Siapa Main Granat di Aceh?

Ayi Jufridar

Tue, 15 May 2007

RUMAH tokoh GAM dan pejabat dari kalangan GAM dilempar granat. Markas polisi juga tak luput dari granat. Semua pelaku belum tertangkap.

HARI itu Minggu, 29 April 2007. Sejumlah kendaraan roda dua dan empat parkir di depan rumah nomor 5. Sejumlah warga berkumpul di halamannya atau merapat di pagar beton. Mereka tengah memperbincangkan suara ledakan pada pukul 03.05 tadi, yang berasal dari rumah tersebut.

Semula tak seorang pun menyangka itu suara ledakan granat. Marlan Abdul Latif, yang jarak rumahnya tak sampai 100 meter dari rumah sasaran, mengira ia mendengar bunyi ban mobil meletus. Hal tersebut lumrah terjadi di kawasan jalan raya Banda Aceh-Medan.

Mawarni, salah seorang penghuni rumah, malah menduga central processing unit (CPU) komputernya yang meledak akibat dibiarkan menyala terlalu lama. Mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta di Lhokseumawe itu mengisi malam Minggunya dengan bermain games di komputer. Ia sudah duduk di depan layar komputer dari pukul 20.00 dan mematikan komputernya sekitar pukul 02.00.

“Rasanya baru sebentar saya tidur, ketika terdengar ledakan,” kisah Mawarni pada saya.

Akibatnya, salah satu pot berisi tanaman bonsai pecah. Serpihan tanah melayang sampai ke loteng.

Tak banyak yang tahu kalau rumah ini didiami keluarga Tengku Sofyan Dawood sejak dua tahun lalu. Ukuran rumah tak terlalu besar, tetapi halamannya lumayan luas. Kamar tidur ada tiga, masing-masing berukuran sekitar 4 x 5 meter persegi. Posisi rumah berada di jalan Teungku Batee Timoh, desa Panggoi, Lhokseumawe.

Sofyan yang kini berusia 42 tahun dan berperawakan tinggi tegap dengan kepala sedikit plontos itu adalah tokoh penting Gerakan Aceh Merdeka atau GAM. Jabatannya sebagai juru bicara militer GAM di masa konflik membuatnya sangat populer di kalangan wartawan. Bahkan ia lebih dikenal para wartawan ketimbang Panglima GAM Muzakkir Manaf yang ketika itu memang enggan bicara.

Setelah Perjanjian Helsinki, Sofyan Dawood masih menjabat juru bicara dan kali ini untuk Komite Peralihan Aceh atau populer disebut KPA. Ia jadi tokoh penting di balik terpilihnya Irwandi Yusuf sebagai gubernur Aceh pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) tahun 2006 lalu.

Saat penggranatan terjadi, ia dikabarkan sedang berada di Jakarta dan baru saja pulang dari Turki. Ini menurut penjelasan resmi keluarganya pada wartawan yang datang. Namun, belum tentu ia di Jakarta. Ada juga anggota keluarganya yang mengatakan bahwa Sofyan sudah berada di Banda Aceh. Sepanjang Minggu itu telepon selular Sofyan tak aktif, sehingga saya tak bisa memperoleh keterangan apa pun darinya.

SELURUH penghuni rumah sedang tidur pulas ketika ledakan keras terdengar dinihari itu.

Khatijah, ibunda Sofyan, langsung terbangun dan keluar rumah.

“Siapa yang lempar-lempar rumah?” tanya perempuan tua itu, sambil menatap ke arah jalan. Tak seorang pun di sana. Sepi. Ada sebuah pos jaga di tepi jalan, tapi kosong. Cahaya dari lampu jalan hanya remang-remang. Mata Khatijah pun tak begitu awas.

“Bukan dilempar, Mi. Tapi ada yang dibom,” sahut Azirni. Ia ikut keluar bersama mertuanya dan dua adiknya, Mawarni dan Nuraini.

Mi berasal dari kata mami, yang bagi sebagian orang Aceh adalah panggilan untuk nenek, bukan ibu. Azirni memanggil mertuanya “nenek” untuk memberi contoh pada anak-anaknya.

Selain Khatijah dan Azirni beserta dua adiknya, dua anak Sofyan juga di rumah itu. Mereka adalah Muhammad Sultan Alaiddin dan Raifatul Rifka. Syafira, anaknya yang seorang lagi, tengah menginap di rumah orang tua Azirni.

Sadar ada bahaya mengancam, seluruh penghuni rumah segera mengungsi ke rumah orang tua Azirni yang tak jauh dari situ dan baru kembali setelah hari sedikit terang.

Sebelum melempar granat, pelaku diduga sempat masuk ke halaman rumah dengan memanjat pagar dan berencana memadamkan lampu teras.

“Kalau lampu padam, mungkin pelaku ingin melemparkan granat ke dalam rumah,” tutur Marlan, salah seorang warga yang berada di sekitar rumah Sofyan.

“Kenapa harus memadamkan lampu?” tanya saya pada lelaki berkulit gelap itu.

“Biar bebas melakukan aksinya. Kalau mau melemparkan granat ke dalam rumah kan harus memecahkan kaca jendela,” jawabnya.

Namun, rencana itu urung terlaksana karena saklar terletak di dalam rumah. Pelaku lantas mencoba memadamkan lampu dengan membuka meteran listrik. Tapi usaha tersebut gagal. Ia kemudian berusaha mencongkel meteran dari dinding. Lagi-lagi, gagal. Kini meteran tersebut terayun-ayun, karena masih ada seutas kabel yang menahannya.

Azirni juga menduga pelaku hendak memadamkan listrik sebelum melempar granat. “Mungkin mereka mau lempar granat ke dalam rumah,” katanya, sambil menghela napas panjang.

Ia pun sudah memberitahu suaminya.

“Terus, apa katanya?” tanya saya.

“Biasalah…. Kami digertak dengan granat. Dulu malah lebih parah dari ini,” sahutnya.

Saya masuk ke rumah untuk melihat kaca pecah dari bagian dalam. Dua perangkat sofa di ruang tamu sudah digeser menjauh dari jendela. Di dinding terpajang foto-foto dua putri Sofyan; Raifatul Rifka dan Syafira. Mereka tersenyum, berbalut pakaian tradisional Aceh. Keduanya punya hidung bangir, kulit putih, dan rambut pirang alami.

Suatu ketika Sofyan pernah bercerita tentang Syafira pada saya, putrinya yang baru berusia lima tahun.

“Ada tamu datang pas waktu makan siang, dia langsung bilang, ‘Kalau sudah waktu makan, baru bertamu’. Kadang saya jadi nggak enak dengan tamu. Dikiranya kita yang mengajari,” tutur lelaki yang biasa dipanggil “Bang Yan” ini.

Sofyan ramah dan punya pandangan terbuka. Ia adalah salah satu dari sedikit orang GAM yang tak pernah marah mendengar laporan buruk atau kritik tentang GAM.

Agaknya ia mewarisi keramahan ibunya. Khatijah selalu tersenyum pada setiap orang. Namun, kini wajahnya terlihat letih. Dulu semasa konflik, ia sering harus berpindah-pindah, dari satu tempat ke tempat lain. Di masa damai ini pun ia masih harus menghadapi teror.

“Saya ingin hidup tenang saja. Kalau ada yang tidak senang dengan kami, bicara saja baik-baik,” kata Khatijah. Dari balik kaca mata minusnya, ia menatap ke arah loteng rumah yang sedikit terkuak akibat granat.

TEROR granat di rumah Sofyan Dawood bukan yang pertama, dan mungkin bukan yang terakhir. Sebelumnya, kado granat bersama sepucuk surat telah dikirim ke pendopo atau kantor bupati Aceh Utara, pada Selasa, 3 April 2007. Surat tersebut dalam bahasa Aceh dan ditujukan kepada bupati Aceh Utara, Tengku Ilyas Abdul Hamid. Ia mantan panglima muda GAM yang terpilih jadi bupati dalam Pilkada akhir tahun lalu.

Entah apa isi surat itu.

“Langsung diambil pak bupati,” ujar Dedek Ramzi, petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang pertama kali melihat paket tadi.

Granat terbungkus dalam kardus berukuran 20 x 10 sentimeter persegi yang dilapisi kertas coklat. Nama Tengku Ilyas ditulis dengan spidol hitam di salah satu sisinya. Selain granat, beberapa potongan kain dan dua batu bata juga terdapat di dalam kardus, sebagai pemberat.

Menurut Dedek, ia melihat kotak yang mencurigakan itu di dekat pintu gerbang, sekitar pukul 04.00.

“Kami mencoba mengangkat dengan menggunakan kayu. Karena terasa berat, kami mulai curiga,” kisahnya.

Penemuan itu dilaporkannya kepada polisi. Sejumlah petugas brigadir mobil atau Brimob datang ke lokasi dan menjinakkan granat tersebut.

Pada hari yang sama, aksi teror juga terjadi di kantor walikota Lhokseumawe yang tak jauh dari kantor bupati Aceh Utara.

Petugas Satpol PP di kantor walikota menemukan kiriman paket yang berisi empat butir peluru dalam kardus bekas mi instan. Di dalamnya juga terdapat surat berbahasa Aceh yang ditujukan buat walikota dan wakil walikota.

“Tapi saya tak tahu isinya karena langsung diserahkan kepada pak wali (walikota),” kata Sabaruddin, kepala bagian hubungan masyarakat di kantor walikota.

Seperti halnya Tengku Ilyas, walikota Munir Usman dan wakilnya, Suadi Yahya, juga merupakan pasangan yang dicalonkan GAM. Dari 19 kabupaten/kota yang melaksanakan Pilkada di Aceh, calon dari GAM terpilih di tujuh kabupaten/kota.

Rupanya pelaku tak puas dengan hanya mengirim paket peluru. Pada Senin, 23 April 2007, rumah Suadi Yahya dilempari granat. Pelemparan itu terjadi sekitar pukul 20.15.

Granat menjebol atap pos penjagaan dan membuat dinding rumah bolong-bolong terkena serpihan. Selain itu, kaca depan rumah pecah. Sejumlah pot bunga di halaman depan juga berantakan.

Menurut Muhammad Adam, salah seorang Satpol PP yang jaga malam itu, ia dan teman-temannya sempat melihat sebuah becak parkir di depan rumah sebelum ledakan terjadi.

Mereka curiga, lalu mendekati becak tersebut. Pengendara becak segera mengayuh becaknya dan lolos dari kejaran.

Saat kejadian, Suadi tidak berada di rumah. Menurut Sabaruddin, ia sedang di Batam untuk urusan dinas. Hanya istri dan anaknya yang berada di rumah.

Dari Lhokseumawe, teror granat pun pindah ke Banda Aceh. Kali ini yang jadi sasaran adalah markas Brimob di Jeulingke, Banda Aceh. Tempat ini digranat pada Selasa, 24 April 2007. Tak ada korban manusia. Tiga kendaraan yang sedang parkir rusak ringan.

Polisi tengah menyelidiki kasus-kasus ini.

Komisaris Besar Polisi Jodi Ariadi yang menjabat bagian hubungan masyarakat Kepolisian Daerah (Polda) Aceh mengatakan bahwa serpihan granat di Lhokseumawe dan Banda Aceh sudah dikirim ke laboratorium forensik Polda Sumut. Ini untuk mengenali jenis granat yang digunakan.

“Tentang pelaku, dugaan sementara ada dua orang untuk kasus di Banda Aceh,” ujarnya pada saya melalui telepon seluler.

Di Lhokseumawe, Ajun Komisaris Besar Polisi Benny Gunawan menyebutkan bahwa ia sudah membentuk tim khusus untuk memburu para pelaku penggranatan di rumah wakil walikota dan rumah Sofyan Dawood. Kepala kepolisian resor Lhokseumawe ini memberi jawaban umum untuk perkembangan kasus tersebut: polisi masih melakukan penyelidikan.

Benny menyesalkan aksi itu. Ia minta wartawan agar tak terlalu membesar-besarkannya, karena akan berpengaruh terhadap minat investor untuk masuk Lhokseumawe.

“Saya minta masyarakat menyerahkan kasus ini kepada polisi. Masyarakat jangan mudah terpancing,” katanya.

Imbauan pihak tentara kurang lebih sama dengan polisi. Letnan kolonel Yogi Gunawan yang mengepalai Komando Distrik Militer (Kodim) Aceh Utara meminta warga bersikap dewasa agar perdamaian tidak terganggu.

Yogi menganggap kondisi Aceh saat ini sangat rentan untuk diganggu.

“Apalagi banyak pihak yang mengaku dari KPA yang bersikap arogan dan menuntut proyek di sejumlah dinas di Aceh Utara dan Lhokseumawe hingga menimbulkan rasa tidak suka di banyak kalangan. Sikap seperti ini menimbulkan suasana permusuhan di kalangan masyarakat,” katanya di awal Mei 2007 lalu.

Pernyataan Yogi terkesan menyudutkan KPA, organisasi yang jadi wadah mantan gerilyawan GAM.

Namun, Dolly Zulkifli dari Forum Komunikasi dan Koordinasi Damai Aceh, justru meminta anggota GAM maupun warga agar tidak terpancing dengan provokasi tersebut. Ia menyebut aksi granat itu sebagai tindakan kelompok yang ingin merusak perdamaian.

Belum tertangkapnya pelaku, membuat orang jadi menduga-duga.

“Mungkin juga ada gesekan antar-aktor yang kepentingannya terganggu, Ini mungkin yang dimanfaatkan pihak yang tak setuju dengan perdamaian. Tapi bisa juga ada friksi dalam kelompok mantan gerilyawan yang dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu,” ujar Rizwan Haji Ali, salah seorang warga Lhokseumawe. *

*) Ayi Jufridar adalah kontributor sindikasi Pantau di Lhokseumawe

kembali keatas

by:Ayi Jufridar