Soeharto vs Time: Pencarian dan Penemuan Kebenaran

Penyusun: Todung Mulya Lubis dkk

Penerbit: Kompas, Jakarta, 2001

In Search of Human Rights:

Legal-Political Dillemmas of Indonesia’s New Order, 1966-1990


Penulis: Todung Mulya Lubis

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama & Yayasan SPES, Jakarta, 1993

KALAU saja Presiden Soeharto masih berkuasa, tak akan pernah orang melihat peradilan Soeharto versus majalah Time terbitan New York. Bayangkan jika Time menulis kekayaan Soeharto Inc. pada zaman Soeharto masih berkuasa. Ada beberapa hal yang bakal dilakukannya. Misalnya melarang distribusi Time di seluruh Indonesia. Ini tidak susah. Para kaki tangannya bisa mengontak importir majalah tersebut dan menjadikannya barang tabu untuk beredar. Atau menghitamkan bagian yang dianggap menghina, sensitif, atau tak pantas dibaca publik lantaran dianggap “membuka rahasia pejabat negara.” Bisa juga memberi status persona non grata kepada koresponden Time di Jakarta seperti yang dialami wartawan David Jenkins dari Sydney Morning Herald pada 1986. Kalau perlu menolak pengganti koresponden Time untuk sementara.

Orang terkuat di masa Orde Baru itu juga tak perlu repot-repot menyewa pengacara mahal untuk membelanya di meja hijau. Dia pun tak perlu menggelar berbagai konferensi pers untuk memberikan pandangan diri dan penasihat hukumnya soal pemberitaan Time.

Syukurlah, era Soeharto berkuasa penuh telah lewat. Kini kita memiliki catatan sejarah peradilan “aneh” yang digelar antara Soeharto melawan Time di pengadilan negeri Jakarta Pusat.

Sejak awal, pengacara majalah Time, Todung Mulya Lubis, mencium gelagat bahwa gugatan ini lebih merupakan bagian dari upaya “memanfaatkan sedikit celah yang tersedia untuk melakukan public relations dengan menuduh majalah Time membuat berita yang menyesatkan, tidak akurat, dan mencemarkan nama baik.” Tegasnya, Soeharto ingin menggunakan Time sebagai ajang penciptaan opini publik untuk mendukung opini bahwa Soeharto tidak terlibat korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Walau Soeharto sudah tidak lagi berkuasa, dia tetap berpretensi bisa mengontrol media massa. Bisa jadi Soeharto masih berpikir—setidaknya juga yang dipikirkan para pengacaranya—bahwa Time harus tunduk pada cara berpikir Soeharto, dengan sekian tabu soal suku, agama, ras, dan antargolongan, serta bisnis keluarga Soeharto.

Tentu saja kontras membandingkan era sekarang dengan era Soeharto. Dalam 32 tahun Soeharto berkuasa tak lebih dari dua kali peradilan pers digelar. Pertama, tabloid Monitor yang dituduh menghina agama Islam lewat angket berhadiahnya pada 1989. Kedua, pengadilan tata usaha negara yang dilakukan majalah Tempo pada 1994. Saat itu kalau Soeharto mau membunuh media … ya tinggal membunuhnya begitu saja. Tanpa proses hukum.

Saya pernah mewawancarai Mashuri Saleh, mantan menteri penerangan, ketika saya menulis buku pembredelan koran Indonesia Raya 1974. Menurut Mashuri, ketika terjadi kerusuhan Januari 1974 di Jakarta, Mashuri melaporkan situasi pers dan sejumlah koran yang dianggap bersuara terlalu keras kepada Soeharto.

Mashuri kala itu bertanya kepada Soeharto, “Pak, berapa lama koran-koran ini harus ditutup?” Maksudnya supaya tetap ada peluang bagi koran tersebut untuk terbit kembali.

Tapi Soeharto menjawab dengan dingin, “Tutup saja.”

“Berapa lama Pak?”

“Sudah tutup saja!”

Cerita pun usai. Matilah 14 koran tersebut.

MEMBACA kata pengantar yang ditulis Mulya Lubis dalam buku Soeharto vs Time: Pencarian dan Penemuan Kebenaran terkesan bahwa pembelaan terhadap Time ini diperlakukan secara personal oleh Lubis. Artinya, dia melihat bahwa ancaman yang dihadapi Time adalah ancaman terhadap integritas dirinya; diri seorang yang boleh dibilang salah satu pembela kebebasan pers. Sekadar tambahan, sosok Lubis bukan saja dikenal sebagai seorang yang belasan tahun pernah jadi orang lembaga swadaya masyarakat dan advokat Lembaga Bantuan Hukum, tapi juga seorang sarjana yang menulis disertasi doktoral yang menyinggung kebebasan pers.

Lubis menulis, “Sebagai orang yang pernah merasakan pahit dan getirnya pemerintahan Soeharto saya merasa bahwa sejarah telah datang menghampiri saya untuk turut menegakkan kebenaran dan keadilan. Perkara ini akan menjadi bagian dari proses yang dikenal sebagai pencarian kebenaran atau truth finding.”

Mungkin saja orang akan menyebut dirinya naif kalau percaya dengan kalimat yang pernah dilontarkan sejarawan John Wycliffe, “I believe that in the end the truth will conquer.” Kalimat ini pun tertulis dalam pengantar buku Lubis. Dengan kesadaran inilah dia ikut dalam pertarungan mencari kebenaran, walau saya menilai klaimnya agak berlebihan juga. Truth adalah political struggle yang mau tak mau harus dijalankan, dan Lubis adalah the good guy yang yakin pertarungan itu akan berakhir dengan the truth will conquer itu tadi.

Sejak awal kasus ini, Lubis merasa sesungguhnya Soeharto bukan marah terhadap substansi pemberitaan Time, tetapi justru lebih pada majalah Time itu sendiri. Soeharto menyoalkan the singer, not the song. Karenanya, Lubis menyebutkan sikapnya dengan tegas, “Kami merasa siap untuk bertarung dan kami dengan terbuka menyampaikan kesiapan kami membela Time dan kebebasan pers dalam sebuah konferensi pers di kantor kami.”

“Kami semakin yakin bahwa freedom of the press adalah prinsip yang akan kita bela secara habis-habisan. Karena kami sadar bahwa pengadilan kali ini bukan lagi mengadili majalah Time, tetapi justru mengadili kebebasan pers itu sendiri. Kami mulai percaya bahwa masyarakat pers akan berada di belakang kami.”

Keberanian Lubis dan kawan-kawan bukan tanpa risiko. Tak lama setelah Lubis mengumumkan dirinya hendak membela Time, dia mengalami musibah kecil. Kantornya diobrak-abrik orang tak dikenal. Berbagai berkas perkara yang tengah ditangani Lubis raib. Termasuk berkas kasus Time versus Soeharto!

Kala itu pertengahan 1999, Lubis tercatat sebagai koordinator Jaringan Perguruan Tinggi Pemantau Pemilihan Umum, lembaga pengawas pemilihan umum yang diselenggarakan secara demokratis yang tak pernah dibayangkan bisa berdiri secara leluasa di zaman Soeharto. Artinya, lengkap sudah Lubis sebagai sasaran tembak. Dia berani membela majalah yang mencederai citra Soeharto. Dia pun termasuk yang hendak mengawasi pemilihan umum yang selama Orde Baru terkenal sangat kotor. Sementara itu bayang-bayang Orde Baru masih menghantui dan bersiap hendak kembali.

Pada saat yang sama Soeharto dan kuasa hukumnya mengadukan pemimpin redaksi Time edisi Asia Donald Morrison yang berkantor di Hong Kong ke kepolisian dengan tuduhan Time telah melakukan penghinaan yang melanggar pasal 310 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sebelumnya, pengacara Soeharto, Juan Felix Tampubolon dan kawan-kawan, mengajukan gugatan perdata pada Time ke pengadilan yang sama.

TODUNG Mulya Lubis mulai menyusuri berkas perkara pidana yang diterimanya. Dia melihat fakta hukum bahwa Soeharto tidak menggugat majalah Time di Hong Kong dan tidak dimungkinkan oleh kepolisian Indonesia untuk memaksa Donald Morrison itu untuk datang ke Jakarta. Dia makin menangkap kesan bahwa peradilan ini sesungguhnya tidak serius dan lebih merupakan upaya public relations Soeharto. Sementara itu, dalam gugatan perdatanya, Soeharto menuduh Time telah melakukan perbuatan melawan hukum, penghinaan, dan pencemaran nama baik serta fitnah. Setelah mempelajari materinya, kembali Lubis mengambil kesimpulan bahwa gugatan ini pun tidak menunjukkan usaha serius Soeharto dalam menghadapi Time.

Peradilan bersejarah itu mulai digelar pada 9 September 1999 atau 9-9-1999 –angka yang dimaknai memiliki arti tertentu. Peradilan makan waktu hingga sembilan bulan. Di tengah peradilan ada juga voeging (masuknya pihak ketiga dalam suatu proses perkara yang sedang berlangsung di pengadilan) dari Perhimpungan Bantuan Hukum dan Hak-hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) dan Solidaritas Tani Indonesdia (STI) yang menggugat masalah kepemilikan tanah petani yang diambil Soeharto di Tapos, di selatan Jakarta.

Pembela Time mengajukan beberapa saksi ahli, yaitu Goenawan Mohamad (mantan pemimpin redaksi majalah Tempo), Sabam Siagian (mantan pemimpin redaksi The Jakarta Post), A. Muis (guru besar hukum pers Universitas Hasanudin, Makassar), juga Anton C. Moeliono (guru besar bahasa Indonesdia dan Inggris di Universitas Indonesia). Inti pokok yang hendak dibuktikan adalah Time melakukan tugas jurnalismenya dengan baik, yaitu mengangkat suatu isu yang merupakan bagian dari kepentingan publik dan dalam menjalankannya, dia telah melewati prosedur kerja yang sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalisme. Sejumlah peristilahan yang dituduhkan penggugat sebagai hal yang tak benar, seperti misalnya penggunaan istilah “Soeharto Inc.” diyakini sebagai bentuk metafora dari suatu penyalahgunaan kekuasaan oleh seorang penguasa.

Lubis kembali menekankan alasannya membela Time: “Dari sisi pers sebetulnya kami hanya ingin membuktikan bahwa bagi pers harus ada jaminan kebebasan pers sebagai wacana kontrol, the fourth estate. Bahwa pers bukan malaikat dan bisa berbuat salah, bagi kami amatlah alami. Tetapi pers tidak boleh dihukum apabila pers secara kritis memberitakan hal-hal yang menyangkut kepentingan masyarakat. Menghukum pers—apalagi secara tidak adil—pada gilirannya akan membuat budaya swasensor melembaga, dan ini punya dampak jelek terhadap perkembangan masyarakat terbuka.”

Dalam beberapa persidangan, majelis hakim yang dipimpin hakim Sihol Sitompul ditantang untuk melakukan “penginvestasian” pers bebas dan pengembangan masyarakat terbuka serta pembuktian bahwa peradilan di Indonesia tidak tanpa harapan. Semua itu terpulang pada majelis hakim untuk secara sadar meninggalkan warisan hukum berupa yurisprudensi hukum pers bagi masa depan negeri ini atau mereka akan dicatat sebagai hakim yang mediocre yang tak layak sekalipun sebagai catatan kaki sejarah.

Walau Lubis tak yakin apakah majelis hakim mendengar imbauan mereka, toh lamat-lamat Lubis menangkap kesan bahwa proses persidangan berjalan seimbang, fair, dan adil. Lebih dari itu, katanya, “Kami merasakan bahwa hakim memahami argumentasi hukum yang kami bangun yang pada intinya menggarisbawahi bahwa terhadap pers yang telah memenuhi kaidah-kaidah dan kode etik jurnalistik, cover both sides, check and recheck, serta mengacu kepada kepentingan umum, maka pers tersebut tidak dapat dinyatakan telah melawan hukum, menghina, atau memfitnah.”

SOEHARTO, lewat pengacaranya, mengajukan gugatan terhadap terbitan Time edisi Asia, 24 Mei 1999 nomor 153, mulai dari halaman sampul, lalu halaman 16 hingga 28. Sampul Time menggambarkan Soeharto sebagai simbol dalam uang kertas. Sementara di bagian dalam, digambarkan pula Soeharto sedang memeluk rumah. Soeharto menganggap Time bersifat tendensius, insinuatif, dan menimbulkan kesan seakan-akan dirinya serakah.

Sementara itu, dalam artikel yang sama disebutkan ada transfer uang dari Swiss ke rekening bank tertentu di Austria berjumlah $9 milyar beberapa saat setelah Soeharto turun. Pengacara Soeharto mengatakan dalam kenyataannya penggugat tak pernah memiliki uang di Swiss atau di Austria. Soeharto menggugat tujuh pihak mulai dari Time Inc. Asia; lalu Donald Morrison, editor Time Asia; John Colmey dan David Liebhold (keduanya wartawan Time); serta Lisa Rose Weaver, Zamira Lubis, dan Jason Tedjasukmana (ketiganya wartawan Time yang tinggal di Jakarta). Liebhold sebelumnya tinggal di Jakarta tapi ketika gugatan muncul dia sudah pindah ke Bangkok.

Dengan pemuatan berita dan ilustrasi itu pengacara Soeharto menuduh para tergugat telah menimbulkan reaksi masyarakat, khususnya masyarakat Indonesdia yang sangat negatif bagi penggugat. Tindakan tersebut dianggap menghina dan mencemarkan nama baik penggugat dan/atau perbuatan melawan hukum. Penggugat sungguh merasa dirugikan dan menuntut ganti rugi materiil USD 40 ribu atau Rp 280 juta dengan nilai tukar 1 USD sama dengan Rp 7.000 dan kerugian immateriil USD27 miliar atau Rp 189 triliun.

Dalam berkas gugatan tersebut dikatakan, “Apabila gugatan ganti rugi ini dikabulkan, hasilnya akan diserahkan pada negara untuk kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia guna mengentaskan rakyat dari kemiskinan.” Ini ironis! Soeharto yang dituduh mencuri uang rakyat, sekarang hendak menuntut ganti rugi sedemikian besar pada media yang memberitakan pencuriannya, dan hasilnya akan disumbangkan untuk pengentasan rakyat dari kemiskinan.

Setelah melewati beberapa peradilan, tim pengacara Time menyimpulkan bahwa pihak penggugat terkesan tidak serius dalam membuktikan tuduhan-tuduhannya kepada Time. Penggugat tidak dapat dan tidak pernah berhasil sama sekali membuktikan walau hanya satu dari yang didalilkannya. Penggugat hanya mengajukan beberapa bukti tertulis yang tidak relevan dan bahkan tidak mengajukan saksi satu orang pun dalam persidangan. Intinya, penggugat tidak dapat membuktikan bahwa dirinya memiliki nama baik sebagai pemimpin yang jujur.

Atas liputan yang dipersoalkan itu, Time justru mendapat penghargaan internasional dari Overseas Press Club untuk laporan khususnya mengenai Indonesia, khususnya laporan tentang kekayaan Soeharto dan anak-anaknya. Tim pengacara Time menilai, jika saja Time terkena hukuman atas liputan tersebut, maka ini akan ditafsirkan sebagai justification dari praktik-praktik korupsi-kolusi-nepotisme pada satu pihak, dan di lain pihak sebagai warning serta intimidation terhadap pers dan kebebasan pers.

GOENAWAN Mohamad dari Tempo menyebutkan di peradilan bahwa pemberitaan di sebuah media menyangkut isu penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power dan praktik korupsi-kolusi-nepotisme merupakan suatu wilayah publik lantaran menyangkut kepentingan umum. Pejabat yang dibayar pakai uang rakyat dari pajak harus mempertanggungjawabkan segala perilakunya yang menyangkut kepentingan orang banyak. Lebih jauh disampaikan, pertimbangan kepentingan umum dalam kebijakan pemberitaan terdapat pada pemberitaan yang menyangkut perbaikan dan pelaksanaan good government, pemerintahan yang lebih bersih, masalah pelayanan yang lebih baik kepada publik, dan masalah perlakuan adil dari pemerintah.

Sabam Siagian dari The Jakarta Post menegaskan bahwa pemberitaan Time mengenai Soeharto jelas untuk kepentingan umum. Uang figur publik tersebut haruslah jelas sumbernya. Kalau ada dugaan sumber uang itu tidak halal, maka pemberitaan mengenai dirinya sekadar mencoba menelusuri asal uang tersebut. Dan jelas ini demi kepentingan umum.

Todung Mulya Lubis masih tak yakin pada kondisi peradilan di Indonesia, meski Soeharto sudah jatuh. Invisible hand kerap kali masih berperan dalam memutuskan perkara-perkara penting. Saat putusan hendak diumumkan, Lubis mengenakan kostum hitam-hitam dengan dasi merah menyala. Tak urung David Liebhold dari Time bertanya padanya, ”Mengapa Anda mengenakan kostum hitam-hitam?” Belakangan baru disadari, Lubis ternyata salah mengenakan kostum.

Hakim Sihol Sitompul, Endang Soemarsih, dan Endang Sri Murwati memutuskan gugatan yang diajukan Soeharto itu prematur, karena pada saat yang sama dia mengajukan gugatan pidana kendati belum ada putusan, sehingga putusan perdata pun harus menunggu keputusan sebelumnya keluar.

Majelis hakim juga menilai bahwa yang berperkara tidak lengkap, karena dalam tulisan Time disebutkan pihak lain selain penggugat, yaitu pihak anak-anak Soeharto yang tidak diikutsertakan dalam peradilan. Karena itu mereka menyimpulkan: “… maka dapat diartikan secara diam-diam mereka telah mengakui kebenaran berita majalah Time edisi Asia, 24 Mei 1999.”

Selanjutnya majelis hakim sempat menyebutkan kondisi objektif pers Indonesia, “… pada saat penggugat berkuasa selama hampir 32 tahun, kebebasan pers dan kebebasan menyatakan pendapat, mati diberangus.”

Selain itu unsur penghinaan seperti yang dituduhkan tidak terbukti. Majelis hakim bahkan membeberkan bandingan yang telah ditulis dan digambar dalam karikatur Time sebenarnya telah dilakukan sejumlah media massa lain di Indonesia—atau dapat dikatakan tidaklah baru—dan pihak penggugat tidak pernah keberatan dan tidak pernah mengajukan gugatan, antara lain pada tabloid Oposisi, tabloid Vokal, tabloid Detak, majalah Mingguan Prospektif, majalah Panji Masyarakat, harian Merdeka, koran Kompas, dan majalah Gatra.

Selain itu, masih ada sejumlah buku yang juga dianggap memiliki nada yang sama, yaitu yang pernah ditulis antara lain Indra Ismawan, Abdul Madjid, Diro Aritonang, hingga George Junus Aditjondro. Bahkan sejumlah koran luar negeri pun banyak menulis soal keburukan Soeharto, di antaranya Sydney Morning Herald, Far Eastern Economic Review, dan Asian Wall Street Journal. Logikanya, kalau Soeharto menggugat Time, haruslah terlebih dahulu menggugat semua tabloid, majalah, koran, dan buku yang menuliskan hal yang sama. Itu tidak dilakukan Soeharto dan pengacaranya.

Soeharto pun kalah dalam perkara melawan Time. Memang di luar dugaan banyak. Saat yang bersejarah pun tiba. Kebebasan pers mendapat meterai yang cukup di alam baru ini.

Seorang pengamat masalah hukum yang juga menulis dalam buku ini, Hamid Awaludin dari Universitas Hasanudin, memberikan kesaksian pada hari hakim Sitompul mengetuk palu. Setelah palu diketuk, hakim menoleh ke arah Juan Felix Tampubolon, pengacara Soeharto, sembari menggelengkan kepala. Hakim Sitompul seakan-akan berkata, “I am sorry. I cannot help you.”

Kalimat pendek ini bicara banyak hal. Kekuatan lama yang hendak menggapai kembali kekuasaan yang hilang, tetap berusaha mempengaruhi proses pengadilan. Namun, kini yang lebih menentukan adalah integritas para hakim yang tak lagi mau didikte kekuatan lama.

Lubis sendiri tak menduga bahwa putusan pengadilan menolak gugatan Soeharto secara keseluruhan. Time menang! Dia terkejut dan terharu. “I was speechless,” katanya. Hari itu, 6 Juni 2000, pers dan masyarakat harus merayakan kemenangan kebebasan pers. Pengadilan tidak semata memenangkan Time, melainkan memenangkan prinsip kebebasan pers! Kekuatan antikebebasan pers telah dikalahkan. Majelis hakim: Sihol Sitompul, Endang Soemarsih, dan Endang Sri Murwati telah membuat sejarah. Sumbangsihnya bagi perkembangan hukum pers di masa depan akan tetap dikenang.

TODUNG Mulya Lubis adalah seorang doktor ilmu hukum lulusan University of California Berkeley. Dia menulis disertasi In Search of Human Rights: Legal-Political Dillemmas of Indonesia’s New Order, 1966-1990. Dia selesaikan tesisnya saat Soeharto masih dalam puncak kekuasaan sekaligus memasuki seperempat abad masa kekuasaannya.

Dalam pengantar disertasinya dia menulis bahwa disertasinya ditulis sebagai refleksi dari kariernya selama 16 tahun berkecimpung dalam dunia pembelaan hukum di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Dia bernujum, bantuan hukum dapat memberikan jalan dan ruang keadilan bagi kaum miskin dan yang tak berdaya. Dia percaya, hukum dapat mengobati ketidakadilan dalam masyarakat dan dia pun percaya bahwa peradilan harus berfungsi sebagai rumah keadilan.

Kalimat-kalimat ini tentu sepadan dengan kutipan Lubis atas John Wycliffe di atas. Ada kepercayaan sungguh-sungguh bahwa hukum bisa membawa keadilan, dan dalam keadilan mereka yang miskin dan tak berdaya akan mendapatkan kebenaran, maka the truth will conquer.

Kalimat ini akan sangat lain nuansanya kalau yang mengucapkannya bukan seorang Todung Mulya Lubis. Dia bergelut setengah mati serta hampir dalam seluruh hidupnya mencoba meyakinkan bahwa hukum memang bisa diandalkan serta dia berjuang keras secara nyata bahwa hukum memang patut diperlakukan dengan suci. Dia menjadi aktor yang terlibat dalam penegakan hukum—terutama pers—justru dengan semangat kesucian hukum tersebut. Tapi dia juga memberikan catatan penting, hukum itu tidak netral. Hukum tidak pernah netral. Secara politis, hukum selalu menjadi produk dari pertarungan politik. Hukum bisa saja menjadi alat represi kekuasaan, atau alat legitimasi politik, juga sebagai alat penyebaran keadilan.

Kita tahu pilihan mana yang dijatuhkan Lubis dalam melihat hukum sebagai produk politik. Dalam kerangka inilah Lubis menjadi penting lantaran dia tidak semata-mata berceramah atau berkoar soal hukum yang berkeadilan, tapi dia pun aktif ikut “bermain” dalam arena pertarungan tanpa henti itu, terutama ketika kekuasaan otoriter masih berlangsung maupun di masa peralihan yang serba tak pasti juga dibayangi kembalinya kekuatan politik lama. Tak berlebihan rasanya kalau dikatakan Lubis adalah paduan antara seorang scholars, pengacara profesional, juga aktivis.

Disertasinya menunjukkan bagaimana dimensi hak-hak asasi manusia tergambarkan dalam dilema politik dan hukum di Indonesia. Dua cabang studi hak asasi manusia yang dibahas Lubis dalam tesisnya itu—hak untuk berorganisasi dan hak untuk menyampaikan pendapat—merupakan bagian penting dari kovenan utama Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hak Sipil dan Politik. Daniel S. Lev, guru besar hukum di University of Washington, menyebutkan disertasi Lubis sebagai bagian dari analisis ilmiah sekaligus semacam proposal untuk perbaikan hukum di Indonesdia (it is at once an analysis and a proposal of reform). Lubis membuka diri dengan perspektif global tentang hak-hak asasi manusia sebagai hal yang universal. Namun, dia tak terlena dengan gambaran global tersebut. Sebaliknya dia cepat membawanya dalam konteks Indonesia. Dan disertasinya dengan baik telah menunjukkan ketegangan antara “pencarian” dan “dilema,” sebagaimana tertulis dalam judul tesisnya, menunjukkan adanya kompleksitas masalah dalam mengerti perkembangan hukum di Indonesdia yang tak pernah bisa dilepaskan dari konteks politik yang menaunginya.

Menarik memang mencermat dua kasus hak asasi manusia yang dia tunjukkan dalam tesisnya yaitu hak untuk berorganisasi dan menyampaikan pendapat. Dalam hak untuk berorganisasi, Lubis menggunakan dua kasus, yaitu soal partai politik di Indonesia dan juga kelompok nongovernmental organization di Indonesia. Sedangkan dalam hak menyampaikan pendapat dia mengambil kasus pers di Indonesia.

DALAM pembahasannya tentang pers, Lubis menyoroti tiga dilema yang meliputi dunia pers, yakni definisi pers Pancasila, mekanisme perizinan dalam industri pers, dan dilema sensor dalam pers. Tak pernah ada rumusan jelas tentang pers Pancasila, yang sejak Orde Baru istilahnya dipasarkan. Yang bisa dikatakan tentang pers Pancasila, para pejabat hanya menyebut bahwa pers jenis ini bukan pers liberal, juga bukan pers komunis. Maksudnya, ini mengacu pada tipologi kuno yang dilansir Fred Siebert dan kawan-kawan dengan empat teori pers. Pers Pancasila lalu dibayangkan sebagai pers bertanggung jawab secara sosial. Padahal bangunan pengertian atas empat teori pers ini pun bias dengan hegemoni Amerika pasca Perang Dunia Kedua. Sebuah buku penting menjelaskan dengan gamblang bagaimana bias hegemoni Amerika itu muncul dalam khasanah teori-teori komunikasi modern. Buku itu berjudul Science of Coercion: Psycological Warfare and Mass Communication Research 1945-1960 ditulis Christopher Simpson (1994).

Dalam praktik yang dijalankan muncul semacam panduan: mana yang boleh dan tidak boleh ditulis. Masalah antarsuku, agama, ras, dan antargolongan tabu untuk ditulis. Masalah bisnis keluarga Soeharto, tak boleh ditulis. Masalah gunting pita di mana-mana, boleh ditulis. Pesawat militer jatuh, tak boleh ditulis pada keesokan hari. Harus menunggu rilis resmi dari pihak markas besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Peristiwa kerusuhan baru bisa ditulis setelah ada pengumuman resmi—berikut jumlah korban—dari pemerintah. Lain dari itu, tak boleh ditulis!

Soal perizinan dalam pers juga merupakan kesalahan berpikir yang juga mendasar. Namun ini bisa dipahami sebagai bagian dari usaha menundukkan pers di masa Orde Baru. Undang-Undang Pers pertama tahun 1966 jelas menyebutkan: untuk mendirikan suratkabar tak perlu surat izin terbit (SIT), tapi dalam klausul peralihan, hal surat izin dimungkinkan. Lalu dalam undang-undang yang sama disebutkan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor, tapi nyatanya sensor justru hadir sehari-hari.

Hukum pers tidak memberikan perlindungan yang meyakinkan bagi pers itu sendiri. Justru membelenggu lantaran ketidakpastiannya itu. Belum lagi ketika konsep surat izin terbit berubah menjadi surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP). Dikatakan dalam undang-undang berikutnya (nomor 21 tahun 1982), tak ada pencabutan SIT, namun nyatanya ada pers yang tak bisa terbit lagi. Dalihnya berganti: SIUPP-nya yang dicabut, bukan SIT-nya. Begitulah logika kelas nol besar yang coba diterapkan Orde Baru pada persnya. Sayangnya, sebagian besar orang pers percaya, atau paling tidak dipaksa percaya akan hal ini.

Bagi Todung Mulya Lubis seluruh kisah tentang pers itu membuat gundah hati dan mrngusik pikirannya. Mana mungkin pers yang diberi gelar the fourth estate diperlakukan bak anak ayam dalam kurungan? Pers menjadi kerdil akibat kekuasaan politik otoriter. Pers menjadi ciut dan tak berani memaparkan keadilan, apalagi keadilan untuk semua yang sering jadi idiom para pembela hak-hak asasi manusia.

Memang, dalam disertasinya Lubis tak menawarkan solusi. Dia hanya memaparkan dilema yang ada. Sebagaimana disebut Daniel S. Lev, dia menawarkan proposal perbaikan di masa mendatang. Dan Lubis tidak berjuang sendirian. Dia termasuk ada di barisan terdepan dalam membela pers. Ini dibuktikannya dengan mendampingi Tempo ketika menggugat ke peradilan tata usaha negara tahun 1994-1995. Juga saat mendampingi Time tahun 1999-2000. Di sinilah kiranya terletak penjelasan mengapa—buat saya— Todung Mulya Lubis membela Time sebagai bagian dari pencarian jawaban dari persoalan pribadi yang telah lama menggelisahkannya. Dia menunjukkan bahwa the truth will conquer. Dan sebaiknya janganlah dia sendiri yang mengatakan itu.*

by: