Sinar Harapan Baru

Anonim (sementara)

Mon, 6 August 2001

AKHIR Juni 2001, sekitar jam tiga siang di sebuah ruangan gedung berlantai empat di Tanah Abang Jakarta, terjadi kesibukan luar biasa. Maklum, sore itu, awal pemunculan Sinar Harapan edisi contoh.

AKHIR Juni 2001, sekitar jam tiga siang di sebuah ruangan gedung berlantai empat di Tanah Abang Jakarta, terjadi kesibukan luar biasa. Maklum, sore itu, awal pemunculan Sinar Harapan edisi contoh.

Pemilik ruangan di lantai tiga itu adalah Aristides Katoppo, pemimpin redaksi Sinar Harapan. Katoppo memanggil sejumlah redakturnya, termasuk tim artistiknya. Mereka mengkritisi habis edisi simulasi tersebut. Di depan meja Katoppo, terdapat Sinar Harapan yang halaman-halamannya penuh coretan pena, pertanda masih banyak kesalahan. Ada kesalahan komposisi tinta, tata letak, atau pengetikan. Misalnya, nama pemimpin redaksi Aristides yang seharusnya ditulis serangkai, muncul jadi "Aris Tides."

Tanggal 2 Juli 2001 adalah pemunculan perdana Sinar Harapan baru. Sinar Harapan tampil dengan logo dan jenis huruf yang pernah dipakainya dulu. Itu sama dengan yang digunakan Suara Pembaruan selama empat belas tahun.

"Tak ada rebutan soal logo. Kebetulan saja terjadi. Bondan Winarno datang dan minta ganti logo, dan kemudian Sinar Harapan muncul dengan logo semula," tutur Sasongko Soedarjo, pemimpin umum Suara Pembaruan. Keluarga Soedarjo memiliki saham terbesar di PT Media Interaksi Utama perusahaan penerbit Suara Pembaruan.

Membicarakan Sinar Harapan memang tak lepas dari Suara Pembaruan. Bagaimana tidak? Suara Pembaruan adalah koran yang diciptakan sebagai pengganti Sinar Harapan yang dibredel 1986. PT Sinar Kasih, penerbit Sinar Harapan diganti menjadi PT Media Interaksi Utama. Namun semua awak Sinar Harapan ditampung di Suara Pembaruan, hanya pemimpin redaksi Aristides Katoppo dan pemimpin umumnya H.G. Rorimpandey digantikan Albert Hasibuan.

Ketika menteri penerangan dipegang Muhammad Yunus, ia memberi angin untuk terbitnya kembali Sinar Harapan. Tapi menurut Katoppo, pemilik Suara Pembaruan tak suka dengan hal itu, dan berkat lobi-lobi mereka akhirnya surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) tak jadi dikeluarkan.

"Dulu Suara Pembaruan dimunculkan karena Sinar Harapan dicabut SIUPP-nya. Sekarang tanpa ada ketentuan SIUPP, sudah seharusnya Sinar Harapan diterbitkan kembali," kata Aristides Katoppo.

Kelompok pengusul ini semula menghendaki Sinar Harapan terbit dengan menggantikan Suara Pembaruan. Tapi pihak pemegang saham terbesar tak menghendaki perubahan. Muncul ide lagi jika Suara Pembaruan tak mau diganti, maka pihak perusahaan perlu menerbitkan kembali Sinar Harapan. Dasarnya, sebagian besar fasilitas yang dimiliki Suara Pembaruan sekarang merupakan hasil usaha Sinar Harapan sehingga pihak pengusul merasa layak Sinar Harapan terbit dengan fasilitas yang dulu pernah dimiliki.

"Sejak awal kan sudah disepakati bahwa Suara Pembaruan adalah pengganti Sinar Harapan. Dan beberapa kali rapat juga telah memutuskan demikian," ujar Sasongko Soedarjo. Ia juga membantah bahwa Suara Pembaruan sudah keluar dari idealisme.

Akhirnya diputuskan Sinar Harapan boleh diterbitkan, tapi bukan oleh PT Media Interaksi Utama, penerbit Suara Pembaruan dan tidak berhak menggunakan fasilitas yang ada di markas Suara Pembaruan di Jalan Dewi Sartika 138-D Cawang Jakarta.

Maka. sejak April 2001, Aristides Katoppo dan H.G. Rorimpandey serta sejumlah redaktur senior Suara Pembaruan keluar dari kantor Cawang mendirikan PT Sinar Harapan Persada dan mulai berkantor di Jalan Fachrudin nomor 6 Tanah Abang Jakarta. Di gedung berlantai empat itu mereka mendesain terbitnya Sinar Harapan yang mengusung idealisme jurnalisme damai.

Pendirian Sinar Harapan menurut Katoppo sebenarnya dikarenakan adanya permintaan dari pembaca Sinar Harapan lama. Begitu pula dukungan dari para distributor yang sanggup untuk terlibat kembali. Menurut survei yang pernah dilakukan, para distributor tersebut menyatakan bersedia menjual sekitar 100 ribu eksemplaar.

"Sekitar 100 ribu itulah kami cetak pertama Sinar Harapan," kata Katoppo.

Selain pertimbangan idealisme dan permintaan pelanggan, ada analisis pasar yang memperkuat penerbitan kembali. Menurut Katoppo, saat Sinar Harapan dibredel 1986 oplah terbesarnya mencapai 210 ribu sampai 250 ribu eksemplar. Dan jumlah itu tidak bisa terlampaui oleh Suara Pembaruan selama 14 tahun.

"Mereka cuma mampu sepertiganya. Artinya, dua pertiga pembaca Sinar Harapan meninggalkan Suara Pembaruan. Nah, kami ingin menarik kembali dua pertiga pembaca itu," papar Katoppo.

Asumsi tersebut bisa meleset, karena menurut Sasongko Soedarjo, Suara Pembaruan pernah mencapai oplah tertinggi 275 ribu eksemplar dan sekarang berkisar antara 190 ribu hingga 200 ribu rupiah.

Kini di lapangan, Sinar Harapan sudah mulai bergerilya untuk menarik iklan harian sore yang telah dikuasai Suara Pembaruan. Menurut survei AC Nielsen sepanjang tahun 2000 Suara Pembaruan mendapatkan pemasukan dari iklan Rp 98 miliar. Dan pada kuartal pertama 2001 saja, Suara Pembaruan juga telah menunjukkan dominasi perolehan iklan harian sore sebesar Rp 30 miliar. Kecil memang, dibanding dengan belanja iklan suratkabar pada kuartal pertama 2001 yang berjumlah Rp 640 miliar.

Kepiawaian Suara Pembaruan dalam bisnis suratkabar saat ini bisa menjadi pengganjal berat perkembangan Sinar Harapan. Apalagi setelah masuknya Bondan Winarno sebagai pemimpin redaksi, Suara Pembaruan terus berbenah baik kebijakan redaksional maupun penampilan fisik. Dan Sinar Harapan? Terlalu dini untuk menilainya sekarang.*

kembali keatas

by:Anonim (sementara)