LEBIH DARI tiga bulan Kamaruddin bolak-balik antara Banda Aceh – Langsa. Dengan angkutan minibus L-300, butuh waktu sehari untuk bisa mencapai ibukota Aceh Timur ini dari Banda Aceh. Wakil direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh itu mesti menghadiri sidang di Pengadilan Negeri (PN) Langsa. Statusnya adalah terdakwa.

“Sudah tujuh kali sidang, sampai sekarang belum putusan. Masih mendengar keterangan saksi dari jaksa. Masih ada lima sidang lagi,” katanya.

Kepolisian Resor Langsa menyatakan dirinya sebagai tersangka sejak tanggal 4 Agustus 2007. Ia tidak sendirian. Ada tujuh staf LBH yang juga berstatus sama dengannya, yaitu Mukhsalmina, Yulisa Fitri, Sugiono, Muhammad Jully Fuady, Mardiati, Mustiqal Syahputra, dan Juanda.

Mereka terkena Pasal 160 junto 161 sub 335 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan tuduhan “menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan tulisan yang isinya menghasut di muka umum dengan lisan atau tulisan”. Namun, mereka tidak harus mendekam dalam tahanan. Pengadilan memberi penangguhan dengan jaminan dua mobil milik LBH.

Perkara ini dipicu oleh pembelaan yang dilakukan LBH Banda Aceh terhadap warga beberapa desa di Aceh Timur yang tanahnya terkena dampak perluasan perkebunan PT Bumi Flora. Warga melakukan aksi turun ke jalan pada 3 Juli 2007 lalu.

Lima hari setelah Kamaruddin dinyatakan sebagai tersangka, Azhari US Bin M.Basyah yang mewakili PT Bumi Flora, mencabut perkara tentang dugaan terjadi tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum yang dituduhkan kepada para staf LBH. Bumi Flora, seperti diberitakan harian Analisa edisi 13 Juli 2007, sepakat menyelesaikan perselisihan dengan LBH secara damai.

Namun kepolisian tetap melimpahkan kasus tersebut ke PN Langsa. Jaksa penuntut umum menilai para staf LBH telah menyebarkan selebaran isinya menuduh PT Bumi Flora, Pemerintah Aceh Timur, dan Tentara Nasional Indonesia serta kepolisian menyerobot tanah rakyat dengan cara intimidasi, fitnah, teror, hingga terjadinya pembunuhan.

Jaksa berpendapat bahwa kepemilikan lahan Bumi Flora sudah diperoleh berdasar peraturan yang berlaku.

“Kami tidak melakukan penghasutan,” ujar Kamaruddin.

Menurut dia, apa yang ia lakukan bersama rekan-rekannya di LBH adalah membantu mengembalikan hak-hak korban di sekitar perkebunan.

“Sarana produksi mereka yang dibebaskan oleh pemerintah kepada pengusaha yang itu menurut kami cacat hukum. Karena disertai intimidasi, dan buktinya tanah ini sampai sekarang terus bermasalah,” katanya.

Bumi Flora merupakan perusahaan perkebunan sawit dan karet. Pada tahun 1990-an perusahaan ini memiliki Hak Guna Usaha sampai dengan tahun 2024 dengan luas total lahan lebih dari 8.000 hektare. Lahan ini tersebar di beberapa wilayah kecamatan di Aceh Timur. Dalam praktiknya, Bumi Flora juga melakukan perluasan lahan dengan menyerobot tanah milik warga beberapa desa yang totalnya sekitar 3400 hektare. Warga juga dipaksa menjual tanah dengan harga sangat rendah. Saat itu mereka tak berani menolak karena Bumi Flora mendapat dukungan dari aparat. Tiap hektare tanah dihargai Rp 600.000, atau Rp 60 per meter persegi.

Selain kasus penyerobotan lahan, area perkebunan Bumi Flora juga menyimpan catatan kelam yang lain. Pada 9 Agustus 2001, terjadi penembakan massal di lokasi perumahan karyawan Bumi Flora, Afdeling IV, yang berada di sekitar perkebunan. Menurut laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau KOMNASHAM,  31 orang tewas. Tujuh lainnya luka parah. Warga yang menjadi saksi mengungkapkan bahwa pembantaian dilakukan serombongan orang berseragam loreng, bertopi bulat, dan bersenjata.  Mereka datang ke pemukiman itu sekitar pukul tujuh pagi. Kendati Komnas HAM telah membentuk tim untuk menyelidiki pembantaian tersebut, sampai kini belum diketahui siapa pelakunya.

“SAYA TAKUT ini menjadi preseden buruk. Pasal hatzaai artikelen sering digunakan untuk mengancam aktivis pembela HAM dan pers,” kata Kamaruddin.

Pasal-pasal hatzaai artikelen atau pasal kebencian yang dia maksud di antaranya adalah pasal 160 dan 161 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Yang pertama mengatur soal penghasutan. Kedua, tentang penghinaan terhadap pemerintahan yang sah. Pasal lainnya adalah pasal 154 dan pasal 155. Ini tentang tindakan yang dianggap menimbulkan permusuhan.

Pada masa kolonial, pasal-pasal ini digunakan pemerintah kolonial untuk menjerat mereka yang menentang penjajah. Kini, penerapan pasal-pasal warisan kolonial itu sudah tidak relevan. Terlebih lagi, pasal-pasal ini amat multitafsir. Itu sebabnya, pasal ini juga sering disebut pasal karet. Ia sering diselewengkan pemerintahan yang berkuasa untuk mengekang kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Contohnya saat pemerintah Indonesia menetapkan darurat militer di Aceh. Pasal ini sering digunakan untuk menjerat aktivis dan mahasiswa di Aceh yang bersikap kritis. Beberapa di antaranya adalah Muhammad Nazar dan Kautsar bin Muhammad Yus. Nazar yang kini menjadi wakil gubernur Aceh pernah dipenjara gara-gara pidato-pidatonya soal referendum. Sementara Kautsar dijerat pasal ini gara-gara memprotes ExxonMobil, perusahaan tambang Amerika Serikat yang beroperasi di Aceh Utara, yang terlibat pelanggaran HAM di Aceh.

Meski demikian, pada masa itu ancaman penculikan dan pembunuhan juga sering terjadi. Salah satunya Musliadi, koordinator Koalisi Gerakan Mahasiswa dan Pelajar Aceh di Aceh Barat. Ia dikenal amat vokal terhadap aksi kekejaman militer Indonesia di Aceh. Pada November 2002, pemuda berusia 26 tahun itu ditemukan tewas mengenaskan. Tubuhnya lebam dan luka. Komisi untuk Tindak Kekerasan dan Orang Hilang (Kontras) Aceh melaporkan bahwa Musliadi dibunuh militer Indonesia. William Nessen, wartawan paruh waktu asal Amerika Serikat, merekam gambar jenazah dan upacara pemakaman Musliadi dalam The Black Road; On the Front Line of Aceh’s War. Ini  film dokumenter yang merangkum perjalanannya di Aceh sejak darurat militer hingga perjanjian damai ditandatangani di Helsinki.

Setelah perdamaian, kasus penculikan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap para pembela HAM tidak lagi terdengar. Tapi ancaman lain masih saja menghantui para pekerja HAM.

Menurut Hendra Fadli, direktur eksternal Kontras Aceh, pernyataan-pernyataan dari aparat penegak hukum yang masih menganggap aktivis pembela HAM sebagai musuh negara dan trouble maker alias biang onar adalah salah satu bentuk ancaman yang kini masih terjadi.

“Memang ada perubahan tren. Kalau dulu risikonya eksekusi di luar hukum, sekarang aparat sering menggunakan pasal-pasal karet untuk menjerat pembela HAM. Bentuknya kriminalisasi para pembela HAM,” kata Hendra.

Dia memberi contoh vonis tiga bulan penjara yang dijatuhkan PN Banda Aceh kepada Raden Panji Utomo, Ketua Forum Komunikasi Antarbarak (Forak). Sebelumnya Panji dijerat dengan pasal 154, 155, dan 160 KUHP sehubungan unjuk rasa bersama para pengungsi di depan kantor Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias pada September 2006. Polisi menuduh Panji telah menyebarkan rasa permusuhan dan kebencian kepada pemerintah, serta menghasut massa melakukan tindakan anarkis.

Februari 2007, setelah bebas Panji mengajukan uji materiil KUHP atas pasal-pasal yang membawanya ke penjara itu ke Mahkamah Konstitusi. Antara lain pasal 154, 155, 160 tentang pembangkit permusuhan. Lalu pasal 160 tentang penghasutan. Kemudian pasal 161, 207 dan 208 tentang penghinaan tehadap pemerintah. Dan terakhir, pasal 107 tentang perbuatan makar.

Alhasil, meski terbilang terlambat, pada Juli 2007 Mahkamah Konsitusi memutuskan pasal 154 dan 155 KUHP sebagai pasal yang tidak lagi memiliki kekuatan hukum. Kedua pasal karet ini tidak berlaku lagi. Alasannya, aturan ini menghalangi kebebasan warga untuk menyatakan pikiran dan sikap serta kemerdekaan menyampaikan pendapat.

Bentuk kriminalisasi terhadap para pembela HAM sebenarnya sudah lama bertentangan dengan Deklarasi Universal HAM. Para pembela HAM, sesuai Deklarasi Universal HAM, memiliki hak untuk mencari, mendapatkan, menerima, dan menyimpan informasi terkait HAM. Mereka juga berhak memperoleh perlindungan hukum selama melakukan kerja-kerja pembelaan HAM. Itu sebabnya, Persatuan Bangsa Bangsa menganggap para pembela HAM merupakan aktor penting dalam memajukan demokrasi dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia di sebuah negara. Tidak terkecuali Indonesia.

DI INDONESIA, salah satu pembela HAM yang dikenal gigih memperjuangkan hak-hak orang-orang lemah adalah Yap Thiam Hien. Dia lahir di Kuta Raja yang kini dikenal sebagai Banda Aceh pada 25 Mei 1913 dari keluarga Leutenent der Chinesen. Golongan yang pada masa kolonial itu cukup dihormati. Kakek buyut Yap adalah imigran dari selatan Tiongkok yang eksodus pada 1844.

Di Aceh, etnis Tionghoa adalah minoritas. Seperti juga di beberapa daerah, pada masa itu wilayah ini bukan tempat yang ramah dan tanah harapan bagi warga Tionghoa. Orang Aceh umumnya tak menghendaki keberadaan pendatang. Apalagi, ketegangan dan konflik antara bangsa Aceh dan Belanda yang dianggap kafir, saat itu belum reda.

Dalam tulisan mengenang wafatnya Yap Thiam Hien yang dimuat di jurnal Indonesia tahun 1989, Daniel Saul Lev menyebut, Yap menamatkan pendidikan sekolah dasar di Europeesche Lagere School yang terletak di kawasan Blang Padang, Banda Aceh. Selepas itu, Yap ikut ayahnya ke Batavia dan melanjutkan pendidikan di sana. Pada tahun 1947, Yap memperoleh gelar Mesteer in de Rechten setelah menyelesaikan sekolah hukum di Leiden, Belanda.

Pada masa 1960-an Yap aktif di kepengurusan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradin). Dia juga menjadi pengurus Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Ini organisasi sosial-politik terkenal yang dibentuk sejak 1954 untuk melindungi minoritas Tionghoa yang jadi warga negara Indonesia.

Yap makin disegani rezim Orde Baru ketika ia berhasil membela Subandrio sehubungan Gerakan 30 September sebelum pengadilan militer 1966. Subandrio adalah menteri luar negeri yang juga kepala Biro Pusat Intelijen pada masa pemerintahan Sukarno.

Tahun 1968 Yap sempat ditahan beberapa minggu dan didakwa atas tuduhan telah memfitnah Jaksa Tinggi B.R.M Simandjuntak SH dan Inspektur Jenderal Polisi Drs Mardjaman. Namun lewat putusan Mahkamah Agung, dia dilepaskan dan dibebaskan dari dakwaan tersebut.

Yap amat membantu Adnan Buyung Nasution sewaktu mendirikan Lembaga Bantuan Hukum yang diprakarsa Peradin pada 1970. Lembaga ini punya misi memberi bantuan hukum bagi warga yang miskin dan awam terhadap hukum.

Yap juga rajin menulis. Tulisan-tulisannya mengupas persoalan hukum dan hak-hak asasi manusia di Indonesia yang masih lemah. Dia sering menulis tentang reformasi hukum di media massa. Dia mengecam kasus-kasus penangkapan, penahanan, penculikan dan pembunuhan terhadap aktivis, mahasiswa, dan intelektual yang dilakukan rezim Suharto.

Satu dasawarsa setelah Suharto berkuasa, tahun 1979, Yap sudah mengkritik rezim Orde Baru yang banyak melakukan pelanggaran HAM. Dalam sebuah tulisannya soal penghargaan dan praktik HAM di masa Orde Baru, Yap mengatakan, “Tidaklah benar mengatakan bahwa Orde Baru menghargai hukum dan HAM. Penyangkalan terhadap penyataan tersebut merupakan ketidakjujuran. Dan ketidakjujuran tidak akan berguna bagi siapa pun.”

Menjelang usianya yang ke 76 tahun, Yap menghembuskan nafasnya yang terakhir akibat pecah pembuluh darah, aortic aneurysm. Saat itu, 23 April 1989, dia sedang mengikuti konferensi InterNGO Conference on Indonesia.

Sejak tahun 1992, nama Yap Thiam Hien diabadikan Yayasan Pusat Pendidikan HAM sebagai nama sebuah penghargaan prestisius di bidang HAM. Ini merupakan penghargaan tahunan yang diberikan bagi individu maupun lembaga-lembaga yang konsisten dalam perjuangan membela HAM di Indonesia.

Penghargaan ini pernah dianugerahkan kepada Farida Hariyani pada 1998 dan Suraiya Kamaruzzaman tahun 2001. Dua perempuan Aceh itu dinilai telah berdedikasi dalam perjuangannya yang gigih membela HAM selama konflik berdarah berkecamuk di Aceh. Suraiya, misalnya, mendirikan Yayasan Flower Aceh ketika Aceh masih berstatus Daerah Operasi Militer (DOM). Selain itu, dia mendirikan Kelompok Kerja Transformasi Gender Aceh, Suloh Aceh, dan Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan.

Dalam tulisan berjudul Yap Thiam Hien yang dimuat jurnal Indonesia edisi 82, Oktober 2006,

Dan Lev menyebutkan bahwa orang-orang yang mengenal Yap sulit mengenyampingkan adanya hubunan antara karakter Yap dengan Aceh. Menurut Lev, Yap adalah tipe orang yang lurus. Tidak berbelit-belit. Keberanian, keteguhan, daya tahan moral, dan perlawanannya untuk tidak diam di hadapan kesewenang-wenangan menunjukkan bahwa itu adalah dampak dari pendidikan di Aceh ataupun keyakinannya terhadap agama Protestan.

KAMARUDDIN salah satu dari sedikit angkatan muda Aceh yang mengagumi Yap Thiam Hien. Saat kuliah di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, lelaki kelahiran Aceh Tamiang ini membaca karya tulis Yap maupun tulisan-tulisan yang menyinggung perjuangan Yap.

“Saya banyak mengambil inspirasi dari Pak Yap lewat bukunya. Kalau saya tak salah judulnya,  HAM dan Demokrasi,” kata Kamaruddin.

Judul lengkap buku itu adalah Negara, HAM dan Demokrasi. Buku itu berisi kumpulan tulisan Yap Thiam Hien di berbagai forum dan media massa semasa hidupnya. Buku ini diterbitkan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia tahun 1998.

Kamaruddin menganggap  proses persidangan yang dia hadapi saat ini adalah risiko sebagai salah seorang pembela HAM. Usahanya bersama teman-teman di LBH untuk membantu warga yang menjadi korban perampasan tanah di Aceh Timur masih jauh dengan yang apa dilakukan Yap Thiam Hien. Dia menaruh hormat pada Yap yang pada masa hidupnya lebih memilih kerja-kerja yang tidak banyak menghasilkan uang.

“Dia punya peluang untuk hidup lebih mapan. Apalagi dia pernah kuliah di Belanda. Di zaman dia, dengan kapasitas ilmu pengetahuan dan predikat mesteer in de rechten, dia sebenarnya bisa menyandang status sosial dan kemapanan luar biasa. Tapi dia tidak memilih itu,” ujar Kamaruddin.

Kamaruddin salut kepada sikap Yap yang tidak membeda-bedakan agama maupun ras dalam perjuangannya, walaupun tokoh panutannya itu bukan beragama Islam dan berasal dari keturunan Tionghoa.

“Spirit humanisme Islam saya pikir ada pada dia. Karena Islam menjunjung tinggi kemanusiaan,” ujarnya.

Meski lahir, sekolah dan pernah beberapa tahun tinggal di Aceh, tak semua aktivis pembela HAM di Aceh sendiri mengenal sosok Yap Thiam Hien seperti halnya Kamaruddin.

“Yap apa? Siapa dia?” kata Sulaiman Gade kepada saya.

Sulaiman adalah koordinator Komite Monitoring Perdamaian dan Demokrasi (KMPD) di wilayah kabupaten Pidie. Lembaga swadaya ini didirikan pada 20 Desember 2002 oleh 14 orang aktivis HAM di kabupaten Bireuen. Fokus kerja lembaga ini adalah advokasi pemenuhan hak-hak masyarakat korban di Aceh. Bentuk organisasi ini adalah perhimpunan individu-individu yang peduli terhadap setiap upaya penghormatan, penegakan HAM dan demokrasi. Sejak pertengahan Okotober 2005, KMPD menetapkan kampaye pemenuhan hak-hak masyarakat korban sebagai program strategisnya.

Sulaiman baru bekerja kurang dari dua tahun di KMPD. Di Pidie, kata dia, jumlah korban konflik amat banyak. Kasus pelanggaran HAM juga sering terjadi di pelosok kabupaten ini. Tugas Sulaiman membantu para korban di sana untuk memperoleh hukum yang adil. Dia mengumpulkan dan melaporkan data-data kekerasan setelah perdamaian di Pidie.

“Kami tidak bisa berjanji yang muluk-muluk kepada korban. Kami hanya bisa menjembatani dan membawa kasus-kasus pelanggaran HAM ke lembaga-lembaga hukum yang bertanggung jawab,” katanya.

Walau tak pernah mengenal apalagi membaca tulisan-tulisan Yap seputar reformasi peradilan dan HAM, Sulaiman punya cita-cita agar hukum akan berpihak kepada mereka yang selama ini menjadi korban kekerasan. Dan cita-cita ini bukan cuma milik dia serta kawan-kawan di organisasinya.

“Kontras amat terbantu dengan munculnya lembaga-lembaga ini. Ada lembaga lokal dan memang baru. Ada juga lembaga lama yang memperluas wilayah kerja. Mereka mendirikan cabang-cabang daerah,” kata Hendra Fadli, menyinggung makin berkembangnya organisasi sipil di bidang HAM yang berada di Aceh saat ini.

Dia mencontohkan bahwa saat ini Kontras Aceh telah memperluas jaringan kerja di sembilan kabupaten. KMPD juga memiliki kordinator-kordinator di sejumlah wilayah. Begitu pula LBH,  Pos Bantuan HAM, dan beberapa lembaga lain. Komunitas-komunitas korban konflik dan kekerasan juga mendirikan organisasi. Misalnya Solidaritas Persaudaraan Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berdiri di beberapa kabupaten. Lalu ada Komunitas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang anggotanya sebagian besar kaum perempuan.

“Apa banyaknya lembaga-lembaga ini tidak menimbulkan konflik kepentingan?” tanya saya.

“Sudah pasti. Tapi kalau lembaga-lembaga yang visioner (memiliki visi) untuk perubahan, tentu akan jadi jaringan strategis,” jawab Hendra.

“Yang dikhawatirkan kalau lembaga-lembaga ini hanya muncul untuk project oriented, karena Aceh lagi banyak bantuan. Ini akan membuat pandangan masyarakat beneficiaries berubah. Masyarakat akan menganggap LSM, ya … uang. Advokasi, ya uang,” lanjutnya.

Sebelum perdamaian, menurut Hendra, jumlah organisasi sipil yang bergerak di bidang HAM belum begitu banyak. Salah satunya disebabkan keterbatasan dana. Kini banyak lembaga bantuan internasional datang ke Aceh. Selain mendukung rekonstruksi Aceh pascatsunami, lembaga internasional ini juga membantu memulihkan Aceh pascakonflik.

Hendra menyatakan bahwa situasi di Aceh akan berubah setelah lembaga-lembaga itu pergi. Uang bantuan akan berkurang. Dana yang mengalir lewat lembaga-lembaga pembela HAM pun ikut menyusut.

“Karena terbatas dalam pendanaan, maka advokasi, pendampingan dan pendidikan masyarakat bakal jadi tidak terarah,” ujarnya, khawatir.

Namun Otto Syamsuddin Ishak punya pandangan beda. Menurut Otto, persoalannya jauh lebih rumit. Saat ini hambatan justru terletak di dalam diri para individu dan lembaga masing-masing.

Otto adalah sosiolog pada Universitas Syah Kuala, Banda Aceh. Dia mendirikan Cordova pada 1990, lembaga yang bergerak dalam pembelaan HAM. Kini dia peneliti senior di IMPARSIAL. Lembaga ini memantau, menyelidiki, dan melaporkan pelanggaran HAM kepada khalayak, juga menuntut pemegang kekuasaan untuk memenuhi kewajibannya melindungi hak-hak warga.

“Pertama soal ego. Kedua, soal kekacauan mental beberapa aktivis yang mencampuradukkan antara nafsu menghimpun massa untuk kepentingan politik (anggota partai atau untuk pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum), dengan kebutuhan mempersiapkan korban. Ketiga, ada aktivis yang sudah melakukan aliansi politik dengan pelaku yang bertanggung jawab soal pelanggaran HAM di Aceh. Itulah sebab-sebab penting terjadinya kekacauan dalam gerakan HAM di Aceh,” kata Otto dalam surat elektroniknya kepada saya.

Seperti juga Hendra, Otto menyambut baik munculnya organisasi-organisasi yang membela dan memajukan HAM. Tapi, lembaga-lembaga HAM ini mesti didukung individu-individu yang tangguh.

“Kalau intelektualitas pengelola lembaga jongkok, ya tak akan menyumbang apa-apa, kecuali berbuat intrik. Saya kira ini sudah terjadi. Pimpinan lembaga tak tahu spesifikasi mandatnya dan, juga keahlian dirinya di bidang apa dalam dimensi HAM yang sangat luas ini,” ujar Otto.

Setelah perjanjian damai Helsinki disepakati, tantangan dalam perjuangan penegakan HAM di Aceh justru makin besar.

“Tantangannya, ya soal penyelesaian masalah pelanggaran HAM di masa perang tiga dasawarsa itu,” lanjutnya.

DUA TAHUN lebih perdamaian berlangsung di Aceh. Namun Kamaruddin, Hendra, Sulaiman dan korban konflik yang bercita-cita soal keadilan, saat ini seperti berhadapan dengan tembok lain yang keras. Perjuangan penegakan HAM yang mereka lakukan seringkali terhambat pada proses hukum. Kondisi ini bisa memicu sikap apatis dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap aktivis dan lembaga pembela HAM.

“Hingga saat ini belum ada penyelesaian nyata, apalagi kalau kasus-kasus kekerasannya  dilakukan oleh aparat,” kata Hendra.

Sulaiman juga merasakan pengalaman yang sama. Belakangan ini dia kewalahan dalam membantu korban kekerasan. Korban tidak jarang mempertanyakan apakah kasus pelanggaran HAM yang mereka alami itu dijamin bakal sampai ke pengadilan. Selama ini, penyidikan dan proses hukum tak jelas ke mana ujungnya. Alhasil, tak sedikit korban pelanggaran HAM yang dibela Sulaiman merasa putus asa.

“Masyarakat menganggap seolah-olah kami hanya sekedar menjalankan aktivitas. Tidak ada hasil dan tindak lanjut seperti yang diharapkan korban. Mestinya kan ada proses hukum, misalnya untuk mencari tahu kenapa aparat melakukan penembakan,” ujar Sulaiman.

“Ini juga tantangan kita, memastikan tindak lanjut oleh lembaga berwenang, polisi, penyidik, termasuk Komnas HAM terkait temuan pelanggaran HAM dari NGO maupun laporan masyarakat,” kata Hendra.

Namun di tengah kondisi hukum yang lemah ini, Kamaruddin mengingatkan agar para pembela HAM pantang mundur. Dia menyinggung komitmen perjuangan salah satu tokoh pembela HAM asal Aceh yang dia kagumi.

“Yap Thiam Hien bisa dipakai sebagai referensi (perjuangan),” ujarnya.

*) Samiaji Bintang adalah kontributor sindikasi Pantau di Aceh.

by:Samiaji Bintang