1993. MIMPI hanyalah bunga tidur dan tak bisa dijadikan rujukan kebenaran. Namun, bagi Ibu mimpinya malam itu merupakan sebuah pertanda bagi keluarga kami: seekor babi masuk ke rumah dan mencium-cium tubuh Papa. Perasaan Ibu jadi tidak tenang saat ia terbangun keesokan harinya. Memimpikan binatang tersebut membuat Ibu gelisah, karena babi adalah binatang haram bagi umat Islam. Tetapi siapa yang bisa menolak mimpi? Sekilas di benak Ibu terbersit kekhawatiran bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Tetapi entah apa.

Malam itu juga harian Suara Maluku naik cetak. Jumat pagi, keesokan harinya, Suara Maluku akan terbit bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi. Tulisan Papa yang berjudul “Peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW” dimuat di situ.

Selama ini, Ibu terbiasa membaca tulisan-tulisan Papa, memberi komentar, atau meneliti huruf maupun kata, merapikan kalimat-kalimatnya yang dirasa kaku, sebelum tulisan-tulisan tersebut dikirim ke percetakan. Tetapi kali ini tidak. Di malam itu Ibu merasa amat lelah dan mengantuk. Maklumlah, selain mengajar di sebuah sekolah menengah, Ibu juga mengerjakan berbagai  pekerjaan rumah tangga. Mungkin hari itu tenaga Ibu tercurah lebih dari biasanya. Lagipula, selama ini tak pernah ada kesalahan berarti yang tertera dalam semua tulisan Papa. Jadi Ibu tak mengkhawatirkan apa-apa. Ia langsung tidur nyenyak.

TEMPAT tinggal kami, desa Hutumuri lumayan jauh dari pusat kota Ambon, sekitar satu jam berkendaraan. Jaringan telepon bahkan belum terpasang di Hutumuri. Kabar dari kota sering terlambat kami terima. Bahkan Suara Maluku, suratkabar tempat Papa bekerja sebagai wartawannya, tidak masuk ke desa. Kami harus membeli koran di terminal yang terletak di luar desa.

Dengan mengenakan kaos biru muda bertuliskan Suara Maluku, Jumat siang itu Papa berangkat ke kantor percetakan menumpang angkutan umum. Kendaraan tersebut melewati kampung Batu Gong dan beberapa kampung lainnya sebelum tiba di desa Galela, tempat percetakan Suara Maluku berada.

Begitu Papa masuk ruangan, seorang kawannya langsung merangkul dan menutupi tubuh Papa dengan sehelai jaket coklat yang sudah agak kusam. Papa menjadi bingung. Ada apa ini? Apa maksudnya? Si kawan ini menjelaskan bahwa keadaan sudah gawat. Ia menyarankan Papa segera pergi ke tempat aman dan Papa memutuskan untuk pergi ke tempat salah satu famili kami di Air Salobar, kota Ambon.

Siapa sangka huruf “n” pada kata “nabi” berubah menjadi huruf “b” dan tertulis “babi” pada judul tulisan Papa? “Nabi Besar Muhammad” menjadi “Babi Besar Muhammad”! Kejadian ini bagaikan sambaran petir di siang bolong. Mengapa kesalahan ini bisa terjadi? Papa sangat panik. Hal ini sangat menyinggung perasaan umat Islam. Malapetaka sudah terbayang di depan mata.

Kota Ambon, Maluku Selatan, jadi tegang seketika. Umat Islam di Ambon merasa dilecehkan. Buntutnya, kantor redaksi Suara Maluku yang beralamat di kawasan Mardika didatangi massa dari Himpunan Mahasiswa Islam, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, dan berbagai organisasi massa Islam dari seluruh kota Ambon. Mereka minta Suara Maluku ditutup. Papa dicari-cari.

Papa tak habis pikir, bagaimana bisa huruf di tulisannya berubah. Papa tidak mungkin seteledor itu, apalagi huruf itu ada pada judul tulisan. Meskipun Ibuku selalu memeriksa tulisan-tulisannya, Papa juga bukan orang yang ceroboh. Tapi siapa tahu? Sempat juga terlintas, jangan-jangan perubahan huruf dilakukan editor yang ceroboh. Kalau benar, ini sangat fatal. Seorang editor harus lebih teliti dan cermat, bukan kebalikannya. Papa jadi lemas.

Akhirnya tulisan Papa yang berada di meja editor pun diperiksa, yaitu tulisan asli sebelum disunting dan dimuat di koran. Terbukti bahwa tak ada salah huruf  pada judulnya. Nabi ya ditulis nabi, bukan babi. Kesalahan memang dilakukan editor saat ia menyunting naskah Papa. Si editor ini tanpa sengaja menekan huruf “b” yang terletak berdampingan dengan huruf “n” di keyboard komputer, karena mengejar tenggat waktu. Kesalahan kecil telah memantik api masalah dan mengobarkannya.

Di satu sisi keluargaku panik luar biasa, tetapi di sisi lain terbetik sedikit lega, karena terbukti bahwa Papa tidak melakukan kecerobohan tersebut.  

Meskipun kesalahan tidak dilakukan Papa sebagai penulis, tetapi peristiwa tadi membuat Papa makin berhati-hati, kalau tak mau disebut trauma.

Kehidupan keluarga kami ikut terkena imbasnya. Papa berhenti menulis sementara waktu. Bagaimana pun di  byline tulisan itu tertera nama: Arifin Rada. Nama Papa. Pembaca pasti akan ingat terus. Dan tak mungkin kembali menulis di tengah keadaan yang masih panas.

Artinya, Ibu akan kembali menanggung kebutuhan keluarga kami sendirian.

1992. MATAHARI mulai beranjak ke ufuk barat.  Aku, ibu dan adikku Alex berjajar rapi di atas hamparan sajadah, bersimpuh  menunaikan shalat Magrib berjamaah.

Dalam doa yang kupanjatkan, aku meminta Allah mengetuk hati Papa untuk segera kembali ke rumah setelah bertahun-tahun merantau ke Makassar, Sulawesi Selatan. Papa tengah menyelesaikan kuliah di Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri Alauddin.

Papa pergi menuntut ilmu ketika aku baru berusia dua tahun, sedangkan adikku Alex baru sepuluh hari lahir ke dunia ini. Ketidakhadiran Papa membuatku jadi begitu perasa, meski aku masih kanak-kanak. Aku langsung sedih bila ada orang yang menyinggung-nyinggung soal Papa.

Aku, Ibu dan Alex tinggal di sebuah ruangan berukuran 6 x 4 meter persegi. Tempat ini disediakan pemerintah untuk para guru yang belum memiliki rumah. Aku menyebut tempat ini, “asrama”. Ibuku ketika itu berstatus pegawai negeri sipil dan bekerja sebagai guru di salah satu sekolah menengah pertama di kecamatan Baguala, Ambon. Nama Ibuku, Aisa Lumaela.

Untuk makan dan minum, kami bergantung pada gaji ibu setiap bulan. Kondisi Papa yang masih kuliah saat itu memang tidak memungkinkannya untuk menafkahi keluarga.

Dulu ada sebait lagu yang sering kudendangkan,  kalau teringat Papa: “Ayah… dengarkanlah, aku… ingin bertemu, walau hanya dalam mimpi….”  Aku lupa nama penyanyinya. Lagu tahun 1970-an.

Selepas shalat Maghrib, selepas rakaat terakhir dan mengucap salam, tiba-tiba terrdengar salam juga dari luar rumah.

“Assalamualaikum… assalamualikum….”

Kami sontak menjawab, “Waalaikumsalam!”

Masih dengan balutan mukena, Ibu bergegas keluar. Aku membuntuti  Ibu.

Seorang pria keriting, tinggi, berkulit sawo matang, berkaos hijau berdiri di teras rumah kami. Tangan kanannya menenteng ransel.  Ibu dan pria itu saling menatap, penuh haru. Air mata langsung berderai di mata keduanya.

Aku jadi bingung. Siapa pria ini?  Mengapa mereka menangis bersama? Ibu langsung mengajaknya masuk ke rumah.

Alex langsung bertanya dengan lugu, “Om ini sapa?”

Pria itu  langsung memeluk aku dan Alex, seraya berkata, “Ini Papa yang selama ini meninggalkan kalian.”

Kami semua pun larut dalam tangis. Bisa dibayangkan, sekembalinya Papa, Alex sudah hampir enam tahun usianya. Aku hampir delapan tahun dan sudah duduk di kelas dua sekolah dasar. Kepulangan Papa ini membuat kami menjadi sebuah keluarga yang utuh lagi.

PAPA tidak langsung memperoleh pekerjaan setelah lulus kuliah. Saat itu menganggur jadi momok bagi setiap sarjana yang baru saja lulus. Orang berlomba-lomba meraih gelar sarjana dengan tujuan memperoleh pekerjaan, tetapi ironisnya gelar sarjana ini tidak otomatis jadi jaminan untuk memperoleh kerja.  

Lamaran demi lamaran Papa ditolak. Kehidupan sebagai suami  dari seorang isteri pendidik tidaklah mudah. Sarjana yang hanya berdiam diri di rumah selalu menjadi cemoohan setiap orang, jadi ejekan tetangga. Sehingga tak jarang, ada kata-kata yang kurang enak didengar pun sampai juga di telinga Papa.

“E… sarjana apa kong? Cuma di rumah, jadi bapa nyora sudah.” begitulah sindiran orang.

“Bapa nyora” merupakan istilah di Maluku bagi suami yang beristeri guru dan hanya berdiam diri di rumah sambil mengharapkan penghasilan isterinya.

“Ampong e… sarjana kain tinggal di rumah mau jadi apa.” Kalimat seperti itu sering mampir di telinga sang isteri.

Selama menganggur, lahan kosong di depan rumah kami pun jadi ajang bercocok tanam Papa. Ubi, pisang, serta sayur-sayuran ditanamnya di situ.   

Ketika Ibu  harus pergi mengajar, sedang aku dan Alex berangkat sekolah, Papa menangani semua urusan rumah tangga, yang populer dengan sebutan “urusan domestik” itu.  Papa tak merasa sungkan berbagi tugas dengan Ibu. Namun, tak urung cercaan orang terus berdengung. Papa jadi gerah juga lama-lama. Namun, Ibu berusaha membangkitkan semangat Papa. Ibu mendorong Papa untuk menyalurkan hobi menulisnya.

Masih pada tahun 1992, Papa melamar sebagai penulis lepas di harian Suara Maluku. Ia diterima. Etty Manduapessy, pemimpin redaksi Suara Maluku, memberi Papa kesempatan untuk menulis artikel dan mengisi kolom yang diterbitkan setiap hari Jumat.  

Dengan setelan celana jins, jaket, dan topi pet, Papa berangkat ke kantor. Aku masih ingat judul tulisan pertama Papa yang terbit, “Pengaruh Informasi dan Komunikasi pada Era Globalisasi”. Tulisan yang serius, pikirku.

Mulanya Papa bekerja tanpa menerima bayaran sepeser pun, macam kerja bakti. Kadang-kadang Ibu bertanya pada Papa, “Kok pulangnya bawa koran saja? Selama ini mana uang hasil menulisnya?”

Meski Ibu adalah istri yang sangat memahami pekerjaan suaminya, sesekali ia juga menegur Papa. Ibu hanya ingin mengingatkan suaminya bahwa menulis bukan semata-mata kesenangan batin, tetapi kalau bisa menjadi sumber pendapatan Papa. Kehidupan wartawan memang tidak mudah. Dalam kenyataan, seringkali terjadi antara idealisme dan tuntutan dapur tidak berjalan beriringan. Papaku terus berusaha untuk mendapatkan pekerjaan lain dengan pemasukan tetap.

Baru setahun Papa di Suara Maluku, tiba-tiba terjadi peristiwa yang menghebohkan itu.

SETELAH emosi orang mereda, setelah suhu kota turun akibat berita salah huruf tersebut, Papa memutuskan kembali menulis. Kali ini di sebuah tabloid. Namanya, Tabloid Nasional.

Berkat kemampuannya, Papa langsung diangkat jadi wartawan tetap. Ia menulis berita dan profil.

Tak lama di Tabloid Nasional, Papa diangkat jadi calon pegawai negeri sipil setelah mengikuti tes. Papa ditugaskan di Kantor Wilayah Departemen Agama Maluku. Keluarga kami pun pindah dari desa Hutumuri ke kota Ambon dan menempati bilik sederhana di kawasan Air Salobar.

Pada tahun 1996, Ibu melahirkan adikku yang bungsu, Ardiansyah Rada. Semula Ibu dan Papa hanya ingin punya dua anak, seperti kampanye keluarga berencana di masa pemerintahan Soeharto. Tetapi gagal. Meski begitu, aku bersyukur punya dua orang adik jagoan.

Ya, kelihatannya kehidupan keluarga kami berangsur membaik dan tenang. Tetapi, lagi-lagi, harapan tersebut pupus.

Pada 1999, pecah konflik antar warga di Ambon. Perang antaragama terjadi. Pemicu perang adalah pertikaian seorang sopir angkutan kota dan penumpangnya, seorang preman, yang meminta uang pada si sopir. Pertikaian pribadi ini tiba-tiba berubah menjadi pertikaian antara umat Islam dan Kristen di Ambon. Kebetulan agama sopir angkutan dan penumpangnya berbeda.

Ada yang memancing di air keruh, rupanya. Terdengar kabar bahwa ada massa yang datang dari luar. Ada juga yang menyebut-nyebut nama Laskar Jihad dari Jawa. Selain itu, isu pendatang (Bugis-Buton-Makassar) versus penduduk setempat juga mencuat. Aku juga sempat mendengar Republik Maluku Selatan atau RMS dituduh sebagai pihak yang terlibat. Konflik makin panas.

Aku awam terhadap politik, sehingga tidak tahu informasi mana yang benar dan mana yang cuma desas-desus. Yang jelas, warga biasa seperti aku dan keluargaku yang paling banyak jadi korban.  

Masyarakat Maluku yang masih kental adat istiadatnya, dengan perekat pela gandong, kini harus terpecah-belah. Pela gandong adalah suatu sistem kekerabatan di kepulauan Maluku Selatan atau biasa disebut angkat sodara (ikatan saudara) antar kampung Islam dan Kristen, yang dalam keadaan apa pun harus saling baku lia atau baku bawa bae (saling bantu) dan jika melanggarnya akan terkena sumpah leluhur. Ikatan ini berlangsung turun-temurun dari masa nenek moyang kami dulu.

Aku masih ingat kejadiannya. Saat itu, Ibu, aku dan adik-adik memilih berlebaran dengan nenek di kampung halaman Ibu, di desa Kaitetu, Leihitu, yang bisa ditempuh dalam satu jam perjalanan dari kota. Papa memilih shalat Ied di dalam kota, kemudian akan menyusul kami ke Kaitetu.

Shalat Ied diwarnai dengan banyak kesalahan imam dalam membaca ayat-ayat Alquran. Ketika orang-orang sedang bersilahturahmi dengan sanak-saudara mereka di sore harinya, tiba-tiba kami mendengar kabar bahwa kota Ambon sudah tegang, terjadi kontak fisik, pemblokiran jalan, dan pecah konflik dengan isu agama.

Kami sempat hilang kontak dengan Papa selama empat bulan, karena ia memilih berjaga di dalam kota sambil menjaga rumah kami. Jaringan telepon  rusak akibat kebakaran di mana-mana. Sebenarnya harapan kami untuk kembali berjumpa Papa sempat pupus, karena saat itu nyawa manusia tidak ada harganya lagi. Kekecewaan  semakin bertambah ketika mendengar rumah kami hangus dibakar massa. Kantor Papa juga dibakar dan itulah kantor dinas pemerintah yang pertama terbakar saat kerusuhan Ambon.

Di tengah kerusuhan itu, rupanya Papa memutuskan berangkat ke Tual, Maluku Tenggara, tempat kelahirannya, karena  jalur untuk menemui kami di Leihitu putus total. Seluruh aktivitas kantor pemerintahan lumpuh dan hal ini mengakibatkan Papa kembali pada kegiatan menulisnya.

Media lokal ikut terbelah oleh keberpihakan. Berita-berita yang diterbitkan pun menimbulkan pro dan kontra. Suara Maluku sendiri disebut memihak pada salah satu kubu yang bertikai.

PASCAKERUSUHAN 1999, Papa dan sejumlah temannya berinisiatif mendirikan sebuah tabloid mingguan yang diberi nama Sinter.

Tabloid ini lahir di tengah-tengah ketegangan konflik Ambon yang belum usai. Menurut  Papa, tujuan pendirian Sinter ini adalah untuk melayani kebutuhan warga akan informasi dengan tanpa berpihak. Bagaimana caranya? Staf redaksi terdiri dari orang Islam dan Kristen. Untuk memperoleh berita yang  fair, wartawan yang berbeda agama ini dipertemukan di wilayah aman. Hanya bermodalkan seperangkat komputer pinjaman, kantor Sinter dibuka di sebuah bilik kontrakan  di Jalan Soabali, Ambon.

Namun, kehidupan yang rawan di Ambon menjadi pertimbangan Papa untuk memboyong kami sekeluarga ke Ternate, Maluku Utara, pada tahun 2000.

Aku bahkan sempat putus asa dengan masa depanku. Rumah kami hangus terbakar. Harta-benda hancur. Aku tak terpikirkan untuk melanjutkan sekolah sampai ke perguruan tinggi.

Di Ternate pun kami tak otomatis aman. Di kota ini sempat terjadi konflik antar agama, meski tidak separah di Ambon. Yang parah justru konflik antara warga dengan dewan adat Kesultanan Ternate.

Pasukan kadatong (istana) berperang dengan warga yang sebagian besar terdiri dari orang Makian dan daerah lain. Kedua pihak sama-sama muslim. Pasalnya, Sultan Mudaffar Syah tidak mau warga Ternate terlibat dalam pertikaian antar agama seperti yang terjadi di Ambon dan Tidore. Isu yang muncul, cukup simpang-siur. Lagi-lagi, aku mendengar ada massa dari luar yang datang dan ada keterlibatan Laskar Jihad, sebagaimana yang terjadi di Ambon. Untunglah konflik mereda, karena warga tak merasa punya persoalan dengan beda agama sebelumnya. Mereka kembali rukun.

Kehidupan kami dimulai dari nol lagi. Papa menerbitkan Sinter di Ternate. Namun, setelah tiga tahun, tabloid ini ditutup dengan sengaja, karena Papa harus melanjutkan kuliah S2 di Universitas Hasanuddin, Makassar. Papa memang suka belajar. Setelah S2, S3 pun jadi sasaran. Aku ternyata berhasil menamatkan kuliahku di Fakultas Hukum, Universitas Khairun. Ibuku pun akan kuliah lagi. Mudah-mudahan, setelah ini, tak ada lagi cobaan ataupun konflik yang mengguncang keluarga kami, maupun keluarga-keluarga lain di mana pun.***

*) Arisa Murni Rada adalah kontributor sindikasi Pantau di Ternate, Maluku Utara.

by:Arisa Murni Rada