan sumber lain— dengan mengutip begitu saja pernyataan mereka.

Media lupa bahwa tujuan utama jurnalisme adalah menyajikan kebenaran. Mungkin liputan berimbang, mungkin mau menyajikan versi semua pihak, tapi mereka lupa bahwa kebenaran bisa hilang di tengah-tengah liputan yang berimbang. Balance reporting hanyalah alat buat mencapai kebenaran. Coba perhatikan liputan beberapa suratkabar terkemuka di Jakarta macam Kompas, Republika, Media Indonesia, atau Suara Pembaruan yang lebih banyak mengutip opini orang ketimbang melakukan penelusuran larinya dana dan penggunaan dana tersebut. Suratkabar-suratkabar ini mengutip komentar sumber-sumber dan melaporkan keesokan harinya. Fakta larinya dana tak diurut.

Cyprianus Aoer, redaktur pelaksana Suara Pembaruan, mengakui kesalahan macam ini. Menurutnya, seringkali versi berita jadi bermacam-macam tergantung siapa yang mengatakan. “Setelah diperiksa oleh Kejaksaan Agung, Akbar Tandjung memberi komentar, lalu kita muat. Esoknya, Rahardi Ramelan diperiksa juga dan memberi komentar juga, kita muat apa adanya. Meskipun pendapat Tandjung dan Ramelan bertolak.”

Berita Kompas edisi 17 Oktober, misalnya, menulis pernyataan Judilherry Justam dari Komite Waspada Orde Baru. Judulnya “Dana Rp 40 Milyar Diduga untuk Kepentingan Golkar.” Berita ini berisi penjelasan Justam mengenai kejanggalan keterangan Tandjung serta dugaan bahwa dana itu diselewengkan untuk kepentingan Golkar.

Namun sehari sesudahnya, Kompas menurunkan berita berjudul “Dana Rp 40 Miliar Bukan untuk Golkar.” Berita ini berdasar keterangan Tandjung yang menyatakan dana tersebut benar-benar disalurkan untuk program pembangunan.

Mana yang benar? Apakah dana itu untuk kepentingan Partai Golkar atau murni untuk kepentingan pengentasan masyarakat dari kemiskinan? Pertanyaan ini tak terjawab dalam pemberitaan Kompas.

Dalam berita edisi 1 November dikatakan, nama yayasan yang menyalurkan dana tersebut Raudlatul Jannah. Nama yayasan ini didasarkan disposisi dari Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan Haryono Suyono.

Sehari sesudahnya, dimuat keterangan Haryono Suyono yang menyatakan tak pernah memberi disposisi nama yayasan kepada Tandjung. Apa yang sebenarnya terjadi?

Nasihin Masha dari Republika menyatakan liputan korannya mengikuti apa yang terjadi di lapangan. Dalam pandangannya, kasus Bulog kuat bernuansa politik. “Republika tidak ingin terjebak dalam kepentingan politik tertentu. Ini menjadi forum bagi-bagi kekuasaan saja,” katanya. Karena itu, Republika lebih memilih memberitakan peristiwa semata: pemeriksaan Tandjung, Ramelan, dan seterusnya. Tapi apakah benar Republika tak ingin masuk dalam pusaran dalam politik?

DIBANDINGKAN pengungkapan kasus Yanatera Bulog yang melibatkan Presiden Abdurrahman Wahid —biasa disebut sebagai Buloggate I— pemberitaan Republika dalam Buloggate II jauh berkurang. Ketika kasus Bulog pertama mencuat, Republika merupakan salah satu koran yang pertama kali mengungkap kasus tersebut. Koran yang berada dalam naungan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia ini sudah menurunkan laporan mengenai dugaan keterlibatan Presiden Wahid pada edisi 7 Mei 2000. Sementara Kompas, Media Indonesia, dan Suara Pembaruan baru pertengahan Mei 2000 memberitakannya. Lebih rinci lagi, dari 7 Mei hingga akhir Juni 2000, Republika tercatat menurunkan kasus Buloggate I sebanyak 42 kali, 21 di antaranya berita utama.

Berbeda dibandingkan kasus Buloggate II yang melibatkan Akbar Tandjung. Dari 3 Oktober hingga 10 November 2001, Republika menurunkan beritanya sebanyak 25 kali dan hanya sekali sebagai berita utama. Sebagian besar, 23 kali, berita Buloggate II ditempatkan Republika di halaman dalam. Republika juga tak menempatkannya sebagai laporan utama atau liputan khusus.

Penempatan macam itu menunjukkan bahwa di mata Republika kasus Buloggate II tak dipandang sepenting Buloggate I.

Menurut Nasihin Masha, ada perbedaan mendasar antara kasus Buloggate I dengan Buloggate II. Dalam kasus pertama, ada kesepakatan partai-partai politik untuk membongkar kasus itu. Sementara dalam Bulog II, tidak atau belum ada kesepakatan itu. Bahkan yang terjadi adalah kemungkinan jual beli dan transaksi politik. Tak ada upaya sungguh-sungguh untuk mengungkap kasus ini. “Jumat malam, misalnya, ada rumor Akbar Tandjung akan dijadikan tersangka oleh Kejaksaan Agung. Ternyata, setelah kami tunggu sampai malam, tidak ada. Buat apa berita yang seperti ini kita tempatkan di halaman depan. Kalau ada upaya serius untuk memberantas kasus Bulog, kami akan menempatkan di halaman depan. Masih banyak berita lain yang bisa diketahui masyarakat daripada berita semacam ini.”

Pilihan semacam itu yang dianggap tidak adil oleh Atoillah Sohibul Hikam dari Partai Kebangkitan Bangsa. Menurutnya, seharusnya media lebih mengeksplorasi kasus ini demi kebenaran, bukan demi politik. “Meskipun peristiwa ini mendapat liputan yang memadai, kurang digali lewat investigasi,” sambung Hikam.

Media lebih sibuk dengan berbagai tanggapan yang berhubungan dengan kasus Bulog, sementara esensi kasus tersebut tak banyak digali. Beberapa di antaranya malah mengisahkan adanya perpecahan dalam tubuh Golkar. Media Indonesia edisi 28 Oktober, misalnya, banyak mengungkap perpecahan itu.

Secara sederhana ada tiga versi perihal dana Rp 40 miliar rupiah itu. Versi pertama: dana sama sekali tak berhubungan dengan Golkar. Dana dikucurkan sesuai tugas Tandjung sebagai menteri sekretaris negara. Penyaluran dana tak lebih sebagai masalah teknis pemerintahan. Ada rapat kabinet yang memerintahkan penyaluran dana ke menteri-menteri terkait, lalu dana disalurkan ke masyarakat. Dalam versi ini, dana sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan Golkar. Tandjung bisa salah, bisa juga tidak, tapi muaranya dilokalisasi sebatas tugas teknis di pemerintahan. Kalau Tandjung bersalah, kesalahan itu hanya ditujukan kepadanya selaku pelaksana pemerintahan. “Ini keputusan pemerintah. Rapatnya dihadiri menteri-menteri yang relevan,” kata Fahmi Idris, salah satu petinggi Golkar. Versi ini didukung Tandjung dan orang-orang Golkar. Bahkan kelompok Golkar dari Irian, Maluku, Sulawesi, Kalimantan (Iramasuka) yang dianggap berseberangan dengan Tandjung dapat dikategorikan dalam versi pertama ini.

Versi kedua, penyaluran dana berhubungan dengan kampanye Golkar. Jadi, pemakaiannya terhitung sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Dana Bulog tak dipakai untuk proyek pemerintah, tapi untuk membiayai kegiatan politik Golkar. Karena itu, adanya yayasan hanyalah bagian dari skenario fiktif untuk menutupi kesalahan Golkar. Versi ini didukung mantan menteri pertahanan Mahfud M.D dari kabinet Presiden Wahid. Majalah Tempo juga banyak menemukan bukti-bukti yang menguatkan versi kedua.

Versi ketiga, dana tersebut merupakan bagian kecil dari penyalahgunaan politik. Akbar Tandjung dan Golkar hanyalah salah satu dari sekian banyak partai politik yang ikut menikmati dana Bulog untuk kepentingan masing-masing partai. Dalam versi ini, posisi Tandjung tak sendirian. Golkar juga bukan merupakan satu-satunya partai yang tak bersih. Versi ini dilontarkan antara lain oleh Agus Miftach, seorang politisi kontroversial, yang pernah jadi ketua pelaksana harian Komisi Pemilihan Umum.

Dari 3 Oktober hingga 10 November, baik Kompas, Republika, Media Indonesia, maupun Suara Pembaruan lebih banyak menempatkan versi pertama dalam masing-masing pemberitaan mereka. Pemberitaan banyak diarahkan pada Tandjung selaku menteri sekretaris negara. Empat suratkabar tersebut sebagian besar menempatkan Buloggate II sebagai kesalahan teknis pemerintahan. Tegasnya, menurut pemberitaan masing-masing media tersebut: Akbar Tandjung bersalah, namun kesalahannya dilokalisasi sebatas sebagai kesalahan teknis pemerintahan. Kesalahan itu tidak ada hubungannya dengan Partai Golkar.

Penerima Dana Versi Pemberitaan Empat Suratkabar 3 Oktober-10 November 2001

 

Kompas

Republika

Media Indonesia

Suara Pembaruan

Akbar Tandjung pribadi

Akbar Tandjung selaku menteri sekretaris negara

11

12

14

Akbar Tandjung untuk kepentingan Golkar

Akbar Tandjung selaku menteri sekretaris negara dan Golkar

Akbar dan partai politik lain untuk kepentingan politik

Tidak ada

11

11

10

Total

25

27

37

21


VERSI ketiga, yang menggambarkan kasus bersangkutan sebagai bagian kecil dari korupsi besar yang diterima beberapa partai politik, merupakan wacana yang menguntungkan Golkar. Dengan demikian, Golkar sebenarnya tak sendirian dalam menikmati uang haram itu.

Tulisan Republika edisi 31 Oktober berjudul “Partai Golkar Akan Keluarkan Kartu Turf” merupakan contohnya. Dengan mengutip komentar orang Golkar, Republika menulis: “Jika terus menerus Golkar diusik, maka Golkar akan mengeluarkan borok-borok partai lain.” Karenanya, pengungkapan kasus Bulog dimaknai sebagai upaya mengerdilkan Golkar.

Tulisan Republika 22 Oktober bernada hampir sama. Dalam artikel “Partai Golkar dan Prahara yang Tak Pernah Habis” Republika menulis lika-liku dan berbagai masalah yang menghinggapi Golkar. Dalam artikel yang sekalian ditulis untuk menyambut ulang tahun ke-37 Golkar yang jatuh pada 20 Oktober, disebutkan berbagai prahara yang menimpa partai tersebut, namun Golkar tetap sebagai kekuatan politik yang menentukan.

Kenapa versi pertama yang banyak mendapat tempat? Jawabnya jelas. Sumber berita terbanyak datang dari kalangan Golkar. Keempat harian tersebut cenderung tak melakukan penelusuran: bagaimana aliran dana itu turun. Selama masa itu, versi yang banyak diungkap berupa wawancara dengan orang-orang Golkar. Mereka malas untuk mencari tahu apakah sumber-sumber mereka itu berbohong atau tidak. Mereka malas menggali kebenaran.

Kompas, Republika, Media Indonesia, dan Suara Pembaruan lebih banyak memberitakan kasus Bulog secara formal. Media misalnya mengutip peristiwa pemeriksaan Akbar Tandjung, Rahardi Ramelan, Achmad Ruskandar, atau Dadang Sukandar. Dengan mengutip begitu saja pernyataan Tandjung, maka versi Tandjung-lah yang lebih banyak mendapatkan tempat. Pernyataan formal ini merupakan imbas dari absennya apa yang dalam jurnalisme disebut sebagai investigasi.

Kompas memang mengecek kondisi kantor Raudlatul Jannah yang disebut Tandjung beralamat di Kompleks DPR II nomor 6 Batusari, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Ternyata, di kantor itu tiada aktivitas, rumahnya tak mengesankan, bahkan penduduk sekitar tidak mengenal kantor tersebut. Fakta ini menyimpan pertanyaan lanjutan: ke mana larinya uang tersebut kalau tak disalurkan ke yayasan Raudlatul Jannah?

Dalam kasus ini, nyaris tak ada partai politik besar yang mendukung pengungkapan kasus ini. Berbeda dengan Buloggate I, yang berakhir dengan jatuhnya pemerintahan Presiden Wahid, hampir semua partai besar, kecuali Partai Kebangkitan Bangsa, mendukung pengungkapan kasus tersebut. Cukup amunisi bagi media untuk mengungkap kasus tersebut. Sementara dalam Buloggate II, media tak memperoleh cukup amunisi untuk menyingkapnya. Karena itu, jika media berkeinginan menyingkap kasus Buloggate II, maka media harus melakukan penyelidikan dan investigasi secara seksama guna menemukan larinya dana Bulog. Jika hanya berdasar pernyataan formal, pastilah yang didapat berupa mekanisme penyaluran itu murni untuk kepentingan kebijakan pemerintah.

Tetapi di antara semua media yang hanya mengandalkan komentar itu ada juga yang mau bekerja dengan rajin. Majalah Tempo menyingkap perihal larinya dana sejumlah Rp 40 miliar itu. Dari 21 Oktober hingga 19 November 2001 (total lima edisi), dalam setiap edisinya Tempo menurunkan laporan mengenai perkembangan terbaru kasus Bulog. Sebanyak tiga kali Tempo menurunkan laporan utama mengenai Bulog. Tempo tak sekadar memberitakan, tapi juga memberikan temuan baru seputar keterlibatan petinggi Golkar.

Tempo membongkar kebohongan Tandjung. Tandjung mengatakan menerima dana, tapi dana itu tak diterima langsung olehnya, melainkan oleh Dadang Sukandar, ketua yayasan Raudlatul Jannah. Tempo menurunkan laporan bagaimana dana itu disalurkan. Ternyata tak ada bukti-bukti, setidaknya lewat liputan media, bahwa Rp 40 miliar itu dibagi-bagikan kepada penduduk miskin. Yang paling telak, Tempo menurunkan dua lembar tanda terima total Rp 40 miliar yang ditandatangani Fadel Muhammad dan M.S. Hidayat dari Partai Golkar. Ini membuktikan bahwa dana Bulog itu memang mengalir ke Golkar.

BAGAIMANA laporan Tempo itu dipersiapkan? Karaniya Dharmasaputra, penangung jawab rubrik Nasional, menangani laporan itu dengan bantuan beberapa reporter, di antaranya Arif Kuswardono, Andari Karina Anom, dan Wens Manggut.

Dharmasaputra sendiri mengikuti kasus Bulog sejak Buloggate I, yang juga mendapat kecaman dari kubu Presiden Wahid. Dari liputan Bulog pertama, Dharmasaputra memiliki kontak dengan sumber-sumber penting soal Bulog. “Proses paling penting adalah membangun kepercayaan. Bagaimana membuat mereka percaya, kami melindungi kepercayaan, dan komitmen kami untuk melindungi narasumber. Di samping soal keberuntungan juga,” kata Dharmasaputra.

Wens Manggut butuh waktu dua minggu untuk meyakinkan Rahardi Ramelan agar bersedia diwawancarai Tempo. Tanda bukti kuitansi diperoleh Tempo dari sumber yang mereka rahasiakan seminggu sebelum Tempo menurunkannya pada edisi 19 November. Kuitansi itu tak langsung dimuat namun lebih dulu dicek kebenarannya.

Sejak akhir Oktober majalah ini menulis Bulog, sumber anonim itu sudah mengatakan ada bukti penting berupa fotokopi tanda terima yang ditandatangani petinggi Golkar. “Saya meyakinkan agar bukti itu dibuka saja ke pers. Toh, ke kejaksaan belum tentu ada hasilnya. Kenapa nggak dimuat saja di media, toh aslinya sudah dihilangkan,” ujar Dharmasaputra.

Sayangnya, dalam kasus Buloggate II tak ada media lain yang menyaingi Tempo. Kegairahan untuk meningkatkan mutu jurnalisme serta bersaing menampilkan kebenaran tak muncul. Laporan Tempo tak diikuti suratkabar maupun majalah lain termasuk Kompas, Suara Pembaruan, Forum Keadilan, Gatra, dan Media Indonesia. Bahkan pemberitaan kasus Bulog ini tak mendapat tempat yang memadai dalam liputan ketiga majalah berita di Jakarta. Baik Gatra, Forum Keadilan, maupun Panji Masyarakat sama sekali tak pernah menempatkan kasus Bulog sebagai laporan utama meski dari segi magnitude, kasus ini layak ditempatkan sebagai laporan utama.

Dari edisi 28 Oktober hingga 25 November (lima edisi), Forum Keadilan hanya sekali menulis soal Bulog. Total, ada dua halaman dari 450 halaman Forum Keadilan dalam lima edisi. Berita yang ditulis Forum Keadilan sebatas pemeriksaan Akbar Tandjung dan Haryono Suyono oleh Kejaksaan Agung.

Noorca Marendra Massardi, pemimpin redaksi Forum, mengatakan majalahnya tak banyak memberitakan kasus Bulog karena tak ada perkembangan berarti yang bisa dilaporkan, “Perkembangan kasus ini jalan di tempat. Misalnya, soal pembentukan panitia khusus. Ribut-ribut, akhirnya tidak ada perkembangannya.”

Majalah Gatra juga sama. Dari edisi 20 Oktober hingga 17 November (lima edisi), kasus Bulog juga tak pernah jadi laporan utama. Total halaman dari lima edisi yang disediakan untuk liputan Bulog mencapai 11 halaman dari jumlah keseluruhan 530 halaman.

Putut Trihusodo, redaktur pelaksana Gatra, beralasan kasus ini tak menempati liputan utama semata alasan teknis: Tempo lebih dulu start, karena itu Gatra lebih mencari kasus yang berbeda.

Menurut Trihusodo, ia pernah dijanjikan sebuah sumber perihal dokumen fotokopi tanda terima dana Bulog. Pada Jumat, 16 November, bukti itu telah ada di mejanya. Senin, 19 November, ketika Tempo terbit, tanda terima itu sudah dipakai sebagai laporan eksklusif Tempo. Minimnya pengerahan awak Gatra untuk kasus ini lebih pada persoalan teknis internal. “Ada konsolidasi internal. Banyak wartawan yang pindah ke televisi dan media lain. Praktis tidak banyak wartawan yang bisa diandalkan untuk investigasi,” jelas Trihusodo.

LAPORAN Tempo edisi 19 November menimbulkan kegerahan di kalangan petinggi Golkar. Tempo menurunkan kulit muka bergambar Akbar Tandjung yang hidungnya memanjang seperti Pinokio sementara mulutnya tertutup kuitansi. Pinokio adalah karakter dalam kisah anak-anak karya pengarang Itali Carlo Lorenzini. Hidung Pinokio diceritakan terus memanjang tiap kali Pinokio berbohong. Gambar itu seakan-akan mengatakan Tandjung berbohong sehingga hidungnya terus memanjang.

Senin pagi, salah seorang fungsionaris Golkar, Rambe Kamarulzaman, membaca Tempo edisi Pinokio itu. Katanya, ia mendapat telepon dari pengurus Golkar daerah yang tak suka pemberitaan Tempo. Beberapa pengurus daerah, kata Kamarulzaman, berencana melakukan demonstrasi ke biro Tempo di daerah. Slamet Effendi Yusuf, salah seorang wakil ketua Golkar, juga mendapat telepon di rumahnya dari beberapa daerah. Slamet menelepon pengurus Golkar lain. Komentarnya senada: menyesalkan Tempo.

Selasa pagi, para pemimpin Golkar ini menemui Akbar Tandjung di Ruang Nusantara lantai 3, Gedung DPR. Hadir dalam pertemuan itu: Fahmi Idris, Mahadi Sinambela, Slamet Effendi Yusuf, Rambe Kamarulzaman, Theo L. Sambuaga, dan Agung Laksono. Mereka di antaranya membahas laporan Tempo. Di dalam ruangan, Slamet mendengar bahwa saat itu di kantor Golkar di daerah Cikini, yang dekat dengan kantor redaksi Tempo di Jalan Proklamasi 72, Jakarta Pusat, telah datang sekitar 300 demonstran yang akan mendatangi kantor Tempo. Informasi yang diterima Kamarulzaman lain lagi. Dia mendengar, telah berkumpul 1.000 orang pendukung Tandjung.

Para petinggi Golkar itu memutuskan berkunjung ke kantor Tempo untuk minta penjelasan. Pukul 12 siang, asisten Fahmi Idris menelepon pemimpin redaksi Tempo Bambang Harymurti, mengabarkan rencana kedatangan petinggi Golkar. Harymurti bersedia menemui, tapi butuh waktu satu atau dua jam untuk mengontak wartawan Tempo yang lain. Saat itu, di kantor Tempo, polisi datang dan mengabarkan akan ada massa yang mendatangi kantor. Berita cepat menyebar. Saya sendiri tahu rencana itu dari sebuah SMS yang dikirim dan di-forward dari satu telepon seluler ke seluler lain. Bunyinya: Awas, pers terancam. Kantor maj. Tempo di Proklamasi jam 13.30 akan didemo kelompok pro-Akbar. Fwd ke yang lain demi kebebasan pers.

Yang datang ke Tempo adalah Fahmi Idris, Slamet Effendi Yusuf, Agung Laksono, Irsyad Sudiro, Theo L. Sambuaga, Antony Z. Abidin, Rambe Kamarulzaman, dan Ferry Mursidan Baldan. Para petinggi Golkar itu menilai laporan Tempo tersebut tendensius. Uniknya, dalam pertemuan itu, seperti dikatakan Slamet Yusuf, Golkar sama sekali tak menyinggung substansi isi laporan Tempo. Yang dipersoalkan Golkar di antaranya pemakaian gambar Pinokio. Sampul itu dinilai sudah memvonis Akbar Tandjung padahal belum terbukti bersalah.

Fahmi mengatakan bahwa berita-berita Tempo “tidak balance” walau sudah “cover both sides.”

Apakah berita-berita Tempo itu salah? Fahmi Idris menjawab, “Saya tak mengatakan salah. Tidak balance!” ujarnya.

Yusuf mempertanyakan banyaknya pemakaian sumber anonim. Dalam laporan edisi 19 November itu Tempo memang tak menyebut nama sumber yang memberi data penting seputar keterlibatan petinggi Golkar. Dalam laporan ditulis: “tokoh yang sejak awal terlibat langsung dalam perkara ini” atau “sumber TEMPO.”

“Sumber yang anonim ini tidak jelas. Bisa saja kan sumber itu ngarang, karena tidak bisa dicek kebenarannya. Kenapa harus pakai sumber anonim, kan ada banyak tokoh lain yang bisa dikutip pendapatnya?” kata Slamet Yusuf.

Harymurti menjelaskan, pemakaian sumber anonim itu untuk melindungi sumber. Tak ada jaminan sumber yang mengungkap kasus korupsi bisa terjaga keselamatannya. Apalagi sampai sekarang belum ada Undang-Undang Perlindungan Saksi. “Pelapor yang memberitahu kasus korupsi tidak aman, karena bisa saja informasi yang mereka beberkan justru menyeretnya ke penjara,” kata Harymurti, seakan-akan mereferensikan pada kasus Endin Wahyudin soal suap terhadap dua hakim agung yang akhirnya malah menjadikan Endin sebagai terdakwa karena fitnah. Pengadilan menghukum Endin Wahyudin tiga bulan kurungan.

Sumber anonim tak diharamkan dalam jurnalisme. Persoalannya adalah kriteria pemakaian sumber anonim. Joe Lelyveld, pemimpin redaksi The New York Times, mengajukan dua syarat pemakaian sumber anonim. Pertama, sejauh mana sumber itu terlibat dan mengalami secara langsung peristiwa yang ditulis wartawan. Sumber anonim yang dipilih adalah tangan pertama yang melihat dan mengalami secara langsung peristiwa. Dengan kata lain, sumber anonim haruslah seorang saksi mata. Kedua, sejauh mana sumber anonim mempunyai motivasi tertentu, apakah ada fakta penting yang dihilangkan oleh sumber.

Sementara Deborah Howell, redaktur kelompok raksasa media Newshouse, menetapkan dua aturan pemakaian sumber anonim: tak menggunakan sumber anonim untuk komentar terhadap orang lain dan tak menggunakan sebagai kutipan pertama dalam berita.

Saya tertarik untuk mengetahui apakah pemakaian sumber anonim oleh Tempo itu sesuai dengan yang disyaratkan Lelyveld dan Howell. Karaniya Dharmasaputra yakin sumber anonim itu bisa dipercaya. “Sumber anonim yang dipakai Tempo adalah tangan pertama yang melihat dan menyaksikan langsung terjadinya peristiwa. Setelah dicek ke beberapa orang informasi yang diberikan oleh sumber anonim ternyata tidak bertentangan bahkan saling mendukung dan tidak terbantahkan.”

Kamarulzaman mengungkapkan ketidaksenangannya karena fotokopi tanda terima yang diteken dua orang bendahara Golkar, Fadel Muhammad dan Muhamad Suleiman Hidayat. “Bagaimana membuktikan bahwa fotokopi itu asli, bukan bikinan lawan Akbar? Itu kan cuma fotokopi. Saya bukan mengatakan fotokopi itu palsu, tetapi ada banyak kemungkinan bahwa fotokopi model begituan dibuat oleh sembarang orang,” sergahnya

Saya tertarik mengetahui otentisitas kuitansi tersebut. Berdasar penelusuran Dharmasaputra, data tersebut otentik. Salah satu cara terbaik untuk melihat tanda bukti itu valid atau tidak, dengan melihat aliran dana. Setiap cek tarik tunai akan ketahuan siapa yang menarik. Kalaupun diwakilkan, akan ketahuan juga karena harus membawa surat kuasa. Data itu juga dikuatkan sumber-sumber yang bisa dikutip.

Dan Marzuki Darusman dan Rahardi Ramelan menyatakan bahwa tanda terima itu ada.

Tapi ibarat orang bertinju, ketika Tandjung terpojok, bel istirahat berbunyi, Tiba-tiba pada 28 November 2001, kepolisian Jakarta berhasil menangkap Hutomo Mandala Putra, putra bungsu Presiden Soeharto, yang terhukum kasus korupsi dan jadi buronan selama setahun lebih. Media pun ramai-ramai meliput kasus Tommy Soeharto. Ini cerita yang benar-benar basah. Ada uang, ada perempuan, ada senjata, ada kematian. Semuanya bumbu-bumbu penyedap berita yang nikmat. Maka terciptalah kesempatan mengambil napas buat Tandjung.

Tapi ketidakadilan terus menggelinding. Deputi keuangan Bulog Achmad Ruskandar, orang yang disuruh Rahardi Ramelan menyerahkan cek kepada Tandjung pada 2 Maret 1999, malah dijadikan tersangka oleh Kejaksaan Agung. Sekali lagi, ketidakadilan kelihatannya menang atas keadilan di negeri ini. Kita tunggu saja seberapa lama Akbar Tandjung bisa bertahan dengan skenario-skenarionya dan bagaimana Tempo mengejar kebenaran demi kebenaran. Media lain sebaiknya jangan hanya duduk bengong. *

by:Eriyanto