Amuk Gajah

Muhammad Nasir

Tue, 27 June 2006

Akibat penebangan liar kawasan hutan, gajah mengamuk dan merusak perkampungan serta kebun penduduk di Aceh Utara. Ada warga yang tewas diinjak-injak gajah. Dampak lain dari rehabilitasi dan rekonstruksi?

“MEREKA keluar biasanya di atas pukul lima sore. Satu-satunya yang masih efektif menghalau pakai meriam bambu sampai kembali masuk ke hutan,” kata Muhammad Yusuf Puteh, kepala desa Pante Kiroe.

Dia memimpin penduduk mengusir gajah. Selain menggunakan meriam bambu berbahan peledak karbit, warga juga menyalakan obor. Setiap keluarga diwajibkan membuat obor. Sewaktu-waktu gajah masuk dusun, penduduk bisa langsung berkumpul dan menyalakan obor untuk menghalau hewan tersebut.

Perseteruan dengan gajah jadi menu sehari-hari di Pante Kiroe. Belum lama terlepas dari konflik keamanan, petani kembali dibelit konflik dengan gajah. Belum lagi aman menikmati hidup, panen kembali gagal gara-gara ulah makhluk berbelalai.

Yusuf sudah melaporkan bencana ini pada bupati Aceh Utara melalui sepucuk surat. Warga ingin ulah gajah secepatnya diatasi. Mereka juga meminta bantuan rehabilitasi 150 hektar kebun milik 205 petani. Namun hingga Sabtu 10 Juni 2006 belum ada tanggapan dari pejabat setempat terhadap isi surat itu.

“Mereka mengancam akan meracun, karena tidak tahan lagi dengan gangguan gajah-gajah liar itu,” ujar Yusuf.

Ancaman itulah yang mengkhawatirkan para aktivis Selamatkan Isi Alam Flora dan Fauna atau disingkat Silfa. Pada akhir Mei lalu, Silfa menurunkan lima personilnya ke Pante Kiroe. Selama seminggu mereka mendirikan posko di sana. Selain melakukan survei kerusakan rumah dan lahan perkebunan, mereka memantau pergerakan kawanan gajah liar. Namun, tujuan utama Silfa adalah melindungi satwa langka itu dari kemungkinan pembantaian oleh penduduk.

Pembantaian terhadap gajah bukan lagi peristiwa langka di Indonesia. Pada akhir Februari 2006, enam ekor gajah Sumatra (elephas maximus sumatranus) ditemukan tewas dengan mulut berbusa di perkebunan sawit bekas hutan Mahato, Riau. Gajah-gajah itu diracun penduduk.

Konflik penduduk versus gajah pecah setelah kawanan gajah merangsek ke desa Balai Raja di kabupaten Bengkalis. Tak cuma sekali dua hewan ini masuk kampung. Perang dengan manusia membuat populasi gajah Sumatra terus menyusut. Menurut harian Republika yang terbit Maret lalu, dari 700 ekor pada 1999, kini tersisa 350 ekor.

HAMPIR tiap tahun kawanan gajah datang ke Pante Kiroe. Mereka melintasi dusun, masuk ke perkebunan, lantas menghilang kembali ke hutan. Ini dipercaya penduduk sebagai pertanda baik. Biasanya hasil panen sawah atau kebun akan meningkat dalam tahun tersebut. Desa akan terhindar dari petaka atau bencana, baik bencana alam maupun bencana oleh tangan manusia.

Namun, kali ini justru gajah-gajah itu sendiri yang membawa kesialan serta bencana.

“Mereka masuk desa seperti orang mengamuk. Apa saja dirusak dan dihancurkannya. Rumah, rangkang (pondok kebun), pagar, palawija, hingga tanaman keras, semua diobrak-abrik,” kisah Yusuf.

Peristiwa awal Mei 2006 itu masih cukup membekas di benak Yusuf. Dia sedang bekerja di kebun ketika tiba-tiba muncul sekawanan gajah dari arah bukit sebelah selatan dusun. Jumlah kawanan itu sekitar 30 ekor. Mereka masuk ke kebun seperti buldozer. Kebun-kebun jadi lapang karenanya. Rumah-rumah tergilas. Garis lintasan yang dilalui hewan itu selebar 20 meter dan di garis itu segala sesuatu rata tanah.

Dalam sekejap 13 rante (1 rante = 400 meter persegi) kebun pisang milik Yusuf hancur. Sebagian dimakan, sebagian lagi hancur dinjak-injak. Selain itu, 25 batang kakao, 52 batang pinang, tiga batang durian, serta 10 batang rambutan, milik Yusuf rubuh dan patah-patah. Masih untung rumah Yusuf yang terletak dekat pasar tak termasuk jalur lintasan hewan tersebut.

Nasib buruk juga menimpa Edi Irfan dan keluarganya. Rumah Edi terletak di jalan dusun yang sepi. Jarak antar rumah berkisar 300 sampai 400 meter. Tak ada jaringan listrik. Sekeliling rumah Edi ditutupi semak. Banyak nyamuk kebun. Halaman gelap oleh pohon-pohon tinggi. Rambutan, karet, durian. Dari bagian muka, rumah kayu beratap seng itu kelihatan baik-baik saja. Kaca jendela tak ada yang pecah. Dinding-dinding utuh.

Begitu berjalan ke samping rumah, baru kerusakan parah tampak. Dinding samping dan belakang hancur. Dapur berantakan. Dua tiang penyangga rumah roboh. Pecahan piring dan gelas berserak di lantai.

Sewaktu gajah muncul, anak dan istri Edi sedang di rumah. Mereka lari tunggang-langgang ke pasar di pusat desa.

“Beruntung karena rumahnya hanya berjarak sekitar 500 meter dari pasar,” kata Saifuddin, sekretaris desa Blang Pante.

Kini Edi dan keluarganya terpaksa menumpang di rumah saudara. Rumah mereka harus direnovasi. Masih ada 20 kepala keluarga (KK) yang mengungsi seperti keluarga Edi. Selain itu, mereka juga mengalami trauma. Takut pulang ke rumah sendiri.

Kehancuran serupa melanda kebun kakao dan rumbia Teungku Syambagah. Hampir dua rante tanaman kakao rebah dan mati terinjak-injak gajah. Buahnya rontok berserak. Kebun rumbia rata tanah. Batang-batang rumbia berdiameter 50 sentimeter bergelimpangan di tanah dalam keadaan terbelah. Isi batang yang mengandung sagu itu sebagian dimakan gajah. Sisa-sisa tumpukan kotoran gajah yang berserabut kasar dan berwarna coklat kelabu tersebar di kebun. Bau tak sedap menyengat dari ceceran sagu busuk bercampur lumpur. Warga bertanam rumbia bukan untuk mengambil sagunya, melainkan memanen daunnya untuk dianyam jadi atap rumah.

PANTE Kiroe dihuni 115 KK dan merupakan salah satu dusun di desa Blang Pante, kecamatan Paya Bakong, Aceh Utara. Jaraknya sekitar 60 kilometer dari tenggara Lhokseumawe. Dusun ini terletak di kaki Bukit Barisan dan berbatasan langsung dengan kabupaten Bener Meriah. Pante Kiroe jauh di pedalaman Aceh Utara dan bersentuhan langsung dengan kawasan hutan.

Selain RBT atau ojek sepeda motor, tak ada kendaraan umum menuju ke sana. Satu dua angkutan labi-labi dari Lhokseumawe hanya sampai di Keude Paya Bakong, ibukota kecamatan. Lebar jalan menuju Pante Kiroe sekitar 6 meter. Berbatu-batu dan berdebu.

Hingga akhir tahun 1998 jalan tersebut kerap dilintasi truk-truk pengangkut bahan galian. Selain terkenal dengan hasil kebun, Pante Kiroe merupakan lokasi penambangan pasir, kerikil, dan batu berkualitas bagus di Aceh Utara. Penambangan pasir dan batu di lokasi ini mulai dikenal awal tahun 1970-an saat memuncaknya kebutuhan material bangunan untuk rekontruksi kawasan eksplorasi gas alam di ladang Arun.

Di Pante Kiroe berdiri sebuah chruser atau mesin pemecah batu yang dikelola Perseroan Terbatas (PT) Sarena Maju yang berbasis di Jakarta. Hingga tahun 1998 perusahaan ini terus eksis, sebelum kemudian angkat kaki akibat konflik keamanan. Sejak tahun 1970-an hingga sebelum didera konflik keamanan, kehidupan di Pante Kiroe tergolong makmur. Bahkan lokasi sekitar penambangan PT Sarena Maju disebut warga sebagai ‘Pante Bahagia’. Nama ini justru lebih dikenal daripada nama Pante Kiroe sendiri.

Konflik yang terus-menerus membuat kehidupan di Pante Kiroe ikut berubah dan perlahan-lahan desa ini seolah makin tenggelam dalam hutan yang mengitarinya. Namun, amuk gajah pada awal Mei 2006 lalu membuat dusun tersebut muncul lagi di benak orang.

GAJAH tak hanya menyerang Pante Kiroe, tapi juga pernah membuat heboh seisi desa Alue Mbang di kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara. Seorang warga desa bernama Ramli sempat dikejar-kejar gajah.

Pada 17 April 2006, Ramli yang hendak membersihkan kebunnya memergoki seekor gajah sedang tidur. Gajah itu merasa terganggu dan marah. Tak berapa lama sang gajah mengibas-ngibas kuping dan memainkan belalainya. Lengking gajah membelah keheningan kebun.

Tahu hewan itu sedang marah, buru-buru Ramli ambil langkah seribu. Gajah mengejarnya. Ramli berlari makin kencang. Dia tersandung bongkahan tanah dan jatuh terjerembab. Badannya lecet dan luka-luka. Beruntung dia tak sampai pingsan. Dengan sisa tenaga dia berusaha bangkit dan kembali berlari kencang. Ketika sudah berada di luar areal perkebunan, Ramli masih sempat menoleh ke belakang. Gajah itu tak kelihatan lagi. Ramli nyaris kehabisan napas, karena berlari sejauh satu kilometer.

Ramli termasuk beruntung. Beberapa hari sebelum Ramli dikejar gajah, seorang warga bernama Ilyas meninggal dunia gara-gara diinjak gajah.

“Sejak peristiwa itu petani tidak berani masuk ke kebun, hingga kebun sawit dan pinang menjadi terlantar,” kata Rusli MS, ketua kelompok tani di Alue Mbang.

Mirip dengan Pante Kiroe, Alue Mbang berbatasan langsung dengan hutan. Hampir seluruh desa dilingkupi perkebunan sawit dan pinang seluas 948 hektar.

Desa berpenduduk 2.100 jiwa atau 378 KK ini awalnya hidup makmur dari hasil kebun. Meski setiap tahun gajah turun ke desa, tapi tak pernah sampai mengamuk seperti peristiwa April lalu.

Amuk gajah tersebut bahkan meluas hingga ke tiga kecamatan sekitar, yakni Kecamatan Simpang Keuramat, Cot Girek, dan Nisam.

Sebagaimana desa pedalaman lainnya, antara tahun 1998 sampai 2005 Alue Mbang juga terbelit konflik keamanan. Lebih dari 400 warga etnis Jawa yang bermukim di sana terpaksa hengkang keluar daerah. Seekor anak gajah ikut terimbas konflik, mati terkena tembakan peluru nyasar di sekitar Alue Mbang.

Sejak itu kawanan gajah sering mengamuk setiap turun ke desa.

“Tanaman sawit mati akibat pucuk-pucuknya disabet belalai. Batang pinang terbelah oleh gadingnya,” ungkap Razali Thayeb, guesyik (kepala desa) Alue Mbang.

Tim penanggulangan gajah dari Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) segera turun tangan. Mereka berhasil menangkap tiga ekor gajah, lalu mengangkut hewan liar itu ke Pusat Latihan Gajah (PLG) di Saree, Aceh Besar.

Namun, persoalan tak selesai di situ. Gara-gara gajah pula, sejumlah mantan GAM protes. Mereka tak setuju gajah-gajah ditangkap dan dibawa keluar desa. Salah seorang dari mereka, Teungku Utoh Din, secara khusus menemui Razali Thayeb dan meminta fee 30 persen untuk tiap gajah yang ditangkap.

Namun, Teungku Zulkarnaini, Ketua Komite Peralihan Aceh di Aceh Utara, membantah mantan GAM meminta fee 30 persen untuk tiap penangkapan gajah liar. Dalam sebuah rapat pada 31 Mei 2006 lalu, Zulkarnaini secara tegas mendukung penuh upaya pemerintah untuk menanggulangi amukan gajah liar. Pada kesempatan itu ia minta agar mantan anggota GAM juga dilibatkan. Rapat tersebut dihadiri pejabat-pejabat kabupaten Aceh Utara, BKSDA, dan perwakilan Aceh Monitoring Mission.

Azhari Hasan, kepala penerangan kabupaten Aceh Utara, mengatakan kepada saya bahwa pemerintah daerah telah mengalokasikan dana senilai Rp 200 juta untuk menanggulangi gangguan gajah liar. Dana tersebut dicadangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun 2006 melalui anggaran Dinas Perkebunan dan Kehutanan.

Direktur Silfa, Irsyadi Aristora, mengatakan ada dua cara penanggulangan gajah liar, yakni dengan cara menggiring kembali ke tempat yang layak sesuai habitat hidup hewan itu, atau dengan cara menangkap untuk dilakukan pembinaan di lokasi konservasi seperti PLG.

Namun, menurut Azhari, metode pertama tak mungkin dilakukan. Lokasi hutan tak memadai. Sebelum konflik GAM dan pemerintah Indonesia, Aceh Utara memiliki PLG di desa Lhok Asan, kecamatan Syamtalira Bayu. Saat konflik seluruh prasarana PLG ini hancur, tak berbekas.

Penebangan hutan secara membabi-buta telah merusak habitat gajah. Penebangan liar makin marak di Aceh Utara dalam setahun terakhir ini. Penebangan tersebut dilakukan penduduk dan yang berlangsung dalam skala besar, dilakukan PT. Mandum Payah Tamita (PT. MPT), sebuah perseroan milik investor asing di pedalaman Cot Girek.

PT. MPT menebang hutan berbekal surat rekomendasi mantan gubernur Aceh, Abdullah Puteh. Surat Nomor 552/052/2003 tanggal 23 Desember 2003 itu merupakan Izin Usaha Pemanfataan Hasil Hutan Kayu – Hutan Tanaman. Artinya, perusahaan ini berhak atas konsensi hutan seluas 8.025 hektar di hulu sungai Krueng Keureutoe yang mencakup wilayah kecamatan Cot Girek, Langkahan, dan Paya Bakong.

Selain menebang kawasan hutan yang ditetapkan, PT. MPT juga menggerogoti hutan lindung Cot Girek. Jalan sepanjang tujuh kilometer menuju desa Lubok Tilam hancur oleh alat berat penarik log milik perusahaan ini.

“Apa yang dilakukan PT. MPT masuk katagori illegal logging, karena hanya bermodalkan rekomendasi Gubernur NAD. Mereka belum mengantongi izin operasional, mendirikan sawmill, apalagi menggunakan alat berat,” tandas Rusli. Dia juga mengirim surat pada menteri kehutanan Republik Indonesia agar menunda pemberian izin usaha pada PT. MPT.

Silfa sependapat dengan Rusli. Lembaga swadaya ini meminta manajemen PT. MPT menjelaskan fakta-fakta perusakan lingkungan yang mereka lakukan di di hutan Cot Girek. Ternyata perusahaan tersebut tak bisa menunjukkan surat-surat izin resmi pengusahaan hutan pada Silfa.

Akibat protes warga dan aktivis lingkungan, Krishnan Sivamalai, direktur PT. MPT yang juga pengusaha asal Malaysia, sempat menghentikan usaha sawmill di Cot Girek. Dia dan salah seorang pekerja bernama Nara Lanyang, juga sempat diperiksa polisi. Tapi bukan untuk kasus penebangan liar. Mereka diduga tak punya izin bekerja di Indonesia.

Kabupaten Aceh Utara memiliki potensi sumber daya hutan 149.545 hektar atau 27,8 persen dari luas daerah. Seluas 97.365 hektar di antaranya merupakan kawasan hutan yang belum diusahakan alias belum dijamah. Itu data dinas perkebunan dan kehutanan. Kenyataan di lapangan? Silfa menduga lebih dari 50 persen potensi hutan tersebut telah punah akibat penebangan liar sejak dimulainya rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca-tsunami.

*) Muhammad Nasir adalah kontributor sindikasi Pantau di Lhokseumawe.

kembali keatas

by:Muhammad Nasir