Ibrahim

Hairul Anwar

Thu, 28 February 2008

Pernah dipenjara karena kesalahpahaman, seniman ini ingin menghabiskan hidupnya untuk kesenian Gayo.

KENANGAN-kenangan itu tersusun rapi dalam sebuah bingkai ukuran jumbo. Isinya sebagian besar kliping koran yang mengulas tentang dirinya dalam film Puisi Tak Terkuburkan.  Ada pula gambar Garin Nugroho, sutradara film itu, serta aneka piagam penghargaan festival film dari luar negeri.

Bingkai itu terpajang di dinding ruang tamu. Dua bingkai poster film Tjoet Nja’ Dhien menghiasi dinding lain.

Ibrahim Kadir ikut bermain dalam dua film itu. Dalam film Puisi Tak Terkuburkan, dia berperan sebagai tokoh utama. Film ini berkisah tentang pengalaman hidupnya sewaktu hidup dalam penjara pada 1965.  Sedang dalam film Tjoet Nja’ Dhien garapan Eros Djarot, dia berperan sebagai Penyair, bermain bersama aktris Christine Hakim.

Ibrahim masih tetap memelihara komunikasi dengan Garin dan Eros. Ketika dia ke Jakarta, Januari 2008 lalu, dia menyempatkan diri datang rumah Eros. Eros pula yang membangun rumahnya di kampung Kemili, Takengon, Aceh Tengah.

“Sudah seperti keluarga. Kalau Garin nggak ketemu. Dia sedang di Jerman. Dia bilang akan membuat film lagi tentang Aceh dan mengajak saya lagi. Entah, kapan itu,” katanya.

Bermain film adalah pengalaman lain Ibrahim selain mengajar tari, teater dan mengarang puisi.

Saat senggang dia memutar ulang film Puisi Tak Terkuburkan bersama cucu-cucunya. Film ini juga kerap ditonton tetangga atau pejabat di Takengon. Ibarat sebuah album foto, dia berharap orang-orang mengingat kembali penggalan-penggalan masa lalunya.

“Saya hanya punya satu kasetnya. Takut kalau sering diputar jadi rusak. Saya mau minta tolong Garin kirim seribu buah dalam bentuk kepingan CD,” katanya.

Usianya sudah 66 tahun. Satu persatu giginya mulai tanggal. Badan yang dulu tegap tak tampak lagi. Kulit tubuhnya pun sudah menggelambir di sana-sini. Hanya satu yang tak berubah, suaranya tetap meledak-ledak. Kadang, saya mendengar gaya bertutur dia seperti sedang berpuisi.

Suatu sore di awal Februari 2008 itu, rumah sedang sepi. Ibrahim pamit sebentar. Suara azan zuhur memanggilnya datang sembahyang ke masjid di samping rumah.

AWAL Oktober 1965. Di kota Takengon, Aceh Tengah, lelaki dan perempuan menyesaki sel penjara yang dingin dan pengap. Tiap sel dipisah dinding dari papan. Wajah-wajah tahanan terlihat tegang dan penuh cemas.

Malam itu, tahanan baru bernomor urut 25 baru saja masuk. Tubuhnya gemuk dan mengenakan sandal jepit. Lelaki itu…bernama Ibrahim Kadir.

Ibrahim menghuni sel nomor tujuh. Orang-orang di sel itu menatap dingin kedatangannya. Sambil membalut tubuhnya dengan kain sarung, Ibrahim menghempaskan diri di pojok sel.

Udara malam yang dingin di luar sana telah menyusup ke celah-celah dinding penjara.

Ibrahim mencoba membaringkan tubuhnya di atas tikar pandan. Matanya sungguh sulit terpejam. Dia masih tidak mengerti mengapa dirinya harus ada dalam ruang penjara yang pengap itu. Lalu dia duduk lagi, termenung.

Siang tadi belasan tentara mengambil dirinya ketika mengajar kesenian di sekolah dasar. Kejadiannya cepat sekali. Apalagi, dia belum sempat pamit kepada istrinya, yang kebetulan sedang mengajar di kelas lain di sekolah itu. Sepanjang perjalanan dia tidak berani bertanya.

Rasa ingin tahunya tiba-tiba membuncah. Kebetulan di kamar itu, dia bertemu seseorang. Dia mengenalnya. Lelaki itu, atasannya di dinas pendidikan Aceh Tengah.

“Saya ini dibawa kemari. Ndak ditanya. Apa ini?”

”Saya pun tak tahu. Saya juga langsung dibawa kemari. Nantilah kita tahu, kalau ditanya,” jawab lelaki itu.

Sel nomor tujuh itu makin lama makin sesak oleh penghuni baru. Ada yang tidur dibawah kaki dengan alas tikar pandan, ada yang berimpitan di atas dipan.

Lamat-lamat telinga Ibrahim menangkap suara bisik-bisik antarmereka.

“PKI di Jakarta memberontak. Jenderal-jenderal dibunuh.”

Dari cerita orang-orang di penjara, Ibrahim mendengar setelah pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) gagal, militer melakukan ‘pembersihan’ terhadap anggota-anggota partai itu, salah satunya di Aceh Tengah.

Ibrahim mengira semua yang berada di penjara itu adalah anggota PKI. Dia ingat ketika partai itu memberikan bantuan alat bertani berupa cangkul di kampungnya. Tapi dia bukan anggota PKI. Dia tidak menerima bantuan itu.

Dia mendengar kabar para penerima bantuan itu ikut pula ditangkap.

Memasuki hari ke-10, penghuni penjara mulai berkurang. Ibrahim paham bagaimana hidup mereka berakhir. Kadang dia mengutuk dirinya sendiri saat menuruti perintah tentara-tentara itu mengikat dan membungkus tubuh para tahanan dengan karung goni. Tapi, dia tidak berdaya di tengah todongan senapan tentara-tentara itu.

Malam itu, seorang tentara sigap memberi perintah. Para tahanan yang diangkut dengan truk kemudian dibagi.

“Empat pertama di tikungan pertama. Empat berikutnya di tikungan berikutnya…”

Di sebuah bukit sudah bersiap puluhan lelaki yang menjadi algojo. Tangan mereka menggenggam tombak dan parang. Dia menyaksikan tubuh-tubuh itu dibantai dari jarak 15 meter. Tentara-tentara itu, anehnya hanya berdiri menonton.

Ibrahim terhenyak. Dia tidak tahan melihat tubuh-tubuh  itu menggelepar di tanah. Dia merasa gilirannya sudah tiba.

“Sudah… Kamu masuk ke truk. Giliran kamu besok…!” seru tentara itu kepadanya.

Seketika tubuh Ibrahim menjadi lemas. Sepanjang perjalanan kembali ke penjara, dia membisu. Dia merasakan maut kian dekat.

Malam ke-14, truk-truk tentara datang lagi ke penjara. Para tahanan yang dianggap anggota PKI kembali akan dieksekusi. Seorang petugas penjara memanggil tahanan sesuai nomor urut. Si pemilik nomor bergegas keluar sel penjara.

“Nomor satu, dua, tiga…dua puluh empat… dua puluh enam…”

Ternyata setelah memanggil nomor 24, petugas itu langsung lompat menyebut nomor 26.

Ibrahim tidak mendapatkan giliran yang dijanjikan itu. Hidupnya seperti tengah dipermainkan. Dia protes kepada petugas itu.

“Nomor dua puluh lima tidak ada!” Petugas itu menjawab dengan nada tinggi.

Malam ke-16… malam ke-18… malam ke-20…hingga malam ke-22, nama Ibrahim tak dipanggil juga. Temannya dalam sel nomor tujuh  yang awalnya sangat sesak kini berkurang.

Lama-lama Ibrahim tidak tahan lagi. Pikirnya, pembunuhan toh akan datang juga. Dia sudah memutuskan tidak mau lagi ikut pergi ke tempat eksekusi. Dia tidak sanggup lagi menunggu datangnya kematian itu. Tekadnya sudah bulat, ingin ditembak di penjara saat itu juga.

Sepanjang malam ke-22 itu  Ibrahim tidak bisa tidur. Tubuhnya gemetar. Dia kemudian membuka sobekan-sobekan kertas rokok berisi sajak-sajak yang ditulisnya dalam bahasa Gayo. Sajak itu diperuntukkan kepada ibunya sebagai ungkapan perasaan jika kematian menjemputnya.

Terbayang pula wajah istrinya, Rasuna dan Adrian, anak lelakinya yang masih bayi.

Ibrahim melangkah membuka daun jendela selnya. Seketika udara dingin menyeruak masuk. Kedua tangannya menggenggam erat jeruji-jerujinya. Dia menanggalkan baju seperti menantang tentara-tentara itu menembak langsung ke dadanya.

Tiba-tiba dia menjerit keras. Suaranya bergaung ke sudut-sudut penjara.

“Mamak…

Batang mempelam tergayut angin

Batang tubuhku sekarang terguncang

Berat telah berkurang ibarat daun layu

Bunga di tanganku terampas hantu

Tak melintas lagi kepak burung di atas atap yang tiris

Tak singgah lagi lalat di lantai yang rata

Tiada lagi bisik burung di ujung tangga

Sebatangkara menimbang bimbang

Mamak…

Bukit hijau itu kadang terbayang

Remuk pundakku mengemban beban

Di punggung kayu basah tersiram hujan

Tempatku bercermin terbayang senyampan

Ranggaskah sudah rumput halaman

Layukah sudah pucuk yang terinjak

Luruhkan sudah putik bunga telaga

Nestapa jasad terombang-ambing gelombang…”

Ibrahim berharap ratapannya itu akan mengundang kemarahan seisi penjara, terutama sipir. Semoga itu berujung pada perintah penembakan dirinya, saat itu juga. Jika sudah mati, keluarganya bisa melihat dan membawa jasadnya pulang. Dia tidak mau hidupnya berakhir seperti tahanan-tahanan itu, yang jasadnya terguling lalu lenyap di balik bukit.

Ibrahim lalu membusung dadanya sambil bersuara keras.

“Oiii…tentaraa…tembaaak nih dadaku!”

Tapi… kemarahan yang diharap itu tidak datang. Selama Ibrahim meneriakkan ratapannya, tidak ada yang marah atau protes karena terganggu. Malah setelah dia selesai, penghuni sel terbawa oleh perasaan haru, lalu mereka menangis.

Paginya, ternyata ratapan Ibrahim itu diperdengarkan dalam sebuah gedung kesenian dekat lingkungan penjara. Acara itu dihadiri orang-orang Takengon, aktivis partai, dan petinggi militer dari Banda Aceh.

Mereka larut mendengar suara Ibrahim. Seorang aktivis Partai Nasional Indonesia bertanya kepada panitia kegiatan itu.

“Suara siapa ini?”

“Ibrahim Kadir.”

“Di mana dia?”

“Di dalam.” Dia lalu menujuk bangunan penjara.

Aktivis partai itu terperanjat.

“Mengapa… Apa salahnya?”

Aktivis itu makin kaget mendengar Ibrahim ditahan karena dianggap anggota PKI. Dia protes kepada sipir penjara. Suaranya yang keras membuat suasana gedung jadi ricuh.

“Dia kan anggota kami! Dia PNI (Partai Nasional Indonesia)! Jangan sembarangan (menahan)!”

Hari itu juga, Ibrahim dikeluarkan dari penjara. Dia dibawa ke kantor distrik militer Aceh Tengah. Di sana sudah menunggu para tentara, jaksa, dan bupati Aceh Tengah. Dia diberitahu tidak terlibat sebagai anggota PKI. Jaksa berdalih nama ‘Ibrahim’ yang dilaporkan anggota PKI adalah ‘Ibrahim’ yang lain.

Namun, Ibrahim tidak terima alasan jaksa. Dengan wajah penuh rasa amarah, dia hendak memukul seorang tentara sembari berteriak.

Pantengong…!!!”

Ibrahim meneriaki mereka “bodoh”. Seorang tentara lain datang melerai dan memegang tubuhnya di kursi. Ibrahim masih berteriak.

“Sudah 22 hari aku ditahan tanpa tahu apa kesalahanku. Sekarang aku dinyatakan bebas. Apa-apaan ini! Mengapa mesti salah menangkap! Sekarang aku sudah lihat perbuatan kalian, membantai orang-orang itu. Tidak! Aku tidak mau bebas! Aku mau tetap dalam penjara itu!”

Jaksa itu mencoba membujuk Ibrahim.

“Kalau Bapak tidak ditangkap saat itu, mungkin Bapak akan dibunuh massa yang menyangka Bapak (anggota) PKI.”

Dia akhirnya luluh. Sebulan kemudian, dia kembali mengajar kesenian di sekolah.

“Kita dilahirkan ke dunia mendapat tugas dengan berbagai kesalahan. Kesalahan setiap manusia tidak dapat dilenyapkan dengan kematian. Sebelum kamu kenali sesuatu, jangan kamu sentuh. Manusia masih bisa berubah,” ujar Ibrahim kepada saya, sambil menghisap rokok di teras rumahnya yang dingin.

PADA 1988, Eros Djarot datang ke Aceh untuk membuat film kepahlawanan pejuang wanita asal Aceh, Tjoet Nja’ Dhien. Nama pejuang ini kemudian digunakan sebagai judul film itu.

Eros bersama kru film dari Jakarta menginap di sebuah hotel di kota Sigli, Pidie. Di situ antara lain, ada aktris Christine Hakim yang akan menjadi pemeran tokoh Tjoet Nja’ Dhien, Slamet Rahardjo Djarot, Pietra Jaya Burnama, dan Rita Zaharah.

Selama berada di Aceh, Eros juga mencari orang-orang lokal yang akan memerankan beberapa tokoh dalam filmnya, salah satunya peran seorang penyair.

Suatu hari, mata Eros terantuk pada seorang lelaki yang tengah membaca puisi. Gerak tubuhnya begitu ekspresif, kelihatan menghayati selama membaca puisi.

Lelaki itu Ibrahim Kadir.

“Mau ikut main film,” kata Eros mengajak lelaki itu.

“Sebagai apa?”

“Penyair. Besok datang ke hotel untuk casting.”

Ibrahim tidak percaya akan diajak bermain film. Selama ini dia hanya bisa membuat puisi, bersyair, mengajar tari, dan sesekali bermain teater. Tapi, apakah bisa main film? Ah, dia ragu.

Setelah pulang ke rumah, Ibrahim hampir melupakan ajakan Eros tadi. Rupanya dia mendapat telepon diminta datang ke hotel untuk casting atau uji peran. Saat itu juga, Ibrahim berangkat tanpa banyak bekal. Istrinya hanya memberi uang sekadar ongkos angkutan.

Di perjalanan Ibrahim tidak yakin apakah diterima, sebab kata Eros ada beberapa orang yang akan diuji untuk peran Penyair. Sampai hotel, dia melihat orang-orang sudah keluar ruangan. Tampaknya, proses casting hampir selesai.

Tapi, Eros sedang menunggunya. Dia meminta Ibrahim memperagakan karakter Penyair seperti tertulis dalam skenario film Tjoet Nja’ Dhien. Tak lama, peragaan itu selesai.

Saat itu Ibrahim tidak diberitahu apakah diterima sebagai pemeran Penyair. Sampai sehari kemudian, dia diundang kru film menghadiri jamuan pesta di rumah dinas gubernur di Banda Aceh. Di sana, Eros akan mengumumkan nama-nama pemeran film Tjoet Nja’ Dhien.

Ibrahim tidak terlalu hirau dengan acara itu. Dia memilih duduk lesehan sambil asyik merokok di halaman pendopo. Tiba-tiba seseorang keluar memanggil-manggil namanya.

“Mana yang namanya Ibrahim.”

“Ya, saya yang namanya Ibrahim.”

“Bapak disuruh masuk.”

Ibrahim bergegas bergabung ke dalam pendopo. Semua orang yang hadir menoleh kepadanya sembari menyungging senyum. Ibrahim malah bingung.

“Ada apa saya disuruh masuk,” katanya dengan polos.

“Bapak terpilih sebagai pemeran Penyair!”

Tokoh penyair sering muncul di bagian akhir film itu. Dengan nyanyian daerah dan syair-syair perjuangan Aceh, si penyair memompa semangat juang pasukan Tjoet Nja’ Dhien sepulang mereka dari medan perang.

IBRAHIM berkenalan dengan sutradara Garin Nugroho pada 1999 atau sebelas tahun setelah film Tjut Nja’ Dhien beredar di bioskop. Garin juga tertarik membuat film dengan tema Aceh, meski tidak tahu temanya soal apa.

Awal perkenalan itu, ketika anak buah Garin mengajak Ibrahim melihat syuting film dokumenter Anak Seribu Pulau di danau Laut Tawar, Takengon. Di sela-sela istirahat syuting, Ibrahim diminta mendendangkan lagu-lagu Gayo, termasuk syair Ratap yang dibuat ketika dia ditahan dalam penjara.

Liriknya sungguh menyayat hati. Diam-diam seorang kru merekam Ibrahim dengan kamera video.

“Mereka menangis setelah mendengar syair itu,” kisah Ibrahim.

Rupanya Garin tertarik mencari tahu kehidupan Ibrahim setelah menonton kaset rekaman itu. Dia melakukan riset mengenai seni didong dan membaca puisi-puisi Ibrahim. Garin makin tergerak membuat film begitu tahu kisah hidup Ibrahim di dalam penjara.

Ibrahim diundang datang ke Jakarta. Selama tiga bulan di sana, Garin mencatat detail kisah hidupnya dan dijadikan skenario film. Garin terenyuh mendengar kisah itu. Ya, dia memutuskan mengangkat kisah itu dalam film berjudul Puisi Tak Terkuburkan

“Sudah Pakcik, kita langsung bikin film saja,” ujar Garin.

Syuting film seluruhnya berlangsung di kawasan Depok, Jawa Barat, selama enam hari, dan pemain sebagian besar orang-orang Gayo yang tinggal di Jakarta. Alasan mengambil lokasi di luar Aceh, karena situasi di sana sedang dirudung konflik bersenjata. Sebuah studio disulap menjadi penjara, begitu pula pemilihan para pemain dipilih sesuai detail kisah Ibrahim.

“Pemilihan Berliana oleh Garin karena saya pernah lihat perempuan dibunuh yang wajahnya sangat cantik, mirip dia,” kata Ibrahim.

Pemain yang dimaksud itu adalah Berliana Febrianti, seorang aktris yang kerap muncul dalam sinetron-sinetron televisi.

Syuting film Puisi Tak Terkuburkan ternyata menguras emosi Ibrahim, ketimbang saat bermain dalam film Tjoet Nja’ Dhien. Selama enam hari, Garin seperti mengungkit lagi penderitaan Ibrahim, yang sesungguhnya pelan-pelan sudah dia lalui. Itu sebabnya, syuting terpaksa dihentikan karena Ibrahim melolongkan tangisan secara tiba-tiba, atau sebaliknya para pemain yang tiba-tiba menangis mendengar kisah Ibrahim.

“Saking emosionalnya, saya selalu protes kepada Garin kalau ada adegan yang tidak sesuai dengan pengalaman saya di penjara,” kenang Ibrahim.

Setahun kemudian, film Puisi Tak Terkuburkan mengikuti berbagai festival film internasional dengan memakai judul A Poet. Ibrahim terpilih sebagai aktor terbaik dalam Singapore International Film Festival. Penghargaan juga diraih dalam festival film yang diadakan Amnesty International, sebuah lembaga hak asasi manusia di Belanda, pada 2001.

Pada tahun-tahun itu situasi Aceh masih mencekam. Keamanan penduduk terancam oleh konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka atau GAM dengan tentara Indonesia. Kadang, banyak penduduk yang tidak bersalah menjadi korban. Ibrahim berharap film Puisi Tak Terkuburkan memberi pesan perdamaian.

“Apa misi film ini?” tanya seorang aktivis Amnesty International kepada Ibrahim.

Ibrahim lantas berkisah tentang sebuah kehidupan indah sebelum konflik bergejolak di kampungnya.

“Rumahku di kaki bukit. Tiap hari gadis-gadis mencari kayu ke sana. Setelah mereka menimbun belahan-belahan kayu, mereka beristirahat sebentar di kaki bukit sambil mendengar suara angin dan kicau burung. Kadang-kadang mereka bercerita sambil bergutu dan mendendang lagu tentang kekasihnya, ibunya, atau tentang bagaimana hari depannya. Ketika senja mereka pulang ke rumah dengan wajah riang. Sekarang mereka tak bisa lagi ke bukit itu karena sudah ada senjata (konflik). Padahal bukit itu tidak dibeli dari Cina atau Belanda. Bukit yang melahirkan mereka. Ke tempat lahirnya juga, mereka tidak bisa pergi.”

“Jadi saya ingin misi film ini, biarkan gadis-gadis itu bisa kembali ke bukit agar bisa senyum bersama bunga-bunga.”

IBRAHIM lahir pada 1944 di sebuah rumah panggung dekat danau Laut Tawar, Takengon. Dia tidak tahu kapan tanggal dan bulannya. Nama Kadir adalah nama ayahnya.

Sejak kecil dia sudah punya bakat berkesenian, mengikuti jejak Kadir, sebagai seorang pemain tari seudati dan didong.

Didong merupakan seni bertutur dengan nyanyian dan dimainkan oleh banyak orang. Di antara mereka ada satu orang menjadi pengatur irama yang disebut sebagai ceh.  Dalam tradisi rakyat Gayo, didong menjadi media menceritakan kebiasaan nenek moyang, membawa pesan humanisme dan kearifan lokal.

Ada puluhan kelompok didong di Tanah Gayo. Setiap ada hajatan kelompok-kelompok itu dipertandingan semalam suntuk. Siapa yang punya syair paling bagus, dialah yang menang.

“Zaman saya kecil, tak sembarang jadi pemain didong. Kalau belum menikah belum boleh jadi anggota kelompok,” ujar Ibrahim.

Ibrahim kecil, oleh teman-teman mainnya, hanya disuruh mencuri ubi atau ayam milik orang lain. Menurut adat masyarakat Gayo pada masa itu, pemilik ubi atau ayam tidak keberatan miliknya dicuri karena anak-anak selalu ikut memelihara sawah dan ladangnya, tanpa harus membayar upah.

“Melalatoa selalu suruh saya mencuri ubi. Kalau tidak, dia akan memukul saya,” kenang Ibrahim sambil terkekeh.

Lelaki yang disebut itu adalah Muhammad Junus Melalatoa, teman akrab Ibrahim. Kelak, Melalatoa dikenal sebagai profesor antropologi Universitas Indonesia. Dia meneliti karya-karya didong para seniman Gayo, termasuk Ibrahim. Penelitian itu telah dibukukan oleh Yayasan Obor Indonesia berjudul Didong Pentas Kreativitas Gayo

“Karangan-karangan didong pada generasi Ibrahim terasa sentimentil dan romantis,” kata Melalatoa dalam bukunya itu.

Sisi romantis itu diperlihatkan Ibrahim ketika jatuh cinta kepada Rasuna, istrinya, di bangku sekolah dasar. Di bawah bangku, Ibrahim sengaja menyenggolkan kakinya ke betis Rasuna, lalu Rasuna membalas dengan senyum.

“Dia paling cantik di ruangan kelas, makanya saya suka dia,” kenang Ibrahim, tersenyum.

Ibrahim kecil juga belajar menuangkan perasaan-perasaan sentimentil tadi ke dalam lagu. Apalagi, dia punya banyak waktu mengarang setelah tidak diperbolehkan gabung dalam kelompok didong. Karya pertamanya, berjudul Tajuk Dilem dibuat dalam bahasa Gayo, termasuk lirik dan melodinya, ketika dia berusia 10 tahun.

Sebagian lirik lagu itu, dalam bahasa Indonesia artinya kira-kira begini;

Padamu Takengon, aku selalu rindu.

Juga ayah dan ibuku, oh ibu.

Terakhir kupandang Takengon dari bukit Singgah Mata.

Jika aku pergi, oh Ibu dan ayah akan sedih termangu.

Bila matahari meninggi, ayah duduk di meunasah (masjid).

Berfikir kemana hari ini pergi (mencari nafkah). Besokpun kemana.

Oh.. Takengon, aku rindu.

Kapan kita ketemu lagi

Padamu Takengon, rinduku selalu.

Saat saya temui, Ibrahim menyanyikan syair itu dalam melodi bahasa Gayo. Liriknya terdengar menyayat dan mendayu. Mustawalad, seorang teman saya asal Gayo, yang ikut mendengar syair itu terlihat berkaca-kaca.

“Rasanya saya mau nangis. Sejak dulu saya sering dengar syair itu, baru tahu kalau yang bikin dia,” ujar Mustawalad kepada saya, usai mendengar syair itu. Dia merinding.

TajukDilem berkisah tentang keindahan alam Takengon dengan danau Laut Tawar dan pegunungan yang sejuk. Karya ini, 30 tahun kemudian, cukup populer di telinga masyarakat Gayo.

Menurut Ibrahim, syair itu berpesan kepada orang-orang Takengon yang pergi merantau agar tidak melupakan kampung halaman.

“Ingatlah bahwa ada danau yang sangat indah untuk dilihat lagi. Kalau yang merantau itu laki-laki, ingatlah bahwa ada gadis-gadis di sini yang sudah menunggu (dinikahi),” kata Ibrahim, panjang-lebar.

Setidaknya pesan syair itu sudah dijalani Ibrahim sendiri. Ketika berkesempatan belajar seni tari di Institut Kesenian Jakarta, Ibrahim tetap kembali pulang. Dia  mempraktekkan ilmunya untuk perkembangan kesenian di Gayo. Dia tidak hirau dengan ajakan teman-temannya agar tinggal di Jakarta.

“Saya rasanya berat berpisah dengan alam Takengon. Kalau dulu hidup di Jakarta, bisa-bisa saya stres karena tidak bisa lagi memancing!”

Ibrahim tergelak keras sambil menunjuk hamparan danau Laut Tawar, yang terlihat dari teras rumahnya.

Sebagai seniman didong, Ibrahim bisa dibilang generasi yang hampir punah. Pemain-pemain didong era sekarang tak ada satupun yang mampu mengarang syair. Mereka hanya bisa mendendang syair di pertandingan didong.

Ceh-ceh sekarang kalau main didong sesuka hatinya. Irama. Gerak tangan, dan asesoris permainan tidak seragam. Makanya, sekarang didong kurang digemari. Malah, kelompok-kelompok didong sekarang meniru lirik-lirik musik dangdut dan India. Cuma bahasa saja dirubah dalam bahasa Gayo,” kata Ibrahim.

Meski begitu, Ibrahim tidak bisa menolak setiap ceh-ceh didong datang minta dibuatkan syair didong.

“Saya nggak ada beras nih. Kasihlah dulu karangannya,” alasan beberapa ceh kepada Ibrahim.

Ceh-ceh sekarang umumnya tidak punya pekerjaan lain, selain berdidong. Anehnya, kata Ibrahim, seperti menjadi kebiasaan kalau pertunjukkan didong lagi ramai ceh lalu menikah lagi. Jika pertunjukan sedang sepi, mereka bercerai.

Ibrahim sudah berbicara dengan pemerintah Aceh Tengah untuk mengembalikan lagi seni didong sesuai pakemnya. Salah satunya, dengan menggalakkan lomba mengarang syair didong.

“Saya pribadi akan terus menulis syair didong, mungkin sampai ajal menjemput. Saya suka dunia ini. Semua hasil yang saya terima juga karena didong,” kata Ibrahim, tegas.***

*) Hairul Anwar adalah kontributor Pantau Aceh Feature Service di Banda Aceh

kembali keatas

by:Hairul Anwar