Tak Ada Jago, Batal Bersabung

Samiaji Bintang

Wed, 31 May 2006

Gerakan Acheh Merdeka (GAM) menyatakan akan meramaikan pesta demokrasi Aceh. Tapi ternyata mereka tak menyiapkan calon untuk memenangkan pilkada langsung pada tahun ini.

TAK gampang menebak calon GAM untuk pemilihan kepala daerah atau populer disebut “pilkada”. Sejumlah media cetak di Aceh ikut menduga-duga. Warga juga penasaran.

Selasa siang, 30 Mei 2006, petinggi GAM menerbitkan keputusan politik yang menjawab rasa penasaran media dan warga.

“GAM secara organisasi tidak mengajukan calon untuk kepala pemerintahan di Acheh,” begitu bunyi rilis yang disampaikan atas nama juru bicara GAM, Bakhtiar Abdullah.

Ini merupakan keputusan rapat GAM sedunia atau “Ban Sigom Donya” yang digelar pada 20 hingga 23 Mei lalu di aula Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Petinggi GAM Swedia, utusan GAM dari seluruh dunia, dan berbagai wilayah di Aceh hadir di situ. Keputusan tadi dipertegas lagi dalam pertemuan Perdana Menteri GAM Malik Mahmud dengan majelis GAM dari seluruh wilayah pada 29 Mei lalu di Hotel Rajawali, Banda Aceh.

Rapat petinggi dan majelis itu membahas pokok-pokok strategi politik mereka, seperti pendirian partai politik.

“Jika RUU PA (Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh) sudah disahkan dan memuat partai lokal, maka GAM akan mendeklarasikan partai,” kata Munawarliza Zain, wakil juru bicara GAM, pada saya.

Rapat juga membahas penguatan struktur organisasi dan agenda menjaga serta melestarikan perdamaian setelah pemerintah Indonesia gagal memenuhi tenggat waktu penyusunan RUU PA.

Tidak adanya duet jagoan dalam pilkada ini menimbulkan tanda tanya. Namun, majalah bulanan Acehkita edisi Mei menyebutkan bahwa pasangan yang bakal direstui GAM adalah duet Hasbi Abdullah dan Ahmad Humam Hamid. Yang satu jagoan GAM, lainnya jago yang dielus Partai Persatuan Pembangunan. Kedua orang ini sama-sama dosen di Universitas Syah Kuala, sama-sama aktif di organisasi kemahasiswaan, bersahabat karib, dan bahkan, orangtua mereka pun berhubungan baik.

Duet lain yang dikabarkan mendapat dukungan GAM adalah Nashiruddin bin Ahmad dan Muhammad Nazar. Meski keduanya tak pernah bertemu, konon pasangan ini dijagokan berdasarkan konvensi GAM.

Nazar merupakan orang nomor satu di Sentral Informasi Referendum Aceh. Lembaga tersebut pernah memobilisasi ratusan ribu massa untuk mendukung referendum Aceh pada 1999.

Latar belakang Nashiruddin lebih militan. Ia pernah menjadi juru runding GAM dalam Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) pada 2002 silam. Ia sempat dijebloskan ke penjara bersama-sama Sofyan Ibrahim Tiba, Amni bin Ahmad Marzuki, Tengku Muhammad Usman Lampoh Awe, dan Teuku Kamaruzzaman. Mereka dituding telah berbuat makar sekaligus terlibat aksi terorisme di masa pemerintahan presiden Megawati Soekarnoputri.

Namun sekali lagi, Zain menegaskan, “Itu semua atas nama pribadi. Biarkan masyarakat memilih. GAM sementara ini tidak berambisi ikut dalam pemilihan kepala pemerintahan. Yang menurut bahasa kalian, pilkada.”

Duet Nashiruddin-Nazar kemudian terbukti bubar sebelum bertanding. Harian Serambi Indonesia pada 30 Mei 2006 memuat pernyataan pengunduran diri Nashiruddin sebagai pasangan calon dalam pilkada. Alasan Nashiruddin, selepas dibebaskan dari penjara dirinya tak pernah mengikuti kegiatan yang dilakukan GAM, “Saya memutuskan pulang kampung.”

Kendati demikian, Bakhtiar Abdullah menyatakan, GAM memberi kebebasan kepada tiap anggotanya untuk mencalonkan diri sebagai kandidat, “dengan tidak mengatasnamakan GAM.”

Ketika saya menanyakan kapan GAM akan mengajukan calonnya, Zain menjawab diplomatis, “GAM akan ikut pemilihan penuh setelah 2009.”

Sementara ini, menurut Zain, GAM memberikan kebebasan kepada anggota dan simpatisannya ikut memilih dan dipilih dalam pilkada. Alasannya, masyarakat Aceh sudah dewasa dalam berpolitik. Saat ini GAM tidak memiliki keinginan untuk mencampuri politik praktis.

“Tapi itu bukan berarti GAM tidak ikut Pilkada. Salah jika ada yang menyatakan GAM tidak ikut pilkada,” tegas Zain, lagi.

Tapi ibarat bidak kuda, langkah GAM tak mudah ditebak dalam percaturan politik Aceh.

Langkah politik GAM ini jelas bertolak belakang dengan arus politik umumnya di Indonesia. Soalnya bagi partai ataupun organisasi politik, posisi “Aceh 1” merupakan posisi strategis yang jadi incaran utama. Lantas mengapa GAM melewatkan kesempatan untuk memenangkan duet calonnya dalam pilkada 2006?

Apakah lantaran terpengaruh hasil jajak pendapat yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia atau LSI? Soalnya, menurut survei lembaga polling yang diketuai Denny JA itu, kandidat GAM diramalkan kalah. Asal tahu saja, akurasi jajak pendapat lembaga ini boleh diacungi jempol. Prestasi LSI baru-baru ini adalah berhasil melakukan perhitungan cepat dalam pilkada di beberapa provinsi, kotamadya, dan kabupaten.

“Bukan karena kami tidak siap,” Zain mengelak. “Kalau ada calon GAM ikut, kami yakin pasti akan menang. Tapi belum saatnya kami mencalonkan.”*

kembali keatas

by:Samiaji Bintang