Tipu Ala Republik

Hairul Anwar

Mon, 4 September 2006

Pemerintah Indonesia tak mau melepas hak pengelolaan minyak dan gas Aceh pada pemerintahan Aceh, padahal seluruh fraksi di parlemen sudah setuju. Hal ini mengkhianati Kesepakatan Helsinki.

TEUNGKU Abdullah Saleh meninggalkan kursinya di balkon barat. Dia pergi ke balkon timur, lalu duduk mengaso di lantai.

Sepasang sepatu pantofel hitam kini tergeletak di samping kiri. Kedua kaki yang pegal diluruskan di lantai. Punggungnya bersandar di tembok. Dia tak peduli orang lalu lalang di depannya. Dia letih.

Wartawan yang meliput rapat paripurna parlemen juga suka mengambil posisi di balkon timur.

“Cari suasana lain saja,” katanya, seraya menyungging senyum.

Hari itu Selasa, 11 Juli 2006. Bagi Teungku Abdullah dan semua rakyat Aceh, hari tersebut adalah hari penting.

Anggota parlemen tengah memberikan pendapat akhir mengenai Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (RUU PA). Sidang menarik minat pengunjung. Kursi-kursi penuh. Wartawan sejumlah media tak mau  ketinggalan merekam peristiwa tersebut.

Suasana di balkon berbeda dengan di lantai bawah. Tidak semua anggota parlemen ikut bersidang. Di sana-sini kursi kosong. Anggota parlemen yang datang malah sibuk baca koran atau mengobrol dengan teman di sebelahnya.

 “Sekarang giliran fraksi apa?” tanya Teungku Abdullah.

“Fraksi PPP,” jawab seorang perempuan yang kebetulan lewat.  PPP singkatan Partai Persatuan Pembangunan.

Namun, perhatian Teungku Abdullah tidak terfokus pada rapat tersebut. Dia kemudian lebih asyik berbincang dengan dua temannya, dalam bahasa Aceh.

 “…Undang-Undang ini harus membawa kesejahteraan rakyat. Bukan kesejahteraan elit,” Suara Sutradara Ginting bergemuruh.

“Merdeka!” teriak hadirin di balkon barat.

Sutradara adalah juru bicara fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Ruang rapat riuh oleh tepuk tangan. Ketua parlemen, Agung Laksono, menutup rapat paripurna. Akhirnya, sepuluh fraksi yang ada di parlemen setuju RUU PA disahkan menjadi undang-undang.

DI sebuah ruangan yang cukup nyaman di lantai tiga gedung parlemen, Andi  Salahudin begitu semangat bercerita tentang debat tim panitia khusus RUU PA dengan pemerintah. Dia anggota fraksi dari Partai Keadilan Sejahtera. Andi asal Aceh. Tetapi logat bicaranya menunjukkan dia sudah lama tinggal di Jakarta.

 “Saya masih tidak habis pikir mengapa pemerintah begitu ngotot ingin menguasai pengelolaan migas Aceh,” kata Andi.

“Mungkin tidak ingin kehilangan success fee atau commitment fee dari kontraktor?” sahut seseorang.

“Saya juga menduga begitu. Ha ha ha ha…” Andi tertawa keras.

Istilah success fee atau commitment fee kerap dipakai untuk menyebut jatah atau persenan dari pengusaha tertentu ketika seseorang berhasil meloloskan suatu proyek atau program milik si pengusaha.

Pemerintah menolak salah satu poin RUU PA, yang ingin minyak dan gas Aceh sepenuhnya dikelola pemerintah daerah Aceh. Pembahasan soal ini berlangsung alot.  Panitia khusus alias pansus dan pemerintah sampai harus bertemu di forum lobi. Pemerintah takut daerah lain menuntut pengelolaan sumber alamnya seperti Aceh bila poin tersebut lolos. Bagaimana kalau nanti Papua minta? Kalimantan minta? Riau minta?

“Tidak masalah selama aturan mainnya jelas. Bahkan harus seperti itu. Agar daerah-daerah penghasil itu yang selama ini faktanya punya angka kemiskinan tinggi bisa sedikit-sedikit berkurang,” tutur Andi.

Selama ini memang berlaku rumus ganjil di Indonesia. Daerah kaya = penduduk miskin. Semakin kaya sumber alam suatu wilayah, semakin miskin warganya.

Menurut Andi, pengelolaan migas ibarat arisan. Dulu pemerintah yang jadi panitia. Aturan main ditetapkan mereka. Bagian pemerintah sekian, bagian pengelola sekian, pajak sekian, ini dan itu sekian. Nah, sekarang kepanitiaan ini perlu diserahkan kepada Aceh. Nanti Aceh yang menentukan bagian yang diterima pemerintah pusat.

“Seperti diutarakan Ferry, rumusan ini bukan untuk memberi lebih kepada Aceh. Tapi lebih karena kita melihat apa yang dibutuhkan Aceh untuk rehabilitasi dan rekonstruksi pascakonflik dan tsunami,” katanya, mengutip ucapan Ferry Mursyidan Baldan, ketua pansus RUU PA dari fraksi Partai Golongan Karya.

Kata sepakat akhirnya diambil. Pemerintah pusat dan pemerintahan Aceh akan bersama-sama mengelola migas Aceh. Sebelum mengadakan perjanjian kontrak dengan pihak lain, pemerintah pusat harus berunding dulu dengan Aceh.

Tetapi, “Kesepakatan ini tidak memuaskan masyarakat Aceh, termasuk GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Kita sudah upayakan maksimal pengelolaan migas diserahkan kepada Aceh. Toh fraksi-fraksi juga tidak mempermasalahkan. Yang tidak setuju cuma pemerintah. Kalau mau lebih lagi, ya, giliran GAM yang negosiasi ke pemerintah. Yang melakukan MoU ‘kan pemerintah dengan GAM. Kalau bisa, pihak GAM menekan pemerintah agar pengelolaan migas diserahkan ke Aceh.”

Berdasarkan undang-undang, pemerintah juga harus memberi dana tambahan berupa dana otonomi khusus selama dua puluh tahun pada Aceh. Besar dana dua persen dari total dana alokasi umum nasional untuk tahun pertama sampai tahun kelima belas. Tahun keenam belas sampai kedua puluh menyusut jadi satu persen.

“Dana ini merupakan kompensasi atas apa yang diberikan Aceh kepada Indonesia,” kata Andi.

Semula pemerintah keberatan. Departemen Keuangan mengajukan angka satu persen untuk lima tahun.

“Kita pakai angka yang diperoleh Papua, sebesar dua persen selama dua puluh tahun. Kita minta Aceh paling nggak harus sama dengan Papua. Lebih boleh. Kurang tidak,” kata Andi.

Tawar-menawar kembali terjadi. Tawaran naik dari satu persen untuk lima tahun ke 1,75 persen untuk 10 tahun. Akhirnya, pemerintah bertahan di angka dua persen untuk 15 tahun.

“Itu perubahannya dalam waktu seminggu,” kata Andi, sambil tertawa.

Pansus sengaja melakukan tawar-menawar agar pemerintah terbuka tentang jumlah dana yang sudah mereka keruk dari Aceh.

“Kita nantang pemerintah. Coba hitung berapa dana yang diambil dari gas (PT) Arun dari pertama sampai akhir.”

PT Arun Liquefied Natural Gas (NGL) adalah perusahaan tambang gas alam cair yang beroperasi di Lhokseumawe, kabupaten Aceh Utara. Sejak penemuan ladang gas alam cair pada 1970-an, perusahaan ini gencar melakukan eksploitasi dan penjualan ke Jepang dan Korea. Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup Aceh,  PT Arun memasok sekitar 30 persen ekspor minyak dan gas Indonesia

“Mestinya dihitung juga dong dana yang sudah diberikan pemerintah kepada Aceh,” tukas saya.

“Oke. Tidak masalah. Kita hitung… kita hitung. Pemerintah ngasih ke Aceh lewat APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Nasional) selama ini berapa. Kita hitung… Dana yang diambil pemerintah dari Aceh juga kita hitung,” kata Andi, dengan nada tinggi.

SELASA, pukul sembilan malam itu, Teungku Abdullah baru saja tiba di kantor perwakilan Aceh di Jalan Indramayu, Menteng, Jakarta Pusat. Gedung dua lantai. Kantor di lantai bawah. Penginapan di lantai atas. Kantor Kedutaan Besar Portugal terletak di seberang gedung ini

Wajah Teungku Abdullah kuyu. Malam itu dia sudah menukar setelan rapat dengan sarung dan kaos putih lengan panjang. Dia  adalah legislator Aceh dari PPP. Usia 46 tahun. Perawakan tegap. Uban sudah memenuhi kepala.

Sejak RUU PA disahkan menjadi UU PA, tugasnya sebagai ketua tim advokasi RUU PA praktis selesai. Dia memimpin 15 orang anggotanya bertemu tokoh-tokoh partai di Jakarta. Mereka melakukan lobi ke fraksi-fraksi di parlemen.

Dia juga terlibat dalam panitia khusus yang membahas rancangan  awal RUU PA pada Oktober 2005. Proses ini menghabiskan waktu dua bulan sampai rancangan ketujuh siap. Rancangan inilah yang dikirim ke pemerintah pusat.

“Upaya maksimal sudah kita lakukan,  meski kita sadari belum tentu memuaskan semua pihak. Saya sendiri tidak puas,” ujarnya.

“Kenapa?”

“Undang-Undang ini tidak konsisten terhadap kesepakatan, terhadap MoU. Yang pertama, hal mengenai kewenangan. Di MoU sudah sangat tegas disebut mana kewenangan Aceh, mana kewenangan pemerintah pusat,” jawab Teungku Abdullah, dengan nada tinggi.

“Anehnya, soal pengelolaan SDA (Sumber Daya Alam). Pemerintah bertahan ingin terus ikut mengelola minyak dan gas. Mereka ngotot. Ini namanya bentuk pengingkaran terhadap Kesepakatan Helsinki. Mereka tidak mau melepas migas,” lanjutnya.

MoU singkatan dari Memorandum of Understanding yang disebut Teungku Abdullah adalah sebuah nota kesepakatan damai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005. Lahirnya MoU ini menjadi dasar pemerintah menetapkan aturan tentang pemerintahan Aceh.

Salah satu isi MoU menyebut pemerintah pusat hanya mempunyai kewenangan terhadap enam hal, yaitu hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman, dan kebebasan beragama.  Di luar enam hal ini adalah kewenangan pemerintahan di Aceh.

“Aceh penuh dengan latar belakang sejarah di mana selama ini pemerintah republik seringkali ingkar janji. Rakyat sering ditipu. Diabaikan. Inilah yang namanya tipu republik. Istilah ini terus berkembang di masyarakat Aceh sampai sekarang.”

Namun, dia tak patah semangat.

“Kalau nanti ada yang kurang dan perlu kita perjuangkan akan kita perjuangkan. Sekarang, tidak ada lagi cerita soal Aceh mau merdeka atau tidak. Yang ada apa Aceh mau berubah lebih baik atau tidak,” katanya, tegas.

*) Kontributor sindikasi Pantau di Jakarta

kembali keatas

by:Hairul Anwar