BLUE jeans, t-shirt putih, rambut potongan tipis mendekati plontos. Anting manik kuning, merah dan hijau menghiasi telinga kiri plus gelang perak. Sebuah tas menyelempang, kacamata baca menggelayut. Bicaranya ceplas-ceplos, elo-elo gue-gue.

Inilah Tino Saroenggallo yang mengajak saya awal September lalu menyaksikan pemutaran film dokumenternya, Tragedi Jakarta 1998: Gerakan Mahasiswa di Indonesia, di Jakarta International School (JIS).

Hampir 100 persen murid JIS anak ekspatriat, terutama dari Korea Selatan and Amerika Serikat. Halaman depan sekolah itu luas dan keamanan ketat sekali. Beberapa kali sekolah ini diliburkan karena ada spekulasi bakal jadi target serangan teroris Indonesia. Di bangunan pertama kami berhadapan dengan petugas keamanan. Seorang petugas perempuan memberi petunjuk agar kami menuju ruang H-10.

“Bila seandainya ngajar di sini, gue akan ngacak kali,” tuturnya sambil melangkah. Raut wajahnya serius.

“Mengajar bagaikan di film Dead Poet Society?” tanya saya

“Ya, ya, gue akan ngajar kayak Robin Williams di film itu.” Tawanya pecah.

Robin Williams misalnya, suatu ketika mengajar dengan naik ke atas meja. Ia menyuruh siswa merobek buku pelajaran. Ia minta muridnya membaca syair sambil berbaris berteriak-teriak di halaman sekolah. Kesannya, ia tak menyukai kemapanan. Ia tak suka kepada tatanan baku nan kaku. Williams cenderung melihat sesuatu dari sudut berbeda. Akhirnya dia dipecat di sekolah yang konservatif itu tapi Williams mendapat simpati para murid. Wiliam mampu mengantar siswa berani dan kreatif.

Pikiran bebas mendorong Saroenggallo hingga kini bekerja independen lewat Jakarta Media Syndication –lembaga yang didirikannya sendiri dan produsen Tragedi Jakarta 1998. Di kartu namanya, yang dicetak berwarna, ia mencetak foto reruntuhan sebuah rumah sakit yang dihancurkan milisi Timor Timur. Di bawah namanya, tercantum pekerjaannya: production anything.

Tiba di depan ruang, sudah ada Jeremy Allan. Ia seorang kulit putih berbadan pendek.

Allan menenteng sebuah ransel. Ia penulis Jakarta Jive, sebuah buku berbahasa Inggris, yang bertutur tentang keberadaan, pengalaman, dan lika-liku para ekspatriat di tengah kemelut Jakarta Mei 1998. Allan mengenal Saroenggallo ketika RCTI mulai siaran pada 1989. Pertama bertemu mereka merencanakan membuat program televisi bertajuk Visual Jakarta. Saroenggallo dimintanya membantu. Buah karya Allan itu sayang urung mengudara.

Sebaliknya dengan Saroenggalo. Ia kebablasan jadi produser RCTI. Kebetulan kala itu Rocket Music Entertaiment membuat program musik Rocket Musik Indonesia. Mereka memerlukan produser. Ia ditawari.

Kendati berkecimpung di program musik, Saroenggallo mengatakan tak dapat memainkan sepukul pun alat musik. Tapi ia menikmati pekerjaannya di dunia televisi. Dari tangannya lalu lahir berturut-turut program televisi Cinema-Cinema—hingga kini masih mengudara dengan produser berbeda—dan sinetron Dunia Dara.

Tak lama setelah bertemu Allan, muncul William Woodroof, guru publikasi JIS, pemimpin pertemuan hari itu. Ia tampil berpantalon gelap, baju abu-abu, dan dasi warna gelap.

Pukul 12.30. Lima puluh menit lagi menjelang acara. Woodroof mengajak kami ke kantin sekolah sambil melanjutkan percakapan. Jalan ke sana melewati kolam renang. Di kejauhan tampak terhampar lapangan sepak bola, tenis, basket, dan soft ball.

Saroenggallo mengatakan dulu dia sekolah di SD Tarakanita, lanjutan pertama dan menengah atas ia teruskan di SMP dan SMA Pangudi Luhur, di Jakarta. Di SMA ia di jurusan ilmu pengetahuan alam.

“Gua paling suka pelajaran kimia,” katanya. Menginjak akan kuliah, ia menelaah bidang yang menantang masa depan. Kerabatnya menyarankan belajar bahasa Jepang atau Cina. “Sejak kecil gue nggak suka sama orang dan budaya Jepang.”

Saroenggallo kemudian memilih sastra Cina. Ia diterima di Fakultas Sastra Cina Universitas Indonesia.

“Orang Cina bejibun. Nanti kan eranya Asia,” katanya.

Setelah setahun di UI, Saroenggallo tergiur melihat seorang kawannya, pulang dari Taiwan sudah encer bicara Mandarin. Ia pun berniat ke Taiwan.

Ibunya, LWJ. Langendoen, 61 tahun, seorang dokter Belanda. Ayahnya Renda Sarunggallo, 80 tahun, pria asli Toraja, kala itu pengacara. Mereka berdua mengabulkan keinginan putranya belajar ke Taiwan.

“Kok nama Anda ditulis memakai oe, ayah u?”

“Ayah istrinya dua. Kami anak-anak yang dari ibu Belanda, biar beda gituh, pake oe.”

Tino Saroenggallo belajar di Mandarin Training Center, Taiwan Normal University, Taipei, pada 1973. Selama setahun. “Kesempatan belajar itu adalah keberuntungan dalam hidup.”

Obrolan soal sekolah itu mengantarkan kami ke mulut kantin JIS. Suasana terasa sejuk, ruang kantin terasa segar oleh pohon-pohon besar. Aroma khas cappuccino dari mesin kopi mengundang selera.

Woodroof bercerita mengapa memilih tinggal di Jakarta. Allan menimpali hal yang sama ketika sebagian besar ekspatriat hengkang dari Jakarta. Bagi mereka, momen Mei 1998 merupakan pengalaman menegangkan. Banyak bangunan dibakar. Beberapa pasar swalayan dan pusat perbelanjaan dijarah massa. Suasana kalut.

Sebaliknya dengan Saroenggallo. Saat itulah momennya. Ia memulai debut menyentuh pembuatan film dokumentasi kerusuhan. Ia turun ke jalan meliput demonstrasi mahasiswa di Jakarta.

Tangan Saroenggallo tampak menggengam kaleng minuman ringan. Ingatannya mengenang heboh Jakarta kala itu. Berkecimpung di liputan di jalanan baginya menjadi keberuntungan berikutnya.

“Seorang kawan yang menginformasikan bahwa sebuah televisi Jerman mencari stringer,” ujarnya.

Bertepatan sehari setelah kerusuhan Mei, ARD-TV Jerman melakukan liputan ke bilangan Glodok, Kota dan daerah pecinan lainnya di Jakarta. Ia mendampingi Volker Steinhoff, reporter ARD-TV meliput berita.

“Eich, doi kagum cing, ama Oom Tino bisa bahasa ‘cacing’ di Glodok,” ujarnya. Maksudnya, Steinhoff kagum karena Saroenggalo mampu berbahasa Mandarin.

Selanjutnya berturut-turut ia dipercaya mendampingi reporter ARD-TV lain, macam Hartmut Idzko dan Jochen Graebert. Kerjanya ya membantu cari nara sumber, menunjukkan jalan, jadi penterjemah, mengatur jadwal dan sebagainya. Ia menerima US$ 150 per hari bila lagi bekerja untuk televisi Jerman itu. Paling tidak dalam sebulan, seminggu waktunya untuk ARD, terkadang lebih.

Selang waktu lowong, dia gunakan meliput kegiatan demo-demo mahasiswa dengan kamera Vi-8 yang dimilikinya. Ia bergaul dengan kelompok mahasiswa macam Forkot, Famred, Kammi, dan lusinan kelompok mahasiswa di Jakarta. Dia mengenal demo-demo mahasiswa.

“Kantong kan lagi oke, iseng aja ngikut ke mana mahasiswa jalan,” katanya.

Tak terasa waktu pemutaran film di JIS itu menjelang tiba. Kami ke ruang H-10 melalui jalan pintas lewat teras beberapa kelas. Di depan pintu-pintu kelas tersedia keran air bertatakan stainless steel setinggi sepinggang. Airnya langsung dapat diminum.

Mendekati mulut ruangan masih ada 10 menit lagi. Saroenggallo minta izin merokok. Hampir semua wilayah di lingkungan JIS itu no smoking area. Woodroof mempersilakannya menuju pojok yang dilindungi dedaunan sepokok pohon besar di lantai tiga.

Tatapan matanya kemudian terusik oleh lalu lalang anak-anak kulit putih di kejauhan. Saroenggalo adalah single parent untuk Maria Tisa Chaterine, seorang gadis mungil umur 11 tahun.

Saya pernah ketemu mereka suatu siang di Mal Pondok Indah, Jakarta Selatan. Saroenggalo menemani Tisa membeli keperluan sekolah. Tisa semula ikut ibunya, Beby Yohanna Tanya, yang telah menikah lagi dengan pria lain, menetap di New York, Amerika Serikat.

“Nggak sampai dua tahun anak gue nggak kuat di sana. Ia lebih memilih ikut bapaknya.”

Kendati tampil eksentrik, sifat kebapakannya terlihat ketika memperkenalkan Tisa kepada saya.

Saya sempat tanya mengapa mereka cerai. Saroenggallo mengatakan perceraian itu akibat tingkah-polahnya. “Gue kan banyak beredar di lingkungan cewek-cewek. Akibatnya di rumah berantem mulu sama istri.”

Perceraiannya lalu tak dapat dihindarkan. Itu terjadi pada 2000 lalu.

“Itu kan jalan terbaik. Daripada berantem terus,” katanya.

TEPAT pukul 13.20, siswa JIS sudah memenuhi ruangan. Seratus lima puluh kursi yang disediakan, tampak kurang. Beberapa bangku tambahan dimasukkan. Sekitar tiga menit Woodroof memberi pengantar tentang film yang akan ditonton. Film yang diputar versi bahasa Inggris, Student Movement. Bagian dialog bahasa Indonesia sudah diterjemahkan dalam teks tertulis. Versi ini tak tergunting Lembaga Sensor Film, sedikit berbeda dengan yang kala itu diputar di jaringan bioskop 21.

Kisah dibuka dengan rekaman tragedi penembakan mahasiwa Universitas Trisakti yang terjadi pada 12 Mei 1998, yang membuat empat orang mahasiswa meninggal terkena peluru tajam oknum aparat. Mahasiswa melakukan demonstrasi. Lalu pengunduran diri Presiden Soeharto. Ditampilkan cuplikan Soeharto berpidato ketika membacakan surat pengunduran dirinya. Terlihat sorak-sorai mahasiswa di gedung parlemen dan close up cut to cut ekspresi suka cita para mahasiswa di pelbagai suasana di depan televisi menyaksikan adegan bersejarah itu.

Ada spanduk besar bertuliskan: “Hapuskan Dwi Fungsi ABRI.”

Beberapa adegan menyuguhkan saling pukul dan adu dorong antara aparat dan mahasiswa. Seorang mahasiswa dipukul tak berdaya dengan pentungan, ditendang dengan kaki bersepatu lars. Kerumunan massa mahasiswa dihadang water canon dan tembakan gas air mata.

Suara penonton di kelas itu, “Huhhh!”

Film berakhir 45 menit kemudian. Saroenggallo diminta Woodroof ke depan kelas. Murid-murid bertepuk tangan panjang. Kesempatan tanya jawab dibuka.

Giliran Saroenggallo bicara. Penampilannya bak seorang guru yang berdiri santun. Tak ada kesan Robin Williams. Bahasa Inggris lancar mengalir.

Di saat ia menjelaskan teknis pembuatan filmnya di depan kelas, saya teringat keterangannya dua hari sebelumnya, bahwa film itu bukanlah produk yang dari awal direncanakan menjadi sebuah film cerita. Keberuntunganlah yang membuat film itu akhirnya dapat melangkah ke bioskop.

“Proyek kan punya keberuntungannya masing-masing,” katanya meyakinkan saya.

“Keburuntungan sih oke, masak tak direncanakan?” cecar saya.

“Boro-boro rencana proyek, cita-cita hidup aja gue nggak punya.”

“Setiap membuat proyek tertentu, gue nggak bercita dan berharap apa-apa. Mengalir aja.”

Menurut Saronggallo, Student Movement sempat jadi film yang melanglang hingga ke Highgate Festival di London, Inggris. Selanjutnya pada 2001 diikutsertakan dalam festival film independen di Jakarta. Pada awal 2002 diputar di festival Film Oberhaus di Jerman, atas prakarsa organisasi film independen Indonesia Konfiden. Minggu pertama Oktober 2002 diputar di Indonesian Film Festival, Melbourne, Australia dan Asia Pacific Film Festival di Seoul, Korea Selatan.

Di Korea ia beruntung pula. Festival Film Asia Pasifik itu memberikan penghargaan sebagai film pendek terbaik. “Kan ape gue bilang, film ini punya kebeberuntungan sendiri.”

Keberuntungan pula yang mengantarkannya dibiayai seorang pebisnis bursa saham yang menghibahkan uang sebesar US$ 60 ribu atau sekitar Rp 500 juta. Dana itu pada Mei 2002 dipakainya untuk mentransfer format video filmnya ke dalam film 35 milimeter. Ia menghabiskan $A 700 per menit film di AtLab, Sydney, untuk kinetransfer. Hitung saja bila film ini berdurasi 45 menit berarti butuh $A 31,500 atau sekitar Rp 157 juta.

Sebelum dilakukan kinetransfer ke Sydney, sebuah rumah produksi Miradewi di bilangan selatan Jakarta, berbaik hati kepadanya. Mereka mengerjakan proses colour corection film ini gratis. Menurut saya, ini kerja luar biasa, mengingat footage yang dimiliki Saroenggallo, dari berbagai macam kamera, dan sebagian besar hanya dari format home video, video-8 hifi. Dua puluh persen merupakan sumbangan kawan-kawannya di Jakarta Media Syndications. Formatnya beragam.

Hasil transfer di film 35 milimeternya tajam. Warnanya tak ada yang jumping. Kendati “berasis variatif.”

“Bila colour corection harus dilakukan di luar negeri, dana gue pasti tak cukup. Ini terjadi berkat pertolongan kawan.”

Modal pertemanan pulalah yang mengantar Saroenggallo bertemu “Sinterklas” yang menyumbang uang. Ceritanya, ia pernah mentransfer kopi filmnya ke format VCD, jauh sebelum sumbangan datang.

“Ada anak-anak Forkot yang menyebarkan VCD itu dari tangan ke tangan. Nah salah satu yang pernah menonton tertarik mendukung film ini untuk ditampilkan di layar lebar.”

Student Movement lalu mencatat sejarah sebagai film dokumenter berformat seluloid pertama yang masuk ke jaringan bioskop 21. Sekaligus sebagai film perdana tampil dengan durasi pendek: 43 menit.

Tapi ditinjau dari sisi penonton peruntungan rupanya tak berpihak kepadanya. “Penonton sepi,” katanya.

Hingga 3 September 2002 itu, baru sekitar seribu penonton tercatat di bioskop 21. Baginya aneh. Khususnya di lokasi kantong-kantong mahasiswa macam di Mal Ciputra, Kawasan Grogol, Jakarta Barat. Bioskop 21 yang memutar filmnya sepi padahal hanya beberapa puluh meter dari sana, berdiri kampus Universitas Trisakti dan Tarumanegara.

“Gue kira reformasi sudah ke laut,” komentarnya.

SIANG medio 1994. Saroenggallo tampak kelimpungan berbelanja di kota Surabaya. Dia membeli berbagai kebutuhan. Mulai cat rumah hingga perangkat kloset duduk untuk kamar mandi. Beberapa tempat penyewaan mobil mewah pun ia datangi untuk membawa peralatan makan dan minum serta aneka perlengkapan lain. Ia harus mem-booking katering dari sebuah hotel bintang lima, agar konsumsi terjamin tepat waktu dan higienis. Selanjutnya ia menyewa tiga bus mewah ber-AC. Ketiga bus itu ia lepas joknya. Bus dingin itu disulap jadi karavan berkasur.

Tahun itu Saroenggallo punya gawean besar. Ia mendapat menjadi manajer produksi lokal untuk produksi film bertaraf internasional berjudul Victory. Sebuah adegan film itu mengambil lokasi di desa nelayan Panarukan dan sebuah rumah tua di Besuki, Jawa Timur. Ia harus mengatur akomodasi, penginapan awak film yang mencapai 150 orang di Situbondo, Bondowoso, dan Pasir Putih, sebuah daerah pelesir antara Panarukan dan Besuki. Awak yang terlibat punya portofolio hebat di kalangan Hollywood, Amerika. Film ini berlatar tahun 1912.

Sebut saja sutradara Mark Peploe, yang menulis skenario film The Last Emperor dan Little Budha. William Dafoe, sosok production manager film Jurasic Park, menjadi director of photography di film ini. Asisten sutradara satu Patrick Clayton, asisten dua Michael Stevenson sedangkan asisten tiga dijabat sosok lokal, Riri Riza, sutradara Indonesia, yang baru saja memproduksi Eliana eliana. Asisten sutradara tiga bertugas menangani pemain dan figuran lokal, menterjemahkan instruksi sutradara agar berjalan semestinya.

Demi melayani nama besar macam Peploe dan Dafoe itu, kloset jongkok hotel diganti Saroenggallo jadi kloset duduk. Semua gaya kerja Hollywood. Biaya besar. Kerja besar. Untung besar. “Mereka yang minta begitu. Sementara di seputar lokasi syuting cuma ada hotel yang klosetnya jongkok.”

“Untuk keperluan transportasi mereka minta sedan mewah. Masing-masing orang satu mobil, lengkap dengan supir.”

Sedangkan bus yang disulap menjadi karavan berkasur tadi, tak lain hanya digunakan Peploe untuk leyeh-leyeh di waktu rehat. Di dekat lokasi syuting. “Bus itu pun harus selalu menyala dan terus dingin AC-nya, “ ujar Saroenggallo.

Ironisnya, bus itu seingat Saroenggallo, dari dua minggu sewa hanya sekitar 10 menit dikunjungi Peploe. “Namanya permintaan, ya harus disediakan walaupun cuma untuk dianggurin.”

Ia mengurus mobilitas kru yang berjumlah 150 orang. Mulai dari kebutuhan mereka tidur, makan, jalan hingga dukungan peralatan syuting film. Selama sepekan syuting di Jawa Timur, mereka membelanjakan uang US$ 1 juta. Persiapan syuting mencapai dua bulan.

Sayang, film ini di kemudian hari tak diputar ke jaringan bioskop, cuma jadi paket video yang dijual lepas di pasaran bebas. HBO pernah menyuguhkan Victory lewat televisi.

Pengalaman itu membuahkan hasil. Berbagai rumah produksi, menawarkan Saroenggallo menjadi tim produksi mereka. Terutama untuk produk-produk iklan televisi. Ia mendapat order dalam lingkup kerja yang beragam. Terkadang jadi production manager atau line producer. Adakalanya menyutradarai. Sewaktu-waktu menjadi asisten sutradara asing.

Untuk film iklan kolosal Idul Fitrinya Gudang Garam, yang disutradarai Bob Chapel, ia menjadi line producer-nya. “Gue harus harus mengarahkan 6000-an talent untuk film iklan itu,” kenangnya.

Dia harus berkomunikasi dengan ribuan orang desa, mengatur mereka datang ke lokasi syuting tepat waktu, dengan properti dan kostum yang diminta, membayar honor mereka, menjadi pengalaman tersendiri. Kerjanya menuntut kecermatan tinggi, sekaligus rinci. Sebuah irama kerja yang bertolak belakang bila dilihat dari sekilas penampilannya yang terkadang cuek dan tutur kata seakan nyeleneh.

Masa 1994 hingga 1998. Inilah rentang waktu dalam perjalanan hidupnya bahwa job dari rumah produksi untuk mengerjakan film iklan, baik yang berformat film atau sebatas video, kencang mengalir. Kantongnya tebal.

Kemudian masa 1998, keadaan sosial politik membuat jumlah produksi film iklan melorot. Banyak angggaran belanja iklan perusahaan yang menurun. Di era inilah Saroenggallo melangkah ke film dokumenter.

Baginya, berurusan dengan film dokumenter, hanyalah semacam kembali ke habitat. Tino Saroenggalo memiliki pengalaman jurnalistik. Pengalaman kewartawanan yang menurut Saroenggallo datang mengalir begitu saja, telah memberikan bekal.

Syahdan, pada ketika masih kuliah di Universitas Indonesia pada 1984. Ada kunjungan rombongan mahasiswa Universitas Indonesia ke Tanah Toraja, daerah kelahiran ayahnya. Ia salah satu peserta. Hary Kawilarang, redaktur tabloid Mutiara—terbitan kelompok Sinar Harapan kala itu, minta Saroenggalla menuliskan pengalaman ke Toraja. Dari tulisan dan foto-foto hasil jepretan awal itu, penugasan pada dirinya berlanjut ke penulisan bidang lain.

“Kala itu urusan kajian masalah Cina, Sinar Harapan kekurangan Sinolog, nah di situ ada lagi kesempatan gue.”

Setelah lulus dan menikah pada 1986, ia masuk kerja sebagai wartawan tetap majalah X-tra.

Majalah berita mingguan ini diterbitkan oleh kelompok usaha Femina. Majalah itu hanya berumur setahun. Saroenggallo lalu ditawari bekerja di majalah Gadis atau Femina

“Kelaki-lakian gue belum siap untuk bekerja di Gadis atau Femina,” katanya tertawa.

Ia lebih memilih uang pesangon. Kala itu pesangon dari X-tra langsung dibelikannya ke kapling lahan di bilangan Bojong Gede, Bogor, Jawa Barat. Ia mendapat tanah seluas 800 meter. Hingga kini tanah itu masih kosong, belum dibangun rumah. Ia memilih tinggal di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan.

Pengalaman kerjanya di kewartawanan lalu beralih ke Kelompok Kompas Gramedia. Noorca M. Massardi, yang kala itu memimpin majalah Jakarta-Jakarta, menawarinya bekerja sebagai reporter honorer. Ia menerima Rp 75 ribu per minggu. Kontraknya di Jakarta-Jakarta tak diperpanjang.

Saat itu ia bertemu dengan Leila S. Chudori, kini wartawan Tempo. Chudori kemudian memperkenalkan Saroenggallo kepada Jeremi Allan, yang sedang merencanakan membuat program televisi di saat awal RCTI mengudara itu. Maka berlanjutlah urusannya dengan program televisi.

MINGGU kedua November 2002. Di beberapa ruas jalan di Jakarta poster film Student Movement kembali tampak tertempel di pinggir jalan. Saya menyaksikan sepanjang jalan dari arah Tendean, Bangka Raya, Kemang, Jakarta Selatan poster yang berisi film ini akan di putar lagi serentak di delapan jaringan bioskop 21 di Jakarta. Pemutarannya tepat dimulai pada 13 November 2002.

Saya lalu mengontak Saroenggallo melalui telepon selularnya.

Dapat uang dari mana untuk menggenjot promosi?

“Ha ha minjem. Minjem sama kenalan.”

Seakan saya belum yakin, ia mengulang, “Beneran, gue minjam uang untuk promo sekaligus bisa memanfaatkan momentum penghargaan Korea serta peringatan 13 November. Siapa tahu aja ngangkat.” Nada suaranya bersemangat.

Ia memang tampak gigih agar film ini banyak ditonton orang, terutama kalangan mahasiswa. Pemutaran pada September 2002 memang tak banyak menyedot animo penonton. Sepi.

Upaya terbarunya itu menggiring saya pada 13 November sengaja mengamati studio 21. Saya memilih bioskop 21 Pondok Indah Mall, mengingat sebelumnya di situ telah pernah diputar Student Movement September lalu. Adakah kali ini Saroenggallo punya keberuntungan?

Dari jam putar siang, sore bahkan malam yang saya amati, penonton hanya enam orang. Inilah angka terendah penonton, sebagai acuan agar sebuah film tak diturunkan dari layar 21. Keesokan harinya, jumlah penonton juga tak menunjukkan tanda bergairah. Hari ketiga film ini akhirnya diturunkan lagi dari seluruh jaringan 21. Sedihkah Saroenggallo?

“Kite upaye. Lagian cuma sekadar mengingatkan peristiwa 13 November 1998.”

Dia mengacu pada peristiwa ketika mahasiswa Jakarta melakukan demonstrasi dekat kampus Universitas Atmajaya, Semanggi, Jakarta. Beberapa orang mahasiswa melumurkan badan dengan cat merah, lalu berguling-guling ke jalanan aspal. Mereka seakan mengingatkan, bahwa tragedi Semanggi, penembakan mahasiswa Trisakti 1998, hingga kini belum tuntas jua pengadilannya. Tapi demonstrasi mahasiswa itu tak berimbas mengundang mahasiswa pergi menonton Student Movement.

“Tapi paling tidak gue sudah menghadirkan tontonan rekaman sejarah!”

Kalimatnya ini telah mengingatkan saya akan wajah Saroenggallo di tempatnya mangkal. Bila tidak ada kesibukan, dia dapat ditemui di bilangan Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Di sebuah bangunan rumah petak, ia mangkal bersama Ignatius Wibowo, Anitasa Dewi, Natalia Subajo, N. Nuranto, dan Rene Patirajawane menerbitkan berkala bulanan, semacam nawala berjudul Djeroek Poeroet.

Medium ini merupakan lembar berita kajian masalah Cina. Di dalam salah satu terbitan Djeroek Poeret, ada tulisan menarik tentang “Orang Cina di Indonesia, Masih Relevankah Istilah ‘Cina’ versus Tionghoa Diperdebatkan?” Kajian itu seakan menjawab, bahwa persoalan itu telah usang.

Di markas Djeroek Poeroet pula Saroenggallo dapat berpanjang lebar bertutur tentang dokumentasi berbagai kerusuhan di Indonesia. Karena memiliki berbagai dokumentasi kekerasan itu pula ia memiliki rencana membuat film tentang kekerasan yang terjadi di salah satu wilayah Indonesia.

Ia mengatakan belum mempunyai keinginan membuat film layar lebar, misalnya yang bertema cinta nan lebih laku di pasaran. Ia pun tak mempersoalkan nasib dan jiwanya yang kemungkinan akan digaruk tentara, yang mungkin tak bisa menerima dokumentasi kebrutalan mereka ketika menghadapi mahasiswa.

“Urusan ancaman sih sering gue terima. Tapi jalan terus.”

Dari mana uang untuk biaya sekolah Tisa?

“Ini gue lagi nunggu job dari sebuah biro iklan. Menyutradarai film iklan.’

Untuk satu hari syuting, ia menerima honor Rp 15 juta.

“Generasi di bawah gue kini honornya sudah ada yang sehari Rp 30 juta.”

Di blantika produksi film iklan, namanya memang sedikit tenggelam. Itu dikarenakan kesibukannya dalam film dokumenter.

Dan honor Rp 15 juta tersebut, merupakan bagian rentang tanggung jawab kerja dari proses awal hingga produksi, sehingga pascaproduksi dapat dikatakan siap tayang ke televisi. Tenggang waktu itu bisa cepat. Seminggu. Sebulan. Satu produksi bahkan bisa makan waktu tiga sampai enam bulan. Bila waktu proses kerja panjang, penantian pemasukan melelahkan Saroenggallo. Bila produksi cuma satu hari, itu artinya ia hanya dapat Rp 15 juta. Jadi tak ditakar dari panjangnya total waktu produksi.

“Elo kan pasti tahu, director kan dihitung honornya cuma dari jumlah hari syuting!”

Di balik hari-hari penantian job memproduksi film iklan, ia tetap tampak berpikir dengan kegemarannya membuat proyek idealis. Sosoknya ingin bebas lepas, mengalir mengikuti keinginan hati nuraninya di dunianya sendiri. *

by:Narliswandi Piliang