Pada Mulanya Greene

Agus Sopian

Mon, 2 December 2002

SETELAH empat tahun mati suri, Tempo terbit lagi pada 6 Oktober 1998. Majalah ini diberangus pada 26 Juni 1994 bersama dua mingguan lain.

SETELAH empat tahun mati suri, Tempo terbit lagi pada 6 Oktober 1998. Majalah ini diberangus pada 26 Juni 1994 bersama dua mingguan lain. Vonis dijatuhkan rezim Soeharto kurang lebih sebulan sesudah Tempo menurunkan laporan perihal pembelian kapal perang eks Jerman Timur.

Tempo pascabredel diwarnai sejumlah perubahan: mulai perwajahan sampai susunan redaksi. Ada rubrik baru, antara lain Investigasi, dengan tim yang dikomandani seorang redaktur pelaksana. Ia membawahi beberapa wartawan yang bertugas merencanakan liputan sekaligus menuangkannya ke dalam cerita. Ujung tombak di lapangan diawaki empat atau lima reporter.

Rubrik Investigasi didesain sebulan sekali. Halaman yang dihabiskan, di luar bumper iklan, bisa mencapai 11–14 lembar. Temanya macam-macam. Garis ide, sejauh ini, lebih banyak melintasi wilayah persoalan penegakan hukum. Dalam pandangan Hermien Y. Kleden, sekarang menjabat redaktur pelaksana Investigasi, masalah-masalah yang berkembang di sekitar garis itu tidak akan pernah habis. Setidaknya, dalam lima tahun ke depan. “Kalau hukumnya sudah tegak, itu lain lagi,” katanya, tertawa kecil.

Dari Skandal ke Skandal, sebuah buku berisikan kumpulan laporan dalam banner Investigasi Tempo, memperlihatkan wujud garis ide tadi. Di sana, bertebaran kasus-kasus hukum yang selama ini jadi sorotan publik. Entah itu soal monopoli PT Jamsostek yang nyaris tanpa kontrol, macetnya kredit konglomerat di tubuh Bank Rakyat Indonesia, kekeruhan swastanisasi air minum di Jakarta, atau praktek-praktek korupsi dan kolusi lain di pelbagai sektor yang melibatkan keluarga Presiden Soeharto.

Gebrakan awal rubrik ini di edisi pertama bertautan dengan masalah hukum. Tempo mencoba mengorek kembali isu pemerkosaan Mei 1998. Puluhan narasumber mereka hubungi sejak menteri, tentara, polisi, tim resmi pencari fakta, relawan, ahli forensik, sampai dokter yang tercatat sempat mengurusi korban perkosaan. Lainnya, pergi ke perpustakaan mencari literatur yang mengupas dimensi sejarah perkosaan terhadap perempuan Indonesia keturunan Tionghoa. Tempo menemukan, misalnya, Star Weekly yang memberitakan adanya kasus serupa pada Juni 1946. Kasus ini meledak di Tangerang. Ujung cerita Tempo sama sekali tak berhasil mengungkapkan siapa korban, siapa pelaku. Apalagi otak di balik kejahatan massal itu.

Saya tidak tahu, apakah studi literatur itu merupakan apologi Tempo atas kekurangmampuannya untuk juga mengungkapkan siapa korban, pelaku, dan lebih penting lagi otak di balik tragedi kemanusiaan yang memantik kemarahan masyarakat internasional itu. Yang jelas, Tempo lebih memusatkan liputannya pada kontraversi ada-tidaknya kasus pemerkosaan massal tersebut. Siapa yang bertanggung jawab atas kejahatan itu (who is responsible for the wrong doing), yang menjadi salah satu elemen dasar jurnalisme investigatif, nyata-nyata tak tersentuh. Laporan jadinya terkesan biasa-biasa saja.

Laporan investigasi sejatinya bukan reportase biasa. Robert Greene dari Newsday, mensyaratkan sekurang-kurangnya tiga elemen dasar. Yakni, liputan benar-benar gagasan orisinal wartawan dan hasil bukan investigasi pihak lain yang ditindaklanjuti, membongkar kejahatan publik yang disembunyikan, serta menemukan siapa pelakunya.

Reportase investigatif jelas tidak bisa dikerjakan dengan cara biasa. Jurnalisme macam ini, dalam ungkapan Al Hester, peneliti komunikasi dari Universitas Georgia, Amerika Serikat, “lebih dari sekadar mempunyai arti rutin.” Ini bisa berarti, laporan investigasi selalu diiringi oleh konsep kerja yang ketat dan penuh determinasi. Kehadiran redaksi di lapangan secara fisik (omni present) saja tidak cukup. Jurnalis-jurnalis investigasi, dituntut untuk bertindak atas dasar, meminjam istilah Walter Lippmann, “prinsip intelijen.” Mereka harus bergerak ke luar untuk mencari fakta-fakta dan menemukan kearifan darinya. Tanpa prinsip seperti ini, mereka mudah terjatuh ke dalam ruang sendiri dan menemukan apa yang ada di dalam sana. Laporan pada akhirnya tidak lebih dari uraian prasangka.

Saya membayangkan seorang reporter investigasi seperti Lara Croft, jagoan Tomb Raider, dalam game PlayStation. Tiap detik ia harus putar otak untuk mencari jalan keluar dari berbagai kemuskilan. Sekali waktu ia harus meloncati bangunan-bangunan tinggi, kali lain ia harus menuruni lembah, menyelami sungai, memecahkan ratusan teka-teki; hanya untuk sebuah kemungkinan.

Di atas segala-galanya, Nona Croft harus terus meliarkan mata untuk memelototi dinding, langit-langit, lantai, bahkan titik bidang di mana ia berpijak. Siapa tahu di situ terdapat jawaban dari obyek selidikannya. Ia tak punya keinginan untuk sekadar selamat dari situasi bahaya, tapi sangat terbuka untuk mengambil manfaat dari situasi itu. Praktis, undakan-undakan kesulitan yang ditemui di sepanjang game, bisa menjadi bingkai pengalaman baginya untuk menata langkah lanjutan dalam memecahkan kode-kode rahasia. Ia sesungguhnya berenang dalam bahaya—dan barangkali juga mengelaborasikan humor wartawan Finley Peter Dunne itu, “senang dalam penderitaan dan menderita dalam kesenangan.”

“Banyak orang mempunyai gambaran tentang reporter penyelidik (investigative reporter) sebagai suatu gabungan antara pejuang berani mati, detektif super dan anjing polisi, yang terus-menerus mencari jejak kejahatan, penjahat, korupsi dan kelemahan moral manusia,” tulis Al Hester. Dia mendeskripsikan jurnalis investigasi adalah mereka “yang membalikkan setiap batu untuk melihat binatang melata apa yang menjalar ke luar dari bawahnya.”

Hasilnya sering mencengangkan. Presiden Richard Nixon, contohnya, meninggalkan Gedung Putih dengan kepala tertunduk setelah setelah Carl Bernstein dan Bob Woodward dari Washington Post terus-menerus mengejar Watergate. Mereka menelanjangi perbuatan tercela Nixon semasa kampanye hingga auratnya terlihat dengan jelas oleh publik Amerika. Masih di Amerika Serikat, dalam Pentagon Paper, reporter Neil Sheehan bersama sejawatnya di The New York Times, membongkar kebohongan pemerintah Amerika Serikat dalam keterlibatannya pada Perang Vietnam. Pentagon Paper adalah nama populer untuk sebuah studi rahasia selama kurun waktu 1967–1969 yang dikerjakan oleh sejumlah analis untuk kepentingan Departemen Pertahanan Amerika Serikat. Versi resminya, studi yang terdiri atas 47 volume ini dinamakan Sejarah Pengambilan Keputusan Amerika Serikat atas Kebijakan Viet Nam. Daniel Ellsberg, yang kebetulan punya akses terhadap studi itu, membocorkannya kepada New York Times.

Dan di belahan wilayah lain, dalam kurun waktu berbeda, Perdana Menteri Thaksin Sinavatra diperiksa aparat penegak hukum Thailand setelah pers setempat gencar melakukan investigasi atas dana kampanye yang digunakannya selama pemilihan umum. Di Filipina, rakyat kembali turun ke jalan menuntut pengadilan atas presiden mereka, Joseph Estrada, tak lama setelah Philippines Center for Investigative Journalism mengungkapkan kejahatan korupsi Estrada.

Apakah reaksi masyarakat dunia yang menolak ajakan Amerika Serikat untuk menyerang Irak lantaran terpengaruh oleh laporan-laporan investigasi pers yang memperlihatkan kekejaman tentara Amerika Serikat saat menggempur Afghanistan? Newsweek dengan kulit muka “The War Crimes of Afghanistan” umpamanya, melaporkan ratusan tahanan Taliban yang mati mengenaskan dalam iring-iringan truk kontainer tertutup. Banyak juga laporan lain yang mengarah pada usaha pembuktian hipotesis bahwa gong perang yang ditabuh Amerika Serikat lebih disebabkan oleh kerakusannya akan minyak, selain mengefektifkan produk senjata militernya. Wallahualam.

SEJAK kapan pers Indonesia mulai bersentuhan dengan jurnalisme investigasi? Sejarah awal jurnalisme investigasi berhimpitan dengan sejarah Indonesia Raya. Setidaknya itulah yang ada di benak sebagian peneliti dan praktisi pers. Taruhlah Lembaga Studi Pers dan Pembangunan dalam buku 10 Pelajaran untuk Wartawan, atau Susanto Pudjomartono dalam “Investigative Reporting” di buku yang sama. Demikian pula tim peneliti sejarah pers Indonesia dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang diketuai Abdurrachman Surjomihardjo dalam salah satu hasil penelitiannya, yang kemudian dibukukan dengan titel Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Benarkah Indonesia Raya mempraktekan jurnalisme investigasi? Siapa Indonesia Raya?

Berangkat dari paradigma bahwa laporan investigasi dimaksudkan sebagai usaha membongkar kejahatan publik seraya mencoba mempengaruhi pihak-pihak berwenang untuk bertindak, sejarah laporan investigasi di Indonesia tak pelak lagi bermuara pada kiprah Indonesia Raya, memang. Koran ini disebut-sebut sangat agresif, bahkan terbilang crusading, dalam mengungkapkan kasus-kasus korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan tindakan-tindakan tidak patut lain yang dilakukan oleh penyelenggara negara; suatu kapita selekta persoalan yang selama ini acap dijadikan titik api kegiatan jurnalisme investigasi.

Suratkabar Indonesia Raya hidup dalam dua periode. Ignatius Haryanto, dalam Pembredelan Pers di Indonesia, mencatat kurun 29 Desember 1949 sampai dengan 2 Januari 1959 sebagai periode pertama, dan kurun 30 Oktober 1968 sampai dengan 21 Januari 1974 sebagai periode kedua. Pada periode pertama, masih menurut Haryanto, pimpinan redaksi dijabat Hiswara Darmaputera dan Mochtar Lubis—yang saat itu masih bekerja di Kantor Berita Antara selaku redaktur Hubungan Luar Negeri sampai delapan bulan Indonesia Raya terbit. Baru pada Agustus 1950 Lubis mengendalikan kepemimpinan Indonesia Raya sepenuhnya.

Indonesia Raya hidup di tengah cuaca pers yang bebas; buah dari pohon demokrasi parlementer. Tepat di tengah situasi ini, Indonesia Raya menjadi anjing penggonggong kekuasaan sebagaimana telah diproklamirkannya dalam tajuk rencana pada penerbitan perdananya. Di situ dikatakan, bahwa Indonesia Raya tidak akan berdiam diri terhadap terhadap kelakuan dan tindakan-tindakan yang tidak adil, tidak senonoh dan dianggap merugikan kepentingan umum. “Terhadap kelakuan-kelakuan yang demikian dari pihak mana pun datangnya kami akan selalu bersikap awas, memberi peringatan dan menghantam jika dianggap tindakan-tindakannya sudah tidak dapat dibiarkan.”

Tajuk yang garang. Dan kegarangannya ini tidak hanya di atas kertas. Pada Agustus 1956, misalnya, Indonesia Raya, tanpa tedeng aling-aling melaporkan kasus korupsi yang dilakukan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani dan wakil direktur Percetakan Negara Kementerian Penerangan Lie Hok Thay. Lantaran berita ini, Indonesia Raya sempat diancam pasal 154 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Tapi nyali koran itu tak pernah surut.

Haryanto mencatat dua peristiwa lain, yang menjadi puncak-puncak keberanian sekaligus kejelian Indonesia Raya. Yakni, pemuatan surat-surat pembelaan diri Letnan Kolonel Zulkifli Lubis pada November 1956, yang isinya menolak tuduhan pemerintah bahwa perwira itu melakukan percobaan kudeta—yang kemudian dikenal dengan “Gerakan Zulkifli Lubis.” Lainnya, adalah soal “Gerakan Dewan Banteng” pada Desember tahun yang sama. “Gerakan Benteng” yang dimaksud adalah kasus pengambil-alihan pemerintah sipil Gubernur Ruslan Muljohardjo oleh Letnan Kolonel Achmad Husein, komandan resimen Angkatan Darat Sumatra Tengah, yang juga ketua Dewan Banteng.

Pemerintah menganggap Indonesia Raya memberikan sokongan terhadap keduanya.

Akumulasi “kesalahan” itulah agaknya yang membuat pemerintah merasa perlu menangkap Mochtar Lubis sekaligus menutup korannya. Dan setelah melewati serangkaian pembredelan dan penahanan atas diri Lubis dalam kurun 1957 hingga 1958—yang juga diikuti oleh pecahnya kubu kepemimpinan; Mochtar Lubis di satu pihak dan Hasjim Mahdan di pihak lain—Indonesia Raya berhenti terbit sejak awal 1959.

Sepuluh tahun koma, tidak membuat Indonesia Raya lupa akan jatidirinya. Ledakan kata-kata terus dilontarkan untuk mengingatkan rezim baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Bila rezim Soeharto terkesan menahan diri terhadap kiprah Indonesia Raya, juga media-media lain, tentu ada alasan di baliknya. Akhmad Zaini Abar, penulis buku 1966 – 1974: Kisah Pers Indonesia, mengemukakan tiga kemungkinan yang satu sama lain saling bertautan.

Pertama, penguasa Orde Baru merasa masih memerlukan legitimasi etis dan politis dari masyarakat untuk mengindentifikasikan dirinya sebagai penguasa yang demokratis. Kedua, kekuatan-kekuatan negara, terutama militer, masih memerlukan konsolidasi kekuatan, yang tidak memungkinkan berhadap-hadapan langsung secara frontal dengan kekuatan-kekuatan masyarakat yang sedang dilanda “demam demokrasi.” Ketiga, rezim baru memanfaatkan kritik pers untuk bercermin sekaligus berusaha menangkap harapan rakyat.

Alhasil, di tengah suasana yang lumayan bebas, Indonesia Raya kembali dapat berbuat banyak untuk terus menjadi anjing penggonggong, persis seperti dituliskan dalam tajuk rencana edisi perdana periode kedua. Dalam tajuk ini redaksi Indonesia Raya antara lain menulis bahwa pihaknya akan memberikan dukungan pada pemerintahan Soeharto, seraya memberikan kritikan sekira dianggap perlu. Semua ini dimaksudkan agar pemerintahan baru dapat memperbaiki kehancuran dan kerusakan di pelbagai bidang yang diwariskan rezim Soekarno. “Kami akan terus memperjuangkan kebenaran melawan yang bathil, membongkar yang palsu, membela perkosaan terhadap rakyat kecil, melawan penyalahgunaan kekuasaan.”

Indonesia Raya membuktikan sikapnya. Seperti punya dua belahan jantung, seakan punya dua nyawa, tanpa takut-takut Indonesia Raya terus menyingkap tabir demi tabir kejahatan publik yang dilalukan para penyelenggara negara dan aparat di bawahnya. Beberapa di antaranya yang dapat disebut adalah membongkar korupsi di tubuh Pertamina, Badan Urusan Logistik dan penyelundupan mobil mewah.

Sejumlah kalangan menilai, pemberitaan korupsi yang gencar dilakukan media, termasuk Indonesia Raya, tidak menimbulkan dampak signifikan—suatu hal dapat mengurangi “penilaian prestasi” suatu liputan investigatif. Akhmad Zaini Abar menyebutnya “hanya menghasilkan perubahan artifisial.” Ia berkata begitu karena menurutnya, political will pemerintah untuk memberantas korupsi tidak pernah diaktualisasikan secara realistis dan tegas. Abar tak lupa mengutip pendapat Soe Hok Gie, yang mengatakan, kebebasan dan keberanian pers dalam membongkar dan mengkritik korupsi di berbagai lembaga dan aparatur negara, justru mengakibatkan tumbuhnya frustasi masyarakat.

Saya tidak sepesimis itu. Justru saya lebih pesimis kalau pers berdiam diri, dan mengharap perubahan datang dengan sendirinya seperti jatuhan hujan dari langit. Lagi pula, tanpa pemberitaan pers yang gegap-gempita atas kasus-kasus korupsi itu, saya tidak yakin pemerintah tiba-tiba membentuk Tim Pemberantasan Korupsi yang dipimpin Jaksa Agung Sugih Harto itu. Untuk pemerintah yang “baru belajar” memerintah, pengusutan atas lebih dari 100 tersangka koruptor sepanjang tahun 1968, barangkali prestasi yang tidak buruk-buruk amat. Tanpa pemberitaan yang marak pula, saya pun tidak yakin pemerintah tergerak membentuk Komisi 4 yang diketuai Wilopo untuk mencari sebab-sebab korupsi. Paling tidak, pengungkapan atas kasus korupsi, taruhlah di Pertamina dan Badan Urusan Logistik, memberi preseden yang baik untuk masa depan—yang memungkinkan hidung generasi masa sekarang dapat lebih tajam lagi dalam mengendus bau korupsi di tubuh organ-organ pemerintah itu.

Sampai di situ, mestinya tanpa ragu-ragu lagi saya meyakini bahwa laporan-laporan Indonesia Raya berpijak pada jurnalisme investigasi. Ada beberapa poin utama yang dipenuhi Indonesia Raya. Yakni, membongkar kejahatan publik, mendapatkan siapa yang bertanggung jawab atas kejahatan itu, selain ikut menumbuhkan suatu perubahan. Besar atau kecil perubahan yang bergulir, itu soal lain.

Meski demikian, tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Indonesia Raya, saya masih menyimpan titik-titik keraguan kalau usaha-usaha pembongkaran Indonesia Raya atas kasus korupsi itu serta merta didaulat sebagai laporan investigasi. Titik-titik keraguan saya berpangkal pada sejumlah kendala yang dihadapi Indonesia Raya, yang kurang memungkinkan dirinya dapat melahirkan karya investigasi.

Kendala pertama adalah terbatasnya kolom, yang tak memungkinkan Indonesia Raya menulis secara mendalam, paling tidak detil kronologis bagaimana korupsi itu dilakukan, bagaimana mengorganisasikan satu fakta dengan fakta lainnya hingga membentuk korelasi yang tak membunuh akal sehat.

Sebagaimana Anda tahu, suratkabar Indonesia Raya hanya terbit empat halaman. Dua halaman terakhir berisi opini dan lembaran iklan. Praktis, kolom berita tinggal dua lembar yakni halaman kesatu dan kedua. Malangnya, halaman kedua lebih banyak tersita oleh berita ibukota dan daerah, dengan diselang-seling berita ekonomi dan perdagangan. Tinggalah kini halaman kesatu—yang juga sebagian kavlingnya diisi oleh macam-macam berita lain, di luar “berita-berita besar.”

Hambatan lain adalah keterbatasan waktu yang kurang memungkinkan Indonesia Raya untuk melakukan verifikasi secara intens. Dalam jurnalisme, dengan label apapun yang menyertai, verifikasi adalah esensi kebenaran. Kebenaran dalam artian bahwa fakta itu ada, satu sama lainnya saling bertautan, dan dianggap memadai untuk dioperasikan ke dalam suatu cerita. Akurasi menjadi penting untuk menghindari terjatuhnya cerita ke dalam pencemaran nama baik (libel) dan penistaan (defamation).

Kalau hambatan lain mau ditambahkan, mungkin metode “investigasi” itu sendiri. Apakah misalnya, reporter yang melakukan investigasi di lapangan diketahui oleh editornya sehingga secara kelembagaan hasil reportasenya dapat dipertanggungjawabkan? Apakah seluruh narasumber anonim diketahui identitasnya oleh editor? Apakah dokumen-dokumen yang didapat reporter menggunakan cara-cara yang sah? Tentu, masih banyak lagi pertanyaan yang bisa diajukan dalam konteks ini—termasuk jarak reporter dengan sumber cerita.

Pemberitaan-pemberitaan korupsi dan beragam bentuk penyelewengan kekuasaan yang dilakukan Indonesia Raya, karenanya, mungkin lebih pas untuk diposisikan sebagai bentuk sempurna dari mucraking journalism—sebagaimana dilakukan majalah McClure’s yang getol mengungkapkan politik uang di kalangan elit Washington. Dulu, awal abad ke-20.

SHEILA S. Coronel telat saya kenali. Seperti Anda tahu, peraih master cum laude dari Sekolah Ilmu Politik dan Ekonomi London, Inggris, dalam sosiologi politik, itu sekarang menduduki tampuk jabatan direktur pada Philippines Center for Investigative Journalism. Ini sebuah organisasi independen yang bersifat nirlaba, yang memfokuskan diri pada liputan-liputan investigasi selain menyelenggarakan pendidikan-pendidikan pada spesialisasi itu, khususnya buat wartawan-wartawan di Asia Tenggara.

Dalam suatu kesempatan diskusi di Kualalumpur, Coronel menyatakan keyakinannya, bahwa masa ini adalah “Era Pembangunan Tradisi Liputan Investigasi.” Era ini mengantarai zaman sebelumnya, yang ia bagi ke dalam beberapa fase.

Fase pertama adalah era mucraking journalism yang menempati kurun awal abad ke-20. Era ini dipicu oleh persaingan jor-joran di kalangan penerbit suratkabar Amerika Serikat. Dunia pers tahu persis, sebuah persaingan hanya dapat dimenangkan oleh media yang mampu menyajikan berita-berita eksklusif. Tepat di titik inilah para muckrakers mengendap-endap dari satu birokrasi ke birokrasi lain untuk mengendus bau korupsi. Bagi saya, iklim yang penuh kompetisi seperti inilah yang dapat menguatkan bangunan pers. Dan Amerika Serikat telah membuktikannya dengan melahirkan wartawan-wartawan kelas dunia yang kemudian jadi penerbit kakap semacam Joseph Pulitzer atau William Randolp Hearst. Kompetisi di antara mereka telah dimulai, paling tidak, sejak Charles Anderson Dana memicu perang berita lewat Sun, pada akhir abad ke-19.

Di tahun 1970-an, fase kedua, persaingan media lebih menarik lagi. Bukan saja suratkabar bersaing dengan sesamanya, tetapi juga berusaha bertahan hidup dari pertumbuhan bisnis televisi. Tahun-tahun inilah yang menurut Coronel, melahirkan era jurnalisme investigasi, dengan Bernstein dan Woodward sebagai pemukanya. Anda bisa menambahkan perkembangan menarik pada fase ini, seperti didirikannya Investigative Reporting and Editors Inc. di Columbia. Lembaga ini, biasa disingkat IRE, belakangan memperkenalkan sistem riset lewat internet maupun penginderaan jarak jauh. Kini, dengan anggaran tahunan sekitar US$800 ribu, pusat data IRE sekurang-kurangnya menghimpun 19 ribu laporan investigatif. Lembaga ini pun menyediakan informasi 500-an institusi atau individu yang berminat main di ranah jurnalisme investigasi.

Fase berikutnya berlangsung dalam kurun 1980-an hingga 1990-an. Coronel mengatakan, “inilah era keemasan” bagi jurnalisme investigasi. Liputan-liputan investigasi bukan lagi monopoli wartawan yang tergabung dalam suatu organisasi suratkabar, majalah atau televisi. Akan tetapi, marak dikerjakan oleh organisasi-organisasi pers independen seperti Philippines Center for Investigative Journalism itu, atau International Consortium of Investigative Journalists. Yang disebut terakhir adalah proyek khusus dari Center for Public Integrity, yang memfokuskan diri pada “jurnalisme pemantauan” (watchdog journalism). Selain menawarkan beasiswa dan fellowship dengan berbagai universitas yang menyelenggarakan paket pendidikan jurnalistik, khususnya di Amerika Serikat, International Consortium of Investigative Journalists pun menyediakan penghargaan tahunan bagi reportase terbaik dalam skala internasional (The ICIJ Award for Outstanding International Investigative Reporting). Pemenang di tempat pertama berhak atas hadiah senilai US$ 20 ribu.

Era keemasan boleh dibilang tak lagi berpijak pada latar kompetisi media. Satu-satunya kepentingan yang melandasi jurnalisme investigasi pada masa ini adalah berusaha meruntuhkan dinding-dinding yang menghalangi keluarnya kebenaran. Seorang investigator, karenanya, tidak lagi harus bergantung pada koran atau majalah untuk memuat hasil reportasenya. Ia bisa menerbitkannya dalam bentuk buku, atau website. Bila perlu mendatangi meja editor radio atau televisi. Jelas sekali, di zaman multimedia ini, begitu banyak kemungkinan untuk melakukan diseminasi informasi, tak terkecuali hasil liputan-liputan investigasi.

Dunia terasa lebih cepat berputar. Era keemasan tiba-tiba telah berada di belakang kita, dan sebuah era lain menggantikannya. Coronel menyebut masa sekarang, itu tadi, “building a tradition” dalam liputan investigasi.

Dalam fase terakhir, para wartawan tidak hanya dituntut lebih bersemangat lagi melakukan liputan-liputan investigasi, tetapi juga diharapkan dapat berbagi pengalaman, paling tidak mendiskusikan kembali elemen-elemen mendasar serta fungsi suatu laporan investigasi. Barangkali itulah sebabnya Coronel, bersama sejawatnya di Philippines Center for Investigative Journalism, berkeliling dari satu negara ke negara lainnya untuk mengadakan pelatihan jurnalisme investigasi. Di Indonesia sendiri, Sheila S. Coronel memberikan ceramahnya mulai Jakarta, Bandung hingga Ujungpandang pada 1999 lampau.

“Maybe seven,” kata Luz Rimban, rekan kerja Coronel di Philippines Center for Investigative Journalism, ketika ditanya dana yang telah dihabiskan lembaganya untuk menggelar pendidikan dan pelatihan liputan investigasi itu. Maksudnya, US$ 700 ribu dolar atau hampir mendekati Rp 7 miliar sejak institusi itu didirikan pada 1989 lampau.

Jurnalisme investigasi, dari hulu sampai hilir, memang relatif lebih mahal ketimbang ‘jurnalisme konvensional.’ Ya pelaksanaan liputannya, ya pendidikan dan pelatihan untuk memahaminya. Nashrun Marzuki dari Indonesian Institute for Investigative Journalism membutuhkan dana operasi sebesar Rp 1 miliar per tahun untuk membuat lembaganya hidup secara ideal. Dengan dana sejumlah ini, minimal pihaknya dapat memacu program pendidikan dan pelatihan seraya membiayai produksi liputan-liputan investigasi. Berapa sebenarnya ongkos liputan investigasi yang memadai?

Agak susah memang menarik jumlah ideal lantaran sebuah proyek investigasi bisa menjangkau sumber-sumber yang luas, yang bisa berada di mana saja dalam cakupan wilayah yang luas pula. Tapi, untuk zona lokal, Marzuki menaksir sekitar Rp 5 – 10 juta per proyek. Tempo bisa menghabiskan anggaran yang lebih besar lagi. Ketika menggarap kasus Al-Zaytun, misalnya, yang diplot untuk banner Investigasi, Tempo menghabiskan belasan juta rupiah. Hermin Y. Kleden, redaktur pelaksana Investigasi Tempo itu, tidak menyebutkan angka persisnya. “Aku orangnya jelek banget ngitung-ngitungnya. Aku nggak paham.”

Ia sadar, sumber keuangan tempatnya bekerja bukannya tak terbatas, tapi ia bisa memahami sepenuhnya kalau liputan investigasi perlu biaya besar. Ia mencontohkan tim reporter yang ditugaskan untuk meliput liku-liku perjudian, mungkin harus masuk ke dalam obyek liputan dengan mencoba berjudi. Atau, katakanlah bertemu narasumber yang merasa tidak nyaman bicara di kantornya, sang reporter bisa membawanya ke sebuah hotel. Konsekuensinya, reporter harus membiayai akomodasi itu. Dan sesungguhnya, demikian Hermin Y. Kleden, dalam liputan investasi atau bukan, Tempo melarang keras reportase yang menyandarkan diri pada pembiayaan oleh narasumber. “Saya setuju karena independensi bisa dibangun dari situ.”

Bondan Winarno, sekarang pemimpin redaksi Suara Pembaruan, berpendapat senada. Itu sebabnya, ia sempat shock sekaligus kecewa ketika muncul tuduhan bahwa investigasinya atas kasus emas Busang dibayari orang. Ia meluapkan kekecewaannya dengan membakari sisa buku yang tidak terjual, sekitar 1.000 eksemplar. Padahal, untuk semua susah-payahnya, ia merogoh kocek sendiri dan menghabiskan sekitar US$ 7.500, atau sekitar Rp 15 juta dalam kurs dolar atas rupiah senilai US$ 1 untuk Rp 2.000 saat itu.

Dana sebesar itu ia gunakan untuk terbang ke Calgary dan Toronto di Kanada, serta Manila di Kanada. Belum lagi biaya menjelajahi rimba Kalimantan, yang untuk speedboat saja Bondan Winarno harus mengeluarkan biaya Rp 1 juta sekali jalan. Baginya, dana sebesar itu kecil artinya. “Yang mahal, saya buang banyak waktu.” Kecil? Bondan Winarno bukan jurnalis melarat, memang. Ketika sedang menyelidiki Busang, ia masih menjabat presiden direktur PT Kamal Cahaya Putra, sebuah perusahaan swasta yang bergerak di sektor hasil laut. Lagi pula, ia baru saja pulang bekerja di Amerika Serikat. “Gaji bersih saya di Amerika US$ 8 ribu satu bulan. Punya dong saya tabungan.”

JAKARTA, akhir Agustus. Seorang pria mempersilakan saya memasuki kamar kerjanya di Gedung Suara Pembaruan. Ruangan itu lumayan besar; muat lemari arsip, meja tulis dan satu set kursi tamu.

Hari masih pagi, sekitar pukul 08.00. Bondan Winarno, demikian jatidiri sang pria, terlihat segar dalam balutan kemeja hijau kotak dan pantalon hitam yang tersetrika rapi. Pas dengan sikapnya yang santun tanpa kehilangan percaya diri. Ia memang bukan stereotip wartawan yang tampil sekenanya dan grasah-grusuh. Dengan nada bicara yang pelan, sesekali terdengar sangat hati-hati, ia lebih mirip orang kantoran beneran. Namun, di balik ketenangan itu, saya mendapatkan kesan, suasana hatinya selalu riuh oleh rasa ingin tahu (curiosity) dan terbuka untuk sebuah tantangan. “Kalau misalnya saya sekarang tak punya pekerjaan gitu ya, saya mau tuh investigasi enam bulan (lagi). Saya kira, saya bisa menemukan Michael de Guzman.”

De Guzman yang dimaksud adalah salah seorang tokoh dalam buku yang ditulis Bondan Winarno pada 1997, Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi. Si tokoh ramai dilaporkan tewas bunuh diri dengan cara meloncat dari pesawat helikopter. Winarno mencium sejumlah kejanggalan, antara lain soal gigi palsu yang tak pernah ditemukan pada mayat de Guzman. Penelusuran Winarno mengagumkan. Ia sampai sebuah perkiraan bahwa bukan tidak mungkin semua itu hanya sebuah “sandiwara kematian.”

Kalau masih mau memuji, buku ini bukan sekadar menuangkan hasil liputan berskala internasional, tetapi juga cerdas menelanjangi modus operandi kejahatan ekonomi yang melibatkan bandit-bandit pintar. Winarno menulisnya dengan metode deduktif—hal yang sangat disukainya sejak usia remaja, terutama sejak ia doyan memainkan game Spels waktu jadi pramuka di sekolahnya.

Apapun, bagi saya, laporan investigasi Winarno memberi indikasi bahwa era keemasan dalam jurnalisme investigasi, mampir juga di Indonesia. Belakangan, George Junus Adjitjondro melengkapinya dengan Harta Habibie, pada 1998, yang mengurai anatomi bisnis keluarga Baharudin Jusuf Habibie, bekas wakil presiden Indonesia, yang kemudian jadi presiden begitu Soeharto mundur. Buku tipis ini, mulanya diedarkan dalam judul Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari: Membongkar Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Keluarga Besar Habibie (Harta Karun Habibie).

Laporan Aditjondro berangkat dari hipotesis, keluarga besar Habibie membangun kekayaannya dengan cara korupsi, kolusi dan nepotisme. Semula, Aditjondro merasa tidak perlu membuktikan hipotesisnya. Tapi, keadaaan telah memaksanya melakukan investigasi. “Paksaan” sekurang-kurangnya datang dari Adnan Buyung Nasution, seorang pengacara yang dekat dengan Habibie. Nasution meminta Aditjondro membuktikan pernyataannya. “Tentu saja saya akan dengan senang hati menguraikan lebih jauh harta kekayaan keluarga besar Habibie,” Aditjondro menerima tantangan.

Aditjondro kelihatannya benar-benar senang. Dimulai dengan melacak Timsco, sebuah konglomerat baru pimpinan Sujatim Abdulrachman Habibie, adik termuda B.J Habibie, Aditjondro menemukan mata rantai bisnis yang kait-mengkait, melibatkan keluarga Cendana dan taipan lain yang dekat dengan sumber kekuasaan.

Dalam pekerjaannya, ia menghubungi sumber utama Pusat Data Bisnis Indonesia dan PT Cisi Raya Utama, dua perusahaan konsultan bisnis. Ia mengkombinasikannya dengan sumber-sumber lain seperti daftar peringkat perusahaan yang dimuat oleh sejumlah media, selain tentu saja membujuk “orang-orang dalam” di perusahaan keluarga itu untuk memberi pasokan data. Hasil-hasil penelitian akademik pun tak luput dari jarahan matanya. Ia bergerak ke sejumlah negara, dan menelepon ke sana ke mari. Hasilnya, sebuah laporan yang lengkap—yang saya tidak yakin bisa dibuat oleh polisi atau jaksa-jaksa kita. Aditjondro dalam hal ini jauh lebih cepat dari mereka.

Baik Aditjondro maupun Winarno memperlihatkan stamina tinggi dalam berburu data, sampai-sampai saya merasa kedua penulisnya hidup bagai hantu. Hantu yang juga bisa bergetayangan di celana kolor Anda.

Perbedaan di antara mereka, selain tentu saja topik, adalah dalam kekayaan bahasa dan deskripsi. Bondan Winarno, dengan buku lebih tebal, berhasil memompakan ketegangan di lapangan ke dalam baris demi baris, alinea-alinea demi alinea. Pada saat yang sama, Winarno pun memberikan ruh pada data-data yang diperolehnya sehingga punya daya bicara yang kuat, memikat sekaligus menciptakan “suspens lain.” Seperti membaca novel, saya harus menahan nafas ketika, misalnya, berpapasan dengan angka-angka yang melukiskan pergerakan saham mulai C$ 1,90 pada akhir 1994, kemudian C$2,05 pada pertengahan 1995, berikutnya C$14, lalu C$50, dan ops…C$200 pada Mei 1996. Lonjakan gila-gilaan itu, saya pikir, segera membuat usang artikel “Bre-X has a Cinderella Story to Tell” yang disajikan The New York Times.

Segenap “kekayaan” buku Winarno tidak diperoleh dari peri penunggu kawasan Busang, yang kini telantar. Ia mendapatkannya dari wawancara dengan puluhan narasumber, membaca tumpukan dokumen lembar demi lembar, melakukan observasi lapangan di dalam dan luar negeri, selain berguru kepada banyak ahli pertambangan. Ia memborong seluruh pekerjaan ini dalam waktu dua bulan—hingga tabloid Kontan tak urung menganugerahinya gelar pemenang “lomba” penulisan buku tentang skandal Busang.

Dari hipotesis yang terbilang sederhana, yang intinya meragukan kematian de Guzman itu, Winarno juga memaparkan bagaimana pertarungan elit pengusaha dan penguasa dalam memperebutkan Busang. Lagi-lagi seperti novel, karakter-karakter tokoh yang terlibat pertarungan terasa kuat. Ada John Felderhoff yang mengesankan oportunis dan ditulis lebih dari 200 kali, David Walsh yang spekulatif juga kurang lebih 200 kali, Kuntoro yang nrimo sekitar 40 kali, serta Ida Bagus Sudjana yang sok kuasa dan ditulis sekitar 90 kali. Nama terakhirlah yang kemudian mengantar Winarno ke meja hijau. Sudjana menuduh Winarno menjelek-jelekkan namanya. Sudjana merasa, Winarno bertindak begitu lantaran dibayari orang.

Perihal dibayari orang tidak pernah jadi materi gugatan Sudjana di pengadilan, dan dengan sendirinya Sudjana tidak dapat membuktikan prasangkanya. Tapi, bahwa Winarno menjelekkan namanya, itulah yang dilontarkan pihak Sudjana di depan majelis hakim. Ia menggugat Winarno Rp 2 triliun. Seperti bermimpi, Winarno tak percaya harus mendengar materi gugatan semacam itu. Bagaimana tidak, pikirnya, nama Sudjana sudah kadung buruk oleh berbagai pemberitaan media massa sebelum Winarno menuliskan laporannya.

Ia melayani gugatan itu. Winarno merasa akan menang ketika hakim menaruh perhatian atas pembelaannya. Tak seorang pun dari mereka menunjukkan rasa kantuknya mendengarkan uraian Winarno. Seorang pengacara berbisik kepada Winarno, “Pak itu baru pertama kali saya melihat hakim mendengar pembelaan tergugat.”

Nasib berkata lain. Kemenangan yang terbayangkan berlalu seperti udara begitu hakim mengetukkan palu. Winarno dinyatakan kalah. Ia harus membayar ongkos perkara Rp 1.000 plus hukuman percobaan. “Itu jelas permainan mafia peradilan. Bahwa yang dipentingkan oleh dia (Sudjana-pen) hanya itu. Hanya keputusan pengadilan bahwa saya salah. Kan dia langsung bikin press conference malam itu juga,” kata Winarno sambil menyebutkan, “saya dinyatakan kalah melecehkan nama.”

Moral perkara itu pelajaran penting buat kita: bahwa selain siap capek dan selalu waras, investigasi pun butuh jantung kuat.

AWAL Oktober 2002, stasiun televisi Lativi menayangkan kasus pembunuhan Mila Karmila, seorang penyanyi dangdut asal Cirebon. Korban dibunuh suaminya, A Liong, di sebuah hotel di Jakarta. A Liong kalap karena ledakan cemburu.

Tayangan tersebut tersaji dalam program acara Investigasi. Ini salah satu program unggulan Lativi yang tampaknya dirancang untuk menandingi program-program senada yang ditayangkan stasiun-stasiun televisi lain, seperti Derap Hukum (SCTV), Jejak Kasus (Indosiar), atau Fakta (Anteve). Nada acara tersebut hampir sama. Sebuah kasus diekspos lebih detil dari berita-berita televisi biasa, yang umumnya hanya makan waktu 4 – 5 menit untuk setiap item. Acara Investigasi Lativi sendiri makan waktu 30 menit, termasuk di dalamnya slot iklan. “Efektifnya 25 menit,” kata Silvester Keda, sang produser, tempo hari.

Dengan durasi sebanyak itu, Investigasi Lativi leluasa untuk menampilkan sisi-sisi lain dari sebuah kasus secara audio-visual. Dalam kasus pembunuhan tadi, misalnya, Lativi dapat mengekspos interviu antara tersangka pelaku dan petugas Kepolisian Sektor Gambir, Jakarta. Pada saat lain, program yang dipandu Donna Louisa ini menayangkan rekonstruksi kejadian, wawancara dengan keluarga korban, kliping pers tentang korban, dokumentasi foto, bahkan pesan short message services dari sebuah telepon genggam.

Investigasi boleh jadi meniru tayangan 60 Minutes CBS News. Dalam menyelidiki suatu kasus, 60 Minutes memang hampir tidak kalah bobotnya dari laporan-laporan investigasi media cetak. Bill Kovach, peraih sejumlah hadiah jurnalistik Pulitzer, mengomentari 60 Minutes sebagai “the most successful news program network TV.”

“Tadinya mau sejam, tapi kita melihat personil dulu,” kata Keda tentang acaranya itu.

Program itu menurut Keda, dimaksudkan untuk menyelidiki suatu kasus yang belum terungkap ke publik. Minimal, kasus yang dipandang perlu ditelaah lebih lanjut. Kriterianya cukup banyak. Keda antara lain menyebut kriteria eksklusif, hangat, dan menyentuh sisi-sisi kemanusiaan. Cerita galibnya dikemas dalam dua skrip, berisikan sekitar tujuh ribu karakter atau sekitar seribu kata dalam pengolah kata word. Perbandingan antara narasi dan tayangan gambar berkisar 15 persen banding 85 persen. “Cerita tidak susah, kesulitannya memvisualisasikannya.”

Investigasi Lativi diawaki empat reporter dan empat kameramen yang berada di bawah Divisi News and Current Affair televisi itu. Untuk sebuah kasus, rata-rata bekerja selama satu atau dua minggu. “Tapi pernah juga sebulan.” Keda menyebut kasus Marsinah salah satunya.

Dalam berburu materi, awak Investigasi sedapat-dapat lebih cepat ketimbang aparat polisi. Bukan hal gampangan. Tapi Keda yakin pihaknya bisa melakukan. Ia kemudian menunjuk kasus korupsi Akbar Tanjung sebagai contoh. “Mungkin polisi manggil orang bisa takut juga. Kita bisa tabrak-tabrak,” katanya, menegaskan.

Tapi, apakah kasus pembunuhan suami atas istrinya itu layak didaulat sebagai laporan investigatif?

Tak dapat dipungkiri, kasus pembunuhan tersebut adalah kejahatan. Sebuah pertanyaan bisa disusulkan: apakah kasus tersebut dapat ditempatkan sebagai kejahatan yang disembunyikan dan punya dampak luas pada publik?

Bila kriteria Robert Greene hendak dipakai, kasus pembunuhan suami atas istrinya itu susah sekali memenuhi elemen dasar yang dipersyaratkan Greene. Wawancara dengan tersangka pelaku saja mesti dilakukan oleh polisi. Orisinalitas dipertanyakan di sini. Belum lagi derajat ceritanya. Saya kira, Investigasi Lativi akan lebih punya tenaga dan reputasi kalau mau menyelidiki indikasi-indikasi kejahatan yang sering dituduhkan kepada sejumlah pelaku bisnis kakap, termasuk Abdul Latief. Sentuhan terhadap isu-isu tersebut akan memperlihatkan mana kejahatan publik yang disembunyikan, mana pula kejahatan biasa.

Orisinalitas sering jadi masalah dalam laporan-laporan investigasi di Indonesia. Bukan saja Investigasi Lativi yang acap bersandar pada wawancara aparat kepolisian dengan korban, tetapi juga “laporan-laporan investigasi lain” yang dilakukan media cetak.

Sekadar gambaran, sejenak kita akan berpaling pada pengungkapan skandal Bill Clinton – Monica Lewinsky. Sekalipun layak dikatakan sebagai kejahatan moral yang merugikan publik Amerika Serikat dan ketahuan siapa saja yang bersalah dalam kasus tersebut, tidak dapat serta-merta laporan atas kasus itu dapat dilesakkan ke dalam jurnalisme investigatif. Ini karena, laporan dibuat oleh para investigator dari kantor prosekutor independen Kenneth Starr’s. Kebanyakan berita pers tentang skandal tersebut, juga berasal darinya.

Itu sebabnya, saya bisa memahami kalau muncul pendapat bahwa cerita Panji mengenai rekaman pembicaraan antara presiden Habibie dan Jaksa Agung Andi M. Ghalib pada 1999 lalu, bukanlah suatu laporan investigasi. Panji tak pernah melakukan kegiatan penyadapan sendiri. Ia hanya mendapatkan rekaman itu dari pihak lain.

Kalau hendak ditambah lagi, kita bisa melihat laporan investigasi atas dunia perbukuan di Indonesia, yang dibuat Tempo. Hermin Y. Kleden menilai laporan ini bagus, karena mampu menjawab “question mark” dari term of reference yang dirumuskan sebelumnya. Saya sepakat. Laporan ini, paling tidak mengingatkan publik tentang bahaya buku pelajaran yang justru bisa membikin bodoh. Ekses seperti ini dapat berkembang karena sebagian isi buku ternyata mengandung kekacauan material. Bahaya tak hanya akan menerkam satu-dua, tetapi jutaan orang. Tempo memperkirakan siswa lanjutan pertama berjumlah 12 juta orang.

Hanya saja, laporan dengan round-up “Rajin itu Pangkal Bodoh,” yang ditempatkan dalam banner Investigasi, mengalami cacat dalam orisinalitas. Pangkalnya, sebagian besar data ternyata berasal dari Indonesian Corruption Watch, sebuah lembaga pemantau korupsi di Indonesia. Ini model kerja simbiosa mutuliasme. Tempo perlu data, Indonesian Corruption Watch butuh pemberitaan luas.

“Data dari kita. Kita yang menelitinya. Kita juga menghubungi sumber-sumber,” kata Teten Masduki, pimpinan lembaga tersebut.

“Data apa saja?”

“Semuanya.”

Belum sempat mengejar dengan pertanyaan lain, Teten Masduki buru-buru menambahkan, bahwa Tempo juga melakukan penelusuran atas sebagian materi. Saya tidak menyangsikannya. Paling tidak, Tempo mendatangkan tim ahli untuk meneliti kandungan buku-buku pelajaran tadi. Toh keuletan Tempo macam itu tak bisa menutup kenyataan bahwa laporan itu menginduk investigasi pihak lain.

Ini soal lain. Perhatikan dengan cermat laporan itu. Lihat misalnya ilustrasi foto di samping “Kolusi di Setiap Tikungan” dan di bawah “Kala Keserakahan Membunuh Ilmu.” Keduanya memperlihatkan empat buku fisika, bukan? Lainnya, ada tiga foto dengan obyek sama: semuanya lagi baca buku. Anda geli?

Kalau mau menyimak kegelian lain, Anda bisa menengok laporan tentang liku-liku penyelundupan minyak. Sejujurnya cerita ini, buat saya, layak disebut laporan investigasi, dan barangkali lantaran itulah Tempo menaruhnya dalam banner Investigasi. Tempo membongkar bagaimana kejahatan dilakukan, siapa-siapa saja pelakunya, dan siapa yang (mestinya) bertanggung jawab atas ‘kasus abadi’ itu. Orisinalitasnya pun terjaga. Tapi, ketika cerita bergerak ke judul “Sebuah Aksi di Laut Lepas,” saya seperti membaca dongeng Tintin: kisah kepahlawanan seorang wartawan yang selalu berurusan dengan rupa-rupa bandit.

Sama sekali tidak ada larangan, baik etis maupun yuridis, untuk bertutur bagaimana wartawan memperoleh ceritanya. Bondan Winarno juga melakukannya, seumpama pada bagian pencarian Diana de Guzman, adik si misterius Michael de Guzman, di Manila. Bedanya, Winarno hendak menjelaskan betapa tertutupnya keluarga de Guzman. Sedangkan pada Tempo, cerita itu terjatuh ke dalam lampiran public relations—nyaris tak berbeda dengan cerita “jendela” Tempo masa lalu.

Tentu saja, tidak semua “laporan investigasi” Tempo menggelikan. Banyak juga cerita-cerita bagus lain, yang ditulis dengan teknik bagus pula. Salah satunya, laporan mengenai korupsi Akbar Tanjung dalam kasus Bulogate II. Dalam cerita ini, Tempo jelas-jelas menunjukkan adanya indikasi kejahatan publik sekaligus memperlihatkan siapa yang seharusnya bertanggung jawab. Orisinalitasnya pun cukup tangguh, sehingga tak mengherankan kalau banyak yang mengatakan kasus tersebut sebagai salah satu “anak kandung” Tempo. Menariknya, cerita itu tidak masuk dalam banner Investigasi.

Investigasi memang tidak memerlukan stempel. Ada contoh lain untuk itu. Simak misalnya laporan Tempo mengenai tenggelamnya kapal Tampomas pada 1981 silam. Tanpa stempel rubrik Investigasi, cerita yang ditulis dengan rasa bahasa yang renyah ini disebut-sebut banyak kalangan sebagai hasil liputan investigatif.

Di bawah round-up “Neraka 40 Jam di Tengah Laut,” Tempo menuliskan bagaimana musibah itu terjadi, keadaan di dalam kapal, histeria para korban, dan lain sebagainya. Di bagian lain, Tempo mengungkapkan proses pembelian kapal buatan Heavy Industries, Shimonoseki, Jepang itu; siapa saja panitianya, siapa yang harus bertanggung jawab atas musibah tersebut. Orisinalitas jangan ditanya lagi. Tim Tempo mengerjakannya sendiri, mulai observasi lapangan, melakukan rali-rali wawancara, serta membuka-buka dokumentasi. Sebuah laporan yang menggairahkan.

HOTEL Chorus, Kualalumpur. Air conditoner yang terasa dingin sampai ke tulang sumsum, tidak membuat para peserta bergeming dari ruangan. Dengan jaket atau sweater seadanya, mereka terlihat khusu’ mendengar “singa-singa betina” mengaum.

Singa-singa itu, siapa lagi kalau bukan para jurnalis dari Philippines Center for Investigative Journalism. Mereka antara lain Yvonne T. Chua, Luz Rimban dan Sheila S. Coronel. Juli 2002 lalu, bersama mentor lain seperti Prasong Lertratanawisute, direktur eksekutif Matichon Public, Thailand, mereka mengampu sejumlah wartawan Asia Tenggara tentang seluk-beluk investigasi. Materi yang diketengahkan antara lain meliputi teknik investigasi, wawancara, serta etika investigasi.

Rimban, direktur pelatihan Philippines Center for Investigative Journalism menilai, sebagai negara berkembang dan baru lepas dari rezim represif, Filipina dan Indonesia sebenarnya punya masalah yang sama. Untuk sekadar menyebut contoh, Rimban menunjuk isu keamanan yang cenderung shock terhadap perubahan sosial yang sedang berlangsung. Dalam orbit ini, isu-isu seperti perdagangan senjata, terorisme atau kejahatan lintas batas—katakanlah penyelundupan narkotika dan ‘perdagangan manusia’ untuk jadi budak seks—tumbuh dengan cepat dan berpoliferasi secara luas.

Di sektor politik pun kedua negara menghadapi persoalan serius. Partai-partai politik hampir dapat dipastikan akan memasuki arena pacu untuk mendapatkan uang demi meraih kekuasaan. Politik uang kotor (dirty money) mudah berkembang dalam situasi ini. Filipina telah menunjukkannya lewat kasus Estrada yang berkolusi dengan pengusaha lewat konsesi-konsesi politik dan perjanjian-perjanjian bisnis yang meluluhlantakkan hukum. Dan di Indonesia, kasus Habibie dan Bank Bali, atau Akbar Tanjung dan Bulog, adalah beberapa di antaranya.

“Korupsi adalah isu paling penting dalam investigasi,” kata Rimban.

Bondan Winarno, dalam kesempatan terpisah kepada saya, bahkan mengatakan, 40 persen investigasi mengarah ke kasus-kasus korupsi. Sisanya, baru untuk kasus-kasus lain; mulai isu kerusakan lingkungan, kesehatan masyarakat, kriminalitas kerah putih hingga isu peradilan.

Yang pantas mendapat perhatian, demikian Rimban, korupsi di masa ini sering bekerja dalam medium yang lebih canggih. Artinya, korupsi tak melulu menyunat anggaran negara. Lagi-lagi Rimban mengambil contoh kasus Estrada. Katanya, dalam kasus tersebut, terlihat dengan jelas betapa korupsi yang dilakukan Estrada berlangsung nyaris tak kelihatan, sebab sebagian di antaranya menggunakan medium pasar saham dan IPO (initial public offering). Untuk itu, Sheila S. Coronel berpesan, agar wartawan menguasai juga permasalahan hukum, mempelajari prosedur-prosedur mekanisme bisnis, dan tak jemu-jemu mengikuti aliran uang.

“Investigasi bisa dimulai dari mana saja,” Coronel menegaskan, seraya mengungkapkan, bahwa investigasi atas Presiden Joseph Estrada sesungguhnya dimulai dengan memperhatikan arus uang. Dari obrolan skala warung kopi, pihaknya tak habis pikir bagaimana Estrada bisa mendapatkan aset sebesar P600 juta yang tersebar di 14 perusahaannya. Padahal, di tahun 1999, Estrada mengumumkan bahwa dirinya hanya punya aset sekitar P35,8 juta. Setahun setelah mengumumkan, Estrada tak bisa menjelaskan bagaimana ia mengakumulasikan aset perusahaan-perusahaannya—yang tidak dinyana, keseluruhannya ditaksir mencapai P20 miliar. Pertanyaan lain muncul, jangan-jangan Estrada punya perusahaan lain yang enggan ia umumkan? Apa saja perusahaan itu? Bagaimana cara Estrada mengembangkan seluruh bisnisnya? Berapa jumlah kekayaan Estrada sebelum dan sesudah jadi presiden? Apakah benar Estrada terlibat permainan saham, mendapat persentase dari kontrak-kontrak bisnis, dan dengan kekuasaannya mengeduk uang dari dana pensiun nasional? Pertanyaan-pertanyaan itu mereka telusuri secara intens dalam berbagai tahapan.

Setelah membuat investigasi pendahuluan (initial investigation) dan pembentukan hipotesis (forming an investigative hypothesis), Coronel menugaskan para penelitinya untuk mencari sekaligus mendalami literatur-literatur (literatur search) yang berkenaan dengan Estrada. Beberapa hal menarik, mereka tindak lanjuti dengan menghubungi sejumlah sumber-sumber ahli (interviewing expert).

Aktivitas investigasi kemudian berlanjut ke penjejakan dokumen (finding a paper trail). Korelasi antar satu dokumen dan dokumen lainnya dianalisa untuk mencari kecenderungan, semisal suatu rangkaian kontrak kerja atau hubungan antara seorang pengusaha dengan orang-orang di sekitar Estrada. Katakanlah saat Coronel sampai pada soal kepemilikan Estrada atas sebuah rumah mewah di New Manila, Quezon City, yang dinamai “Bocaray” itu. Mansion yang dilengkapi bunker bawah tanah, kolam air panas dan hamparan pasir putih, ini dibangun oleh St. Peter Holdings. Siapa St. Peter Holdings? Coronel menemukan nama kunci Eduardo Serapio, asisten urusan politik Estrada.

Serapio membawa Coronel ke jejak dokumen De Borja Medialdea Bello Guevarra & Gerodias Law Firm. Dalam website, Coronel menemukan seluruh partner dan asosiasi dalam firma hukum itu berada di balik kepemilikan St. Peter Hoildings. Dan menariknya, orang-orang itu pula yang selama ini berkongsi dalam bisnis judi kasino di Filipina. Jejak-jejak dokumen kemudian memperlihatkan wajah lain dari Estrada dan keterlibatannya dalam Fontana Casino, melalui kroninya, pengusaha Lucio Co. Semakin dalam penyelaman, semakin banyak dokumen terkumpulkan, semakin banyak pula data yang mereka himpun. Coronel akhirnya sampai pada penemuan bahwa properti rumah mewah Estrada tidak hanya satu, tapi 17 unit. Rumah-rumah mewah senilai P2 miliar ini tersebar di Metro Manila, Baguio, dan distrik Tagaytay.

Hebatnya, sebagian rumah mewah yang diinvestigasi tidak hanya menampilkan gambaran luar saja. Tim Coronel bahkan tahu di mana tempat tidur Estrada, istrinya dan anak-anaknya. Ia mendapatkan salinan denah konstruksi dari arsitek perancangnya.

“Be patient with documents,” Coronel mengingatkan. Kesabaran dan keuletan inilah yang memungkinkan pihak Coronel menemukan juga 66 perusahaan di mana Estrada dan keluarganya pegang saham.

Beres di situ, investigasi bergerak untuk mewawancarai sumber-sumber kunci (interviewing key informant and sources). Kesulitan mulai bermunculan, semisal ketika meyakinkan lawan-lawan politik Estrada atau bahkan orang-orang di sekeliling Estrada. Berkali-kali Coronel menghubungi Gloria Macapagal-Arroyo, saat itu wakil presiden, untuk meyakinkan bahwa investigasi atas Estrada penting bagi masa depan Filipina (dan karir Arroyo sendiri). Selesai? Tunggu dulu. Ini baru tahap pertama.

Tahap kedua dimulai dengan pengamatan langsung ke lapangan (first hand observation), semisal melihat proyek pembangunan 34 rumah mewah di dalam kota, di kawasan Antipolo, Manila. Proyek ini dibangun oleh JELP, sebuah perusahaan real estate, yang ternyata dimiliki Estrada, istrinya, dan tiga anaknya. Coronel bertanya ke kanan-kiri. “JELP had violated every rule in the book,” katanya. “Tak satu pun dari delapan perizinan yang diperlukan untuk menggarap sebuah proyek dimiliki mereka.”

Data-data hasil pengamatan lapangan, yang dikawinkan dengan data-data sebelumnya, lantas diorganisasikan ke dalam sejumlah arsip. Sejumlah data bolong, segera ditutup oleh wawancara lanjutan. Berikutnya, seluruh data yang terkumpul dianalisa dan dipilah-pilah dalam bentuk memo-memo data. “Microsoft excel sangat berguna,” kata Yvonne T. Chua, dalam suatu kesempatan. Excel adalah program spreadsheet dasar untuk menyortir data, tak ubahnya software Lotus dulu.

Dan penulisan laporan bukan akhir segalanya. Coronel masih menindaklanjutinya dengan mengecek fakta (fact checking) dan pencemaran nama baik (libel check). Dalam libel check, Coronel kadang-kadang harus mendatangkan ahli hukum untuk melihat kemungkinan pelanggaran yuridis. Di Indonesia, jarang ditemukan konsultasi antara media dengan ahli hukum atau paling tidak ombudsman media bersangkutan, sebagai bahan pengambilan keputusan pemuatan sebuah laporan. Tahu-tahu, media disomasi atau diperkarakan ke pengadilan.

Di mana-mana, tak di negara berkembang atau maju, sesungguhnya perkara libel sering menjadi hambatan serius bagi wartawan yang hendak melakukan investigasi. Hambatan lain menurut Coronel adalah alpanya wartawan untuk menghindari “defamation and contemp laws.” Belum lagi keahlian profesional dan kultur media. “Terutama di negara berkembang, media tak punya investasi memadai untuk melakukan liputan invetigasi,” kata Coronel.

“Harus ada komitmen di antara penerbit, editor dan reporter untuk itu,” tambah Rimban. “Kita harus mengingatkan siapa saja, bahwa masalah sebenarnya dalam liputan investigasi bukan uang, tetapi waktu dan usaha.”

DALAM suatu kesempatan diskusi, juga di hotel itu, Sheila S. Coronel sempat menanyakan apa saja hambatan lain dari suatu aktivitas liputan investigasi? Kecuali Filipina dan Thailand, yang setapak demi setapak menerapkan kebijakan open document, hampir seluruh peserta diskusi menjawab kompak: sulit mengakses dokumen publik, selain masih tingginya budaya sekresi di antara pejabat birokrasi. Sekalipun mereka mau buka mulut, mereka meminta identitasnya dirahasiakan. Bisa dipahami kalau media sering berhadapan dengan masalah “name sources.” Di Indonesia, majalah sekaliber Tempo tak jarang menuliskan “sumber ini-itu” dalam ceritanya.

“Hambatan-hambatan seperti itulah yang membuat investigasi kita belum berhasil seperti yang dicita-citakan,” kata Hermin Y. Kleden dalam suatu perbincangan di kantornya. Baginya, sumber tersembunyi sah-sah saja, sejauh ia punya hak atas cerita. Terpenting, sumber tidak membohongi data.

Permasalahan sumber anonim boleh dibilang soal klasik, juga buat Tempo. Sekitar dua puluh tahun silam, tepatnya Januari 1983, Tempo membahas perihal ini dalam rubrik Selingan. Tempo menulis, hadirnya sumber-sumber anonim di kolom-kolom media adakalanya berasal dari kemalasan pribadi wartawan dan kebutuhan serta kebiasaan jurnalistik belaka. Padahal, informasi dari sumber yang tak ingin namanya disebut, sebenarnya sering dapat dicek kebenarannya kepada sumber yang namanya mau diumumkan—jika reporter bersangkutan memiliki cukup banyak waktu untuk memburu dan menggali lebih dalam.

Kebiasaan menulis sumber tersembunyi bisa fatal akibatnya. Mereka, di bawah lindungan aman anonimitas, bisa lebih leluasa menggunakan pers untuk kepentingan pribadi dan politik mereka. “Misalnya mengasah kapak perang, memuaskan ambisi, membantai saingan dan membakar-bakar khalayak. Caranya memang aman: lempar batu, sembunyi tangan. Minta jangan disebut nama maupun identitas.”

Toh, mencegah wartawan untuk tidak menuliskan ceritanya berdasar sumber-sumber anonim juga tak mudah. Dalam suatu kompetisi, media akan berhadapan dengan rezim waktu, yang sering tidak memungkinkan wartawan untuk berburu sumber-sumber resmi. Mengutip David Shaw dari International Herald Tribune, Tempo menulis lagi, bahwa “dari sumber yang jelas, tumbuh masalah bagaimana meniti di antara lika-liku birokrasi.” Bagi Shaw, sekiranya setiap informasi harus mencantelkan sebuah nama sumber, boleh jadi cerita kunci tentang Watergate tidak akan pernah disiarkan. Seperti Anda tahu, Watergate menghadirkan apa yang disebut sumber anonim ‘deep throat’ yang secara harfiah berarti ‘kerongkongan dalam’.

Hermin Y. Kleden menggaris-bawahi hal penting jika Tempo terpaksa harus menggunakan sumber anonim. Yakni, keharusan berbagi jatidiri identitas si sumber anonim antara reporter dan redakturnya. Dan ini harga mati. “Perlindungan terhadap sumber bukan oleh perorangan, tapi institusi.”

Baru setelah reporter memenuhi kewajibannya, tutur Hermin Y. Kleden, pihaknya memutar otak untuk menyiasati perlakuan atas sumber tersembunyi itu. Yang sering dilakukan Tempo, selain memilah mana background mana spoken sources adalah melapis omongan sumber dengan dokumen-dokumen. “Saya termasuk orang yang lebih percaya dokumen ketimbang confession,” katanya. “Confession yang memperkuat dokumen pasti hebat sekali.”

Malangnya, wartawan di Indonesia sering kelimpungan untuk mendapatkan dokumen-dokumen bahan cerita. Terlepas dari kemalasan individual, kesulitan itu juga dikontribusi oleh tiadanya aturan yang memadai. Lain halnya kalau Undang-undang Kebebasan Informasi sudah disahkan. Kira-kira begitu kata Agus Sudibyo, aktivis pers dari Koalisi Kebebasan untuk Informasi.

Kebijakan open document, sebenarnya tidak hanya menguntungkan jurnalis saja. Tapi juga masyarakat seumumnya. Kepada saya, Sudibyo menceritakan bagaimana seorang ibu di Thailand ngotot kepada suatu sekolah untuk melihat rekaman hasil ujian anaknya. Gara-garanya, si anak dinyatakan tidak lulus dalam suatu ujian akhir.

Keputusan pengadilan akhirnya memenangkan si ibu. Sekalipun hasilnya membuat si ibu tertunduk lemas—lantaran memang data-data ujian anaknya menunjukkan prestasi buruk—kebijakan tersebut, tutur Sudibyo, memberi kekuatan yurispredensi pada publik untuk menuntut hak atas informasi yang dibutuhkannya. Lebih dari itu, publik dapat terus mengawasi jalannya pemerintahan. Dengan sendirinya, pemerintahan model lama, yang cenderung menutup-nutupi aktivitas kekuasaannya, bisa lekas bertobat. Dari sini, koridor demokratisasi diharapkan akan terbuka lebih luas lagi.

Saat ini menurut Sudibyo, sedikitnya ada dua versi Rancangan Undang-undang Kebebasan Informasi: dari organisasi nonpemerintah dan pihak legislatif. Kedua-duanya mempunyai pandangan yang sama terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan informasi. Hak itu meliputi “melihat, mendapatkan, menyebarluaskan informasi apapun yang tidak dikecualikan di badan publik.” Dan badan publik yang dimaksud mencakup “eksekutif, legislatif, yudikatif, organisasi nonpemerintah yang kegiatannya disangga oleh dana anggaran pembangunan, baik di tingkat nasional maupun daerah.”

Tidak mudah meloloskan rancangan undang-undang itu. Selain rancangan berada dalam “daftar tunggu” (konon legislatif akan menuntaskan dulu Rancangan Undang-undang Penyiaran dan lainnya seperti Rancangan Undang-undang Rahasia Negara), Sudibyo merasa, kalangan pers yang sangat berkepentingan terhadap aturan ini terkesan kurang respons. “Saya itu sudah capek ngomong UU Kebebasan Informasi. Temen-temen nggak dukung. Mereka hanya perlu jika butuh. Kutip omongan saya ini.”

Apakah itu bisa berarti wujud nyata dari ketakutan pers akan kehilangan ekslusifitas karena masyarakat bisa mengakses sendiri informasi-informasi yang dibutuhkannya? Sudibyo angkat bahu. Tapi, lanjutnya, kasus Australia bisa dijadikan cermin. Di sana, masyarakat pers sempat dilanda kecemasan ketika undang-undang kebebasan informasi hendak digolkan. Untunglah mereka sadar akhirnya: dengan infrastruktur yang dipunyai dan keahlian profesional yang dimiliki, justru merekalah yang pertama kali diuntungkan. “Kalau Undang-undang Kebebasan Informasi gol, kita bahkan tidak perlu Undang-undang Pers. Semua sudah tertangani,” paras Sudibyo riang.

Dalam diskusi Kebebasan Pers, Rezim Kerahasiaan, UU Kebebasan Informasi, di Jakarta, beberapa waktu lalu, Lukas Luwarso, direktur eksekutif Dewan Pers, mengemukakan arti penting undang-undang itu. Katanya, situasi kebebasan pers di Indonesia kini tak lebih dari kebebasan superfisial, dan bukan substansial. Dalam situasi ini, tak ada larangan buat wartawan untuk menulis apa saja, dan siapa pun bisa menerbitkan media. Tapi, pada saat yang sama, pers tidak punya kebebasan memadai untuk mendapatkan informasi. Jadi, katanya lagi, masyarakat yang menyimak berita-berita pers sebenarnya hanya mengkonsumsi ludah. “Ludah yang dicipratkan oleh pakar, oleh pengamat politik, oleh pejabat, anggota DPR.”

Indonesia “pers ludah”? Saya tidak bisa seseronok Luwarso. Tapi, jurnalisme investigasi memang perlu kebebasan substantif.*

kembali keatas

by:Agus Sopian