Tentang Sedih di Victoria Park

Fransisca Ria Susanti

Mon, 5 February 2007

LEBIH dari 100 ribu orang Indonesia bekerja di Hong Kong sebagai pembantu rumah tangga. Namun hampir 50 persen tak dapat upah layak, jadi bulan-bulanan agen. Hukum negara Indonesia tak mampu menjamin keselamatan mereka.

NAMA perempuan itu Suhartatik. Dia kelahiran Blitar, Jawa Timur. Usia 23 tahun. Wajah kuyu. Tatapan putus asa. Dua malam dia terdampar di sebuah taman. Dia tidur di tenda putih di Victoria Park, Causeway Bay, Hongkong. Seseorang kebetulan melihat dia duduk mencangkung di bawah tenda itu, lalu berbaik hati membawanya ke sebuah shelter Koalisi Tenaga Kerja Indonesia atau Kotkiho di kawasan Yau Ma Tei. Agen yang berjanji mencarikan pekerjaan untuknya justru mengusir Tatik pergi dari tempat penampungan mereka, karena dia dianggap sudah tak punya uang.

“Saya disuruh membayar HK$ 40 per malam jika tinggal di boarding house itu. Tapi kalau ngutang, bayaran per malamnya dinaikkan jadi HK$ 45,” ungkapnya, saat saya menemuinya di shelter Kotkiho.

HK$ 1 sebanding dengan Rp 1.111.

Victoria Park menjadi pusat berkumpul para buruh migran asal Indonesia jika dapat jatah libur dari majikan mereka. Hari libur masing-masing buruh berbeda, tapi rata-rata libur pada Sabtu atau Minggu. Mereka inilah yang memberi Tatik sekadar uang untuk membeli makanan.

Agen tersebut ternyata tak ingin urusan selesai sampai di situ. Tatik diminta tetap berhubungan dengan seseorang yang benama Muhammad dengan suatu tujuan. Muhammad orang Malaysia, pengacara.

“Dia yang membantu saya menggugat majikan ke Labour Department. Tapi dengan syarat, jika kasus saya menang maka dia akan mendapatkan 30 persen dan saya 70 persen,” ujar Tatik.

Namun 70 persen ini tak sepenuhnya milik Tatik. Pasalnya, agen di Wanchai yang menyediakan tempat menginap selama satu setengah bulan itu sudah buru-buru mengultimatum Tatik untuk melunasi biaya selama dia tinggal di situ.

“Mereka bilang, akan ada tambahan bunga juga jika saya molor melunasi utangnya,” lanjutnya.

Menurut salah seorang staf Asian Migrant Centre (AMC), Afandi, orang seperti Muhammad ini jumlahnya banyak dan berkeliaran di Hong Kong. Mereka adalah orang-orang yang memahami proses pengajuan gugatan ke pengadilan. Namun alih-alih memberi bantuan gratis kepada buruh migran, mereka melakukannya semata-mata untuk mengetahui kasus-kasus yang terjadi, yang bisa diajukan ke Departemen Perburuhan atau pengadilan Hong Kong. Biasanya konflik antara buruh dan majikan. Dari situ pula mereka dapat uang.

Menurut Afandi, sejumlah lembaga dan organisasi nonpemerintah yang selama ini membela para buruh migran dengan cuma-cuma juga tak bisa berbuat apa-apa. Semua dokumen gugatan dan bukti yang dimiliki buruh yang punya kasus tersebut biasanya dipegang para calo macam Muhammad. Proses bantuan pun jadi rumit. Satu-satunya yang mungkin dilakukan adalah meminta polisi setempat mengambil paksa dokumen-dokumen itu atas permintaan langsung dari buruh yang berkasus. Namun usai pengambilan paksa, biasanya agen serta kaki tangan mereka tak segan-segan meneror buruh yang bersangkutan.

Afandi juga mengeritik sikap Konsulat Jenderal Republik Indonesia atau KJRI di Hong Kong yang tak pernah bersikap tegas pada para agen yang memeras buruh. Kasus Tatik merupakan salah satu bukti.

“Selama ini, pihak KJRI ‘kan terkesan melakukan pembiaran,” ujarnya.

Namun, Sri Setiawati, Atase Tenaga Kerja Indonesia di KJRI, membantah anggapan tadi. Dia menyatakan bahwa pihaknya hanya bisa melakukan tindakan pada agen yang terdaftar secara resmi.

“Selama ini banyak kasus yang dialami buruh migran dilakukan oleh agen-agen yang tak terdaftar,” kata Sri.

Agen di Wanchai tersebut memang tak masuk dalam daftar Employment Agency Profile yang dikeluarkan KJRI pada tahun 2006.

“Tapi banyak agen tak terdaftar yang ada di Hong Kong sebenarnya adalah sub-agen dari agen yang resmi. Sehingga sikap tegas KJRI tetap dimungkinkan,” kata Afandi.

TATIK sampai berurusan dengan agen di Wanchai setelah mendapat informasi dari seorang temannya. Sebelum itu, dia bekerja di Hong Kong atas penempatan sebuah agen resmi yang berkantor di Fo Tan, New Territories. Oleh agen yang bekerja sama dengan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) tersebut, Tatik ditempatkan di rumah pasangan suami-istri warga Hong Kong di kawasan Wanchai pada 26 Januari 2006.

Dalam kesepakatan kerja dengan sang agen, Tatik dipaksa menerima gaji sebesar HK$ 1.800 tiap bulan atau sekitar Rp 2 juta dengan potongan yang harus diberikan ke agen sebesar lima bulan gaji. Artinya, selama lima bulan, Tatik tak menerima uang sepeser pun karena seluruh gajinya menjadi hak agen itu.

Namun, bukan berarti para agen hanya menerima keuntungan HK$ 9.000 (HK$ 1.800 x 5 bulan) dari buruh. Itu masih terlalu minim buat mereka. Dalam kasus underpayment seperti ini, agen dan majikan saling mengambil keuntungan. Majikan membayarkan potongan gaji buruh ke agen sebesar HK$ 3.000 per bulan selama lima bulan, ditambah ongkos pengambilan buruh yang jumlahnya tergantung kesepakatan antara agen dan majikan. Namun di hadapan si buruh, majikan dan agen menekankan bahwa upahnya hanya HK$ 1.800. Dengan demikian, setelah potongan agen itu lunas, maka majikan hanya perlu membayar gaji HK$ 1.800 selama sisa masa kontrak yang masih 19 bulan.

Sementara untuk penerima gaji di atas HK$ 3.000, biasanya mereka diizinkan membayarkan sendiri potongan gajinya ke agen selama tujuh bulan berturut-turut. Dan setelah selesai pembayaran potongan, upah sebenarnya baru bisa mereka terima.

Padahal menurut aturan hukum Hong Kong, upah minimum yang harus diterima pembantu rumah tangga asing adalah sebesar HK$ 3.400 untuk kontrak yang ditandatangani mulai Mei 2006 atau HK$ 3.320 untuk kontrak yang ditandatangani sebelum Mei 2006. Selain itu, aturan yang sama juga menyebutkan bahwa agen hanya boleh mengambil komisi dari penempatan pembantu rumah tangga, tak lebih 10 persen dari gaji yang diterima di bulan pertama.

Aturan tersebut hanya berlaku di atas kertas.

Riset yang dilakukan AMC menunjukkan bahwa 42 persen buruh migran yang bekerja di Hong Kong mendapatkan upah di bawah standar minimum yang ditetapkan pemerintah.

Emily Lau Wai-hing, anggota Legislative Council (Legco) Hong Kong, mengatakan bahwa pihaknya tak bisa berbuat apa-apa. Pangkal masalah itu ada di Indonesia.

“Saya simpati pada nasib pembantu rumah tangga Indonesia, tapi saya tak bisa mendesak pemerintah Hong Kong melakukan sesuatu jika masalah utamanya justru di Indonesia,” kata Emily, saat saya menemuinya di ruang kerjanya yang terletak di pusat kota Hong Kong.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk satu pembantu rumah tangga yang ditempatkan di Hong Kong, PJTKI dan agen Hong Kong mengutip ongkos sebesar HK$ 21.000 atau sekitar Rp 24 juta. Uang itu diambil dengan memotong gaji para pekerja migran tersebut selama tujuh bulan berturut-turut, jika kesepakatan gaji yang mereka terima di atas HK$ 3.000. Tetapi, jika kesepakatan gaji yang diterima lebih rendah, seperti dalam kasus Tatik, maka jangka waktu potongan juga lebih pendek.

Mengenai banyaknya jumlah potongan gaji, PJTKI dan agen berdalih bahwa uang itu untuk biaya mondok dan pelatihan para buruh sebelum berangkat.

Tetapi sudah menjadi rahasia umum bahwa tempat-tempat penampungan buruh migran sebelum diberangkatkan ke luar negeri sama sekali tak layak. Dan tak ada prosedur standar soal pelatihan yang harus diberikan kepada buruh.

Mereka juga tak bertanggung jawab ketika para buruh dipecat majikan karena dianggap tak becus kerja. Padahal keselamatan jiwa seorang pembantu rumah tangga seringkali tergantung pada becus atau tak becusnya dia bekerja

Tatik, misalnya, disiksa majikannya gara-gara dianggap tak becus kerja. Beberapa kali, dia bahkan diancam akan dijatuhkan sang majikan dari lantai 32 gedung apartemen tempat majikannya tinggal.

Banyak buruh migran di Hong Kong mengalami masalah seperti Tatik. Saat mereka mengadu pada agen yang menempatkannya di rumah majikan tersebut, sang agen malah membujuk supaya mereka tinggal lebih lama hingga selesai masa potongan.

Ada yang menyerah dan kemudian jadi korban. Ada pula yang memilih menolak ketimbang celaka. Dini misalnya, memutuskan menolak bujukan agen ketika tingkah sang majikan sudah mengarah pada bentuk pemerkosaan.

“Jika saya bertahan sebulan lagi di rumah itu, saya tak tahu apa yang akan terjadi,” kata perempuan 21 tahun, asal Ngawi, Jawa Timur ini.

Di mata agen dan perusahaan penyalur tenaga kerja, para buruh tersebut semata-mata adalah barang dagangan.

Bisnis buruh migran atau yang resmi disebut Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ini dijamin oleh negara Indonesia lewat Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang Pembinaan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

Undang-undang ini memberi kewenangan pada perusahaan penyedia jasa TKI untuk merekrut, menampung, melatih dan sekaligus menempatkan TKI, melindungi TKI selama masa pra penempatan, pada masa penempatan dan pascapenempatan.

Eny Yuniarti, Sekretaris Jenderal Indonesian Migrant Workers Union (IMWU), mengatakan bahwa kewenangan tanpa batas inilah yang kemudian membuat penempatan TKI menjadi tidak selektif. Inilah yang menjadi akar masalah dari penganiayaan, pelecehan seksual, upah tak dibayar, penipuan, pemerasan, dan bermacam kasus lain.

Para buruh migran yang baru datang ke Hong Kong biasanya dipaksa oleh pihak penyalur tenaga kerja di Indonesia untuk menandatangani pinjaman sebesar HK$ 18.000 atas nama buruh itu sendiri. Uang tersebut kemudian diberikan kepada PJTKI sebesar HK$ 9.000 dan agen Hong Kong HK$ 9.000. Buruh tersebut kemudian diminta mencicil utangnya ke bank secara berkala, selama tujuh bulan, sebesar HK$ 3.000. Sisa uang pembayaran itulah yang menjadi keuntungan bank sebagai bunga pinjaman.

Sejumlah organisasi nonpemerintah dan serikat buruh migran Indonesia di Hong Kong sejak lama mempersoalkan besarnya potongan-potongan semacam ini. Kotkiho yang merupakan kumpulan tujuh organisasi buruh migran di Hong Kong pada 14 Mei 2006 lalu akhirnya berhasil mendesak pemerintah Indonesia menggelar dialog di Excelsior Hotel, Hong Kong.

Selain dihadiri wakil pemerintah Indonesia dan Kotkiho, dialog juga dihadiri perwakilan PJTKI dan agen di Hong Kong. Dalam dialog tersebut terungkap bahwa rincian biaya agen versi Direktorat Jenderal Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar negeri (PPTKLN) tahun 2005 hanya Rp 3.585.000. Sedangkan PJTKI masih berpedoman pada versi tahun 2003 menyebut angka Rp 17.655.000.

Made Arke dari PPTKLN mengatakan bahwa pihaknya sudah mengeluarkan surat yang meminta agar PJTKI tak boleh mengambil ongkos dari TKI lebih dari Rp 9 juta.

“Tetapi tidak dipatuhi banyak PJTKI,” kata Made Arke.

Rencananya pertemuan lanjutan akan dilaksanakan di Jakarta. Tetapi, pihak yang paling penting justru tak dilibatkan, yaitu buruh migran atau TKI itu sendiri.

Kalau suatu hari Anda pergi ke Hongkong, cobalah mampir ke Victoria Park dan berjalan-jalan di kawasan Causeway Bay. Kawasan ini telah menjadi saksi demonstrasi-demonstrasi buruh migran asal Indonesia. Jumlah massa ratusan bahkan kadang mencapai seribu orang. Mereka menggelar protes di muka kantor KJRI, menuntut pemerintah memperhatikan nasib mereka.

Demonstrasi tak pernah dilarang di sini. Mendirikan serikat buruh diizinkan. Pertemuan-pertemuan organisasi juga bukan hal tabu, termasuk pertemuan besar. Saya jadi ingat masa Soeharto berkuasa di Indonesia. Buruh pabrik dilarang berkumpul lebih dari dua orang dan kontrakan-kontrakan buruh diawasi aparat keamanan. Aksi massa dilarang. Mendirikan organisasi dilarang. Tak hanya buruh, siapa saja di masa itu tak bebas berekspresi dan menyatakan pendapat.

Namun, tidak semua kisah tentang TKI di Hongkong berhubungan dengan air mata. Beberapa dari mereka malah sempat jadi penulis dan berkreasi di kala senggang. Sebut saja Mega Vristian, 42 tahun, dan Tarini Soritta, 35 tahun.

Kumpulan cerita pendek Tarini yang berjudul Penari Naga Kecil diluncurkan di Surabaya atas prakarsa Dewan Kesenian Jawa Timur dan Taman Budaya Jawa Timur pada bulan Februari 2006.

Sementara Mega bergerak lebih jauh dengan mendirikan penerbitan sendiri. Bulan Juli 2006, di bawah nama Dragon Family, Mega menerbitkan kumpulan cerita pendek karya TKI di Hong Kong dengan tajuk Nyanyian Migran. Buku kumpulan ini diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra HB Yassin, di kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Kepada saya, Tarini dan Mega menyatakan tak lagi betah di Indonesia. Hidup susah di negeri orang, bagi mereka, jauh lebih menarik dibanding tanpa kepastian nasib di negeri sendiri.

Tarini bahkan berencana menikah dengan seorang pria asal Skotlandia yang sudah menjadi warga Hong Kong. Bocah umur 12 tahun, anaknya dengan suami pertama, bahkan akan diajaknya serta jika kelak dia bisa menetap.

Mega sedang mencari cara agar dia bisa bermukim di Hongkong dan tak lagi sebagai pembantu rumah tangga.

“Satu-satunya peluang untuk jadi warga Hong Kong bagi orang seperti saya adalah menikah dengan orang sini. Tapi kok saya belum punya keberanian itu,” tuturnya.*

*) Fransisca Ria Susanti adalah kontributor sindikasi Pantau di Hongkong dan aktivis buruh migran.

kembali keatas

by:Fransisca Ria Susanti