Zig Zag Sofyan

Siti Rahmah

Thu, 22 May 2008

Sofyan Dawood pernah bercita-cita jadi anggota TNI, menyelamatkan diri ke Malaysia, dan akhirnya jadi panglima GAM di Aceh. Dia juga memimpin tim sukses Irwandi Yusuf sehingga terpilih jadi gubernur Aceh.

17 JANUARI 2008. Kring… kring… Telepon selulerku berbunyi. Terlihat nama Sofyan Dawood muncul di layarnya.

”Assalamualikum,” kata suara di seberang sana.

”Waalaikum salam,” jawabku.

”Anda di mana sekarang?”

Aku menyebutkan tempatku berada. Dia menyebutkan nama sebuah hotel, tempatnya menunggu untuk diwawancarai.

Sofyan tengah menelepon sambil melayangkan pandangannya ke arah pintu masuk hotel itu ketika aku datang. Beberapa tahun lalu dia masih menjabat juru bicara Gerakan Aceh Merdeka atau GAM. Dia biasa dipanggil “Adun” oleh orang-orang yang mengenalnya, sebuah gelar aristokrat Aceh.

Kami kemudian menuju restoran dan seorang pelayan hotel menyodorkan daftar menu kepada Sofyan. Dia  memesan secangkir kopi dan sepiring pisang goreng. Aku memesan secangkir teh panas. Setelah itu dia mulai bercerita tentang kehidupannya di masa konflik.

Sofyan kelahiran Panton Labu, Aceh Utara, pada 10 Oktober 1966. Dia anak kedua dari tiga bersaudara. Ayahnya, Teuku Muhammad Dawood, seorang pensiunan tentara yang berpangkat kapten, dan jenis orang yang tegas dan jujur.

Pada tahun 1975, saat itu Sofyan berusia sekitar 10 tahun, ayahnya terlibat dalam Komando Jihad, sebuah organisasi yang berbasis di Jakarta. Organisasi ini tak lepas dari gerakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang bertujuan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Pemimpinnya Sekarmaji Kartosoewirjo, yang dieksekusi pada September 1962 di sebuah pulau di Teluk Jakarta. Seluruh pemimpin DI/TII yang tersisa kemudian membentuk Komando Jihad.

Daud Beureueh, yang memproklamasikan diri sebagai Presiden NBA (Negara Bagian Aceh) pada 20 September 1953, juga bergabung dengan DI/TII. Beureueh menyerah tiga bulan sesudah Kartosoewirjo meninggal, yakni pada Desember 1962. Dia juga dikenal sebagai seorang ulama.

Sepanjang tahun 1976 sampai 1980 terjadi penangkapan besar-besaran dengan isu Komando Jihad di Sumatera. Ribuan orang terjaring.

Muhammad Dawood memutuskan keluar dari Komando Jihad, lalu bergabung dengan Aceh Merdeka atau disingkat AM yang dipimpin Hasan Tiro pada tahun 1976. Gerakan ini oleh pemerintah Soeharto dinamai Gerakan Aceh Merdeka atau GAM, sebuah stigma.

Pada Mei 1977, terjadi pertempuran antara pasukan GAM dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di desa Alue Ie Udeung, Pasee, Aceh Utara. Muhammad Dawood tertembak dan meninggal dunia di situ. Teman-teman sepasukannya yang berjumlah 20 orang dipenjara. Di pihak TNI, dua prajurit meninggal dunia.

Setelah ayahnya syahid, Sofyan harus hidup mandiri. Dia harus sekolah sambil membantu perekonomian keluarganya. Dia jadi distributor ikan di Panton Labu. Ikan-ikan tersebut didatangkan dari Belawan, Sumatera Utara.

”Selama lima tahun, saya hanya tidur empat jam sehari. Pukul 08.00 sampai 13.00 adalah jadwal sekolah, pukul 13.00 sampai 18.00 adalah jadwal mencari uang, pukul 20.00 sampai-03.00 keesokan harinya adalah jadwal mengaji,” kisah Sofyan.

Pendidikan dasar hingga menengah dia tamatkan di kampung kelahirannya.

Karena tidak ikut mengaji di waktu siang, dia wajib mengejar ketertinggalannya sampai pukul tiga pagi.

“Saya diajarkan oleh seorang ustadz di kamar tidur,” katanya.

Masih terekam dalam ingatannya kejadian pada 1982. Ketika itu terjadi demonstrasi yang diikuti oleh sebagian besar orang Tionghoa di kecamatan Baktya, Aceh Utara. Jumlah massa ribuan. Sofyan tak ingat lagi apa tuntutan mereka.  Dia juga tak ingat berapa orang yang ditangkap.

Untuk membubarkan demonstrasi tersebut pemerintah menurunkan pasukan Lintas Udara 100 Medan atau disingkat Linud 100 Medan. Saat itu Sofyan berusia sekitar 16 tahun. Dia bergabung dengan para demonstran itu dan berorasi. Akibatnya, dia ikut ditangkap dan disiksa tentara.

Saat itulah muncul dalam pikiran Sofyan bahwa militer itu kejam.

”Terpikir bagaimana caranya menjadi tentara agar bisa balas dendam dan menciptakan keadilan,” kenang Sofyan.

Pada tahun itu juga, Yusuf Ali, kawan seperjuangan Muhammad Dawood bebas dari tahanan. Dia mencari Sofyan, karena mendengar kabar bahwa anak kawannya itu ingin masuk tentara.

”Kalau kamu ingin masuk tentara, tentu saja hal itu berlawanan arah dengan orang tua kamu, walaupun beliau itu sudah meninggal dunia,” tutur Yusuf kepada Sofyan waktu itu.

“Apa tujuan utama kamu masuk tentara?” tanya Yusuf lagi.

”Ingin melawan kekerasan untuk menciptakan keadilan,” jawab Sofyan.

”Itu tidak mungkin, tidak bagus, kalau ingin memperjuangkan keadilan, inilah salah satu perjuangan kita, Aceh Merdeka,” tukas Yusuf.

Yusuf kemudian menceritakan tentang apa yang dilakukan Hasan Tiro sebagai wali negara dan apa yang dilakukan ayahanda Sofyan.

Sebelum itu Sofyan tak tahu kenapa ayahnya ditembak TNI.

“Sebelumnya orang-orang menghina, karena ayah saya meninggal akibat ditembak. Orang-orang bilang ayah saya penjahat,” kenangnya.

Setelah semuanya jelas, dia justru merasa bangga terhadap ayahnya.

Pada tahun 1986, Tengku Kamal, saat itu Gubernur GAM wilayah Pasee, mengajak Sofyan pergi ke Libya untuk latihan militer. Namun karena mengkhawatirkan ibunya, dia memutuskan tak jadi berangkat ke Libya.

“Saya pikir kalau pergi ke Libya hanya bisa latihan militer saja. Hal yang paling penting adalah memperjuangkan dan menyambung semuanya di Aceh. Saya ingin menyambung perjuangan orang tua saya,” katanya.

Pada 1988, orang-orang yang pergi ke Libya pulang ke Aceh. Di tahun inilah Sofyan aktif dalam GAM. Saat itu pula Sofyan diangkat menjadi juru bicara di wilayah Pasee oleh Yusuf Ali.

Dia mulai dicari-cari TNI. Dia tidak bisa pergi bebas seperti biasanya. Rumahnya dirusak dan dibakar tentara. Abangnya, Muhammad Adid, ditangkap saat Daerah Operasi Militer atau populer dengan sebutan DOM diberlakukan di Aceh. Setelah bebas Adid menyatakan ikut GAM. Jejak sang abang, kemudian diikuti pula oleh adik Sofyan, Imran.

Pada 8 Januari 1990, TNI mengepung markas mereka. Adid meninggal. Sofyan dan Imran selamat. Sepuluh hari kemudian,  TNI sekali lagi melakukan pengepungan. Kali ini Imran jadi korban. Tap sampai hari ini makamnya tak pernah ditemukan.

Setelah kehilangan dua saudara kandungnya, setahun kemudian, sekali lagi Sofyan kehilangan orang terdekatnya, yaitu Yusuf Ali. Kawan dekat ayahnya ini meninggal ditembak Komando Pasukan Khusus atau Kopassus. Peristiwa tersebut justru menambah tekad Sofyan untuk tak pernah menyerah kepada musuh.

“Daripada menyerah lebih baik saya mati,” tekadnya.

Dia sudah bulat memilih perjuangan, meskipun membuatnya kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.

Ketimbang mati di hutan, lebih baik hijrah ke Malaysia. Itulah yang dilakukan Sofyan pada 29 September 1991. Tujuannya bukan untuk melarikan diri, melainkan untuk masa depan perjuangan itu sendiri. Dalam perjuangan, hal ini biasa disebut “zig zag”, mengumpulkan energi atau tenaga untuk suatu hari bertarung lagi.

Ada sekitar 30 orang yang punya rencana sama dengannya. Mereka naik perahu mesin atau boat ke negeri jiran tersebut, setelah Sofyan berhasil memperoleh uang Rp 700 ribu dalam beberapa hari.

Sofyan juga membawa senjata buatan Belgia, Minimi, dalam perahu itu, bersama dua ribu peluru. Lima hari lima malam perahu berlayar. Pada pukul lima pagi, 4 Oktober 1991, perahu sampai di tempat tujuan. Dua teman menyambut mereka di dermaga Keudah, Malaysia. Sofyan pun menitipkan senjata dan dokumennya kepada masing-masing teman untuk disimpan. Mereka memutuskan berpencar setelah itu.

Dua puluh tujuh orang pergi bersama Sofyan. Padahal, saat itu, dia tak paham Malaysia sama sekali. Dia malah berniat menyerahkan diri kepada polisi Malaysia, dengan harapan dia dan teman-temannya akan memperoleh suaka politik.

Sofyan mendekati orang Melayu yang berdiri tak jauh dari dermaga itu.

“Di mana kantor polisi?” tanya Sofyan kepada orang Melayu tersebut. Dia tak tahu kalau di Malaysia orang menyebut “balai polis” untuk kantor polisi.

“Kenapa kamu mau ke balai polis,” tanya orang itu kepada Sofyan.

“Saya ingin menyerahkan diri kepada polis Malaysia,” sahut Sofyan.

“Kenapa? Lari saja.”

“Saya perlu ditangkap.” Sofyan bersikeras.

Dia pun menceritakan keadaan yang terjadi di Aceh, pembantaian dan pembunuhan di Tanah Rencong itu.

Orang Melayu itu tetap melarang Sofyan pergi ke balai polis. Namun, Sofyan tak menggubrisnya. Dia benar-benar ingin menyerahkan diri ke balai polis.

Akhirnya orang Melayu tersebut menyerah dan mengantar Sofyan ke pondok polis, lebih kecil dari balai polis. Hanya ada dua polisi yang bertugas di sana.

“Tolong tangkap saya,” pinta Sofyan. Tapi permintaannya itu tak dipedulikan polisi.

Setelah dia menunjukkan senjata rakitannya, polisi pun akhirnya menangkapnya.

“Saya tidak sendiri,” katanya, lagi.

Dia dan polisi pun menuju tempat di mana teman-temannya ditinggalkannya.

Saat itu semua temannya sedang tertidur karena lelah. Mereka bangun dan ketakutan karena melihat mobil reo berisi polisi datang.

“Tidak usah takut, naik semua ke mobil,” kata Sofyan kepada teman-temannya.

Mereka pun naik ke mobil reo menuju ke balai polis dengan membawa bendera GAM. Sama seperti ketika mereka berada di laut ketika meminta pertolongan pada kapal-kapal yang lewat, mereka pun melambai-lambaikan bendera bulan bintang itu di perjalanan.

Sofyan dan teman-temannya ditahan di sel atau lokap selama 14 hari di penjara Keudah. Saat diinterogasi, mereka menceritakan tentang konflik di Aceh. Alhasil, mereka dipisahkan dari tahanan kriminal. Dua tahun mereka mendekam di situ.

Kepolisian Malaysia ingin memulangkan mereka ke Indonesia, tetapi mereka menolak. Untuk lebih meyakinkan, Sofyan dan teman-temannya membuat kerusuhan di penjara, agar tidak dipulangkan ke Aceh. Mereka lantas dipindahkan ke tempat lain dan terus berusaha mencari suaka.

“Kami bukan warga Indonesia, kami warga Aceh,” kata Sofyan kepada polisi.

Para pelarian politik ini dibebaskan pada tahun 1996. Mereka memperoleh kartu kuning dari menteri dalam negeri Malaysia, sehingga bisa bekerja di negeri itu.

Sofyan pulang ke Aceh dua tahun kemudian, untuk bertugas di bagian penerangan GAM. Tiga teman menyertainya, yakni Ahmad Kandang, Surya Syahputra, dan Zakaria alias Jek. Ketiganya kini telah almarhum. Mereka meninggal saat GAM dan pemerintah Indonesia belum berdamai.

AKU sempat menemui salah seorang teman Sofyan, sesama pelarian politik di Malaysia dulu. Dia adalah Ibrahim Syamsuddin atau populer dengan sebutan Ibrahim KBS.

Ibrahim pergi ke Malaysia pada pertengahan 1991, di waktu yang sama dengan kepergian Sofyan ke negara tersebut. Ketika itu GAM dalam keadaan sangat lemah. Jadi diperlukan strategi untuk menyusun kekuatan.  Ibrahim bergabung dengan GAM  pada 1982.

Ketika Sofyan dan Ibrahim akhirnya pulang ke Aceh, mereka bertemu lagi.

”Saya sering bersamanya ketika di Aceh,” kisah Ibrahim kepadaku.

Di saat Sofyan menjadi Panglima Wilayah Pase, Ibrahim jadi wakilnya. Kini Ibrahim menjabat juru bicara Komite Peralihan Aceh atau KPA, sebuah organisasi mantan GAM yang dibentuk pasca Helsinki. Dia memegang jabatan ini sejak Mei 2007 lalu.

Tubuh Ibrahim tak begitu tinggi, tetapi badannya kekar layaknya seorang tentara. Selama perbincangan kami, beberapa batang rokok silih berganti terselip di antara telunjuk dan jari tengahnya.

”Sofyan Dawood menjadi juru bicara GAM sekitar tujuh tahun dan ketika itu di masa perang. Saya salut dengan kebolehannya,” tuturnya di sebuah warung kopi di seputaran Lamnyong, Banda Aceh.

Pada tahun 2000, Sofyan menjabat sebagai Panglima Wilayah Pasee, Aceh Utara. Dia juga sempat menjabat juru bicara GAM. Setelah perjanjian Helsinki ditandatangani pemerintah Indonesia dan GAM pada Agustus 2005, Sofyan mengubah strategi politiknya. Dia memimpin tim sukses Irwandi Yusuf, yang kini menjabat gubernur Aceh.

Wajah Sofyan kini lebih cerah dibanding ketika bergerilya dulu tentunya. Bicaranya tetap lembut. Telepon selulernya berkali-kali berdering di sela perbincangan kami.***

*) Siti Rahmah adalah kontributor Pantau Aceh Feature Service. Ia juga bekerja di World Bank, Banda Aceh.

kembali keatas

by:Siti Rahmah