Ketika Pertama ke Aceh

Linda Christanty

Tue, 25 January 2005

Pertanyaan pria itu dan jawaban saya sama-sama lucu. Tapi inilah adab membuka percakapan. Ini perjalanan pertama saya ke Aceh.

Dia hampir menendang laptop saya yang tersandar di bawah kursi. Jalan di muka deretan kursi penumpang kelas ekonomi itu memang sempit. Kakinya jadi sulit melangkah menuju kursi kosong dekat jendela. Tapi tak urung saya melotot, kesal. “Mau ke mana?” sapanya, ramah. Saya menyebut Banda. Hati saya cair. Pertanyaan pria itu dan jawaban saya sama-sama lucu. Tapi inilah adab membuka percakapan. Ini perjalanan pertama saya ke Aceh. Pesawat Garuda Indonesia yang saya tumpangi tengah transit di Medan pada sore Senin, 5 Desember.

Usianya sekitar 50an. Celana jins, sepatu kulit, arloji Rolex. Penampilannya bergaya anak muda. Dia sering bolak-balik Medan-Banda Aceh. Tiket gratis. “Dari teman.” Tawanya berderai. Dia mengaku tadinya orang bisnis.

“Tapi sudah setahun saya tak mulai bisnis lagi, seperti tak ada gairah untuk itu. Tuhan itu membuat apa yang kita kumpul selama dua puluh tahun lenyap dalam sekejap. Itu yang saya rasa,” katanya, sedih.

Dia baru pulang dari Kuala Lumpur, Malaysia. “Kontrol. Jantung saya sudah dibalon,” katanya. Balonisasi atau peniupan dilakukan untuk membuka sumbatan lemak atau kotoran di pembuluh jantung. “Musibah kemarin berpengaruh ke jantung saya.”Ayah dan seorang putranya hilang, karena tsunami. Rasa sedih telah sirna, tapi pikiran masih dibebani banyak soal. Padahal stres memperburuk jantung.

“Lembaga nasional maupun internasional banyak di Aceh. Tapi apa yang mereka buat dalam setahun ini? Masih ada orang yang tinggal di tenda-tenda. Ke mana dana yang triliyunan itu? Waktu Clinton datang, dia dibawa ke tempat yang sudah ada bantuan, SBY datang begitu juga… Coba lihat Meulaboh, Calang, Leupung…” katanya, kesal.

Walubi (Wali Umat Budha Indonesia) disebutnya sebagai organisasi yang lumayan baik membantu korban tsunami,“Membagikan makanan, keliling pakai kapal.”

Ketika pesawat mendarat di Banda Aceh, dia memberi tumpangan pada saya. Rombongan keluarga yang terdiri dari istri pria tersebut, tiga bocah perempuan, dan seorang bocah laki-laki ikut serta.

Di muka sebuah ruko di Jalan Sri Ratu Safiatuddin, tepat di samping markas Komando Daerah Militer Iskandar Muda, mobil  berhenti. Koper diturunkan dari bagasi. Bangunan tiga lantai itu gelap-gulita. Halaman berlumpur.

“Benar ini kantornya?”

“Iya, Pak.”

“Mana temannya?”

“Belum datang, masih di jalan.”

“Kita pulang ke rumah saja. Di sini tak ada siapa-siapa.”

“Nggak apa-apa. Saya di sini saja.”

“Tapi benar ini alamatnya?”

“Iya, Pak. Terima kasih banyak.”

“Kalau tak ada temannya, pulang ke rumah, telepon, nanti dijemput.”

Dia pun meninggalkan saya.

Ketika saya menyebut nama pria itu, Chik Rini, teman yang saya tunggu itu, terlihat kaget. Chik Rini mantan wartawan harian Medan Analisa dan pernah menulis untuk majalah Pantau, tempat saya bekerja dulu.

“Diantar Agam Patra? Tahu nggak dia itu siapa?”

“Katanya sih bisnis, punya travel agent.”

“Agam Patra itu pengusaha terkenal. Dia asal Leupung. Namanya sudah terkenal sejak Rini masih kecil,” kata Rini.

Oh…

Malam pertama di Banda Aceh, saya tak jadi menginap di kantor. Ruang kosong-melompong. Lantai belum dipel. Penyejuk ruang belum dipasang. Air kran coklat kekuningan.

“Air tsunami berhenti tepat di sini. Lantai bawah tergenang setengah.” Rini menunjuk ke arah dinding.

Keluarga Rini termasuk yang selamat dari bencana. “Hanya keluarga inti. Tapi Paman, Bibik, saudara-saudara banyak yang meninggal,” tuturnya. Rumah mereka di Lamjame rata dengan tanah. “Bahkan, satu sendok pun Rini tak dapat.” Matanya menerawang.

Saya setuju menginap di rumah Chik Rini. Koper dibongkar. Beberapa helai pakaian masuk ransel. Hotel-hotel di Banda penuh sampai pertengahan Desember. Milad Gerakan Aceh Merdeka (GAM) baru usai.

Malam itu kami makan di Rex, tempat makan populer sejak tahun 1970an. Kursi-kursi dan meja-meja plastik ditaruh di lapangan terbuka. Gerobak penjual makanan berderet-deret. Kerang rebus, sate Padang, nasi bistik, nasi goreng…. Orang makan-minum serta bercakap-cakap di situ. Mungkin sejarah Banda bisa dilihat dari Rex. Pada masa DOM atau Daerah Operasi Militer, Rex tutup sebelum maghrib. Ketika tsunami, kursi-kursi Rex hanyut sampai depan Masjid Baiturrahman. Kini Rex bergairah lagi, buka sampai larut malam.

Sejumlah seniman sedang makan. “Kalau di sini, tempat makan atau kedai kopi jadi tempat orang kumpul dan bergaul,” kata pemuda Aceh yang duduk di sebelah saya. Dia mengaku kerja di sebuah organisasi internasional, dua minggu sekali pulang ke Jawa.

Perbincangan seru terjadi. Mulai dari isu penambahan provinsi, GAM, pemerintah Jakarta, kesepakatan Helsinki, sampai nasib pengungsi tsunami.

“GAM sekarang dipegang faksi Malaysia. Malik Mahmud itu ‘kan Malaysia. Mereka lebih kompromis. Kalau masih faksi Swedia pasti nggak akan ada perjanjian damai ini. Coba sekarang ada yang dengar nggak tentang Zaini Abdullah? Dia itu orangnya Hasan Tiro. Tapi kenapa kemudian Malik Mahmud? Ke mana Zaini, nggak ada yang tahu,” ujarnya.

“Tapi seperti apapun isi perjanjian Helsinki, GAM sekarang legal, de facto, de jure. Itu juga kemenangan politik, “ kata saya.

“Mungkin ada dampak tsunami juga. Jadi orang-orang tu terpaksa damai.”

Saya menghabiskan sepiring kerang rebus dan sate Padang. Malam itu saya lelap dengan perut kenyang.

Pagi hari saya dan Rini mulai bernostalgia. Rini bercerita tentang Alfian Hamzah, wartawan Bugis, yang pernah lama menginap di rumahnya. Ketika itu tahun 2003, Alfian tengah meliput tentara Indonesia yang berangkat perang ke Aceh untuk majalah Pantau

“Kebetulan waktu itu Ramadhan. Meskipun di tivi sudah ada azan Maghrib, dia belum mau berbuka, malah jalan-jalan keluar rumah,” kenang Rini.

Lama-kelamaan rahasia Alfian terbongkar. Dia jalan-jalan di halaman untuk melihat bulu tangannya sendiri. Bulu tangan tak bisa dilihat lagi kalau hari sudah benar-benar gelap. Itu menandai saat berbuka puasa. Begitulah petuah guru Alfian dari pesantren di Makassar, Sulawesi Selatan.

Pesantren di mana pun punya andil besar membentuk sikap para santri dan lebih dari itu, punya pengaruh terhadap kekuasaan. Pesantren-pesantren di Jawa sering didekati politisi bermacam partai untuk berkongsi massa. Di Aceh, pesantren dihormati para elite kekuasaan sejak berabad-abad. Konon, Sultan Iskandar muda yang berkuasa di awal abad ke-17 biasa meminta ulama untuk menguji halal atau haram upeti kerajaan. Uang upeti dituang ke sebuah kolam. Uang halal mengambang, uang haram tenggelam. Uang halal dibawa pulang ke istana.

Bagaimana dengan fundamentalisme Islam di Aceh?

Tim Lindsey, peneliti dan profesor hukum dari Universitas Melbourne, Australia, yang tengah menulis buku mengenai hukum syariah di Aceh pernah berkata pada saya bahwa Islam radikal, macam Hizbut Tahrir atau Majelis Mujahidin Indonesia di Jawa tidak mungkin tumbuh di Aceh.

“Konservatif ya, tapi menjadi radikal tidak,” kata Lindsey.

Lindsey bahkan berpendapat bahwa hukum Islam di Aceh cukup positif, termasuk hukum cambuk. “Hukum cambuk tidak bisa dilaksanakan sewenang-wenang, ada cara yang tidak membuat sakit. Memegang cambuk ada aturan. Ketiak tidak boleh terangkat tinggi,” katanya, seraya menyebut qanun-qanun di Aceh jauh lebih rapi ketimbang di Malaysia. Qanun adalah aturan administrasi pemerintahan daerah Aceh.

Menurut Lindsey, hukum cambuk lebih bertujuan membuat si pelaku malu dan jera.  Ada tiga perbuatan yang bisa terjerat pasal hukum cambuk, yaitu minum minuman keras, berjudi, dan berkhalwat (berduaan dengan lawan jenis yang bukan muhrim). Namun, tiap daerah punya aturan tambahan.

“Di Takengon hari Jumat jalan sepi, tak ada tukang-tukang becak yang jalan, takut mereka itu ” kata Yani Darmaputra pada saya. Dia kuli bangunan asal Takengon yang memasang partisi di kantor saya.

Di Takengon, Aceh Tengah, laki-laki yang mangkir sholat Jumat terkena hukum cambuk. Yani menganggap hukum cambuk di Aceh seperti main-main. Berbeda dengan Lindsey, dia justru ingin hukum cambuk benar-benar membuat orang yang dihukum babak-belur. “Seperti di Arab itu,” katanya. Namun, Yani mengeritik pelaksanaannya.” Orang kecil saja yang kena hukum. Tapi anak bupati atau pejabat itu mana kena, kalaupun kena… lama sekali prosesnya.”

Saya sendiri berpendapat beda. Masih relevankah hukum yang dibuat pada abad keenam atau ketujuh untuk menjawab kebutuhan masyarakat hari ini?

“Kalau ingin tahu asal-usul penerapan syariah Islam di Aceh, pergi ke pesantren-pesantren. Sejarahnya dimulai dari sana. Di pesantren Salafi tertua di Aceh, tersimpan kitab-kitab tua soal itu. Bahkan, ada tempat untuk pelaksanaan potong tangan,” ujar Chik Rini.

Salafi adalah salah satu mazhab dalam Islam. Aliran ini juga menyebut dirinya ahlus sunnah wal jamaah atau para pengikut Nabi Muhammad.

Penerapan syariah Islam juga tercermin dalam wajib jilbab. Perempuan-perempuan muslim wajib mengenakan jilbab. “Dulu waktu Rini masih kecil, masa-masa Suharto… Ibu bebas pakai celana pendek dan kaus ke pasar. Sekarang sudah tak bisa lagi,” tutur ibu Chik Rini. Dia pernah diceramahi seorang pemudi berjilbab, diberi jilbab dan diajari mengenakannya.

Saya waswas bepergian tanpa jilbab di Banda. Mengenakan jilbab bagi saya, sebuah proses dan harus tanpa paksaan. Tapi seorang teman menasihati, “Tak usah pakai, kalau ditanya (polisi syariah) kamu langsung cakap bahasa Inggris saja. Kamu ‘kan sudah mirip orang Barat.”

Agama pula yang memicu orang bersyakwasangka. Dua suratkabar yang terbit di Banda pada 13 Desember, Serambi Indonesia dan Rakyat Aceh, sama-sama memuat isu seputar “pemurtadan” atau kristenisasi yang dilakukan 17 lembaga internasional di Aceh, tanpa menyebut nama. Lembaga-lembaga tadi yang selama ini memberi bantuan pada korban tsunami. Meski kepala kantor Departemen Agama Kota Banda, Aiyub Ahmad, menyatakan belum menemukan bukti kristenisasi tersebut, tapi warga di beberapa tempat mulai resah.

Banyak konflik berdarah di Indonesia dipicu sentimen anti agama. Konflik Islam versus Kristen atau Nasrani, misalnya, memiliki sejarah yang sangat tua. Surat al-Baqarah ayat 120 dalam Alquran sering dijadikan pembenaran tindakan ini. “Walan tardlo angkal yahuda walannashoro khatta tattabi’a millatahum….  orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak pernah ridla (rela) kepadamu (Muhammad) hingga kamu mengikuti jalan hidup mereka”.

Ayat ini diturunkan di Medinah ketika terjadi pertarungan politik untuk menentukan siapa yang layak memimpin kota Mekkah. Konteksnya pertarungan politik masa itu, bukan agama. Muhammad di satu pihak, sedang Yahudi dan Nasrani di pihak lain. Namun, soal masa lalu terbawa sampai hari ini dan tafsir terhadap ayat tersebut masih berkutat di soal yang dulu.

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, mantan presiden Indonesia yang keempat, pernah berselisih paham dengan Yusril Ihza Mahendra yang mengeritik kedekatannya dengan orang Yahudi dan Nasrani. Yusril adalah ketua Partai Bulan Bintang.

“Anda harusnya mondok dulu (belajar di pesantren), jangan sembarangan mengutip ayat," katanya pada Yusril. Gus Dur menjelaskan bahwa "kata "yahuda" dan "nashoro"  merujuk pada orang-orang Yahudi dan Nasrani  di zaman Rasulullah, bukan orang-orang Yahudi dan Nasrani zaman sekarang.

Agam Patra heran mendengar agama dibawa-bawa ke penanganan korban tsunami. “Permurtadan apa? Apakah ada yang sanggup memberi makan orang lapar sebanyak itu? Kalau orang-orang asing itu tak datang mungkin sudah mati semua. Mereka itu yang pertama kali datang ke Aceh ini setelah bencana. Harus diakui ini faktanya. Kalau ada yang mengatakan haram, berapa banyak orang Aceh yang menerima makanan itu. Tengku atau ulama itu banyak juga yang ambil makanan. Pemberian itu kok disebut pemurtadan,” katanya. Tawanya berderai lagi.***

*) Linda Christanty adalah wartawan-cum-sastrawan, kini editor untuk sindikasi Yayasan Pantau di Banda Aceh.

kembali keatas

by:Linda Christanty