Bukan Penyair Biasa

Mulyani Hasan

Tue, 29 May 2007

PENYAIR Wiji Thukul telah sembilan tahun hilang. Sajak-sajaknya anti-kekuasaan dan ketidakadilan.

SAAT itu penghujung tahun 1997. Ia mengajak kedua anaknya pergi ke Yogyakarta. Tujuannya adalah kebun binatang Gembiraloka. Putranya, si bungsu, berulang tahun ketiga dan acara ini akan jadi hadiah. Dari Solo, tempat mereka tinggal, butuh sekitar dua jam berkereta menuju Yogyakarta. Tetapi, entah mengapa, begitu sampai di kota itu ia berubah pikiran. Bagaimana kalau ke Kaliurang saja? Ia kemudian membawa anak-anaknya ke tempat berhawa sejuk di kaki Gunung Merapi itu.

Di sana lelaki itu muncul, tak disangka-sangka. Suami sekaligus ayah anak-anaknya.

“Itu setelah beberapa lama kami tak bertemu, “ tutur Diah Sujirah atau yang lebih akrab dipanggil Sipon ini pada saya, sambil membetulkan syalnya yang melorot.

“Saya pikir, ngapain orang gila ini ada di sini,” kata Sipon ceplas-ceplos. “Lalu dia membelikan anak saya mobil-mobilan warna merah. Kamu calon konglomerat ya, katanya kepada anak saya. Kamu harus rajin belajar dan membaca. Berbagilah dengan teman-teman yang tak mendapat pendidikan. Jangan ditelan sendiri. Itulah nasihat suami saya kepada Fajar anak bungsu kami,” lanjutnya.

Pertemuan itu akan jadi pertemuan terakhir mereka.

Sipon mengenang suaminya sebagai seniman; aktif di teater keliling atau memahat kayu atau menulis sajak. Suaminya menjadikan apa saja, hal sehari-hari dan nyata dalam hidup mereka, sebagai puisi. Bejo, tetangganya yang suka mabuk, juga jadi inspirasi. Bahkan, suaminya membacakan puisi tersebut di hadapan Bejo. Ketika akan menikahinya, lelaki itu pun melamar dengan puisi.

Wiji Thukul, suami Sipon, adalah orang penting di Partai Rakyat Demokratik atau PRD. Partai ini anti pemerintah Soeharto dan anti militerisme, sedang pemerintah Soeharto mencap PRD sebagai partai beraliran kiri, bahkan komunis dan wajib dibasmi. PRD mengorganisasi pemogokan buruh, sopir, dan aksi petani, terlibat dalam demonstrasi mahasiswa, wartawan, dan kaum miskin kota. Pemerintah dan militer tak senang.

Menjelang Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat pada Maret 1998, intelijen Indonesia melakukan sebuah operasi. Tujuannya mengamankan momen ini. Aktivis PRD jadi target. Sebelum itu, ketua PRD Budiman Sudjatmiko, ketua Pusat Perjuangan Buruh Indonesia Dita Sari, dan beberapa pengurus partai telah dijebloskan ke penjara setelah dituduh mendalangi kerusuhan 27 Juli 1996, ketika itu kantor pusat Partai Demokrasi Indonesia (PDI) diserbu pasukan tak dikenal dan puluhan kader PDI dibunuh.

Sebagai istri Thukul, Sipon tak luput dari sasaran aparat. Berkali-kali ia diancam tentara. Tak seorang pun yang mendampingi, ketika ia disuruh menghadap ke komando rayon militer setempat, lalu dipukul bertubi-tubi oleh tentara-tentara di situ. Ia diminta memberitahu tempat Thukul berada.

Namun, sedikitpun ia tak curiga bahwa Thukul akan hilang sampai hari ini. Meski jarang pulang, suaminya selalu kembali. Kalau berkumpul, mereka sering makan bersama anak-anak di rumah. Kalau sedang ada uang, Sipon akan memasakkan sayur kikil kesukaan sang suami.

Orang-orang PRD mengira Thukul sengaja sembunyi atau diamankan orang yang bersimpati padanya. Sipon malah sempat menyangka suaminya bersama mereka.

“Setelah Soeharto tumbang, tugas pertama kami adalah mencari dia dengan menyisir semua jaringan partai di tanah air maupun luar negeri. Tapi tak satu pun yang menyembunyikannya,” kenang Wilson, salah seorang mantan pengurus PRD pada saya.

Hampir sembilan tahun Thukul tak pulang. Sipon sudah melapor ke lembaga hak asasi manusia. Ia juga menuntut pertanggungjawaban pemerintah. Hasilnya? Nihil.

“Malam 1 Mei lalu, bersamaan dengan hari buruh sedunia, dia datang dalam mimpi saya,” ujar Sipon, tersenyum pahit.

“Mungkin itu imajinasi saya saja karena setiap May Day, orang-orang menyebut-nyebut nama Wiji Thukul,” katanya, lagi.

Kedua anaknya kini sudah remaja. Fitri Nganthi Wani belajar di SMA, Fajar Merah di SMP. Wani pintar menulis puisi. Bakat itu menurun dari sang ayah. Puisi Wani kemudian diterbitkan bersama sajak-sajak Thukul.

Ketika saya menanyakan kesannya tentang sang ayah, Fajar tak bisa mengingat apa pun. Terakhir kali bertemu Thukul, usianya baru tiga tahun.

“Terserah takdir, bapak hidup atau mati. Kalau Allah mengizinkan, saya ingin bertemu, tapi kalo tidak diizinkan juga nggak apa-apa,” kata Fajar pada saya.

Sipon dan Fajar diundang ke sebuah diskusi mengenang Thukul yang diadakan di Bandung pada 12 Mei 2007 lalu, bertajuk Merekam Ketidakadilan Melalui Seni.

Ketua panitia acara ini, Trinati Sulamit, semula tak tahu siapa Thukul. Trinati mahasiswa Jurusan Jurnalistik Universitas Padjadjaran, angkatan 2003. Sampai suatu hari ia dan teman-temannya membaca buku puisi Thukul.

“Jujur, semangat dan mampu mengangkat realitas,” kata Trinati, mengomentari puisi Thukul.

Ketertarikan Trinati kepada karya Thukul makin bertambah ketika mendengar puisi “Sajak Suara” yang dijadikan lagu oleh Homicade, kelompok band indie asal Bandung.

Sesungguhnya suara itu tak bisa diredam

Mulut bisa dibungkam

namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku.

Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan

di sana bersemayam kemerdekaan

Apabila engkau memaksa diam

Aku siapkan untukmu: pemberontakan!

Sesungguhnya suara itu bukan perampok yang ingin merayah hartamu

Ia ingin bicara, mengapa kau kokang senjatamu dan gemetar ketika suara itu

menuntut keadilan

Sesungguhnya suara itu akan menjadi kata

Ia lah yang mengajari aku bertanya dan pada akhirnya tidak bisa tidak engkau harus menjawabnya

Apabila engkau tetap bertahan, aku akan memburumu seperti kutukan.

Dari sanalah ide menyelenggarakan diskusi ini kemudian muncul.

Wiji Thukul telah menerima Wertheim Award, sebuah penghargaan dari Belanda untuk puisinya. Ia juga menerima anugerah Yap Thiam Hien Award atas karyanya yang memperjuangkan hak-hak asasi manusia.

Ia memang bukan penyair biasa.

“Thukul adalah ikon rakyat kecil yang sadar politik dan mengorganisir perlawanan. Dia mewakili kelasnya, ” ujar Wilson, yang sengaja datang dari Jakarta untuk hadir dalam diskusi.*

kembali keatas

by:Mulyani Hasan