PUKUL 15.00. Sebuah bus pariwisata memasuki pintu gerbang stasiun televisi Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Setelah bus itu berhenti parkir, tiga personil grup musik pop Sheila on 7, manajer, dan tiga orang kru turun dari bus yang telah menempuh perjalanan sekitar 10 jam dari Yogyakarta. Beda dengan bus umumnya, mulai deretan kursi kelima sengaja tak dipasangi tempat duduk. Gantinya, tiga lembar kasur busa ditumpuk di kedua sisi. Bagian belakang, hanya tersisa beberapa tempat duduk. Selebihnya dipakai untuk tempat amplifier, beberapa gitar, bas, dan drum.

"Mas Taufik, nggawa geblek, ra?" tanya Sakti, gitaris Sheila on 7, yang tadi duduk di kursi kondektur, persis di sebelah pengemudi. Artinya: apakah membawa geblek. Taufik adalah salah satu kru Sheila yang bertugas menyiapkan perlengkapan konser.

Taufik tak sempat menjawab, karena yang lain riuh menimpali. "Iyo, wong Kulon Progo, panganane yo geblek." (“Orang Kulon Progo, makanannya geblek”).

"Geblek itu kerupuk?”

"Bukan, penganan khas Kulon Progo, dari tepung kanji."

"Geblek, jan geblek tenan." (“Makanan geblek sungguh-sungguh ‘bodoh’.”)

Mereka tertawa.

Malam itu, Sheila on 7 akan tampil di panggung Impresario 008, sebuah acara mingguan RCTI yang disponsori perusahaan telekomunikasi Indonesia yang kode dial teleponnya 008. Menurut jadwal, jam satu siang mereka sudah mulai memasang peralatan panggung.

"Kapan sih mainnya?" tanya Dany Rachman—sering dipanggil: Babe Dany—staf sekuriti Sheila.

"Lah, ya malam ini! Makanya orang-orang sini ‘keluar tanduk’. Jadwal jam satu, eh, jam tiga baru datang.”

“Gue telepon aja Sony Music: bagaimana sih artis lu ngaret begini. Seenaknya aja!" gerutu salah seorang staf produksi RCTI.

Pada saat bersamaan, Sakti dan penggitar Eross masuk sambil mendorong amplifier. Penggebuk drum Anton dan Soemar (kru) sibuk menurunkan seperangkat drumnya. Sementara Anton Kurniawan, manajer Sheila, bersama dua kru lain membantu pengebas Adam dan vokalis Duta yang datang belakangan. Tak sampai setengah jam, semua peralatan sudah berada di atas panggung.

Seperti meralat, staf produksi yang tadi menghampiri Dany. "Bukan apa-apa ya, Dan. Kita kan maunya memberi yang terbaik." Keduanya kemudian lenyap di tengah kerumunan kru lain yang sibuk mempersiapkan acara live malam itu.

SAYA pernah mengira Sheila on 7 adalah nama sebuah tim bola basket. Ini karena sering tak sengaja saya melihat spanduk-spanduk di perempatan jalan. Ada tulisan Sheila on 7, lalu merek rokok. Basket maupun konser musik memang sering disponsori rokok produksi Sampoerna ini.

Tapi, Sheila on 7 benar-benar grup musik. “Sheila,” kata Eross, diambil dari bahasa Celtic, artinya: musikal. Versi lain menyebutkan, Sheila nama mantan pacar Eross. Benarkah? Eross menjawab dengan mengangkat bahu dan pipi tersipu. Sedangkan “on 7” mengacu pada jumlah nada: do, re, mi, fa, sol, la, si.

Kelompok musik asal Yogyakarta ini beranggotakan Akhdiyat Duta Modjo, Anton Widiastanto, Adam Muhammad Subarkah, Eross Candra, dan Saktia Ari Seno. Kelompok ini dibentuk pada 6 Mei 1996. Jika Adam dan Duta tak pernah tarawih bersama, nginep-nginepan, atau bermain bola, maka tak ada cerita besar Sheila on 7 yang kini menjadi kelompok band populer. Duta dan Adam tinggal bertetangga di kompleks perumahan dosen Universitas Gadjah Mada, di Sawitsari, Yogyakarta. Karena keduanya sering bertemu di lapangan bola, terbersit keinginan membuat band.

Kebetulan Adam satu sekolah menengah pertama dengan Sakti. Sakti yang waktu itu dibelikan gitar baru oleh orangtuanya meminta Adam untuk mengajari. Sakti pun menerima ajakan Adam untuk bersama membuat sebuah grup band. Nama yang dipilih waktu itu: Why.

Why main di sekolah-sekolah membawakan lagu-lagu Top 40. Mereka terus bermain sampai sekolah menengah atas. Dalam acara festival kesenian untuk siswa lanjutan atas, mereka bertemu dengan Eross Candra yang telah memiliki band sendiri, Dizzy Band. Eross lantas mengajak Anton, dan jadilah grup yang kemudian diberi nama Sheila Gank. Sering kali orang kesulitan menyebut nama band ini.

"Kita ganti saja jadi Sheila on 7. Biar lebih susah!" canda Eross. Mereka pun main dari satu festival ke festival lain, termasuk juga acara pesta ulang tahun. "Kami nyanyi lagu-lagu Bon Jovi, Oasis, dan pernah dibayar 7.500 perak," kenang Anton, menyebut nama-nama kelompok musik barat yang populer di Indonesia.

Menyebut Sheila on 7 berarti juga membicarakan kedua album mereka yang terjual di atas satu juta keping, yakni Sheila on 7 (1999) dan Kisah Klasik untuk Masa Depan (2000). Pada Maret 1999, album pertama Sheila on 7 dirilis. Sejak Juni 1999, tembang “Dan” menduduki deretan pertama tangga lagu di tayangan televisi MTV Ampuh (Ajang Musik Pribumi Sepuluh) selama 29 minggu. “Dan” menang pula antara lain sebagai Lagu Favorit Video Musik Indonesia 1999 dan Lagu Terbaik versi Anugerah Musik Indonesia 1999. Sebagai grup musik, Sheila merebut gelar Best Newcomer di MTV Awards 2000. Oleh Sony Music, mereka pun lalu diganjar Multi Platinum Award Sony Music atas penjualan album yang mencapai 1,3 juta copy.

Kesuksesan berulang pada album kedua, Kisah Klasik untuk Masa Depan, yang dirilis pada 28 September 2000. "Sehari beredar, album ini sudah terjual 150 ribu. Sorenya, agen-agen menelepon minta dikirimi lagi lantaran barang di pengecer sudah habis," kata Jan Djuhana, artist and repertoire senior director Sony Music Entertainment Indonesia. Tak pelak, angka penjualan melesat tajam. Desember 2000, tiga bulan kemudian, album kedua ini menembus angka sejuta copy. Angka-angka terus bertambah. Sampai Sony Music belum bisa memutuskan berapa jumlah platinum yang akan mereka berikan. Pada Agustus 2001, penjualan album mencapai 1,7 juta copy. Sheila mendapat Multiple Platinum Award. Jumlah ini masih bisa bertambah, karena lagu “Sephia” akan difilmkan di film televisi yang ditayangkan Surya Citra Televisi (SCTV) pada September 2001.

ITU cerita di Indonesia. Di Malaysia, album Sheila juga digandrungi remaja. Album pertama laku 30 ribu. Sementara album kedua semakin membuat para pebisnis musik di Malaysia melongo. Promosi dilakukan dengan mengandalkan lagu “Sephia.” Nyatanya, berhasil, Kisah Klasik untuk Masa Depan terjual 90 ribu copy. Angka 90 ribu di Malaysia merupakan angka penjualan terbesar sepanjang masa peredaran kaset penyanyi Indonesia di Malaysia.

Nama besar macam Broery Marantika dan Hetty Koes Endang, selama kesuksesan album mereka, jualannya tidak lebih dari 50 ribu. Sedangkan Melly Goeslaw dan Krisdayanti, penjualan di Malaysia baru 30-an ribu. “Kalau dibandingkan Sheila, masih jauh," kata Jan. Ini, kata Jan, terbilang aneh, karena pasar kaset di Malaysia sedang terpuruk. Banyak produksi kaset yang laku hanya berkisar di angka 3.000-5.000 copy. Sheila Madjid lewat album Kumohon hanya laku 10 ribu di negerinya sendiri.

Nama Jan memang sangat dekat dengan kesuksesan Sheila. Jan-lah yang memutuskan untuk mengontrak Sheila. "Saya bilang pada manajemen, kita harus kontrak band ini. Saya bilang pada staf saya, saya tidak tahu mau produksi yang kayak apalagi kalau album mereka tidak jalan," kenang Jan.

Adam dan Eross-lah yang membawa rekaman demo mereka kepada Jan.

Awal 1998, ketika kebanyakan mahasiswa Indonesia berdemonstrasi menentang rezim Soeharto, dengan berbekal uang pentas di Yogyakarta plus iuran teman-teman, Adam dan Eross berangkat ke Jakarta. Perusahaan rekaman pertama yang dituju adalah Sony Music. "Tapi kami nyasar, datang ke toko elektronik Agis, yang menjual barang-barang bermerek Sony," kenang Eross. Untungnya, letak kantor Sony tak jauh dari sana. Dengan muka memelas, mereka berhasil membuat janji pertemuan dengan Jan, keesokan harinya, "Kami disuruh duduk di ruang tunggu. Saking bangganya, weeh, kalau ketemu orang, langsung pasang dada, ngeliatin kartu visitor Sony Music yang kami kenakan."

Mereka bisa cengengesan untuk sementara. Begitu berada di ruangan Jan, jantung mereka dipaksa berdetak lebih cepat. Eross dan Adam duduk di depan meja kerja Jan. Di depannya, Jan mengerutkan kening. Disimaknya satu lagu sampai refrain, lalu diputar lagi. Enam lagu, “Kita,” “Tertatih,” “JAP,” “Sandra,” “First Love,” dan “For A While” didengar tuntas. "Kami deg-degan menunggu reaksi Pak Jan. Tanganku dan tangan Adam remas-remasan di bawah meja. Seperti nunggu istri hamil atau tidak," kata Eross.

Apa reaksi Jan? "Melodinya menarik, liriknya nyaris tidak puitis, dan bicara masalah anak muda. Saya kira, ini cocok banget; simpel, nggak njelimet. Ada empat lagu yang keterima di kuping saya," kata Jan pada saya dalam kesempatan berbeda di kantornya.

Cerita selanjutnya, Adam dan Eross pulang ke Yogyakarta. Dua minggu kemudian, mereka kembali ke Jakarta sekalian membawa 21 lagu demo. Kali ini dengan personel lengkap. Mereka dibawa ke Archie Studio, sebuah studio rekaman yang letaknya tak jauh dari kantor Sony.

"Kami mengadakan live recording. Saya tidak bilang menyanyinya harus sempurna, tidak boleh fals, dan sebagainya. Saya biarkan apa adanya," kata Jan.

Dari 21 lagu, Jan memilih 10 lagu untuk dibuat album. Ia cukup berhati-hati, jangan sampai dari lagu ke lagu terdengar monoton. Seperti beat yang sama terus atau lirik yang satu tema.

Pada tahap pembuatan album inilah pihaknya memberikan masukan di studio. Seperti membantu mereka mencari warna-warna dalam sound gitar, sound vokal, jika ada bagian aransemen yang kurang enak. Lima anak Yogyakarta tak kembali pulang dalam waktu yang lama. Sony Music mengontrak mereka untuk enam album. Sheila on 7 mendapatkan yang mereka impikan.

SEJAK berhasil mengorbitkan grup musik/rif, asal Bandung, banyak band baru yang mengirimkan rekaman demonya ke Sony Music. Karena tak mungkin semuanya dibikinkan album, Jan mencari jalan keluar: dia kumpulkan lagu terbaik dari setiap band untuk direkam dalam album kompilasi Indie Ten, Juli 1998. Grup musik asal Surabaya, Padi, yang album keduanya diramalkan mencapai penjualan hingga sejuta copy, termasuk grup yang masuk Indie Ten. Artinya, Padi masuk album kompilasi dulu sebelum Sony yakin membuatkannya album. "Tapi, memang aneh dengan Sheila. Saya tidak menyadari telah berani membuatkan sebuah album untuk mereka," kata Jan.

Saat rilis, Maret 1999, klip video lagu unggulan “Kita” ternyata belum siap. "Pertama bikin video clip, salah. Kurang bagus. Anak-anak tampil kaku. Kita bingung," ujar Jan. Kebetulan televisi Indosiar ingin memasukkan “Kita” menjadi soundtrack sinetron seri Lupus. Klip video pun dibuat ulang. Tokoh pemeran Lupus ikut muncul dalam visualisasi klip video.

Gara-gara klip video tertunda, promosi hanya dilakukan di radio. Karena itu, penjualan album Sheila di dua bulan pertama, seret. Ada permintaan pasar tapi hanya dari Yogyakarta dan Palembang. Sementara permintaan dari Jakarta, adem-ayem. Kalimantan, tak ada reaksi. Medan pun begitu. Kalaupun ada permintaan, jumlahnya hanya 100-200 copy. Jalannya tertatih-tatih.

"Mungkin saya salah memasukkan lagu ‘Tertatih’ di bagian pertama. Meski saya tidak begitu percaya hal seperti itu, tapi banyak orang yang mengatakan, jangan bikin lagu yang judulnya bikin macet. Nanti nggak bisa jualan," tawa Jan melebar.

Dua bulan berselang, radio-radio memilih lagu “Dan” untuk diputar. Sony membuat satu lagi klip video dan menggempur tayangan televisi. Penjualan pun langsung meningkat drastis, terkerek ke atas sampai 300 ribu keping. Saat klip “Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki” disiarkan, penjualan melaju, tembus angka sejuta.

"Kami harus akui, angka penjualan album Sheila memang fenomenal," kata Chico Indarto, artist and repertoire director Warner Music Indonesia.

Warner Music Indonesia dan Sony Entertainment merupakan dua dari lima industri musik kelas dunia yang membuka cabang di Indonesia pada 1997 setelah pemerintah membuat hukum yang jelas untuk melindungi karya musik asing. Tiga lainnya adalah BMG, Universal, dan EMI. Lima raksasa ini kira-kira mendapatkan 40-50 persen dari omzet industri rekaman Indonesia.

Total omzet industri musik di Indonesia sekitar Rp 850-900 milyar per tahun di mana 40 persen untuk musik asing, yang royaltinya dikuasai kelima perusahaan tersebut, dan sisanya sekitar 60 persen untuk musik Indonesia.

"Pertamanya pun, setahu saya, Sheila tidak di-treat sebagai grup besar. Sheila masih grup baru, dan Sony memberi promosi sepatutnya grup baru," kata Chico

Menurut Chico, promosi sudah separuh bekerja jika materi album bagus. Ibaratnya akan menggelinding sendiri seperti bola salju yang makin membesar. Lagu “Dan”-lah yang sebenarnya membawa keberuntungan.

Kasus senada pernah pula dialami penyanyi Melly Goeslaw saat melempar album “Bumi Ini.” Pasar tidak bergerak. Radio lebih memilih “Jika,” lagu yang membawa album Melly Goeslaw dari 50 ribu ke 500 ribu copy. Persis yang dialami Sheila.

"Begitu radio mulai memutar ‘Dan’, dengan lirik yang menarik dan straightforward, semua menyanyikannya, termasuk para pengamen. Itu yang mendorong penjualan Sheila on 7," katanya.

Sheila ternyata pernah mengirimkan demo ke Warner; ditolak. "Setelah membuat janji dengan Sony Music, kami ke Warner. Di Warner, kami langsung bisa ketemu bosnya. Tapi, sambutannya nggak enak. Musiknya dibilang kurang komersial. Aku nggak sukanya waktu itu kita dibandingkan dengan The Doors, dengan Stinky," kata Eross.

Saat itu, Chico memang belum bergabung dengan Warner. Posisinya waktu itu dipegang Iman Sastrosatomo, yang kini menjadi director managing di Warner. Ketika suatu saat Chico mendengar kabar bahwa Sheila pernah mengirimkan demonya ke Warner, Chico mengaku kaget. Pihak Warner sendiri tidak ingat rekaman demo yang mana, mengingat memang banyak demo yang dikirim ke Warner. Meski begitu, Chico bisa memahami mengapa Warner menolaknya. "Mungkin musik Sheila dianggap terlalu biasa.Ternyata, yang biasa itulah yang berbeda," ungkapnya.

Hal lainnya, kebijakan dan gaya Warner sangat konservatif, berhati-hati tapi berkesan maju. "Daftar artis kami terbatas. Tidak bisa seenak hati merekrut banyak band."

Kini Warner lebih teliti menyoroti band-band daerah. Mereka menyisir Yogyakarta, Semarang, Bandung, dan Surabaya untuk memburu band-band yang dianggap potensial. Seringkali mereka mendatangi kafe-kafe dan studio lokal. Jika mempunyai contact person, mereka membuat jadwal bertemu dan melakukan audisi dua-tiga band sekaligus.

Band daerah memang sedang tren untuk recording label. Chico melihat beberapa kelebihan yang dimiliki band-band daerah. Justru karena di daerah kurang referensi, hal itu malah membuat karya mereka lebih murni. Keterbatasan alat malah menimbulkan sesuatu yang luar biasa.

Faktor lain, ada faktor suporter. Grup asal Surabaya pasti didukung penggemar Jawa Timur, begitu pun Yogyakarta dan kawasan lainnya. Band Surabaya bisa mendapat 100 ribu dari daerahnya saja.

Yang pasti, Mei 2000, Warner memperkenalkan hasil buruannya: Jikustik, sebuah grup band daerah, bermusik pop, datang dari Yogyakarta. Jikustik, dengan lagu-lagu “Maaf,” “1.000 Tahun,” dan “Setia” terjual sampai 300 ribu—karena itulah dia berhak mendapatkan double platinum. Kalkulasinya, setiap kali penjualan mencapai 150 ribu keping, satu platinum diberikan. Tiap kali kelipatan 150 ribu copy terjual, maka platinum akan terus diberikan.

Menyusul Jikustik, Warner kembali memperlihatkan buruannya 30 Juli 2001. Kali ini dari Bandung. Namanya: Positive. Berbeda dibandingkan segmen usia Jikustik yang antara 20 sampai 30 tahun, Positive menyasar usia belasan tahun. Tiga minggu dirilis, lagu “Pagi” Positive menjadi nomor satu di radio Prambors Jakarta di FM 102,3 MHz dan radio Ardan Bandung, FM 105,8 MHz Bandung.

Kini, Warner sedang giat mempromosikan buruannya.

WAJAR jika orang menyebut-nyebut nama Sephia dalam rumpian atau obrolan santai. Jika seorang ibu berbisik pada suaminya, "Pak, dengar-dengar Pak Margono punya Sephia, lho." Itu berarti Pak Margono berselingkuh atau mempunyai kekasih gelap. Lirik dalam “Sephia” memang begitu.

Selamat tidur kekasih gelapku

(O… Sephia)

S’moga cepat kau lupakan aku

Basi rasanya bila anak muda sekarang masih sulit menyatakan perasaan terhadap seseorang yang ditaksirnya. Karena kini, sudah ada tiga huruf ampuh yang mewakili semua itu. Kenapa tidak bilang: "JAP."

JAP

Jadikanlah Aku Pacarmu

Kan kubingkai s’lalu indahmu

Jadikanlah Aku Pacarmu

Iringilah kisahku

Jika hubungan cinta makin memburuk dan tak mungkin dipertahankan lagi, katakan saja pada pasangan, "Kita ‘Dan’ sajalah!"

Dan…

Bukan maksudku, bukan inginku

Melukaimu sadarkah di sini kupun terluka

Melupakanmu, menepikanmu

Maafkan aku

Caci maki saja diriku

Bila itu bisa membuatmu kembali bersinar

Dan berpijar seperti dulu kala

Itulah yang sedang terjadi. Lirik-lirik lagu Sheila bukan hanya dihapal, tapi sebagian telah melahirkan asosiasi baru. Eross-lah yang menciptakan semua lagu Sheila. Kecuali dua lagu di album kedua, yaitu “Lihat, Dengar, Rasakan” ciptaan Adam dan “Just For My Mom” ciptaan Eross berdua Adam.

"Dulu, saya lebih sering bikin lagu dalam bahasa Inggris, meski bahasanya suka salah. Ketika mulai menulis dengan bahasa Indonesia, rasanya, yeah … nggilani. Menjijikkan," kata Eross. Ia tahu penyebabnya. Jiwa Eross belum sampai. Padahal ternyata jika ia menemukan lagu yang kuat akan terdengar indah di telinga.

"Caci maki saja, kekasih gelap, jap, naruhnya tidak boleh sembarangan. Harus sama dengan nada," kata Eross. Lagu yang paling bagus menurutnya adalah pemikiran pertamanya. Menulis lagu, menurut Eross, hanya efisien dalam satu jam. "Kalau

lebih dari dua jam, karya seni yang muncul adalah hasil logika, bukan perasaan."

Tak semua tema lagu berasal dari Eross. Siapa saja dalam grup bisa menyumbangkan tema, atau pengalaman keseharian mereka. Begitupun saat memikirkan kord, instrumen, dan lain-lain. Menyatukan visi lima orang juga bukanlah mudah. Kunci Sheila adalah jika sedang membuat musik berlima, semuanya harus dalam keadaan mood.

"Ada grup band yang ngumpul lima sampai tujuh jam, itu nggak efisien. Kami memang bikin jadwal latihan lima jam. Tapi hanya dua jam yg benar-benar dipakai main musik, tiga jam di awal adalah penyatuan visi. Kita bercanda, ngobrol, ngomong segala macam. Jadi, saat main musik rasanya sama, taste-nya sama, nggak ada yang lebih menonjol. Waktu itulah mood kita lebih terbentuk," urai Eross.

Sewaktu kecil, Eross tergila-gila pada soundtrack sebuah film animasi Jepang, Voltus. Bagus. Ada semangat, ada soul. Di kelas 2 sekolah dasar, Eross menyukai lagu-lagu grup Godbless. Saat ibunya memuji vokalis Bon Jovi, Eross bersikeras bahwa yang terbaik dalam band itu adalah Richie Sambora, sang gitaris. Kini, selain untuk Sheila, Eross juga menciptakan lagu untuk penyanyi Memes, Tasya, dan Rio Febriyan.

Sheila tidak bisa selamanya hanya mengandalkan Eross. Album ketiga dijadwalkan rekaman November tahun 2001, dan beredar setelah Lebaran. "Di album ketiga nanti, semua personil sudah mulai mencipta lagu. Membuat aransemennya dijadwal, hari ini laguku, besok lagu siapa. Masalah lagu siapa yang masuk rekaman, itu keputusan kita berlima dan Sony Music," kata Anton, pemain drum.

"Yang jelas, materinya 60 persen masih kental akan warna album terdahulu," kata Jan. "Tak apa. Album The Beatles dari pertama sampai kelima tidak berubah. Baru kemudian ada sitar, lalu orkestra. Tapi, sebelum bubar, mereka kembali simple," sambungnya.

Jan sering mendengar kritik perihal rendahnya kemampuan musikalitas Sheila. Ukurannya, kord-kord mereka sangat sederhana, tidak memperlihatkan kerumitan teknik permainan. "The Beatles juga simple, tapi mereka punya warna sendiri. Mau apa?"

PUKUL 20.30. Setengah jam sebelum pertunjukan di panggung Impresario 008, lima personil Sheila berada di ruang rias. Di sana telah ada semua pendukung acara. Presenter Nico Siahaan dan Dian Nitami, pesulap Deddy Corbuzier, pelawak Derry, serta sejumlah penari dan peragawati. Sementara Dian Lestari, PR & marketing manager Sheila Management sibuk membagi kostum berlima, mengingatkan Adam untuk menjadi sukarelawan Deddy Corbuzier, lalu mengecek daftar lagu yang akan Sheila bawakan.

Pekerjaannya tak cepat selesai karena seringkali terdengar ketukan dari beberapa wartawan yang ingin mewawancarai Sheila.

"Mbak, saya dari Cek & Ricek, wawancara bisa, ya?"

"Sebentar ya, lagi ganti baju," jawab Dian.

"Sebentar saja."

"Lagi ganti baju, Mbak," Dian balik menjawab.

"Duta aja, deh. Duta dulu bisa?" desak wartawan terus.

Dian lalu memanggil Duta, mempertemukannya dengan wartawan yang terus merajuk itu.

"Mengurusi perlengkapan artis adalah tugas road manager. Tapi untuk show di televisi, kami tidak membawa road manager," kata Dian pada saya. Sehari-hari, Dian mengurusi merchandising Sheila, menangani kontrak-kontrak serta berhubungan dengan pers.

Sekali datang ke Jakarta, manajemen mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Untuk sewa bus, hotel, makan, dan membayar kru, pengeluaran tak kurang dari Rp 12 juta. Tak seperti tampil dalam konser, dalam acara seperti ini mereka tidak membawa road manager dan production manager. Dalam manajemen mereka, road manager bertugas mengurusi segala kebutuhan artis pada waktu pelaksanaan tur. Seperti membangunkan mereka, memberi vitamin, bahkan menyuruh mandi. Sedangkan production manager berkonsentrasi pada venue, terutama panggung, seperti mengatur sound system, lighting, dan sebagainya.

Namun untuk acara di televisi, kedua tugas ini dipikul Anton dan Dian dengan bantuan dua sampai tiga kru. Lagipula, honor manggung di televisi jauh lebih kecil dibandingkan konser. Untuk sekali konser, Sheila mematok tarif Rp 30 juta. Sementara di televisi, bisa kurang dari Rp 7 juta. Padahal, road manager dan production manager dibayar per konser yang diikuti.

"Kalau hanya datang untuk satu acara, kita nombok banyak," ujar Dian.

Awalnya, hanya Anton Kurniawan yang menjadi manajer Sheila. Anak-anak Sheila mengenal Anton sejak mereka sering ikut festival di Yogyakarta. Saat itu, Anton bekerjadi radio Geronimo. Ia sering memberi informasi job pada Sheila. Sewaktu grup ini mempunyai niat mendatangi label, Anton memperlihatkan contoh proposal band pada mereka. Sheila berterima kasih. Begitu rekaman, Anton ditunjuk jadi manajer.

“Dulu saya single fighter, one man show. Semuanya saya yang urus," kata Anton. Ia menangani order event organizer, mengurus semua uang yang masuk, mengatur jadwal tur, dan lain-lain. Kini manajemen Sheila sudah gemuk. Sebagai general manager, Anton membawahkan Dian Lestari dan sembilan orang stafnya, road manager, production manager, dan delapan orang kru. Tiga yang disebut belakangan ini tidak mendapat gaji tetap, namun honornya dihitung sesuai jumlah tur yang mereka ikuti.

Tarif Sheila merayap cepat. Seusai masa tiga bulan promosi bersama Sony Music, pada 2 Mei 1999 mereka konser pertama kali di Hotel Merdeka, Madiun. Honornya saat itu Rp 3 juta. Permintaan untuk tampil sangat tinggi. Tarif langsung merayap cepat menjadi 5, 8, 10, 12, dan sampai sekarang 30 juta rupiah. Jumlah ini hanya untuk pembayaran artis. Tidak termasuk transportasi, akomodasi, dan pajak. Perolehan uang hasil manggung dibagi menjadi 30 persen untuk manajer dan biaya operasional, 15 persen untuk honor kru, dan 55 persen untuk artis.

Jika rata-rata mereka show enam kali sebulan, berarti ada pemasukan sejumlah Rp 180 juta. Artis menerima Rp 99 juta, dibagi lima personil. Duta, Eross, Anton, Adam, dan Sakti memperoleh bagian yang sama, kurang lebih Rp 19 juta per bulan, per orang. Honor kru sebesar 27 juta, dibagi delapan orang. Sedangkan untuk manajer dan biaya

operasional mendapat jatah 30 persen, atau Rp 54 juta. Anton tidak merinci apa saja yang termasuk biaya operasional. Yang pasti jumlah ini tentu tidak dikurangi transportasi, akomodasi, dan pajak ketika show, sebab panitialah yang menanggungnya.

Selain dari honor manggung, manajemen mendapat masukan dari merchandise Sheila yang dijual lewat situs web resmi mereka www.sheilasonic.com dan beberapa media yang bekerja sama. Kini perputaran uang hasil penjualan kaos Sheila, buku biografi, stiker, dan lain-lain mencapai Rp 10 juta per bulan.

Keuntungan yang masuk ke manajemen sekitar 5 juta rupiah per bulan. Fans club Sheila on 7 juga memberi pemasukan, meski jumlahnya tak terlalu besar. Menjadi anggota fans club berarti akan mendapat buletin, potongan harga untuk merchandise, dan lain-lain; untuk itu mereka wajib membayar 30 ribu. Kini jumlah anggota fans club 4.000 orang. Jumlah yang cukup besar bagi band yang baru menghasilkan dua album.

KELELAHAN merayapi semua personil Sheila on 7. Setelah album pertama muncul, mereka menggeber habis-habisan konsernya. Total konser mereka di album pertama antara Mei 1999 sampai Agustus 2000 mencapai 93 kali. Di mana pun tawaran, mereka iyakan: Madiun, Kendal, Surabaya, Denpasar, sampai Banjarmasin.

"Di album pertama kami memang seperti kejar setoran," ungkap Anton, manajer.

"Lelah sekali. Karena sampai di satu kota dini hari, saya masuk kamar sambil merem. Begitu bangun, bingung, yang saya lihat interior hotel. Lah, ada di kota apa? Biasanya saya langsung ke kamar mandi, liat bungkus sabun atau sikat gigi dari hotel, terus baca; oo, Cilacap," kata Eross.

"Fisikku nggak kuat, aku diopname di Jakarta, sementara mereka terus tur," kata penabuh drum Anton.

Pengaturan jadwal tur inilah yang dikeluhkan Anton. Menurutnya, jadwal tidak disusun berdasarkan kota yang berdekatan. Jauh-jauh ke Jakarta hanya untuk sekali konser, besoknya ke Solo, lalu lusa ke Bandung. Tenaga habis di jalan, stamina menurun.

Apakah manajemen kurang becus menanganinya?

"Saya belum melihat mereka mau membentuk manajemen secara profesional. Kalau profesional mestinya nggak boleh ajak teman," kata Jan Djuhana.

Jan menunjuk pada Anton Kurniawan, kenalan Sheila sebelum mereka terkenal. Menurutnya, untuk sebuah band besar seperti Sheila, manajemen harus kuat dan profesional. Harus ada standarisasi sound system, detail pasal dan ayat kontrak juga harus jelas, selain perkara asuransi, hotel, sampai makanan. Begitu juga keuangan. Jan pernah menyarankan agar mereka melakukan investasi. Idealnya mereka membangun dua base camp, Yogyakarta dan Jakarta. Kalau ke Jakarta mereka mempunyai kantor, tidak pindah dari satu hotel ke hotel lain. "Tahun ini, mereka sudah bikin studio. Tapi masih ngontrak. Kenapa tidak dibeli tanahnya, katanya masih nego. Kemahalan. Ya, sudahlah," tutur Jan.

Jan belum menghitung pasti total royalti yang telah diterima Sheila. Namun, ia menyebutkan, untuk setiap kaset, mereka mendapatkan 1.000 rupiah. Jika dihitung kasar, 1.000 dikalikan 1,3 juta untuk album pertama, ditambah 1,7 juta untuk album kedua, jumlahnya sekitar Rp 3 miliar. Ini belum termasuk royalti untuk pemakaian lagu mereka untuk -sinetron. Uang royalti ditransfer ke rekening manajer, Anton Kurniawan.

"Mestinya Sheila punya financial manager, seorang profesional. Mereka mendapat uang yang banyak sekarang. Harus ditata dengan rapi," tutur Jan.

"Kami sedang mencari orang yang tepat untuk mengurus keuangan. Karena, menurutku, memang harus ada orang yang mengerti benar tentang cash flow," kata Sakti.

Anton Kurniawan mengatakan, dia masih melakukan pembenahan. Selama ini, manajemen Sheila tidak mempunyai kantor tetap. Latihan biasanya dilakukan dengan menumpang rumah Eross. Belakangan, Anton menyewa sebuah rumah selama lima tahun dengan harga Rp 17 juta per tahun. Ditambah iuran dari personil, akhirnya manajemen mempunyai sebuah kantor dan studio. Semuanya habis Rp 150 juta.

Anton yang ingin menjadi manajer besar seperti Log Zhelebour dari Surabaya, berencanamelebarkan usaha ke bidang lain – seperti multimedia, desain grafis, fotografi, dan lain-lain. Kantor Sheila diharapkan dapat melahirkan komunitas baru bagi orang-orang kreatif Yogyakarta.

HIDUP selalu berubah. Bagi personil Sheila on 7, kehidupan telah berubah lebih banyak. Kini, Duta tak bisa jalan-jalan sendirian di daerah pertokoan Malioboro Yogyakarta. Minimal, ia harus ditemani satu-dua orang temannya, laki-laki.

Meski kini mampu membeli apapun di Plaza Senayan, salah satu pusat perbelanjaan mewah di Jakarta, Sakti, Adam, dan Eross tak akan bisa berbelanja dengan nyaman. Maksudnya, tanpa permintaan foto, tanda-tangan, atau yang aneh-aneh lainnya, baik dari pengunjung maupun penjaga toko. "Saya lebih beruntung. Tak banyak yang mengenali, mungkin karena saya tak semodis mereka," kata Anton.

Anton yang menyukai otomotif, memanfaatkan uangnya untuk membuka usaha bengkel di Jalan Kaliurang 12, Sleman, Yogyakarta. Jika tak ada jadwal manggung atau rekaman, ia berkutat melayani pelanggan bersama kakaknya, Iwan. Setelah menerima sebagian royalti dari album pertama, Anton membeli sebuah mobil Feroza. Memenuhi impiannya sejak lama, belakangan ia memboyong pulang Ducati Monster M600.

Duta lain lagi. Ia membangun rumah di atas tanah warisan sang ayah di daerah Manukan, sebelah utara Yogyakarta. Sementara Adam, membuat production house sebagai wadah teman-temannya berkarya. Eross pun menyiapkan sebuah rumah.

"Dulu, aku enggak bisa beli apa-apa, sekarang aku bisa beli apa yang aku mau," kata Sakti. Ia mengoleksi 14 gitar, dengan harga kisaran Rp 300 ribu sampai Rp 15 juta. "Aku memang boros untuk kebutuhan musik. Tapi Eross lebih gila, dia punya 20-an gitar," katanya.

Hal yang cukup membuat mereka terkaget-kaget adalah penggemar. Meski sekarang telah terbiasa, terkadang aneh, geli, dan bingung bagi mereka: berjalan-jalan di kotanya sendiri dan dikenali orang. Penggemarkah, kenalankah, teman SD-kah, sulit untuk membedakannya dalam waktu cepat.

Soal penggemar, siapapun tak ingin tragedi Lampung terjadi lagi. Minggu, 19 November 2000, empat penonton Konser Sheila on 7 di stadion Saburai Enggal, Bandarlampung, tewas. Gedung yang seharusnya hanya bisa memuat 4.000 orang dipenuhi 10 ribuan orang. Penonton bisa masuk karena mendobrak sebuah pintu, tanpa tiket, atau dengan tiket yang telah sobek. Konsernya sendiri dihentikan di tengah jalan oleh polisi setelah diketahui puluhan penonton, yang kebanyakan remaja putri, pingsan bahkan sudah ada yang tewas akibat terinjak-injak.

Tragedi itu membuat stres orang-orang Sheila. "Banyak pemberitaan media yang menyudutkan kami. Judulnya seram seperti ‘Sheila Memakan Korban’. Selanjutnya konser-konser kami sering diberitakan rusuh, " kata Anton.

Menurut Eross, kritik yang disebutnya caci maki sudah parah sejak album pertama. Mulai musik mereka, kemampuan musikalitas, hingga cara bicara yang dianggap tak pernah serius. Kini beberapa pemberitaan di media malah dinilai berlebihan. "Minggu lalu cover-nya Sheila, sekarang Sheila juga, minggu depan dan minggu depannya masih Sheila lagi. Mereka banyak menulis hal-hal personal daripada musik. Baguslah kalau mereka menulis itu nanti, kalau grup ini sudah 20 tahun. Tapi sekarang kami baru merangkak," kata Eross.

Beberapa media membentuk image Sheila menjadi boyband. Mereka jadi kehilangan fans cowok. Karena cowok-cowok umumnya malu ngefans pada band yang sudah dicap boyband. "Padahal taste musik kami sama. Aku juga hidup di

jalanan, sama seperti mereka," sesal Eross. "Kami bekerja keras di musik. Kalau berlembar-lembar menulis musik ya nggak apa-apa. Boyband apa, wong muka kita ancur-ancuran begini."

Majalah Hai, Jakarta, pernah sekali kali menjadikan Sheila sebagai cover. "Judul depannya waktu itu, ‘Serbuan Band-band Kelas Dua’," kata Danie Satrio, wartawan Hai.

Hai lebih tertarik pada musik, karya, atau alat musik yang mereka gunakan meski sesekali juga menulis sisi keselebritasan mereka: Duta memakai tindik atau Anton bermotor baru. Perjalanan karir Sheila juga disajikan lewat media komik dan dibuat bersambung. Pemimpin redaksi Hai Irwan Iskandar bahkan pernah menulis tentang lagu dari album pertama Sheila, “Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki,” yang dikabarkan sebagai karya jiplakan dari penyanyi Amerika Serikat Cat Stevens.

Mengawal keluarnya album kedua Sheila, Hai membuat buklet kecil setebal 50-an halaman yang berisi biodata, kord lagu baru, dan keseharian personil Sheila. Danie ditugasi ke Yogyakarta, yang kemudian menginap di rumah masing-masing anggota Sheila, secara bergantian.

"Keseharian mereka tak beda dengan orang biasa. Anton suka bengong kalau bangun tidur, Eross jarang mandi," ungkap Danie. Menurut pengamatannya, mereka masih sering terkaget-kaget ketika disapa orang. Daniemengistilahkan, "Orang biasa yang sedang mencoba mengepaskan diri dengan jaket barunya."

Sejak saat itu, hubungan Danie menjadi dekat. Mereka tidak lagi bicara sebagai wartawan dan narasumber. Setiap ke Jakarta, Sheila mengabari Dhanie lewat telepon atau short message service (SMS) di telepon genggam. Pembicaraan pun seringkali mengenai alat musik, kaset-kaset baru, cerita keseharian, dan lain-lain. "Eross pernah menelepon saya dari Kalimantan, hanya untuk cerita tentang gitar barunya," kata Danie.

"Anehnya, saya sering kecolongan berita terbaru mereka," aku Danie. Jika itu terjadi, Danie yang dijuluki sebagai kakak angkat Sheila jadi bahan olok-olok di kantornya.

Satu hal yang menurut Danie belum dipupuk Sheila: image personality. "Saya ketemu dengan banyak orang yang bilang mereka sombong, di setiap interview. Di Semarang, mereka ada masalah dengan penyiar radio, karena jawabnya asal-asalan," tutur Danie. Padahal, menurutnya, masuk ke jagad industri itu ada persyaratan yang harus dipenuhi, antara lain: kesadaran bahwa mereka adalah milik publik.

PUKUL 21.00. Lebih dari 400 penonton memenuhi studio syuting Impresario 008. Begitu lampu sorot dinyalakan, semua menjerit histeris. "Inilah grup yang mendapat julukan… band sejuta copy!" seru pembawa acara Nico Siahaan. Sheila langsung menyapa dengan lagu “Sebuah Kisah Klasik…,” disusul “Bila Kau Tak di Sampingku.” Seolah mengajak para penontonnya bernostalgia, Duta menyanyikan “Perhatikan Rani,” satu lagu dari album pertama. Terakhir, Sheila memainkan “Sephia” dan “Sahabat Sejati.”

Seluruh isi ruangan ikut bernyanyi. Sebagai bonus, Sakti dan Adam melemparkan beberapa suvenir. Penggemar pun membalasnya dengan melempar boneka, gelang, dan lain-lain.

"Di atas panggung, mereka tahu kapan menggunakan emosi penonton, kapan menggunakan emosi mereka sendiri," komentar Siahaan. Sejak Siahaan jadi presenter Impresario 008, November 1998, Sheila telah tampil sebanyak tiga kali di acara ini. Siahaan menilai, dibanding sebelumnya, penampilan Sheila malam itu lebih matang. Terlebih kini mereka punya banyak materi lagu yang diusung sebagai hit.

"Hal yang membedakan jika Sheila tampil di Impresario adalah jumlah pemesan tiket yang membludak. Kami juga memasang giant screen di luar studio, karena ratusan orang tak bisa masuk," kata Siahaan. Menurutnya, untuk sementara, massa sebanyak ini hanya bisa dikalahkan oleh penonton penyanyi Iwan Fals saat tampil beberapa waktu lalu.

Acara telah selesai. Di luar gedung, ratusan penggemar Sheila mencoba keberuntungan untuk dapat menemui idolanya. Personil Sheila lari di antara lorong-lorong. Sementara di belakang, para petugas satuan keamanan berusaha menghambat para penggemar yang nekat mengejar. Bagaimanapun, Duta dan Eross masih menyempatkan diri berhenti saat dua remaja pria menyodorkan kamera. Di luar, sebuah sedan telah menunggu mereka. Duta dan kawan-kawan masuk ke dalam dan langsung mengunci pintu.

Para penggemar yang kemudian mengerumuni sedan, sebagian mengetok-ngetok jendela mobil, memanggili histeris nama Duta dan Adam. Ada pula di antaranya yang membentangkan poster ‘I Love You’. Yang terbanyak adalah yang mendorong maju dengan teriakan histeris.

Saat mobil bergerak, suasana menjadi hening. Duta, Sakti, Anton, dan Eross mencandai Adam yang malam itu dikerjai pesulap Deddy Corbuzier. Puas mengolok-olok, mereka segera sibuk dengan telepon seluler masing-masing.

Sakti: “Halo! Halo, Mas Anton, kita kembali ke hotel kan? Ya, ya. Kita langsung ke hotel, Pak!”

Anton: “Halo, gimana? Bawa aja ke bengkel, chasis-nya harus diganti.”

Eross: “Halo, halo. Ya, sayang? Besok aku ke Lombok, terus ke Bali. Munyuk? Monyet, monyet. Ya, nanti aku oleh-olehi munyuk!”

Duta: “Halo. Halo, Tan…. Tania? Wah, putus! Wuuh, jan tenan. Mother fucker!*

by:Ni Luh Sekar