Vox Pers, Vox Partai

Evi Mariani

Mon, 2 July 2001

RESEP “anjing menggigit orang bukan berita, orang menggigit anjing baru berita” –yang diajarkan sekolah komunikasi dan dijadikan pedoman kerja jurnalisme– ternyata bukan rumus universal.

RESEP "anjing menggigit orang bukan berita, orang menggigit anjing baru berita" –yang diajarkan sekolah komunikasi dan dijadikan pedoman kerja jurnalisme– ternyata bukan rumus universal. Dalam sebuah pidato pendeknya, Njoto mengatakan resep itu merupakan konsep jurnalisme borjuis. Katanya, jurnalisme borjuis menganggap kesakitan orang yang digigit anjing bukanlah sesuatu yang disukai pembaca, namun orang yang menggigit anjing sebagai peristiwa aneh, sensasional, dan menghibur itulah yang harus ditulis karena layak dijual.

Njoto adalah salah satu orang penting di Partai Komunis Indonesi (PKI); karenanya dia adalah kaum kiri. Bagi kaum kiri, jurnalisme sejati merupakan perjuangan kelas proletar, kisah-kisah sedih rakyat yang tertindas, gempita kemenangan proletar melawan borjuasi, serta alat buruh dan tani untuk mencapai kesadaran kelas.

Mungkin Njoto sempat membaca buku Dari Mana Kita Mulai? karya Vladimir Ilyich Lenin, pemimpin revolusi Bolshevik Rusia. Di sana Lenin mengemukakan perjuangan proletar untuk sebuah revolusi antiborjuis dimulai dengan membangun organisasi revolusioner yang sanggup menyatukan seluruh kekuatan, dan mengarahkan pergerakan. Karenanya, untuk tujuan itu, diperlukan koran politik yang mampu menjangkau seluruh Rusia. Tanpa koran, sambungnya, organisasi tidak dapat menyampaikan agitasi dan propaganda secara sistematis.

Di Indonesia suratkabar Medan Prijaji pada awal abad 20 menggunakan konsep yang mirip, meski tidak persis. Sebagaimana ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam buku Sang Pemula, koran yang dikelola Tirto Adhi Soerjo ini merumuskan tugasnya antara lain sebagai “penyuluh keadilan, tempat orang tersia-sia mengadukan halnya, menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi atau mengorganisasi diri.” Takashi Shiraishi lewat buku Zaman Bergerak menyebut Tirto Adhi Soerjo sebagai orang bumiputra pertama yang menggerakkan bangsa melalui bahasanya lewat Medan Prijaji.

Model suratkabar milik organisasi inilah yang kemudian mengilhami beberapa penerbitan berikutnya: De Expres (Indische Partij), Sarotomo (Sarekat Islam Surakarta), dan Oetoesan Hindia (Sarekat Islam Surabaya). Rata-rata tulisan bersifat penentangan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Salah satu jurnalis pemberani adalah Mas Marco Kartodikromo, yang karena pemuatan artikel-artikelnya yang dianggap merugikan pemerintah kolonial dalam suratkabar Doenia Bergerak, membuatnya dibuang ke Boven Digul saat usia 23 tahun. Selain Kartodikromo, jurnalis seangkatan dengannya, antara lain Haji Misbach (Sarekat Islam Surakarta), Haji Oemar Said Tjokroaminoto, dan beberapa lainnya

Gaya jurnalisme macam inilah yang pada dekade 1950-an bermetamorfosa jadi koran-koran yang sedikit banyak merupakan koran propaganda partai, atau koran perjuangan politik partai. Hal ini bisa dilihat dari gambaran kuantitatif pasar suratkabar pada 1950-an: 22,22% dikuasai suratkabar independen, sisanya dibagi suratkabar partai yang berkecenderungan komunis (28,57%), sosialis (18,14%), Islam (11,56%), dan nasionalis (19,5%).

Daniel Dhakidae dalam disertasinya untuk Cornell University The State, The Rise of Capital and The Fall of Political Journalism, Political Economy of Indonesian News Indutries, mengutip wartawan pelopor M. Tabrani yang menyatakan bahwa jika pers nasional waktu itu netral, maka pers itu sama saja mengkhianati nasionalisme. Pergerakan dan pers merupakan dua kekuatan yang saling membutuhkan.

Masih menurut Dhakidae, gaya jurnalisme itu disebutnya sebagai gaya jurnalisme politik. Di Indonesia, jurnalisme politik tidak berhenti sampai masa kemerdekaan, namun terus berlanjut. Jurnalisme politik surut setelah mengalami dua pukulan, pertama saat Malapetaka 15 Januari 1974 dan kedua saat demonstrasi mahasiswa menentang Presiden Soeharto, tahun 1978.

DENGAN semangat jurnalisme yang sama, Njoto sebagai pemimpin Harian Rakjat merumuskan tugas jurnalis sebagai propagandis kolektif, agitator kolektif, dan organisator kolektif. Meski jurnalisme yang dikembangkan Harian Rakjat adalah jurnalime politik yang sama dengan suratkabar partai lain, namun tradisi komunisme itu memberi nuansa yang berbeda pada Harian Rakjat.

Awalnya, Harian Rakjat bukan koran partai. Harian ini bahkan dibangun bukan oleh anggota Partai Komunis Indonesia, melainkan oleh Siauw Giok Tjhan, seorang jurnalis senior pendiri majalah Sunday Courier. Pada Januari 1951, Siauw menerbitkan majalah mingguan Suara Rakjat. Meski dipimpin seorang peranakan, mingguan ini bukan ditujukan khusus untuk peranakan Tionghoa, melainkan untuk orang banyak. Setengah tahun kemudian, tepatnya bulan Juli, setelah dana penerbitan terkumpul, Siauw mengubah mingguan ini menjadi harian dan mengganti namanya menjadi Harian Rakjat.

Njoto adalah salah seorang staf redaksinya, selain Surjono, Supeno, Fransisca Fanggidaj, dan tokoh-tokoh Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Mereka adalah wartawan yang memang sudah bergabung dengan Siauw sejak di Sunday Courier. Saat itu, dalam jajaran PKI, Njoto terhitung pemimpin penting setelah tokoh teras D.N. Aidit dan Lukman. Karena peran Njoto pula, banyak berita tentang PKI dimuat di dalamnya, kendati kebijakan pemberitaan dan garis yang dianut Harian Rakjat sepenuhnya dikontrol Siauw.

Secara finansial, koran ini tidak memberi keuntungan, bahkan terkadang merugi. Meskipun distribusi cukup luas meliputi kota-kota besar di Jawa dan Sumatera, Siauw tetap menyandarkan dana operasional korannya dari sumbangan pedagang Tionghoa totok kenalan baiknya. Toh, langkah itu tak banyak menolong, sehingga Siauw menjual usaha penerbitannya itu kepada PKI yang memang sedang mempertimbangkan untuk memiliki media propaganda. Maka pada 31 Oktober 1953, Harian Rakjat resmi menjadi organ PKI. Siauw keluar dan Njoto menggantikannya sebagai pemimpin dan penanggungjawab. Di bagian redaksi tercatat tenaga tambahan Naibaho dan Supeno.

Dalam struktur kepengurusan partai, Harian Rakjat dikoordinasi di bawah departemen agitasi dan propaganda PKI. Sejalan dengan meningkatnya sirkulasi dan membesarnya organisasi, Harian Rakjat lantas merekrut staf dari luar partai, yakni para simpatisan PKI atau orang-orang kiri yang bersedia bekerja pada haluan partai.

Pada 1953-1961, Njoto merupakan orang utama di Harian Rakjat. Bersamaan dengan kerja rutinnya menulis berita utama, editorial, pojok, dan terkadang feature, Njoto juga sibuk sebagai anggota Central Comite PKI. Karenanya, jika Njoto ke luar kota, yang menggantikan menulis adalah Naibaho.

TAK banyak buku atau bacaan yang bercerita soal Njoto. Saya beruntung bertemu dengan Oei Hai Djun, bekas anggota parlemen untuk Fraksi Komunis, yang mengenal Njoto secara pribadi. Menurut Oei, Njoto adalah seorang jurnalis otodidak, kelahiran Jember, Jawa Timur, sekitar 1928. Belajar jurnalisme sejak muda dan banyak berguru pada Siauw Giok Tjhan, dalam pergerakan kemerdekaan tahun 1946, dia bergabung dengan Badan Panitia Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Sebagai seorang otodidak, dia termasuk seorang yang memiliki banyak keahlian, termasuk menguasai banyak bahasa: Prancis, Belanda, Rusia, Jerman, dan Inggris. Selebihnya dia juga penyair dan pemusik. Ketika menulis sajak, dia menggunakan nama samaran: Iramani.

Dalam kerjanya di Harian Rakjat, dia merupakan editor bahasa yang teliti dan tertib, mengikuti garis partai. Sikap anti-Belanda dia ekspresikan melalui penolakan menggunakan gaya bahasa Belanda, sehingga dipilih gaya bahasa Inggris. Karenanya, hampir setiap tulisan senantiasa diedit lebih dahulu olehnya.

Sebagai organ partai resmi, Harian Rakjat secara finansial tergantung pada PKI. Uang yang didapat dari pelanggan tidak cukup. Pasalnya, banyak pelanggan, bahkan agen, yang tidak menyetor uang hasil penjualan Harian Rakjat. Sedangkan penghasilan dari iklan juga tak bisa diandalkan, karena koran ini tidak memuat banyak iklan.

Ketika suratkabar lain di halaman keempat dipenuhi iklan, pada halaman yang sama di Harian Rakjat hanya terisi iklan separuh halaman. Ada dua kemungkinan yang melatarbelakanginya. Pertama karena Harian Rakjat menyeleksi iklan secara ketat. Kedua pemasangan iklan di harian komunis bukan merupakan keputusan yang menguntungkan. Meskipun subsidi partai untuk korannya dirasa berat, toh PKI tetap berusaha mempertahankannya. Alasannya, Harian Rakjat merupakan tiang utama kegiatan propaganda. Salah satunya, pada Oktober 1959, ketua PKI Aidit mencanangkan gerakan “Bantuan Dana Harian Rakjat” untuk menampung sumbangan anggota partai.

Identitas pembaca Harian Rakjat bisa diketahui melalui jalur distribusi yang dimilikinya. Pertama, distribusi melalui agen komersial, yang mencakup daerah perkotaan. Kedua, jalur partai, melalui komite desa, atau organ partai, seperti Gerakan Wanita Sedar (kemudian jadi Gerakan Wanita Indonesia pada 1954), Barisan Tani Indonesia, dan lain-lain. Sebagaimana dicatat Robert Henry Crawford dalam disertasinya untuk Syracuse University, pada awal 1950-an, oplah Harian Rakjat mencapai 23 ribu eksemplar, urutan ketiga setelah Keng Po (39 ribu eksemplar) dan Pedoman (30 ribu eksemplar).

Sebagaimana ditulis Tribuana Said dalam buku Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila, data tiras Harian Rakjat saat setahun sebelum pemilihan umum 1955, menunjukkan grafik menaik: 55 ribu eksemplar, menyusul Pedoman yang bertiras 48 ribu eksemplar.

Masa itu, masih banyak rakyat yang belum bisa membaca. PKI mengantisipasinya dengan membentuk kelompok-kelompok pembaca yang kegiatannya membaca terbitan PKI, termasuk Harian Rakjat. Kelompok ini bukan saja diajari membaca aksara a-b-c dalam arti belajar membaca atau agar tak buta aksara, melainkan juga tak buta politik. Usaha pemberantasan buta huruf ini di antaranya dilakukan Gerakan Wanita Indonesia.

Selama era demokrasi parlementer (1955-1959) sekali pun tidak pernah dibredel, Harian Rakjat sempat dilarang beredar di Sumatera ketika para perwira dari Tentara Teritorium I di Sumatera bagian Utara memberontak dan melawan pemerintahan Jakarta. Para tentara itu melarang beberapa suratkabar yang dianggap tidak mendukung gerakan mereka, di antaranya Suluh Indonesia milik Partai Nasionalis Indonesia dan Harian Rakjat.

SAMBIL berusaha menanggalkan berbagai perspektif jurnalisme yang selama ini saya kenal, selama beberapa bulan pada 1999-2000, saya membuka-buka lembaran-lembaran yang kian menguning Harian Rakjat dari 1954 sampai 1957. Menariknya, penulis editorial Harian Rakjat tampaknya tidak pernah mendengar kata “objektif.” Modal asing disebut sebagai “gerakan djahat,” lalu Daud Beureuh dijuluki “pemberontak jang bengis.” Sementara lawan politik dan ideologi disebut sebagai “kaum reaksioner.” Sementara Soviet dan Cina dipuji-puji sebagai negara besar, kuat, baik, maju, seolah negara tanpa masalah.

Dibandingkan dengan tiga suratkabar semasa (1954-1957) yakni Abadi (Masjumi), Duta Masjarakat (Nahdlatul Ulama), dan Suluh Indonesia (Partai Nasionalis Indonesia), saya tidak menemukan gaya bahasa yang selugas dan seemosional Harian Rakjat. Penuh sindiran terhadap lawan, sekaligus penuh optimisme dan pujian terhadap kawan. Membaca rubrik-rubriknya, saya mendapat kesan bahwa Harian Rakjat merupakan suratkabar yang memiliki perhatian luas, mulai dari persoalan ilmu pengetahuan, seni dan budaya dalam negeri maupun luar negeri, persoalan perempuan, juga solidaritas internasionalnya, dengan selalu memperingati Hari Wanita Sedunia, Hari Anak Sedunia, Hari Buruh Sedunia, Hari Ibu Sedunia, juga meliput kongres-kongres internasional, seperti Kongres Wanita Internasional.

Biasanya setiap hari kecuali Minggu, Harian Rakjat terbit sebanyak empat halaman. Namun untuk beberapa peristiwa-peristiwa tertentu harian ini terbit delapan halaman, misalnya saat Idul Fitri, Hari Buruh Internasional (1 Mei), dan hari raya lainnya.

Pada halaman pertama, Harian Rakjat biasanya memuat berita langsung (straight-news) mengenai kejadian nasional, meliputi berita politik nasional maupun daerah yang berskala nasional. Selain itu Editorial dan rubrik Bisikan (semacam rubrik pojok) juga ditempatkan di halaman muka. Setiap Sabtu, redaksi selalu memuat comic strip mengenai kejadian-kejadian selama seminggu yang oleh redaksi dianggap penting atau menarik untuk disindir. Comic strip ini terdiri enam kotak, dari Senin sampai Sabtu. Khusus untuk Sabtu, biasanya mengenai judul film yang sedang diputar minggu itu di gedung Capitol atau Rivoli, semuanya di Jakarta, lalu dikait-kaitkan dengan peristiwa politik aktual.

Pada halaman berikutnya, terdapat rubrik Berita Daerah, Kata Mereka dan Kata Kita. Rubrik Kata Mereka dan Kata Kita merupakan counter terhadap opini partai lain atau suratkabar lain, kebanyakan suratkabar yang menjadi lawan ideologi – seperti Indonesia Raja, Keng Po, Pedoman, dan Abadi. Ada juga rubrik Beginilah Di Djakarta, berupa berita pendek seputar Jakarta. Pada halaman yang sama terdapat surat pembaca, yaitu rubrik Kita Dengar.

Halaman ketiga isinya berganti-ganti setiap hari. Setiap Senin dimuat Tindjauan Luar Negeri dan Olah Raga; Selasa rubrik Dari Dunia Baru. Dunia baru yang dimaksud adalah negara-negara komunis atau sosialis, seperti Soviet, Republik Rakyat Cina, Polandia, Cekoslovakia, atau Hungaria. Dari Dunia Baru berisi kisah-kisah optimistik mengenai negara-negara yang disebutkan tadi; bagaimana buruh di sana diperlakukan secara adil, petani sejahtera, dan kaum perempuan yang berbahagia karena anak-anaknya tumbuh baik.

Setiap Rabu, disediakan Ruangan Wanita yang biasanya dimuat tulisan tentang gerakan perempuan yang ditulis anggota Gerakan Wanita Indonesia atau Gerakan Wanita Sedar. Terkadang ada juga resep makanan atau tips kerajinan tangan. Pada hari yang sama terdapat Tindjauan Ekonomi. Hari berikutnya, Kamis, dimuat artikel ilmu pengetahuan alam Ilmu dan Kehidupan. Ada juga ruang khusus untuk “generasi muda revolusioner” yang mengirimkan sajak dan cerita pendek, yaitu HR Muda. Rubrik ini diasuh Ibu Satudjuni. Lalu, pada Sabtu dimuat rubrik Kebudajaan yang terdiri dari sajak, cerita pendek, atau kajian karya seni –seperti lukisan, karya-karya sastra, baik dalam maupun luar negeri.

Pada halaman terakhir sebagian terisi iklan, agenda kegiatan partai atau kegiatan organisasi onderbouw seperti Barisan Tani Indonesia, Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia, Lembaga Kebudayaan Rakyat, dan lain-lain. Juga terdapat berita keluarga, sajak pendek, sambungan berita dari halaman lain, dan serial comic strip mengenai tokoh-tokoh seperti Karl Marx atau Emile Zola.

Terutama pada halaman ketiga, tampak bagaimana Harian Rakjat berusaha menarik pembaca dari segala usia dan segala kalangan. Harian Rakjat juga berusaha mengakomodasi tulisan perempuan, petani, buruh, dan anak muda, bahkan anak-anak.

PADA masa demokrasi parlementer, posisi PKI belum sekuat pada masa demokrasi terpimpin (1959-1965). Pemberontakan Muso di Madiun pada 1948, yang berhasil dipadamkan pemerintahan Mohammad Hatta, telah menghancurkan organisasi dan massa PKI. Tahun-tahun berikutnya, sedikit demi sedikit, PKI membangun lagi organisasi dan menarik massanya kembali. Namun sejak awal Demokrasi Parlementer pada 1950 sampai runtuhnya tahun 1957, wakil PKI tidak pernah duduk di kabinet. Hasil pemilihan umum 1955 yang mendudukkan PKI di peringkat keempat sempat mengejutkan banyak pihak, namun PKI tetap tidak mendapat tempat di kabinet.

Posisi tawar PKI yang lemah di awal pembentukan republik menyebabkan partai ini menerima pemerintahan demokratik tanpa perlawanan, bahkan dalam beberapa tulisan di Harian Rakjat partai ini mendukung demokrasi. Paling tidak, dengan rezim demokratik, pemerintah tidak menghancurkan partai dan memberi keleluasaan pada PKI untuk kembali membangun organisasi.

Situasi inilah yang mempengaruhi intensitas agitasi dan propaganda Harian Rakjat. Pada masa paling demokratis ini, PKI belum memonopoli jargon-jargon seperti yang dilancarkan pada masa Demokrasi Terpimpin. Bisa dibilang pada periode ini Harian Rakjat memilih untuk lebih low profile. Meski demikian, dalam menulis tajuk, Harian Rakjat tetap tanpa ragu menunjukkan sikap partisannya. Misalnya dalam menanggapi masalah modal asing di Indonesia, Harian Rakjat menjuluki “kaum modal besar asing” sebagai “jahat, penjahat, tidak berhati baik, berhati jahat”. Tuduhan ini didasarkan pada fakta yang ditemukan Harian Rakjat bahwa pemberontakan di Jawa Barat mendapat bantuan logistik yang dikirim dengan pesawat terbang milik kedutaan Inggris dan Amerika, dari maskapai minyak mereka BPM dan Stanvac.

Selain itu, dibandingkan dengan suratkabar lain yang saya baca, tajuk-tajuk Harian Rakjat lebih ekspresif, menggunakan lebih banyak tanda seru dan penekanan –dengan cara merenggangkan jarak antarhuruf untuk sebuah kata, seperti pada tajuk A La Amerika pada 7 Februari 1957:

Lihatlah! Koran kanan ini t e r a n g 2 a n dan s e n g a d j a mau meneruskan s a b o t a s e, dengan memakai berhentinja Hatta (jang berhenti sendiri itu) sebagai “alasan”.

Dengan membaca tajuknya, dengan segera bisa diketahui siapa dan hal apa saja yang tidak disukai Harian Rakjat. Lebih jauh, tidak sekadar tahu, pembaca yang mendukung PKI bisa terpengaruh. Sementara pembaca yang tidak mendukung sangat mungkin menjadi marah. Misalnya, pada 1954, John Foster Dulles, menteri luar negeri Amerika Serikat, mengajak negara-negara Asia Tenggara bergabung dalam Southeast Asia Treaty Organization, organisasi yang dibentuk untuk membendung pengaruh komunisme di Asia Tenggara. PKI yang menjalin persahabatan dengan Beijing, yang komunis, jelas tak menyukai organisasi ini. Maka dalam tajuk Kami Bersedia Menerima Tamu Siapapun, Tuan Dulles, Tetapi… pada 12 Maret 1956, Harian Rakjat menumpahkan kekesalannya pada Dulles:

Ataukah tuan kira Rakjat Indonesia tidak tahu bahwa tuan mempunjai andil lebih dari 50% dalam tambang2 minjak di Irian Barat? Dan masihkah tuan mau menjatakan simpati kepada kami sambil disamping itu bersekongkol dengan Belanda dan Australia untuk mendjadjah Irian Barat? Alangkah baiknja kalau tuan renungkan pertanjaan2 ini….

Dalam menanggapi desakan daerah, Harian Rakjat menunjukkan sikap antipati yang tegas. Sikap yang berbeda ditunjukkan oleh Majelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi) dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang lebih bersimpati. Kaum nasionalis tidak menyukai sentimen daerah ini, namun sikapnya tidak selugas Harian Rakjat.

Sikap antipati PKI disebabkan anggapan bahwa rasa kedaerahan semata-mata merupakan usaha kaum kolonialis dan imperialis untuk memecahbelah Indonesia. Partai ini tampaknya tidak menanggapi penyebab keresahan di daerah dengan serius. Dalam tajuk tertanggal 6 Maret 1956 mengenai persoalan daerah, Harian Rakjat memasang judul provokatif: Ratjun Daerahisme. Isinya? “Bukan baru sekali-dua kita mentjanangkan, bagaimana Masjumi-PSI setjara sistematis –meskipun sistematik jang bodoh!– me-ngobar2kan daerahisme. Tjukup djika kita membuka2 risalah DPRS, dan membatja kembali pidato2 Djuir Muhammad (PSI) atau El Ibrahimy (Masjumi, menantu Daud Beureuh). Se-gala2, ja, segala jang kurang beres, itu kesalahan “pusat”, kesalahan “Djawa”. Sukarkah bagi kita untuk mengetahui bahwa djalan pikiran ini djalan pikiran gubernur2 djendral Belanda jang kerdjanja memetjah belah bangsa kita?”

Pada akhir tajuknya, Harian Rakjat “mengharap kewaspadaan seluruh rakjat terhadap ratjun daerahisme jang berbahaja ini”. Lalu ditutup dengan kalimat: “Sukubangsa2 diseluruh Indonesia, dari Sabang sampai ke Merauke, pertahankan dan perkokoh persatuan dibawah Merah Putih!”

PADA edisi 22 Desember 1954 ada sebuah tulisan yang diberi ilustrasi seorang ibu berkebaya dan bersanggul, memeluk dua orang anak kecil. Mata ketiga sosok tersebut menatap tiga ekor burung merpati yang sedang terbang. Saya ingat burung merpati, lambang perdamaian. Judul tulisan itu Seruan wanita Indonesia:utk HARI IBU, utk persiapan KONGRES IBU SEDUNIA. Tata bahasanya buruk.

Tulisan tersebut rupanya seruan Dewan Pemimpin Gerakan Wanita Indonesia menyambut Hari Ibu 22 Desember 1954 sekaligus dalam rangka persiapan Kongres Ibu Sedunia yang akan diadakan Gerakan Wanita Demokrat Sedunia, sebuah organisasi perempuan internasional yang dikenal berhaluan kiri. Ada delapan tuntutan yang diajukan Gerakan Wanita Indonesia, meliputi undang-undang perkawinan yang demokratis, cuti hamil dengan upah penuh, memperbanyak jumlah bidan di desa, mendukung ibu bekerja dengan memperbanyak taman kanak-kanak dan tempat penitipan anak, serta pemberantasan buta huruf dalam rangka persiapan pemilihan umum.

Setelah membaca tulisan itu saya bersemangat mencari tajuk Harian Rakjat yang membahas persoalan perempuan. Saya menemukan lima buah tajuk, tiga di antaranya memperingati Hari Kartini tiap 21 April, masing-masing tahun 1954, 1955, dan 1956, satu tajuk memperingati Hari Wanita Sedunia, dan terakhir tajuk yang menyambut Kongres Wanita tahun 1955. Harian Rakjat melihat bahwa hampir semua perempuan di dunia tertindas. Menurut Harian Rakjat, perempuan di negara kapitalis tertindas karena “persamaan hak bagi kaum wanita ada dalam undang2, tetapi tidak ada dalam kenjataan”. Sementara di negara belum merdeka, kaum pria tertindas, terlebih lagi perempuan. Namun di negara sosialis, perempuan tidak tertindas karena “persamaan hak itu ada dalam undang2 dan ada dalam kenjataan”.

Optimisme yang naif atau strategi propaganda itu kerap saya tangkap dalam tulisan Harian Rakjat terutama jika menyangkut kisah negara-negara sosialis dan komunis. Selain optimisme, Harian Rakjat menyukai hiperbola dan kata-kata sinis, seperti bengis, reaksioner, atau “berkoar-koar,” dan gerombolan. Gaya optimistik, hiperbolik, dan sinis ini sepertinya menjadi ciri khas Harian Rakjat, dan mungkin ciri khas umumnya media kiri dan komunis.

Saya menutup lembaran terakhir dan membersihkan serpihan kertas lapuk dari badan saya. Membaca Harian Rakjat, sesaat membuat saya menjadi ikut bersemangat dan terbakar. Demikian juga ketika mendengar Oei Hai Djun bercerita mengenai partai, Njoto, dan tahun-tahun ketika PKI masih ada. Namun semua itu tidak membuat saya serta merta menjadi seorang kiri atau bahkan komunis. Semua itu hanya membuat saya melihat sejarah dengan lebih jernih, bahwa PKI, Harian Rakjat, dan semua yang terkait tidak seburuk sebagaimana yang digambarkan orang-orang.

Semua ini membuat saya berangan-angan untuk menulis sejarah yang adil untuk orang-orang macam Oom Oei, yang pada usia senja masih tajam tatapnya, masih bersemangat, masih cerdas, dan saya bisa merasakan integritasnya. Atau menulis sejarah yang adil untuk Harian Rakjat dan PKI yang pernah mengisi lembaran kisah dengan perjuangan membela rakyat tertindas, dan tentu saja untuk Njoto. Njoto yang kurus dan berkacamata, Njoto yang serius dan menguasai lima bahasa, yang kadang-kadang main bola sodok dan bermain biola. Njoto yang menulis syair dengan nama samaran (namun tak lagi samar): Iramani.*

kembali keatas

by:Evi Mariani