Bakau Azhar

Junaidi Mulieng

Thu, 24 April 2008

Lelaki ini sempat disebut gila gara-gara nekat menanam sisa-sisa bakau selepas tsunami. Ia kemudian terpilih sebagai duta Aceh yang membawa obor Olimpiade Beijing 2008 di Jakarta.

imageDI desa Lam Ujong, kecamatan Baitussalam, Aceh Besar, puluhan ribu batang mangrove atau dikenal sebagai bakau memenuhi sekitar 35 hektare daerah pantai itu. Akarnya menembus ke dalam pasir. Tinggi pohon-pohon muda itu hampir sama, antara dua sampai dua setengah meter. Daun-daunnya hijau lebat.

“Itu bakau yang duluan saya tanam. Umurnya bakau ini baru dua tahun,” kata lelaki itu.

Namanya Azhar Idris. Ia lahir di Lam Ujong 43 tahun silam. Badannya tegap. Kulitnya hitam karena sering terbakar matahari. Tatapan matanya tajam.

Di antara rimbunan bakau ada juga yang masih kecil. Usianya baru dua bulan. Letaknya di sepetak tambak seluas dua hektare milik Azhar. Beberapa meter dari lokasi penanaman, Azhar juga melakukan pembibitan. Jumlah bibit sudah mencapai ratusan. Tingginya 30 sampai 60 sentimeter.

“Tapi walaupun masih kecil, manfaat dari bakau ini sudah mulai terasa. Saat ini, masyarakat sudah mulai memancing dan mencari udang lagi ke daerah sini. Padahal beberapa tahun lalu mana ada. Jangankan ikan dan udang, saya sendiri tidak berani kemari. Tapi sekarang kepiting juga sudah mulai ada lagi,” kata Azhar.

Azhar melakukan pembibitan dengan cara mengambil biji bakau dari pohon yang sudah tua, sisa-sisa tsunami yang berada di sekitar tambaknya. Biji-biji tersebut kemudian ia benamkan satu persatu ke tanah pada lokasi yang telah ia sediakan. Mulanya bibit itu tumbuh sebesar lidi, dengan daun satu dua. Pelan-pelan tumbuhan itu kian menjulang.

Selain melakukan pembibitan secara langsung, Azhar juga menggunakan polibag untuk menyemai biji-biji. Menurut Azhar, kedua hal ini sama efektifnya.

“Biasanya yang memakai polibag, itu saya gunakan untuk stok pesanan para NGO. Sedangkan yang saya lakukan pembibitan secara langsung, untuk penanaman di sini. Namun keduanya sama-sama bagus,” ungkap Azhar.

Selain di tambak dan pinggiran sungai, bakau juga mulai mengelilingi hampir seluruh desa Lam Ujong. Pemandangan itu pelan-pelan mengembalikan wajah desa ini ke wujud sebelum bencana.

TSUNAMI pada 26 Desember 2004 membuat Lam Ujong rata. Rumah dan seluruh mangrove musnah. Hanya beberapa orang yang selamat di desa pinggir laut itu. Beberapa orang warga yang selamat adalah Azhar dan keluarganya. Namun rumah bertingkat dua milik mereka habis dilumat gelombang.

Beberapa minggu setelah tsunami, sejumlah warga mulai semua sibuk mencari harta benda yang hilang. Sebagian lagi mulai bangkit dan mencari kerja. Mereka tak tahan berlama-lama hidup dalam tenda dan barak, menunggu bantuan. Tapi Azhar memilih pergi ke pesisir pantai.

“Cari bakau. Karena saya menganggap bakau itu lebih penting, ini akan dibutuhkan nantinya,” ujar Azhar.

Ia bahkan sama sekali tidak peduli suasana di sekitarnya. Anak dan isteri ia tinggalkan di barak pengungsian. Dalam kepalanya hanya ada satu keinginan, bagaimana caranya bakau yang dulu memenuhi tambak desanya bisa kembali tumbuh dan menghijau.

Tambak menjadi harapan hidup Azhar. Bahkan orang kampung sempat mengenalnya sebagai juragan tambak. Semua itu tidak terlepas dari kegigihannya, termasuk menanam bibit bakau hingga memenuhi tanggul tambaknya. Itu yang membuat usaha tambaknya berhasil.

Azhar sudah mulai melakukan penanaman bakau sejak tahun 1982. Waktu itu usianya 15 tahun. Ia bekerja sebagai petani tambak pada seorang saudagar kaya di kampungnya. Di sela-sela kesibukannya sebagai petani tambak, ia menyempatkan diri untuk menanam bakau di sekitar tambaknya. Upaya penanaman yang dilakukan Azhar kala itu hanya sebatas mengantisipasi gelombang pasang dan angin kencang yang bisa merusak tambak dan desanya.

Namun, selepas tsunami tak mudah mencari bibit bakau. Berbagai upaya ia lakukan. Mulai dari pencarian sisa bakau untuk dijadikan bibit, proses pembibitan sampai penanaman ulang. Pencarian bibit bakau tak hanya dilakukannya di desanya saja. Ia pergi ke tempat-tempat lain. Ia sudah bertekad mengembalikan rimbunan bakau di desanya.

“Waktu pertama kali saya menanam bakau pascatsunami, hampir semua orang yang saya kenal menganggap kalau saya ini sudah gila. Termasuk isteri saya sendiri,” kisahnya.

Penanaman bakau yang dilakukan di daerah tambak dengan sungai memiliki hitungan jarak yang berbeda. Untuk daerah tambak, ia menanam bakau dengan jarak masing-masing satu meter, sedangkan di pinggir sungai, ditanam lebih rapat. Dari pengalamannya, bila tanaman itu ditanam berdekatan akan semakin banyak akar yang meruncing. Sehingga apabila akar-akar itu ditimbun dengan lumpur, lumpur itu tidak longsor ke dalam sungai.

“Setelah saya tanam mengelilingi pinggir sungai, semua warga juga ikut menanam bakau,” kisahnya.

HUTAN bakau umumnya tumbuh di muara sungai dan daerah pasang surut atau tepi laut. Tumbuhan ini unik, karena ia merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut.

Bakau mempunyai sistem perakaran menonjol yang disebut akar napas (pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen.

Ada beberapa jenis yang terkenal, di antaranya apa yang biasa disebut bakau itu sendiri atau rhizopora, api-api (avicennia), pedada (sonneratia) dan tanjang (bruguiera).

Hutan ini menjadi pelindung alami untuk menahan abrasi pantai. Selain itu, bakau dapat dimanfaatkan sebagai kayu bakar, bahan alkohol, gula, bahan penyamak kulit, bahan atap dan bahan perahu.

“Ketika bakau itu sudah besar, akar-akarnya akan menancap kuat ke dalam tanah. Di bawah akar-akarnya itu, akan hidup tiram, udang dan kepiting. Tapi waktu itu saya belum terpikir kalau bakau ini bisa jadi benteng dari terjadinya bencana, seperti tsunami atau yang lainnya,” ujar Azhar.

Jika hutan bakau hilang, tidak hanya menyebabkan kerusakan lingkungan, namun manusia dan hewan juga ikut merasakan akibatnya. Seperti, abrasi pantai, membuat intrusi air laut lebih jauh ke daratan, banjir, perikanan laut menurun, dan pendapatan penduduk setempat praktis akan berkurang.

Selain di Lam Ujong, tempat tinggal Azhar, hutan bakau tersebar di kabupaten Aceh Timur, Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh Utara, Aceh Selatan dan Pidie serta beberapa pulau kecil. Total luas hutan ini sebesar 54.335 hektare.

Sebelum bencana tsunami, hutan bakau di Aceh telah mengalami kerusakan seluas 2.442,69 hektare di kawasan hutan dan 344.401.08 di luar kawasan hutan bakau. Setelah bencana, kerusakan makin bertambah. Berdasar data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, pada 2005 kerusakan akibat musibah tersebut seluas 25.000 hektare. Dan menurut Dinas Kehutanan, luas areal yang potensial untuk direhabilitasi seluas 24.950 hektare.

Saat ini sekitar 26.130 hektare kawasan hutan bakau telah direhabilitasi oleh berbagai lembaga swadaya maupun pemerintah. Dan sekitar 28.900 hektare pantai berpasir sudah ditanami kembali. Namun, kegagalan penanaman kembali yang terjadi di masa rehabilitasi dan rekonstruksi disebabkan berbagai faktor.

“Di antaranya, bibit yang tidak layak, metode penanaman yang salah, tumpang tindihnya program dan koordinasi rehabilitasi, serta tidak jelasnya kebijakan tata ruang,” ujar Dede Suhendra, senior forest officer di World Wild Fund (WWF) Indonesia untuk program Aceh.

Menurut Dede, diperlukan beberapa langkah strategis dalam mengelola bakau, di antaranya, melakukan reboisasi secara terencana dan memperjelas tata ruang wilayah pesisir. Selain itu, perlu memberi akses langsung kepada masyarakat untuk mengelola kawasan hutan, serta adanya kepastian hukum atas pengelolaan hutan bakau.

“Proyek hutan bakau yang dilaksanakan BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) Aceh-Nias juga hanya setengahnya yang berhasil,” sambung Dede.

Ini diakui oleh direktur Pengembangan Ekonomi Hutan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias, Ricky Avenzora. Namun kegagalan itu, kata Rizky, lebih disebabkan oleh ketidakstabilan ekologi di pesisir pantai Aceh. Faktor lainnya karena kekurangan air dan serangan sejumlah penyakit.

Pada tahun 2006 lalu jumlah bakau yang telah ditanam BRR di Aceh pada 2006 mencapai 16 juta batang. Namun, kata Rizky, “Tingkat keberhasilan 50 persen di pesisir barat dan 78 persen di wilayah pesisir timur.”

KETIKA saya mengunjungi pesisir Alue Naga, kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh terlihat hamparan tambak yang dipenuhi bakau. Namun kondisinya sangat memprihatinkan. Sebatas mata saya memandang, hanya tinggal batang-batang kecil yang terlihat. Bahkan, sebagian hanya terlihat pucuknya saja yang bergoyang-goyang ditiup angin. Sedangkan bagian lain terendam air. Ada juga yang hanya tinggal batang kering.

Begitu pula bakau di kawasan Lambada, kecamatan Baitussalam, Aceh Besar. Pemandangan yang sama saya jumpai di sepanjang Jalan Malahayati dan di sebelah kiri dari arah Simpang Mesra menuju Krueng Raya.

Diperkirakan ratusan ribu batang bibit bakau mati setelah beberapa kali dilakukan pergantian bibit baru. Program penghijauan hutan pantai sebagai “benteng” abrasi dan gelombang laut di Aceh belum berjalan sesuai harapan.

Sejumlah petambak juga mengeluhkan banyaknya jumlah bibit bakau yang mati. Hal ini dialami Junaidi, salah seorang petani tambak di Alue Naga.

“Sudah tiga kali dilakukan penggantian bibit, namun hanya sebagian kecil yang berhasil hidup dan tumbuh tidak begitu subur,” ujarnya kepada saya.

Berdasarkan pengalamannya, pada penanama tahap pertama dan kedua hanya ratusan bibit yang berhasil hidup. Sedangkan puluhan ribu batang lainnya mati. Ia menilai, gagalnya penanaman tersebut disebabkan hampir seluruh bibit bakau terendam air pasang. Daunnya tenggelam. Akibatnya batang-batang muda itu membusuk. Lalu mati.

Di kawasan pesisir Alue Naga, penanaman bibit bakau tahap pertama dan kedua untuk penghijauan pantai pascatsunami mencapai 25.000 batang. Tahap ketiga, yang baru saja ditanam, sekitar 12.000 batang.

Junaidi berharap penanaman tahap ketiga ini akan berhasil.

“Sebab pola penananam yang ketiga ini berbeda dengan sebelumnya,” ujar Junaidi.

Menurut Dede Suhendra, untuk merehabilitasi hutan bakau di seluruh Aceh dibutuhkan jutaan bibit. Saat ini lembaganya juga ikut melaksanakan program penghijauan kawasan pesisir.

“Program ini sudah berjalan, pada tahap pertama telah dilakukan rehabilitasi seluas 600 hektare,” katanya.

Sedangkan pada tahap kedua akan dilakukan upaya rehabilitasi 2.700 hektare lahan pertambakan di seluruh Aceh. Melalui rehabilitasi tambak diperkirakan akan menghasilkan potensi pengembangan ekonomi. Tapi penghijauan itu bakal jadi mimpi belaka tanpa ada sebatang bibit.

KESULITAN memperoleh bibit dalam jumlah besar jadi kendala utama program rehabilitasi hutan bakau Aceh yang dilakukan beberapa lembaga internasional di bidang lingkungan, termasuk Wetlands Internasional Indonesia Programme atau disingkat WIIP. Lembaga ini tengah melakukan upaya penghijauan kawasan pesisir atau “Green Coast”. Desa Lam Ujong menjadi salah satu kawasan yang mendapat perhatian.

WIIP bekerjasama dengan Departemen Kehutanan Republik Indonesia untuk membantu pemerintah dalam melestarikan dan pemafaatan lahan basah Indonesia. Organisasi ini merupakan cabang dari Wetlands International yang berkedudukan di Malaysia. Tahun 1985, Asian Wetlands Bureau (AWB) melakukan kerja sama dengan pemerintah Indonesia dalam bentuk Interwarder East Asia Pacific Shorebird Study Programme

Tahun 1995, Asian Wetlands Bureau melebur diri ke dalam Wetlands International, berkantor pusat di Nederland dan pemerintah Indonesia mendaftarkan diri menjadi anggota. Atas dasar itu, Asian Wetlands Bureau berganti nama menjadi Wetlands International Indonesia Programme yang sekaligus sebagai penerus Interwarder dan bukan merupakan badan hukum Indonesia.

Di Lam Ujong, beberapa bulan setelah tsunami, WIIP menurunkan staf lapangan mereka Eko Budi Priyanto.

Saat berjalan mengelilingi kampung, ia bertemu seorang laki-laki paruh baya yang sedang mengumpulkan sisa batang bakau. Awalnya, Eko mengira laki-laki itu orang yang mengalami gangguan jiwa akibat bencana hebat. Saat hampir semua orang sibuk mencari harta benda, sanak keluarga dan bantuan, lelaki itu malah lebih memilih mencari sisa-sisa bakau.

Eko mencoba melakukan pendekatan dan mencari informasi tentang laki-laki yang dianggapnya misterius itu. Ia bertanya kepada orang-orang terdekat lelaki itu. Eko juga pergi ke barak menjumpai keluarga lelaki itu.

“Isterinya mengatakan pada saya waktu itu, suaminya memang gila,” kenang Eko tentang pertemuannya dengan Azhar.

“Lalu saya coba masuk secara personal, mencoba mengenal Azhar lebih jauh. Sebenarnya maunya orang ini apa. Setelah itu, saya baru menyadari kalau dia tidak gila seperti yang dituduhkan orang. Dia adalah orang yang saya cari,” kata Eko.

WIIP membeli ribuan bibit bakau yang ditanam Azhar. Sekitar 250 ribu bibit. Bibit yang dikembangkan Azhar termasuk yang bagus dan berumur panjang.

WIIP juga mempercayakan kepada Azhar untuk melaksanakan “Green Coast” di Lam Ujong.

Azhar baru menyadari bila ‘kegilaan’ yang selama ini dilakukannya berhubungan dengan penyelamatan lingkungan. Hal tersebut tidak hanya bermanfaat untuk tambaknya, melainkan seluruh makhluk hidup yang berada di sekitar desa.

Azhar membentuk kelompok kerja untuk melaksanakan program WIIP. Para anggota direkrut dari warga setempat. Semula berjumlah 15 orang, kini 35 orang. WIIP juga memberi pelatihan tentang bakau kepada anggota kelompok ini.

“Alhamdulillah sekitar delapan puluh persen bakau yang ditanam Pak Azhar berhasil,” ungkap Eko.

NAMA Azhar jadi populer di kalangan relawan lingkungan gara-gara bakau. Beberapa bulan lalu, salah seorang staf World Wide Fund for Nature atau WWFN meneleponnya. Saat itu Azhar sedang disibukkan dengan tanaman-tanaman bakaunya. Orang tersebut mengabarkan bahwa Azhar terpilih sebagai salah satu duta lingkungan untuk membawa obor Olimpiade Beijing 2008, di Jakarta pada 22 April 2008.

Azhar panik. Ia tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Ia sempat berpikir, mana mungkin orang kampung dan tidak berpendidikan seperti dirinya bisa terpilih sebagai pembawa obor Olimpiade.

“Saya merasa bangga bisa dipilih sebagai pembawa obor pada Olimpiade 2008 ini. Kebanggaan ini saya pikir bukan hanya milik saya, tapi juga kepunyaan seluruh rakyat Aceh, saya pergi membawa nama Aceh,” katanya.

Di Jakarta, Azhar akan berdampingan dengan lima pembawa obor lainnya yang namanya cukup dikenal di Indonesia, seperti Emil Salim yang mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup dan penyanyi Nugie.

*) Junaidi Mulieng adalah Kontributor Pantau Aceh Feature Service di Banda Aceh. Ia juga bekerja sebagai wartawan koran Harian Aceh

kembali keatas

by:Junaidi Mulieng