Petua Keubah

Muhammad Nasir

Sun, 2 July 2006

Dulu ia berjuang mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, lalu berjuang untuk kemerdekaan Aceh dari Indonesia. Usianya hampir seabad. Ia ingin pemerintah tak lagi mengecewakan rakyat dengan janji.

SENJATA itu hilang. Tapi Peutua Keubah tak putus asa. Digalinya lagi tanah kebun di titik yang lain, tepat di bawah pokok durian. Tapi ia juga tak menemukan apa-apa. Ia memang lupa-lupa ingat tempat ia menimbun senjata-senjata itu dulu. Kalau bukan dekat tebing sungai, pasti di bawah pokok durian, pikirnya. Tak mungkin jauh-jauh dari situ. Hilang… Aneh sekali. Bagaimana bisa hilang? Hanya ia sendiri yang tahu timbunan rahasia tersebut.

Sekitar 20 pucuk senjata api jenis bren, sten, dan karabin, sisa-sisa pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Aceh berhasil ia sembunyikan dan tak ikut diserahkan kepada tentara pasca-rekonsiliasi dengan pemerintah Indonesia di awal 1960-an. Lebih 25 tahun kemudian iseng-iseng Keubah mencari kembali timbunan senjata tadi di kebun belakang rumahnya.

“Mungkin dicuri orang. Mungkin juga telah berkarat menjadi tanah,” kisahnya kepada saya pada awal Juni lalu.

Keubah adalah satu dari sedikit tokoh pejuang yang masih hidup. Perjuangannya bukan hanya untuk kemerdekaan Indonesia, tapi juga pernah memperjuangkan kemerdekaan Aceh dari Indonesia.

Pendidikan militer pertama diperolehnya dari tentara pendudukan Jepang. Ia direkrut Jepang untuk sayap militer lokal mereka yang disebut Heiho. Tentara Heiho merupakan kombinasi antara sukarelawan dan milisi.

Latihan-latihan kemiliteran diadakan di desa Blang Pulo, Lhokseumawe. Keubah cepat belajar, sehingga ia segera diangkat jadi pasukan penjaga dan berhubungan dekat dengan petinggi-petinggi militer Jepang di Lhokseumawe.

Jepang, akhirnya, kalah dalam Perang Pasifik setelah pesawat tempur Amerika membom Hiroshima dan Nagasaki. Soekarno dan Hatta mengumumkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun, momentum ini tak membuat Keubah istirahat dari urusan militer.

Pada 20 Juni 1947, Belanda kembali lagi ke Indonesia untuk melakukan agresi militer pertamanya. Kali ini Belanda didukung Inggris dan Amerika yang tergabung dalam pasukan Sekutu. Mereka hendak merebut tambang minyak di Pangkalan Brandan, Langkat, Sumatera Utara. Namun, usaha Sekutu itu gagal. Para pejuang sudah membakar kilang minyak tersebut lebih dulu. Pertempuran hebat terjadi di berbagai tempat, termasuk Stabat. Menurut data Wikipedia, pasukan pejuang yang terlibat pertempuran melawan Sekutu antara lain, Lasykar Mujahiddin, Lasykar Pesindo yang dipimpin Salamuddin, Lasykar RIMA yang dikomandoi Agoes Husin dan Ismail Daud, Lasykar Hizbullah yang dipimpin Hasyim Manaf dan Murni Emboh serta Batalion B yang berada di bawah komando T Yahya dan Umar dan banyak lagi nama pejuang lain yang tak tercatat dalam buku-buku sejarah resmi.

Keubah kini berjuang di pihak republik. Ia berpangkat kapten saat memimpin Lasykar Mujahiddin bertempur melawan Sekutu di Pangkalan Brandan. Ia memimpin pasukannya mulai dari pantai utara Aceh sampai perbatasan Sumatera Utara dengan gagah berani.

Indonesia pun diakui sebagai negara berdaulat penuh oleh dunia pada 1949. Dan lagi-lagi, Petua Keubah belum dapat menggantung bedilnya.

SUATU hari di bulan September 1953. Sejumlah orang berkumpul di toko kecil di Panton Labu, sekitar 53 kilometer di sebelah timur kota Lhokseumawe. Teungku Muhammad Daud Beureuh hadir di situ. Ia adalah gubernur militer Aceh dan Tanah Karo. Ia memimpin rapat pada hari itu. Peutua Keubah juga hadir, menyimak kata-kata Beureuh yang dipanggilnya Abu Beureuh, sebuah panggilan penghormatan. Itulah rapat pertama DI/TII Aceh.

Beureuh mengajak mereka yang hadir memberontak terhadap Indonesia. Beureuh kecewa pada pemerintah Soekarno, karena menjadikan Aceh bagian dari propinsi Sumatra Utara dan dengan demikian berada di bawah komando militer di Medan.

Tindakan Soekarno dianggap Beureuh tak setimpal dengan kesetiaan Aceh pada Indonesia. Pada awal kemerdekaan Indonesia, Soekarno telah meminta bantuan orang Aceh untuk menyumbang uang dan emas pada negara yang baru berdiri ini. Di masa penjajahan, Soekarno juga meminta dukungan angkatan perang dari semua kelompok untuk membebaskan Indonesia, termasuk pada kelompok Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo yang memimpin DI/TII di Jawa Barat dan Daud Beureuh di Aceh. Kartosuwiryo bersedia membantu asal Soekarno menyerahkan sebagian wilayah Pasundan untuknya. Soekarno setuju. Namun, begitu Indonesia merdeka, Soekarno tak menepati janji pada Kartosuwiryo. Beureuh menyatakan ia mendukung perjuangan DII/TII Kartosuwiryo dan ambil bagian dalam menjadikan Aceh sebagai wilayah berhukum Islam.

“Semula berpuncak pada kekecewaan politik terhadap pemerintah pusat,” ujar Keubah, mengenang masa lalu.

Keubah mendukung gagasan Beureuh. Pengalaman militernya membuat ia ditunjuk sebagai kepala Staf Resimen DI/TII dan berpangkat mayor. Posisi ini membuat ia sering bertemu para petinggi DII/TII Aceh seperti Beureueh, Husein Al Mujahid, Abdul Latief, dan Usmanuddin.

Keubah bertanggung jawab terhadap sebagian kabupaten Aceh Utara dan Aceh Timur, mulai dari Krueng Mane hingga Lhok Nibong. Wilayah ini yang kemudian disebut Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai Wilayah Pase.

Selain memimpin gerilya dan membuat pernyataan-pernyataan politik, Keubah juga pintar mengatur siasat perang.

Berkali-kali ia lolos dari kepungan Mobrih—sebutan orang DI/TII terhadap pasukan polisi Brigade Mobil—yang nyaris merenggut nyawanya. Suatu kali ia benar-benar sendirian di tengah kepungan. Tapi ia bisa meloloskan diri. Peristiwa tersebut membuat anak buahnya menyangka Keubah punya ilmu kebal.

“Tidak ada ilmu kebal, hanya ada strategi dan ingatan tak lepas kepada Tuhan,” kenang Kebah.

KEUBAH lahir tahun 1911 di Lhoksukon, Aceh Utara. Perkawinannya dengan dua perempuan—yang seorang sudah meninggal dunia—telah memberinya lima orang anak, 27 cucu, 16 cicit, dan seorang cah.

Ia menamatkan Indies Governement School di Lhoksukon pada 1929. Tak sampai 10 orang pemuda Lhoksukon yang bersekolah di situ. Keubah termasuk beruntung. Setelah itu ia dipercaya warga memimpin kampung dan dijuluki “peutua” atau dalam Bahasa Indonesia disebut ketua. Sampai sekarang ia lebih dikenal orang dengan nama Peutua Keubah.

Hari-harinya kini dilalui bersama sang istri, Ainsyah, 87 tahun. Suami-istri ini tinggal bersama anak tertua mereka, Antikah, 66 tahun, di rumah panggung kayu di desa Meunasah Nga Matang Ubi, kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara. Rumah itu dibangun akhir tahun 1960-an. Orang-orang kampung menyebutnya rumoh rayeuk atau rumah besar.

Rumah tersebut disangga 32 tiang utama dan semula memiliki 8 kamar tidur. Namun, tujuh tahun lalu dua kamar di serambi belakang dan sebagian dapur terpaksa dibongkar. Dinding-dindingnya lapuk.

Kondisi rumah secara keseluruhan bisa disebut sekarat. Dari depan terlihat miring ke kiri. Hampir seluruh dinding dimangsa rayap. Lubang-lubang sebesar ibu jari bahkan terlihat di sana-sini. Atap yang terbuat dari pelepah rumbia itu bolong-bolong. Sebagian langit-langit bangunan robek. Jelaga hitam dari asap dapur menempel di situ. Sarang laba-laba menggelantung.

Hanya sehelai tikar plastik tergelar di ruang tamu. Sebuah potret hitam putih ukuran 10 R yang terpampang di dinding tampak mencolok mata. Di situ Keubah mengenakan seragam militer. Senyum tersungging di bibirnya. Sepucuk pistol terselip di pinggang.

“Foto itu sekitar akhir tahun 50-an,” kata Keubah.

Ia senang bicara politik. Hampir semua perkembangan politik di tingkat nasional maupun lokal diketahuinya. Bila tak sempat ke pasar, ia pasti menitipkan uang pada cucunya untuk dibelikan suratkabar di pasar Lhoksukon.

“Kalau sudah mulai baca koran, Abu Nek (panggilan untuk Keubah dari cucu-cucunya) tidak mau diganggu. Hampir seluruh berita dilahapnya dalam sekali duduk,” tutur Ismuha, salah seorang cucu.

Nurdin, sekretaris desa Meunasah Nga, selalu minta saran Keubah bila menghadapi masalah pelik. Saran Keubah didengar, mulai dari urusan warga sampai pemerintah desa.

Meski berusia hampir seabad, mata Keubah masih bisa membaca koran dengan jarak 40 sentimeter. Giginya yang putih rapi sanggup menghancurkan permen keras dengan sekali kunyah.

Apa rahasia umur panjang?

“Badan tak boleh dimanjakan, tapi juga tak boleh dibuat seperti robot,” jawabnya.

Hanya fungsi pendengarannya yang agak menurun. Bagaimana pun usia tua telah menggerogoti sang peutua. Akhir-akhir ini ia dihinggapi rematik berat. Tangannya bergetar hebat bila mengangkat sesuatu. Persendian terasa ngilu dan kebas.

Meski begitu, Keubah tetap menjaga penampilan. Saat bepergian, ia selalu mengenakan kopiah hitam tinggi. Bentuk kopiah yang sama juga dikenakan Soekarno saat pertama kali berkunjung ke Aceh. Bila mengenakan kemeja putih, celana pantalon, kopiah, dan kacamata, penampilan Keubah sukar dibedakan dengan presiden pertama Republik Indonesia itu.

KEUBAH masih menjalin silaturrahmi dengan beberapa teman sesama anggota DI/TII dulu, jauh setelah mereka tak bergerilya lagi. Dengan Abdul Latief, salah seorang ajudan militer Daud Beureueh, Keubah berteman akrab, bahkan sudah seperti saudara.

Bahkan putra Latief, Syarifuddin, selalu mampir ke rumah Keubah tiap ia melintasi jalan raya Banda Aceh-Medan. Syarifuddin Latief sempat menjabat walikota Banda Aceh sebelum meninggal dunia dalam bencana tsunami dua tahun lalu. Ia juga sempat menjadi walikota Langsa.

Hubungan Keubah dengan Husein Al Mujahid dan Usmanuddin, dua tokoh DI/TII di Aceh Timur, cukup karib. Maut jua yang memisahkan Keubah dengan kedua temannya yang lebih dulu tutup usia.

Putra Husein Al Mujahid, Helmi Mahendra, terpilih sebagai anggota parlemen dari Aceh pada pemilihan umum tahun 2004. Berbeda dengan ayahnya, menurut Keubah, anak-anak Husein Al Mujahid kurang akrab dengannya.

Keubah pun tak pernah bertemu dengan Azman Usmanuddin, putra Usmanuddin, yang menjabat bupati Aceh Timur.

“Kita mengakui atau tidak, mereka menjadi orang-orang sukses tak lepas dari pengaruh kharismatik orang tua mereka sejak masa DI/TII. Pengaruh politik DI/TII sangat penting dalam perkembangan situasi dan kondisi di Aceh tahun-tahun pasca rekonsiliasi,” kata Keubah.

Banyak anak temannya yang sudah jadi orang penting di pemerintahan, tapi anak-anak Keubah tidak demikian. Tiga anak perempuannya kawin muda. Seorang putranya, Muhammad Basyah, juga tak sanggup mengikuti irama hidup sang ayah yang penuh disiplin dan keteguhan.

Setelah Basyah menamatkan sekolah menengah atas di Lhoksukon, Keubah meminta putranya untuk kuliah di fakultas ekonomi Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Ia juga berupaya sekuat tenaga menyediakan segala kebutuhan Basyah, termasuk membeli satu unit rumah tinggal di Kampung Keuramat. Keubah melakukan ini supaya putranya tak harus membayar uang kos.

Namun, Basyah tak betah di bangku kuliah. Ia berhenti di semester enam. Ia lebih suka jadi pengusaha. Basyah pulang kampung. Keubah kecewa, tapi ia tak mau memaksakan kehendak pada putranya. Ia kemudian menyerahkan pengurusan kilang padi miliknya pada Basyah, yang dianggap sudah punya sedikit ilmu ekonomi.

“Kuliah hanya menghabiskan uang, mengurus kilang padi justru mendatangkan uang.” kata Basyah pada sang ayah waktu itu.

Kilang padi ternyata tak bertahan lama. Persaingan bisnis di kalangan pedagang beras lokal membuat usaha Basyah bangkrut. Ia kemudian hengkang ke Banda Aceh, menikahi seorang gadis serta bermukim. Sampai hari ini Basyah tak punya pekerjaan tetap.

Tak cuma Basyah, hampir semua cucu dan cicit Keubah bekerja serabutan.

DESEMBER 1962. Daud Beureuh turun gunung! Begitulah kabar burung yang diterima Keubah. Beureuh telah meninggalkan markas perlawanannya di Lampahan, Aceh Tengah. Namun, Keubah tak langsung percaya saat mendengar kabar itu. Ia segera mengutus orang untuk mencari kebenaran. Dua bulan kemudian jawaban pasti ia peroleh. Beureuh memang menyerah pada Indonesia. Keubah tak habis pikir, bingung, dan seperti kehilangan tujuan hidup. Tapi apa mau dikata. Prajurit harus patuh pada komandan.

Awal tahun 1960-an adalah masa-masa sulit Keubah. Ia diperintah untuk turun gunung bersama sekitar 3.000 anak buahnya serta menyerahkan 2.000 pucuk senjata kepada tentara pemerintah.

“Ada kompensasi yang ditawarkan kepada kami, jadi saya pilih itu. Kami menyerahkan senjata, dan para prajurit TII diterima menjadi tentara pemerintah. Boleh juga memilih kompensasi uang dan lahan pertanian kalau tak ingin menjadi tentara,” kisah mantan gerilyawan ini pada saya.

Keubah tak membayangkan pekerjaan lain. Ilmu yang dikuasainya hanya berperang. Ia kemudian memilih jadi tentara pemerintah, dengan risiko pangkatnya diturunkan beberapa tingkat di bawah mayor. Ia pasrah saja ketika ditempatkan di kantor Kejaksaan Negeri Lhoksukon. Pangkat terakhir Keubah saat pensiun adalah pembantu letnan satu atau peltu.

Menantunya, Muhammad Bintang, yang bergabung dengan pasukan Keubah juga mengikuti jejak Keubah menjadi tentara pemerintah. Ia dipekerjakan di rumah sakit tentara, meski akhirnya diperberhentikan lantaran dianggap melanggar disiplin.

Berbeda dengan Keubah, sebagian besar anak buahnya memilih kompensasi uang. Mereka kembali ke kampung asal dan menjadi warga biasa.

Namun, Keubah ingat satu peristiwa yang membuatnya sedih. Pemerintah menjanjikan lahan 2.000 hektare di kawasan Buket Hagu, kecamatan Cot Girek, untuk digarap mantan TII. Bertahun-tahun lahan itu terbengkalai. Pasalnya, mantan prajurit TII tak punya modal usaha. Pada awal tahun 1970-an pemerintah Indonesia mengambil alih lahan tersebut untuk dijadikan pemukiman transmigran yang didatangkan dari Pulau Jawa.

Dalam masa rekonsiliasi itu pula, Keubah pernah diajak gubernur Aceh Ali Hasymi untuk mengukur ulang area perbatasan Aceh dan Sumatra Utara di Langkat Tamiang. Batas wilayah ini merupakan salah satu pemicu munculnya pemberontakan DII/TII Aceh. Ketika pemerintah Soekarno menggabung provinsi Aceh ke dalam provinsi Sumatera Utara, batas-batas wilayah ikut berubah.

Setiap tanggal 16 Agustus Keubah selalu mendapat undangan istimewa beramplop merah putih dari pemerintah daerah. Ia diminta hadir ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan bergabung dengan anggota dewan serta para pejabat setempat untuk mendengar pidato presiden Republik Indonesia menjelang detik-detik proklamasi.

“Tapi mengapa dulu menyembunyikan senjata dan tak menyerahkan pada pemerintah?” tanya saya.

“Waktu itu saya berpikir proses reintegrasi DI/TII tidak akan maksimal karena pada awal-awalnya mulai muncul kekecewaan-kekewaan. Misalnya, dijanjikan seluruh gerilyawan direkrut jadi ABRI. Tapi ternyata hanya sebagian kecil yang diterima. Juga soal kompensasi lahan. Saya berpikir akan timbul pemberontakan lagi, dan memaksa saya untuk terus bergerilya,” jawab Keubah.

Ia melihat proses reintegrasi mantan GAM juga mulai menuai riak-riak kecil. Kekecewaan demi kekecewaan bisa membuat kesabaran orang habis. Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang berlarut-larut di parlemen hingga melampaui tenggat waktu itu juga bukan pertanda baik.

Ia tak ingin pengalaman masa lalunya harus dihadapi lagi oleh generasi muda Aceh yang kecewa. Damai lebih baik dari perang.

*) Muhammad Nasir adalah kontributor sindikasi Pantau di Lhokseumawe.

kembali keatas

by:Muhammad Nasir