Prosalina

Oryza Ardyansyah Wirawan

Thu, 22 November 2007

Bagaimana sebuah radio swasta mendidik publik dengan menyiarkan langsung hari-hari persidangan korupsi tanpa jeda komersial.

JEMBER adalah sebuah kota kabupaten yang berjarak empat jam perjalanan dari Surabaya, Jawa Timur. Ia terletak di kawasan tapal kuda, yang mayoritas dihuni oleh pengikut Nahdlatul Ulama. Sebuah kota yang acap membanggakan diri sebagai representasi kota religius, kota santri.

Di kota ini Charis Mardiyanto memimpin sebuah institusi pengadilan yang tak memiliki catatan peradilan yang menyita perhatian publik. Tak ada yang istimewa. Dalam catatannya, tahun lalu Pengadilan Negeri (PN) Jember menangani 1.300 perkara pidana, 115 perkara perdata, kurang lebih 1.000 perkara tindak pidana ringan, dan 20 ribu kasus pelanggaran lalu-lintas.

Kendati hanya memiliki sembilan hakim, Mardiyanto tak terlampau cemas. Semua perkara diselesaikan tepat jadwal.

Namun, tidak tahun ini. Mendadak rasa letih membekap Mardiyanto. Sejak pertengahan Mei 2007 lalu, PN Jember mendadak mendapat limpahan sejumlah perkara korupsi yang merugikan negara puluhan miliar rupiah.

Inilah pengadilan tingkat pertama yang paling banyak menangani kasus korupsi di Jawa Timur sepanjang tahun 2007. Semua kasus kelas kakap, karena melibatkan pejabat teras atau mantan pejabat teras di Jember.

Simak saja: perkara korupsi kas daerah dengan terdakwa mantan bupati Samsul Hadi Siswoyo, mantan Kepala Bagian Keuangan Mulyadi, dan Kepala Dinas Sosial Achmad Sahuri. Semua disidangkan terpisah dengan majelis hakim yang berbeda.

Belum lagi kasus dugaan korupsi kas daerah dan dana bantuan hukum dengan terdakwa Sekretaris Kabupaten Djoewito. Masih ada pula perkara korupsi Badan Urusan Logistik (Bulog) Jember dengan empat terdakwa yang disidangkan terpisah, salah satunya mantan Kepala Sub Divisi Regional Bulog Jember Mucharror.

"Makanya, harapan saya hanya satu. Semoga hakim-hakim PN Jember tetap sehat walafiat, tidak ada yang sakit," kata Mardiyanto, suatu kali.

Salah satu perkara yang membuat Mardiyanto harus berpikir keras adalah perkara korupsi kas daerah senilai Rp 18 miliar dengan terdakwa mantan bupati Samsul. “Perkara ini menarik perhatian banyak pihak, karena yang diadili mantan orang nomor satu,” katanya.

Dalam benaknya, PN Jember harus senantiasa meminta bantuan kepolisian untuk mengerahkan personilnya berjaga mengamankan jalannya sidang. Maklum saja, Samsul Hadi Siswoyo masih punya banyak pendukung.

Samsul Hadi Siswoyo, biasa disapa Abah Samsul, menjadi bupati Jember tahun 1999 sampai 2004. Selama masa kepemimpinannya sejumlah dugaan perkara korupsi dicuatkan oleh lembaga swadaya masyarakat di media massa.

Gara-gara berita dugaan korupsi yang dimuat selama dua pekan itu, harian Surya, salah satu koran berpengaruh di Jawa Timur milik Kelompok Kompas Gramedia, sempat mendapat somasi dan terancam gugatan miliaran rupiah. Akhirnya, Surya menyerah dan mengumumkan bahwa berita mengenai dugaan perkara korupsi di pemerintahan Samsul selama dua pekan dianggap tidak ada.

Tetapi sepandai-pandainya tupai melompat pasti jatuh juga. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit investigasi selama sebulan setelah Samsul lengser di tahun 2005, dan menemukan sejumlah penyimpangan keuangan di masa pemerintahannya.

Secara resmi, Ketua BPK Anwar Nasution mengumumkan bahwa nilai penyimpangan keuangan yang ditemukan dalam audit BPK sebesar Rp 133 miliar.

Namun, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menyeret Samsul ke meja hijau dengan dakwaan lain. Ia diduga bertanggung jawab terhadap selisih keuangan sebesar kurang lebih Rp 18 miliar, antara rekening koran di Bank Jatim dengan catatan keuangan di buku kas daerah.

Majelis hakim sudah dipilih. Hari sidang perdana untuk Samsul pun ditentukan Selasa, 22 Mei 2007.

RADIO Prosalina didirikan Lutfi Abdullah pada 9 Desember 1989 dan mengudara di kanal 101,3 FM. Abdullah tipe pengusaha media yang pandai membaca peluang pasar. Dia cukup dihormati di komunitas radio swasta Jawa Timur dan saat ini ia menjabat sebagai Ketua Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia Jawa Timur.

Prosalina adalah akronim dari Prosa Lirik Nada. Awal berdirinya radio ini lebih banyak menyiarkan musik dan hiburan. Jatah untuk berita hanya 15 persen dari jam siaran, di luar relay berita dari Radio Republik Indonesia.

Pergeseran mulai terjadi tahun 2002, setelah sejumlah awak radio itu mendapat pelatihan jurnalisme dari radio BBC London. Divisi pemberitaan lebih dioptimalkan, dan mendapat jatah 40 persen dari jam siaran. Radio itu juga memberikan porsi lumayan besar untuk diskusi publik mengenai hal-hal yang bersifat layanan umum.

Saat ini Prosalina menurunkan lima reporter untuk meliput berita pemerintahan di kabupaten Jember, politik di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), hukum dan kriminalitas di kepolisian, dan peristiwa di sejumlah kecamatan, terutama di wilayah barat dan selatan. Radio ini juga menjadi salah satu jaringan Kantor Berita Radio 68 H Jakarta.

“Media radio adalah ranah publik. Belum ada media di Jember yang memberikan informasi secepat dan setransparan Prosalina,” kata News Director Mochamad Dawud. Ia alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember dan sempat menjadi aktivis pers mahasiswa semasa kuliah.

Prosalina boleh dianggap sebagai sekolah jurnalisme bagi sejumlah wartawan, meskipun akhirnya mereka berkarir di dunia politik. Abdullah Azwar Anas, anggota Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, dan Ketua DPRD Jember Madini Farouk pernah bekerja sebagai jurnalis di radio ini.

Salah satu program yang banyak menyedot pendengar adalah “Suara Rakyat” yang dimunculkan tahun 1999. Program ini sebelumnya bernama “Spektrum Reformasi”. Ciri khas program ini: sang penyiar selalu menyapa pendengarnya dengan lontaran ‘salam reformasi’.

“Suara Rakyat” diudarakan setiap hari Senin hingga Jumat, pukul sepuluh hingga sebelas pagi dan pukul tiga sampai empat sore. Selama satu jam pendengar dipersilahkan menelepon dan menyampaikan kritik maupun uneg-uneg tentang pemerintahan dan layanan publik di Jember.

“Dalam “Suara Rakyat” tidak ada gate keeper. Semua telepon bisa masuk. Kebijakan Prosalina, “Suara Rakyat” tidak boleh dimanipulasi,” kata Dawud.

Dalam satu siaran, rata-rata penyiar menerima enam sampai delapan penelepon. Jika tak dibatasi waktu, masih ada banyak penelpon yang antre.

Semasa pemerintahan Samsul Hadi Siswoyo, Prosalina punya reputasi sebagai media yang bisa bersikap kritis. Bahkan, boleh dibilang siaran radio ini punya andil untuk menggagalkan Samsul melenggang sebagai bupati untuk kedua kalinya dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) dua tahun silam.

Setelah Samsul berhenti dari jabatannya Mei 2005, mendadak semua borok dalam pemerintahan Samsul terdahulu tersingkap di hadapan publik. Sjahrazad Masdar, yang ditunjuk sebagai penjabat bupati selama tiga bulan hingga terpilih bupati baru dalam pilkada, sempat kaget bukan kepalang saat mengetahui adanya ketidaksamaan jumlah uang kas daerah di Bank Jatim dengan catatan keuangan resmi.

“Saya merasa terkecoh. Ternyata memori yang saya pegang saat serah terima jabatan 16 Mei lalu, tidak sama dengan buku keuangan yang sebenarnya. Ada selisih Rp 18 M lebih mulai 1 Januari 2004 sampai 27 Mei 2005,” tukas Masdar kepada wartawan saat itu.

Berita ini memanaskan suasana politik Jember. Siaran Prosalina mengenai selisih uang Rp 18 miliar bekerja lebih efektif dan cepat menjangkau masyarakat Jember hingga pelosok pedesaan daripada orasi para juru kampanye Samsul.

Popularitas Samsul mendadak melorot. Ia kalah telak dalam pemungutan suara. Setahun kemudian setelah pemilihan kepala daerah, ia ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.

Awal Mei 2007. Lutfi Abdullah mengumpulkan anak buahnya yang tergabung dalam news room. Hari itu mereka memperbincangkan sesuatu yang serius: persidangan Samsul Hadi Siswoyo.

“Waktu itu kami semua ngomong, tidak percaya dengan aparat hukum,” kata Dawud.

Mereka pesimis, karena kasus itu diserahkan ke Kejaksaan Negeri Jember. Selama ini Kejaksaan Negeri Jember dianggap tak cukup berani mengungkap berbagai dugaan korupsi semasa Samsul masih berkuasa.

Dawud menyarankan kepada para reporter supaya mengawasi benar kinerja aparat. Jangan sampai aparat bermain mata.

Skeptisme ini ditanggapi Abdullah serta-merta.

“Ya sudah, kalau tidak percaya aparat hukum, kita siarkan saja secara langsung persidangan itu, biar tidak dibuat mainan aparat. Masyarakat juga bisa mengakses informasi,” katanya.

Siaran langsung setiap kali sidang dilakukan tanpa terputus selama tiga jam tanpa jeda komersial sama sekali, sejak pukul sembilan hingga dua belas siang. Jalannya persidangan di atas jam 12 siang, akan di-relay pukul tiga hingga empat sore.

Saat persidangan, Prosalina mengerahkan OBV (outside broadcast van). OBV adalah semacam mobil yang digunakan untuk me-relay siaran langsung. Mobil itu dilengkapi pemancar dan kelengkapan audio.

Prosalina juga mengerahkan dua reporter. Dawud yang sehari-hari cukup menjadi editor berita kali ini turun langsung untuk mewawancarai sejumlah narasumber sebelum persidangan. Sementara itu, seorang reporter meliput jalannya persidangan untuk kepentingan berita sore.

Dawud menyebut siaran langsung tersebut tidak memiliki preseden di dunia warta radio manapun di dunia. Boleh jadi blocking time untuk satu dua kali siaran persidangan pernah dilakukan. Namun, blocking time setiap kali persidangan perkara korupsi dilakukan, ia menyebut baru Prosalina yang melakukannya.

Dalam konteks ini, Prosalina dinilai lebih berani daripada stasiun televisi yang menyiarkan langsung vonis Akbar Tanjung di Mahkamah Agung, maupun sidang teroris bom Bali. Kedua siaran langsung sidang itu masih disisipi jeda komersial.

Padahal, jika mau, Prosalina bisa menangguk untung lumayan besar dari siaran itu. Diperkirakan, sedikitnya Prosalina bisa meraup Rp 150 juta dari 28 kali persidangan. Bagi sebuah radio lokal di sebuah kota kecil seperti Jember, jumlah itu sudah termasuk besar. Apalagi sudah ada empat pengiklan besar yang siap menjadi sponsor acara siaran langsung tersebut.

“Tapi kami tidak mau. Siaran langsung ini sudah menjadi hak publik. Radio menggunakan frekuensi yang merupakan ranah publik,” kata Dawud.

Prosalina juga punya kalkulasi bisnis lain di balik keberaniannya itu. Siaran langsung dipercaya akan mendongkrak jumlah pendengar dan membuat pendengar lebih terikat secara emosional dengan radio tersebut. Dawud menyebutnya konsep pemasaran yang tak ada dalam teori.

Kendati belum ada survei resmi, Dawud yakin rating siaran langsung itu lumayan tinggi. Dua tahun lalu, Telkom pernah melakukan survei yang menyatakan bahwa jumlah pendengar Prosalina 64 persen dari jumlah pendengar radio di Jember.

“Saya yakin jumlah pendengar radio saat siaran langsung berlipat tiga kali lipat,” kata Dawud. Artinya, orang yang tak biasa mendengar radio pun akhirnya ikut mendengar radio. Efek siaran langsung terlihat dari jumlah pengiklan reguler yang mencapai 20 sampai 26 spot iklan dalam durasi satu jam.

SELASA, 22 Mei 2007. Pagi yang cerah. Ini hari yang tepat untuk sebuah persidangan. Ruang sidang utama sudah dipenuhi pengunjung. Dua pengeras suara besar ditempatkan di depan ruang sidang utama agar pengunjung yang tak masuk ruangan bisa menyimak jalannya persidangan.

Satu peleton personil kepolisian berjaga di dalam dan luar gedung. Sebagian besar dikonsentrasikan di depan pintu ruang sidang utama. Dua orang petugas membawa senapan.

Setiap pengunjung yang hendak masuk ruang sidang utama diperiksa secara ketat. Kepolisian tidak mau kecolongan. Sempat terdengar kabar, bahwa kelompok anti Samsul akan berunjuk rasa hari itu. Jika polisi salah urus, bisa-bisa terjadi bentrokan antara massa anti Samsul dengan sejumlah pendukung mantan bupati yang sudah masuk ke gedung pengadilan.

Dawud sudah datang pagi-pagi sekali bersama kru OBV. Ia melaporkan persiapan persidangan via telepon. Situasi masih aman terkendali. Beberapa mantan anggota DPRD Jember dari berbagai partai hadir bersama sejumlah orang yang sempat menjadi tim sukses Samsul saat Pilkada.

Sebelum persidangan, Dawud sempat mewawancarai pengacara Jarot Subiakto dan hakim Charis Mardiyanto.

Kepada saya, Mardiyanto mengatakan bahwa ia merasa terbantu dengan siaran langsung Prosalina

“Supaya tak ada konsentrasi massa di pengadilan. Masyarakat cukup mendengarkan jalannya persidangan melalui radio,” katanya.

Menurut Mardiyanto, hal ini tak pernah terjadi di pengadilan-pengadilan negeri lain di Indonesia.

Siaran langsung juga dipandang cara yang tepat untuk proses penyadaran hukum masyarakat.

“Kami juga memandang siaran langsung ini penting bagi institusi PN, bahwa PN bisa diakses siapapun,” kata Mardiyanto, lagi.

Sekitar pukul sembilan pagi, Samsul datang dengan wajah cerah. Ia melambaikan tangan. Tubuhnya lebih kurus dari saat menjadi bupati.

Suasana gaduh. Beberapa petugas kepolisian dan kejaksaan mengapit di kiri dan kanannya, menghalangi beberapa pendukung yang berebut ingin bersalaman dan mencium punggung tangan sang mantan bupati.

Beberapa orang memanggilnya. “Bah… Abah…” atau menegurnya, “Bah, apa kabarnya?”

Hari itu sidang berjalan cukup panjang. Setelah jaksa membacakan dakwaan, tim pengacara Samsul langsung membacakan eksepsi. Blocking time sidang membuat Prosalina harus menggeser jam tayang komersial pagi hari.

Untunglah tidak ada ada keluhan, mengingat blocking time ini selanjutnya berjalan setiap kali persidangan Samsul, Senin dan Kamis setiap pekan.

SETIAP Senin dan Kamis, pukul sembilan sampai dua belas, warung-warung makan membesarkan volume radio di kanal 101,3 FM. Di pasar Tanjung, pedagang memancang kanal Prosalina. Begitu juga di kantor-kantor pemerintahan. Para birokrat ingin tahu nasib mantan bos mereka.

Dengan nada setengah bergurau, Dawud mengatakan dirinya ingat zaman perjuangan dulu. “Tidak ada televisi. Yang ada hanya radio yang didengarkan bersama,” katanya.

Mulanya, ada kekhawatiran siaran langsung persidangan akan berjalan membosankan, penuh istilah hukum yang membuat publik jenuh. Namun, Prosalina beruntung. Arif Supratman, sang hakim ketua majelis, tampil meledak-ledak.

Nada bicaranya keras. Supratman kerap memarahi dan menasihati terdakwa maupun saksi dengan menyitir ayat suci Alquran. Sidang itu terkesan sebuah pertunjukan teater. Saya tidak bisa membayangkan jika mantan orang nomor satu di republik ini, Suharto, diperlakukan begitu di persidangan dan disiarkan secara langsung oleh televisi atau radio.

Tak ada yang pejabat yang sakti di hadapan Supratman. Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Jember, Mudjoko, malah pernah diusirnya dari ruang sidang karena dianggap mengganggu. Pengusiran itu terdengar dalam siaran langsung.

Mendadak nama Arif Supratman ikut menjulang.

“Banyak yang ingin tahu wajah saya, karena di radio cuma dengar suara,” kata pria yang juga menjabat wakil ketua Pengadilan Negeri Jember ini, tertawa.

Selain itu, bagi sebagian orang Jember, siaran langsung itu sama menariknya dengan siaran sandiwara radio. Mendengarkan dakwaan jaksa dan keterangan saksi-saksi seperti menyimak drama persekongkolan gelap merampok uang negara.

Apalagi dengan terang-benderang jaksa membacakan daftar penerima uang kas daerah dari Samsul tanpa melalui prosedur keuangan yang benar: partai politik, organisasi masyarakat, aparat hukum, militer, tim sukses, ulama, anggota dewan, hingga wartawan. Nominalnya beragam: dari yang hanya ratusan ribu hingga ratusan juta rupiah.

Saya sempat bertemu dengan Endro Jatmiko, seorang pemilik gerai pulsa telepon seluler. Sejak sidang perdana, ia tak pernah luput mendengarkan siaran langsung Prosalina. Ia kesal betul mendengar dakwaan jaksa.

“Ma, ternyata yang makan uang itu orang banyak,” kata Jatmiko kepada istrinya, Anik.

“Ternyata uangnya banyak ya, Yah,” sahut Anik.

“Iya, masa perjalanan dinas dewan ke Surabaya habis Rp 50 juta. Rasanya kok nggak mungkin,” tukas Jatmiko, kesal.

Dalam sidang berikutnya, kesaksian bekas anak buah Samsul juga menyodok istana negara. Nama Andi Alfian Mallarangeng, juru bicara presiden Susilo Bambang Yudhoyono, disebut-sebut ikut menerima aliran dana dari deposito on call (DOC). Samsul didakwa mendepositokan uang daerah dalam bentuk DOC dan bunganya dimasukkan ke rekening bupati, bukan rekening kas daerah.

Uang yang diterima Mallarangeng sebesar Rp 20 juta. Menurut keterangan mantan Kepala Kantor Kas Daerah Imam Surahmat, uang itu diberikan saat Mallarangeng menjadi narasumber seminar otonomi daerah di Jember.

“Gendeng, Andi Mallarangeng ya dapat juga,” seru Jatmiko, heran.

Mallarangeng sempat kebingungan saat dikonfirmasi soal itu oleh wartawan-wartawan di Jakarta. Ia mengatakan pernah ke Jember, namun dalam kapasitas akademisi untuk memberikan ceramah ilmiah.

SAKING populernya siaran langsung persidangan Samsul, Bupati Muhammad Zainal Abidin Djalal pernah menyebut masyarakat punya kebiasaan baru setiap Senin dan Kamis, yakni menyimak sidang Samsul.

Tersiarkannya nama-nama penerima aliran dana tak sah dari kas daerah melalui Prosalina, juga membuat sejumlah pihak yang disebut-sebut namanya mencoba memberikan penjelasan ataupun pembelaan diri.

Ketua DPRD Jember Madini Farouq, salah satu orang yang disebut jaksa pernah menerima uang dari Samsul, memandang penerima aliran kas daerah tidak bisa serta-merta disalahkan.

“Mereka tidak tahu dari pos mana dana itu berasal. Ketika ada permohonan bantuan kepada bupati, tentunya yang dimaksud adalah pos-pos yang resmi, bukan dari pos tak resmi. Penerima bantuan juga tidak akan tanya ini dari pos mana,” katanya.

Anggota DPRD Jember periode 1999 sampai 2004, Heryanto Wijaya, membantah pernah menerima bagian dari uang Rp 4, 6 miliar, yang menurut pengakuan Samsul pernah diberikan sebagai tali asih menjelang akhir masa jabatan dewan.

Heryanto Wijaya mengaku pernah menerima uang barang satu dua juta rupiah dari Samsul, sebagaimana disebutkan dalam dakwaan. Namun ia tidak tahu jika uang itu berasal dari dana yang tak sah. Ia mengira itu uang pribadi Samsul. Menurutnya, Samsul memang dikenal ringan tangan.

Tersiarkannya nama-nama penerima aliran dana dari Samsul melalui siaran langsung Prosalina juga membuat kubu Samsul ikut kelabakan.

Kuasa hukum Samsul saat itu, Wiyono Subagyo, tidak mempermasalahkan siaran langsung tersebut. Namun, mereka meminta penerima aliran dana yang disebut-sebut dalam surat dakwaan kejaksaan dan tersiar luas ke publik tidak risau.

“Itu sama sekali tidak menyalahi aturan. Yang disebut tidak usah risau, itu legal. Saya jamin,” kata Wiyono.

Wiyono mencontohkan dana yang dikatakan untuk Kepolisian Daerah Jawa Timur. Menurutnya, dana itu bukan untuk Kapolda, tapi untuk menjamu rombongan tamu Kapolda.

Sementara, Charis Mardiyanto menepis kekhawatiran sementara kalangan bahwa siaran langsung itu akan menurunkan kredibilitas tokoh masyarakat dan ormas, karena menyebut adanya dana aliran korupsi.

Bagi Mardiyanto, tersiarkannya nama-nama penerima dana itu di radio merupakan pembelajaran bagi masyarakat. Nama-nama yang disebut dalam dakwaan sebagai penerima dana DOC Samsul tidak bisa serta-merta menjadi tersangka atau terdakwa.

Sejauh ini, tidak ada lembaga manapun yang memprotes siaran langsung tersebut. “Di era yang begitu terbuka, maka akan naif jika lembaga kami tertutup. Rakyat kan juga ingin memantau jalannya persidangan,” kata Mardiyanto.

Bagi majelis hakim yang menyidangkan kasus korupsi, siaran langsung berdampak bagus. Arif Supratman mengatakan, dirinya harus lebih hati-hati dalam memimpin persidangan. “Saya harus lebih menyiapkan diri,” katanya.

Supratman tak asing dengan siaran langsung persidangan. Saat sidang pelaku bom Bali, siaran langsung juga sempat digelar oleh televisi di pulau dewata itu.

“Saya dapat telepon dua sampai tiga orang kawan saya yang jauh, setelah sidang bom Bali,” katanya.

Terdakwa kasus korupsi kas daerah lainnya juga merasa terbantu dengan siaran langsung Prosalina. Di dalam selnya, Sekretaris Kabupaten Djoewito yang menanti giliran untuk disidangkan juga rutin memancang kanal radio ini setiap kali sidang Samsul digelar.

“Saya jadi tahu posisi kasus ini. Masyarakat juga tahu bagaimana sesungguhnya persoalan tersebut,” katanya.

PROSALINA menyiarkan langsung persidangan Samsul Hadi Siswoyo selama kurang lebih empat bulan. Kamis, 20 September 2007, majelis hakim menjatuhkan vonis enam tahun penjara kepada Samsul. Lebih rendah dibandingkan tuntutan 12 tahun penjara dari jaksa. Samsul juga diharuskan mengembalikan uang negara sebesar Rp 9,8 miliar.

Dawud merasa tujuan siaran langsung sedikit banyak sudah tercapai. Masyarakat pun jadi terbiasa dengan istilah-istilah hukum. Pengadilan bukan lagi sesuatu yang misterius.

“Menurut salah seorang dosen fakultas hukum, paling tidak butuh dua semester untuk mempelajari materi persidangan korupsi yang disiarkan Prosalina,” katanya.

Namun, tak semua sidang disiarkan Prosalina. Misalnya, sidang perkara korupsi Sekretaris Kabupaten Djoewito dan perkara korupsi Bulog.

“Kami terkendala padatnya jadwal sidang. Apalagi jadwal persidangan Bulog kadang tak jelas. Waktunya tak teratur seperti sidang perkara Samsul yang Senin dan Kamis. Saksinya pun banyak sekali, 80 orang,” ujar Dawud.***

*) Oryza Ardyansyah Wirawan adalah kontributor sindikasi Pantau di Jember, Jawa Timur.

kembali keatas

by:Oryza Ardyansyah Wirawan