RADIO adalah media yang tidak akan pernah mati. Itu kata Freddie Mercury, vokalis kelompok Queen, dalam syair Radio Ga Ga. Tidak heran jika orang berani mendirikan dan mengelola radio sebagai sumber penghasilan. Bahkan membuat jaringan stasiun radio.

Di Jawa Tengah, limapuluh radio bergabung dalam satu jaringan radio. Itu hasil pekerjaan Rusmin Kusen, seorang lelaki kelahiran kota kecil Magelang, pada 28 Juli 1949.

Latar keluarganya pedagang Cina. Orang tuanya menjalankan usaha sebuah toko kelontong. Sejak kecil Kusen jadi pegawai toko. Selain itu, dia bekerja jadi loper koran dan kernet angkutan kota. Meski dari keluarga pedagang, Kusen dan saudara-saudaranya sangat gemar membaca buku. "Waktu itu jatah lampu hanya sampai jam tertentu, dan kami membaca sampai benar-benar gelap," kenang Kusen.

Dia adalah anak kedua dari enam bersaudara. Salah seorang adiknya, Leonardi Kusen, sekarang dikenal sebagai direktur utama PT Tempo Inti Media Tbk, perusahaan penerbit majalah Tempo, yang sekaligus menjadi komisaris utama PT Jawa Pos, perusahaan induk Jawa Pos News Network.

Sejak remaja, Rusmin Kusen menggemari radio. Baginya, tiada hari tanpa siaran BBC, Radio Hilversum, dan lainnya. Pada 1969 setelah lulus sekolah menengah, remaja Kusen melanjutkan kuliah di fakultas elektro, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Dua tahun berjalan, orang tuanya tak sanggup membiayai kuliahnya sehingga Kusen pulang ke Magelang.

Dia ingin bisnis radio. Bersama beberapa kawan dekat, Kusen mengumpulkan modal seharga satu kilogram emas. Dengan semangat kongsi, semacam semangat pertemanan plus kekeluargaan, Kusen muda merintis cikal bakal radio Polaris AM 1584 KHz pada 1972.

Kusen sulit mencari rumah kontrakan buat radionya. Radio dianggap orang sebagai tempat mangkal anak muda untuk hura-hura, rambut gondrong, pacaran, dan bikin ramai. Untung seorang temannya bersedia menyediakan tanah kosong di Jalan Jambon untuk dibangun studio di atasnya.

Kusen dari awal langsung memulai pencitraan radio sebagai bisnis yang serius. Orang yang bekerja di Polaris dimintanya tak berambut gondrong, tak bersandal jepit, dan tak berkaos oblong.

Namun hanya ada 10 iklan yang masuk. Itu artinya hanya cukup untuk menjalankan roda siaran. Polaris hidup dari pasar Kebonpolo, Magelang, tempat Kusen keluar masuk kios menawarkan pemasangan iklan pada pedagang pasar tersebut. Pada 1973 Polaris bangkrut, karena Kusen kurang pengalaman mengelola radio, salah membeli alat, sementara kontrakan habis, dan modal sudah tidak punya.

Tapi di kalangan pedagang Cina ada kebiasaan mengadakan arisan untuk mengumpulkan modal. Bersama kurang lebih 20 kawannya, Kusen memakai cara tersebut. Kusen bangun lagi. Dalam dua tahun, utang arisan dilunasi. Pada 1973 stasiun radio Polaris pindah ke Karang Kebon, seluas 20 meter persegi, dan berkembang di ruangan bekas gudang itu.

Delapan tahun sesudahnya, studio Polaris dipindahkan ke Jalan Ahmad Yani dengan luas 300 meter persegi. Hingga kini Kusen masih berkantor di lokasi ini yang berada di jalan utama Magelang-Semarang.

Kebangkitan Polaris bersamaan waktunya dengan meningkatnya belanja iklan di Indonesia. Pada waktu yang sama terjadi boom minyak, yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Konsumsi masyarakat pun meningkat. Radio efektif sebagai sarana beriklan karena lebih murah ketimbang televisi dan suratkabar.

Pendengar Polaris sangat banyak. Waktu itu di Magelang hanya ada RRI, radio Widya Bhakti, dan Polaris. Pendengarnya tidak tersegmentasi, semua umur dituju. Slogannya waktu itu, “Polaris adalah untuk semua usia.” Cerita anak, tips memasak, perawatan kecantikan remaja, kesehatan untuk orang lanjut usia, semuanya disiarkan supaya Polaris bisa didengar semua umur.

Penggunaan manajemen modern dimulai sejak Kusen merasakan pahitnya kebangkrutan. Kusen memisahkan tugas administrasi, dengan personalia, dan yang lainnya. Meski demikian, pekerjaan merangkap-rangkap. Ada yang mengurus stasiun, tapi juga menjadi salesman.

Untungnya, menjadi penyiar belum dianggap sebagai pekerjaan profesional. Penyiar radio biasanya menerima gaji seharga beberapa mangkok bakso. Itu bisa dimaklumi. Para penyiar yang hampir seluruhnya anak muda sudah cukup bangga bisa jadi penyiar dan dikenal banyak orang. Lantaran masih muda pula, seringkali mereka harus ke luar kota melanjutkan studi. Penyiar datang dan pergi.

Pada 1981 Polaris sudah berkembang. Kusen mulai bosan. Dia merasa punya energi yang besar untuk mengelola radio lebih dari satu. Dia mulai menjajaki kerjasama dengan radio lain. Radio Widya Bhakti AM 936 KHz di Magelang pun dikelola Kusen dan kawan-kawan.

Mereka juga mengelola radio Zenith AM 702 KHz di Salatiga pada 1982. Dalam setahun Zenith sudah memimpin dibandingkan saingannya, radio Leonard AM 774 KHz, yang umurnya sudah 10 tahun. Zenith menang, menang merebut pendengar dan iklan, Leonard akhirnya jatuh ketangan Kusen juga.

PADA 1985, Kusen dan kawan-kawan mencoba ekspansi ke Semarang, setelah dianggap kalangan radio sebagai jago kandang, yang hanya berani mengelola radio yang jaraknya hanya satu jam perjalanan.

Kusen pun bergerak dengan bendera radio RCT FM 100,9 MHz. Sejak saat itu pula bisnis ini berkembang dari Semarang ke Pekalongan, Purwokerto, Cilacap, Kedu Selatan, Yogyakarta, Solo, dan seterusnya.

Untuk memudahkan koordinasi, jaringan radio ini memakai nama Citra Pariwara Prima (CPP) pada 1990. Saat ini CPP mengelola 50 radio di Jawa Tengah plus tiga yang lain: Jakarta PAS FM 106.85 MHz, Depok RIA FM 87.95 MHz, dan Surabaya PAS FM 105,8 MHz.

“CPP sebagai jaringan, mengelola radio secara keseluruhan, dari sumber daya manusia, program, pemasaran, manajemen,”ujar general manager CPP Rusmin Kusen.

Kini Kusen dibantu dua manajer wilayah. RCT FM Semarang, Yasika FM 104,40 MHz Yogyakarta, SAS FM 103,35 MHz Solo, dan Polaris FM 105,45 MHz Magelang dimasukkan dalam satu wilayah di bawah pimpinan Gerry Mursito Adi. Keempat stasiun radio tersebut berada di kota-kota yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonominya relatif sama. Bisa dikatakan di kota-kota ini pula wajah CPP paling terlihat eksistensinya.

Wilayah lain dipegang Bob Teguh untuk radio-radio di pantai utara Pulau Jawa. Rencananya CPP akan memiliki delapan wilayah.

UNTUK stasiun radio yang kepemilikannya atas nama orang lain, ada beberapa alasan yang mengapa para pemiliknya mau bergabung dalam CPP. Pertama, karena sang pemilik sudah tidak mau mengelola radio. Ketimbang mati lebih baik pengelolaannya diserahkan kepada CPP. Kedua, keadaaan radio tersebut tidak mengalami kemajuan, tapi sangat mungkin untuk terus mundur. Tidak gampang mengurus radio. Radio dilihat sebagai perusahaan kecil yang pendapatannya tidak besar, namun persoalan di dalamnya tidak kecil. Jadi, CPP bertanggungjawab atas hidup mati radio yang masuk jaringannya.

Koordinasi dalam jaringan CPP dilakukan melalui telepon, kunjungan ke stasiun-stasiun radio, atau rapat yang diadakan di Magelang. Rapat reguler satu bulan sekali digunakan untuk perencanaan dan evaluasi. Rapat reguler mingguan untuk memperoleh laporan kerja mingguan.

Rusmin Kusen menerapkan teori marketing modern ala Hermawan Kertajaya dari Mark Plus. “Dan sukses,” menurut Kusen, “di mana intinya antara pemilik, pendengar, dan pemasang iklan, serta karyawan tercipta suasana happy, win-win, semua terpuaskan.”

CPP melakukan riset untuk mengetahui kebutuhan dan keinginan dari target pendengarnya. Riset mengawali semua aktifitas perencanaan program. Aktifitas itu biasanya dilakukan direktur program, tim kreatif, dan bagian manajemen. Setelah itu, proses kreatif akan menerjemahkannya dalam program artikel, news, musical, dan magazines. Proses selanjutnya adalah menuangkannya dalam tiga jenis acara; musical, talk, dan game.

Riset sebagai data memang suatu keharusan, namun seringkali intuisi juga berperan dalam melahirkan acara-acara yang baru dan diterima hangat pendengar. Misalnya, sandiwara radio berbahasa Jawa berjudul Trinil yang menjadi pelopor sandiwara radio di Indonesia pada tahun 1980-an. Idenya muncul dari televisi Hongkong yang setiap hari menayangkan opera sabun.

Radio bisnis PAS FM menjadi radio pertama dalam jaringan CPP yang siaran minim musik, hanya berisi berita dan info bisnis. Ide-ide segar muncul setelah menggali beberapa acara radio yang bagus dari radio luar negeri. “Sampai hari ini kita mau mencoba bikin lagi. Acara-acara pendek yang populer dengan sebutan inter show. Misalnya kilas balik selama tiga menit lagu-lagu yang ngetrend hari itu sepuluh tahun yang lalu. Terus puncak-puncak dunia, bertutur tentang prestasi dunia. Misalnya saja temuan ilmuwan,” papar Kusen, berbinar.

Ninik Liestyati, sebagai orang yang menangani program dan pendidikan untuk CPP, mengatakan bahwa sumber daya manusia menjadi hambatan paling besar dalam kinerja jaringan ini. Perguruan tinggi Indonesia tidak menyediakan manusia yang mumpuni untuk masalah radio. Hal tersebut bisa dilihat dari jurusan ilmu komunikasi yang dibuka di perguruan tinggi, yang tidak memberi pengetahuan dan praktek yang memadai untuk mengenal dunia radio.

CPP memilih meningkatkan kualitas karyawannya secara internal. Bila ada pelatihan tentang pemasaran, maka bagian pemasaran CPP akan dikirim atas biaya sendiri. Jika kebetulan ide pelatihan datang dari CPP, biasanya diadakan in house training.

Pada Maret 2001, misalnya, CPP bekerja sama dengan biro iklan Ammirati Puris Lintas mengadakan pelatihan membuat iklan-iklan sendiri yang kreatif. Bagi penyiar, metode yang digunakan adalah learning by doing. Setiap penyiar baru akan didampingi seniornya, yang akan membimbing mereka menulis sesuai gaya radio masing-masing. Pendengar bisa mengenali CPP dengan salam “dung” atau “jus.” Mereka dibiasakan memakai positioning statement semacam “your favourite station” atau dengan awalan “radionya Depok” untuk RIA FM atau “radionya wong Magelang” untuk RWB AM.

Mencari karyawan yang berkualitas sudah dimulai sejak perekrutan awal. Memang paling bagus kalau calon karyawan sarjana, setidaknya mereka memiliki waktu banyak untuk membaca dan memiliki wawasan yang luas. Meski demikian, calon karyawan bisa saja hanya lulusan sekolah menengah. Kusen punya semacam kuesioner yang menjadi patokannya selama belasan tahun ini. Faktor usia bukan yang utama. “Kalau isian itu nilainya mepet biasanya aku udah nggak mau terima,” jelas Kusen.

Jumlah penyiar tiap stasiun, antara tujuh sampai delapan orang. Untuk penyiar remaja, turn over-nya lumayan tinggi. Bagi yang pindah ke kota yang memiliki radio dalam jaringan CPP, penyiar bisa ditampung untuk tetap siaran. “Jadi itu salah satu yang positif bagi teman-teman yang bekerja di radio yang masuk jaringan CPP,” kata Kusen.

Gerry Mursito Adi mengatakan semua karyawan CPP bisa terhubung pada para pengambil keputusan. “Ini yang membuat setiap persoalan bisa mengalir sampai ke atas. Tapi kalau di tengah ada layer-nya, info kita akan terputus di tengah,” katanya.

Tapi manajemen ini tak sepenuhnya menyenangkan semua pihak. Menurut Ignatius Bayu Dirgantara, mantan anggota tim kreatif naskah sandiwara radio CPP, honor tulisan sering tidak keluar tepat waktu. Satu saat, ketika dia mau menikah di Sumatera, di tempat asal calon istrinya, dia ternyata tidak bisa mengambil honor.

Dirgantara adalah model kebanyakan karyawan CPP. Dia memulai karirnya ketika masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Honor pertama yang diterimanya pada 1980 sebesar Rp 2.500 per seri dan terakhir naik jadi Rp 7.500 di radio RCT Semarang pada 1992.

Dirgantara mengatakan tak ada mekanisme terbuka antara komunitas karyawan dengan manajemen CPP. Komunitas karyawan hampir tidak pernah mendiskusikan permasalahan kerja yang mereka hadapi. “Semua maju sendiri-sendiri,” tutur Dirgantara.

Hanya sekali karyawan bersuara. Mereka berdemonstrasi menuntut hari libur. Ini terjadi pada 1996. Anak-anak muda sering mempertanyakan sikap manajemen. Tapi, mereka memilih keluar bila tak puas. Mereka merasa kesempatan bekerja di tempat lain masih terbuka. Sementara itu generasi yang lebih tua cenderung berkompromi. Mencari pekerjaan lain lebih sulit bagi mereka dan akhirnya, memilih bertahan.

PENDAPATAN CPP terutama berasal dari iklan. Sayang Kusen maupun Ninik menolak menyebutkan angkanya. Tapi angka ini bisa diperkirakan. Berdasarkan hasil survei AC Nielsen, belanja iklan untuk radio pada 2001 adalah 3,1 persen. Angka ini jauh lebih kecil dibanding televisi (60,8 persen), suratkabar harian (26,8 persen), media luar ruang (4,5 persen), dan majalah (3,8 persen). Sementara menurut survei Perhimpunan Perusahaan Periklanan Indonesia, tahun ini belanja iklan naik sampai 30 persen menjadi Rp 9,1 triliun. Berarti Rp 282,1 miliar adalah jumlah yang diterima sekitar 700 radio di seluruh Indonesia. Jadi kalau CPP punya 53 radio, bisa diperkirakan berapa yang didapatnya.

Namun angka itu terbilang kecil untuk bisnis iklan Indonesia. “Agensi yang tidak paham betul radio kemungkinan menjadi agak malas, karena uangnya kecil, sehingga lebih senang menangani televisi,” kata Kusen.

Bagaimana cara mengatasi agensi yang kurang paham radio? “Nah, saya pendekatannya dengan agensi, kalau ada klien, tolong aku dikenalin. Nanti aku yang presentasi sama kliennya,” papar Kusen. “Konsepnya, kita ini teman kalau sama agensi, bukan musuh,” kata Kusen.

Setelah mengetahui efektifitas radio, iklan bisa dipasang lewat agensi atau langsung dari produser. Ini dibenarkan Seruni Andres dari Matari Advertising, “CPP memang sangat akomodatif, mereka bahkan mau bertemu bertiga dengan klien.” CPP juga menyediakan penyiar di daerahnya untuk ikut dalam pembuatan iklan.

Jeanny Hardhono, direktur kreatif Ammirati Puris Lintas Indonesia, seperti dalam kolom majalah Cakram, mengakui kelebihan radio sebagai alat komunikasi. Radio menyapa sasaran dengan lebih akrab, mengangkat ciri kedaerahan secara kental. Newsy, pesan-pesan “gres,” dan topikal bisa disampaikan secara lebih cepat dan murah. Menurut Hardhono, menciptakan iklan radio itu murah dan mudah, eksekusi iklannya tidak neko-neko, tetap bisa menggigit. Lebih penting lagi, biaya produksi dan tayangnya murah.

Harga terendah spot iklan untuk radio daerah kurang lebih Rp 8.000. Satu spot iklan biasanya 30 detik. Maka, untuk jaringan CPP, radio akan memutar iklan sebanyak 345 sampai 432 kali setiap harinya. Artinya, pendapatan dari iklan satu bulannya Rp 82,8 juta sampai Rp 103,68 juta tiap radio.

Iklan memang penting untuk kelangsungan hidup sebuah radio, tetapi jangan sampai mengganggu kenikmatan mendengarkan radio. “CPP membatasi iklan 16 persen sampai 20 persen dari seluruh waktu siaran yang rata-rata setiap harinya 18 jam siar,” kata Ninik Liestyati.

Pemasukan boleh lumayan, tapi masih banyak karyawan CPP yang mengeluh soal gaji. Dirgantara selama menjadi penulis naskah sandiwara radio sering mengeluh jumlah honornya yang kecil dan merasa kreativitasnya kurang dihargai. “Waktu itu aku nggak tau, apakah memang dananya hanya segitu, atau mau mencari untung lebih banyak?” katanya.

Dia menunggu sampai bosan keluhannya ditanggapi. Dirgantara harus bisa memutuskan tetap di RCT atau pergi.Akhirnya dia meninggalkan RCT tidak dengan baik-baik. “Iya, karena aku sudah kerja keras sampai panas dingin gitu, gajiku hanya segitu. Target yang aku dapat, aku hampir nggak bisa kejar,” tuturnya.

Tapi, Kusen mengatakan kesejahteraan karyawannya relatif lebih baik ketimbang radio lain. Gaji mereka di atas upah minimum regional. “Manajemen kita sangat sadar apa yang menjadi hak dari karyawan selalu dipenuhi dalam hal ini. Kalau kita lagi nggak punya duit, ya cepat-cepat cari pinjaman buat bayar gaji, jangan terlambat.”

Dirgantara mungkin sakit hati. Sampai suatu hari, Dirgantara bertemu dengan Kusen di sebuah biro iklan di Jakarta, tempat Dirgantara bekerja. Kebetulan mereka harus menghadiri rapat yang berbeda. Ketika kembali ke meja kerjanya, Dirgantara mendapati sepotong kue yang dibungkus tisu. Teman sekantornya berkata, ”Itu dari Pak Kusen, dia pamit mau pulang ke Magelang.”

Mata Dirgantara berkaca-kaca. Itu sebuah sentuhan yang tidak semua karyawan Kusen bisa merasakannya. Kusen pulang, yang tanpa dia sadari membawa berkah pemaafan. Kusen pulang ke tempat sebagaimana dia pernah berkata,”Saya lahir di Magelang, sekolah di Magelang, mencari makan di Magelang, dan nanti meninggal juga di Magelang.”*

by:Asteria Meta