Teknologi dan Semangat Hidup

Yumiko Hongo

Mon, 4 November 2002

DUA bulan sejak saya kembali ke rumah, setelah berkelana di Indonesia selama hampir dua tahun, saya merasa masyarakat Jepang makin banyak memiliki teknologi baru

DUA bulan sejak saya kembali ke rumah, setelah berkelana di Indonesia selama hampir dua tahun, saya merasa masyarakat Jepang makin banyak memiliki teknologi baru –perangkat baru dan dampaknya pada nilai kehidupan yang sebelumnya tak pernah saya pikirkan.

Saya pernah tinggal di Yogyakarta selama setahun dari September 1997 sampai Agustus 1998 sebagai mahasiswa pertukaran di Universitas Gadjah Mada. Tak cukup setahun, pada Juli 2001 saya jadi mahasiswa, kali ini dengan biaya sendiri, di Universitas Indonesia sampai Juli lalu.

Indonesia adalah negara asing pertama bagi saya. Pada bulan Februari 1996 saya ikut program pelajaran bahasa Indonesia untuk orang asing di Universitas Gadjah Mada selama tiga minggu. Inilah kesempatan pertama mengunjungi negara asing. Saya masih ingat kesan awal terhadap Yogyakarta waktu rombongan kami keluar dari bandar udara Yogyakarta dan naik bis jemputan. Waktunya sudah malam. Saya dan teman-teman melihat suasana kota itu dari bis yang berjalan sangat cepat seperti gila, ada banyak toko-toko yang buka dan terang, ada banyak warung-warung dan kaki lima di pinggir jalan. Orang-orang nongkrong di warung atau jalan-jalan dengan santai. Hawa panas dan suasana terbuka pada malam itu membuat saya sangat excited. Saya tidak bisa lupa kegembiraan dan kebebasan hati pada saat itu, terkesan sekali.

Setahun kemudian, sebagai mahasiswa jurusan antropologi tahun ketiga, saya harus memilih lapangan penelitian untuk menulis skripsi. Saya tak bisa membayangkan selain Indonesia. Maka saya pun memilih pergi ke Yogyakarta lagi sebagai mahasiswa pertukaran.

Satu tahun di Yogyakarta adalah zaman terindah bagi saya. Saya aktif bergaul dengan orang Indonesia atau orang asing lain di kampus Gadjah Mada dan mencoba banyak hal baru. Saya belajar tari Bali, tiga kali seminggu. Kalau ada informasi tentang warung enak, saya dan teman-teman langsung datang dan mencobanya. Waktu itu saya sama sekali tak mengerti keadaan politik dan sosial Indonesia. Saya hanya asyik main-main. Lewat setengah tahun, para mahasiswa Yogyakarta mulai melakukan demonstrasi. Gerakan mahasiswa ini berlangsung sampai Mei 1998 ketika ada penembakan terhadap empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta.

Di Yogyakarta juga ada banyak demonstrasi dan bentrokan pihak mahasiswa dan pihak keamanan. Pernah ada tembakan peluru karet oleh pihak keamanan yang sedang memburu demonstran di depan kos saya. Anak-anak kos matikan semua lampu dan sembunyi dalam kamar. Rasanya sangat tegang. Mulai waktu ini saya baru sadar bahwa saya selama ini tak melihat Indonesia yang benar, di mana warganya menahan kemarahan kepada pemerintah Presiden Soeharto selama sekian lama.

Pengalaman ini membuat saya penasaran tahu lebih banyak tentang Indonesia. Setelah pulang dari Yogyakarta, saya lulus dari Universitas Chiba di Chiba, Jepang, lalu bekerja selama dua tahun. Dengan tabungan yang cukup saya bisa datang ke Indonesia lagi. Kali ini saya memilih Universitas Indonesia, karena saya mau melihat salah satu penyebab kerusuhan, yaitu kesenjangan sosial di Jakarta dengan mata saya sendiri.

Saya mulai hidup di Depok di mana kampus saya terletak. Saya sering pergi ke Jakarta, tapi saya tak bisa menyukai suasana Jakarta. Tidak ada banyak tanaman hijau, udaranya kotor, dan jalannya selalu macet, tidak bisa jalan pada malam hari karena tidak aman.

Seperti saya sangka, di Jakarta ada kesenjangan besar di antara orang kaya dan orang miskin. Saya heran karena di mana-mana ada pengamen dan pengemis. Empat tahun yang lalu di Yogyakarta, pengamen dan pengemis masih sedikit. Sekarang di Jakarta, di restoran bagus seseorang yang kaya menghabiskan uang yang sebesar setengahnya gaji sebulan buruh. Ada banyak rumah mewah di Menteng, ada banyak mobil yang bagus.

Saya hanya bermaksud menjadi pengamat, tapi saya juga tersangkut di dalam kesenjangan sosial ini. Sebagai mahasiswa Jepang di Jakarta, kadang saya ikut acara orang Jepang, dan kadang ikut acara orang Indonesia. Di restoran Jepang saya makan masakan Jepang yang rasanya asli seperti di Jepang dan minum sake (minuman keras khas Jepang). Bahan-bahan masakan dan minuman keras itu dikirim dari Jepang lewat pesawat terbang. Harganya tentu mahal. Sebagai orang Jepang, saya harus bergaul dengan teman-teman Jepang. Saya bisa senang kalau mengobrol bebas dalam bahasa Jepang.

Sedangkan di Depok, saya sering makan nasi bungkus yang harganya kira-kira Rp 3.000. Kalau janji makan malam dengan teman orang Indonesia, saya suka makan di warung tenda di pinggir jalan. Saya kira di antara orang Jepang yang tinggal di Indonesia pasti ada banyak yang belum pernah beli atau makan makanan di warung karena mereka pikir kotor.

Di antara dua masyarakat di Jakarta, yaitu masyarakat Jepang dan masyarakat Indonesia, saya kadang merasa capek. Orang Jepang yang bekerja di Jakarta atau istri mereka biasanya punya mobil dan sopir sendiri. Biasanya mereka tinggal di apartemen yang ada kolam renang dan gymnasium. Rata-rata mereka punya pembantu yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Kadang saya pikir, “Kenapa mereka tidak bisa hidup lebih sederhana?”

Tapi saya juga sering dianggap kaya karena saya orang Jepang. Pernah saya naik taksi dari bandar udara dengan teman yang baru datang dari Jepang. Waktu itu pas ada banjir di Jakarta dan di mana-mana masih banjir. Saya beritahu sopirnya untuk pergi ke Depok. Sopir taksi Prestasi itu tanya kepada saya, “Katanya di Depok juga banjir ya?”

Saya jawab, “O ya? Saya tidak tahu karena saya tidak bisa nonton berita. Saya tidak punya TV.”

Sopir bilang, “Bohong! Tidak mungkin!”

Saya memang tidak memiliki TV sendiri. Orang Indonesia biasanya pikir orang Jepang yang tinggal di Jakarta semua kaya. Kadang saya sebal dengan sikap mereka yang seperti sopir taksi ini karena saya tinggal di kos seperti mahasiswa Indonesia biasa.

Saya merasa tak punya tempat yang bisa merasa nyaman di Jakarta. Saya tidak sekaya seperti orang Jepang yang tinggal di apartmen, yang hidup di lingkungan yang sangat jauh dari masyarakat Indonesia. Sedangkan masyarakat Indonesia tak mudah menerima saya karena saya dianggap sebagai penghuni di dunia lain. Kalau saya naik bis selalu dilihat terus oleh penumpang lain. Kelihatannya mereka mau bilang, “Kok, kenapa orang Jepang ini naik bis, bukan mobil sendiri?” Tetapi saya tetap harus naik bis karena saya tidak mampu setiap kali naik taksi.

JULI lalu saya kembali di Jepang dan rasanya lega. Saya bisa berjalan ke mana-mana sesukanya dan tak ada yang melihat saya terus-terusan di dalam bis atau kereta. Saya tinggal bersama orang tua di rumah sendiri yang berdiri di atas bukit kecil. Chiba adalah bed-town Tokyo tapi masih kampung dan punya banyak pemandangan alam. Dari rumah saya terlihat sawah-sawah yang sudah kuning saat musim panen.

Rumah saya kecil dan tidak punya kamar tamu. Kalau ada tamu yang menginap, dia harus tidur di ruang keluarga atau saya harus mengosongkan kamar saya dan tidur di kamar orang tua. Rumah saya tipe modern dan hanya satu kamar saja yang pakai tatami di lantai –tikar khas Jepang yang hangat. Sekarang banyak rumah Jepang hanya pakai tatami di satu atau dua kamar saja seperti rumah saya karena repot dibersihkan. Waktu makan, kami duduk di lantai memakai meja rendah.

Karena saya belum bekerja dan ibu saya bekerja sampai malam, saya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Saya masak untuk makan malam. Biasanya saya masak masakan Jepang karena masakan Jepang paling cocok dengan lidah orang tua saya. Kadang saya masak masakan Indonesia memakai bumbu instan, tapi mereka tidak begitu suka karena pedas. Saya sering masak sasimi, ikan mentah yang dicampuri sayur-sayuran, kecap asing dan cuka. Saya panggil masakan ini “sasimi-salad.” Mungkin masakan ini tidak begitu cocok pada lidah orang Indonesia. Nasi putih dan miso-soup tidak boleh dilupakan, dan kami sering minum minuman keras saat makan malam.

Ayah saya, yang sudah pensiun, setiap hari hanya membaca koran atau majalah di rumah, tetapi juga dia membantu pekerjaan rumah tangga. Dia memcuci piring dan menyediakan air panas untuk mandi. Orang Jepang biasanya merendamkan diri di dalam bak mandi yang diisi air panas untuk memanaskan badan setiap hari. Jika musim dingin datang, kami suka memasukkan jeruk khusus yang bernama yuzu ke dalam air panas. Rasanya lebih hangat dan nikmat. Kami sangat menikmati mandi dengan air panas sehingga ada banyak tempat pemandian umum untuk wisatawan di berbagai daerah.

Di Jepang jarang ada rumah yang punya pembantu. Orang Jepang kondisi ekonominya hampir semua kelas menengah. Tidak sangat kaya, tapi cukup untuk hidup. Mengapa orang Jepang di Jakarta bisa begitu kaya? Itu karena di Jepang biaya hidup sangat mahal jadi gajinya juga harus tinggi. Tetapi mereka yang tinggal di Indonesia bisa hidup murah karena nilai rupiah rendah terhadap yen Jepang tapi dapat gaji standar Jepang, lalu tempat tinggal dan mobil disediakan oleh perusahaan, makanya bisa begitu kaya.

Karena ada banyak waktu, saya sering pergi ke perpustakaan daerah Chiba dengan sepeda. Ini bisa dilakukan karena jalan di Jepang sangat teratur dan pengendara mobil biasanya sangat taat peraturan lalu lintas, maka risiko naik sepeda di jalan tidak setinggi di Jakarta.

Perjalanan 20 menit dari rumah sampai perpustakaan adalah rute bagus untuk bersepeda. Melewati bukit, sawah, hutan bambu, gang yang di sampingnya masih ada rumah-rumah tradisional yang didiami oleh keturunan petani setempat. Kadang saya mampir ke taman besar di tengah jalan untuk membaca koran di bawah pohon. Saya datang ke sini juga untuk melihat sakura pada musim semi, untuk memcium keharuman kinmokusei –bunga berwarna oranye yang kecil-kecil di pohon rendah dan rindang pada musim gugur. Dengan roti dan kopi yang dibawa dari rumah, saya sering melakukan piknik sendirian di taman ini. Sebenarnya ini suatu rahasia yang belum pernah saya bicarakan kepada orang tua.

Ke perpustakaan saya selalu datang sendirian dan hanya baca-baca majalah. Saya rasa manusia perlu waktu menjadi sendirian untuk menenangkan hati. Tapi di Indonesia, orang-orang suka selalu bersama dengan orang lain. Karena saya kadang jalan-jalan sendirian ke musium, pameran dan lain-lain, banyak orang Indonesia yang bilang, “Kenapa kamu tidak bawa teman? Sepi dong!”

Sebenarnya saya juga mau bilang,“Kenapa kalian selalu menempel kepada teman? Kasihan tidak ada kepribadian!” Tetapi saya masih belum pernah berani melontarkan kata ini. Mungkin kebudayaan dan konsep privacy sedikit berbeda di Jepang dan Indonesia.

KARENA pernah tinggal di Indonesia, saya jadi bisa sadar beberapa hal yang baik tentang Jepang. Pertama adalah empat musim yang membawakan keindahan alam yang bervariasi. Setiap musim punya event, seperti makan dan minum di bawah pohon sakura pada musim semi, rekreasi di pantai pada musim panas, nonton daun-daun yang jadi merah pada musim gugur, mengunjungi vihara atau kuil Shinto dengan memakai kimono untuk merayakan tahun baru pada musim dingin. Makanan juga ada kecocokan dengan musim. Misalnya tunas bambu untuk mesim semi, soumen –mi putih halus yang dingin– untuk musim panas, jamur dan ubi untuk musim gugur, sukiyaki dan syabusyabu untuk musim dingin. Semua aktivitas kami sangat terpengaruh oleh empat musim ini dan kami sangat merayakannya. Makanya di Jepang ada banyak penyair haiku, puisi kecil yang memakai kata yang berkaitan dengan setiap musim.

Kedua adalah fasilitas umum seperti perpustakaan yang tersedia untuk semua penduduk di setiap daerah. Kereta dan bis yang baru dan aman, stasiun yang ada toilet bersih, bisa kami harapkan di Jepang.

Ketiga adalah keamanan baik. Di tempat ramai kami bisa berjalan kaki sampai malam. Walau akhir-akhir ini di daerah pinggiran mulai ada penjahat atau penganiaya seksual pada malam hari, kami bisa berjalan kaki ke mana pun tanpa khawatir pada siang hari. Di Jepang aktivitas jarang dihalangi oleh masalah keamanan.

Tapi ada juga hal-hal yang sedikit aneh bagi saya di Jepang. Salah satunya adalah kerapian dan keteraturan yang nyaris sempurna. Kalau naik kereta, saat tiba di setiap stasiun ada pengumuman yang memberitahu sekarang stasium apa, dan kalau mau ganti kereta harus ke loket berapa. Di jalan, mobil pasti berhenti di lampu merah. Di toko, di depan kasir orang-orang pasti membuat antrian. Tidak ada yang buang sampah sembarangan. Pokoknya semua bersih, rapi, teratur. Jadi kami tidak usah memikirkan sendiri, hanya saja mengikuti peraturan dan menunggu. Orang asing suka bertanya pada kami, “Kalian tidak bosan kalau semua teratur?”

Karena semua teratur, kami tidak bisa marah pada orang yang tidak bisa antri, mobil yang kacau, kereta yang terlambat, dan sebagainya. Orang yang tidak taat peraturan dianggap sangat memalukan dan merepotkan. Maka kami hidup di dalam tekanan mental besar sekali karena kami “tidak boleh menonjol ke luar”dari norma sosial. Orang Jepang suka berkelompok dan takut diusir dari kelompok. Banyak orang tidak berani melakukan hal-hal yang mengganggu orang lain. Memang keteraturan ini baik, tetapi saya kaget dengan kedisiplinan mereka yang hebat. Saya khawatir mungkin kami sedikit susah bernafas di dalam dunia seperti ini yang semua sudah ditentukan.

Saya juga merasa geli dengan kemajuan teknologi. Ketika kembali ke Jepang, saya melihat pemuda-pemudi yang selalu menatap handphone (HP) mereka di mana-mana. Di Jepang orang yang memakai HP mencapai 70 juta. Ini berarti satu dari dua orang mempunyai telepon genggam. Setiap HP punya alamat email sendiri. Ada juga HP yang bisa internet dengan display full-color. Kami bisa mencari banyak informasi dengan internet HP, misalnya berita hari ini, ramalan cuaca, dan kalau mau, bisa juga mengunjungi situs mencari kenalan baru.

Bunyi HP juga macam-macam dan sangat real. Lagu apa saja, dari oldies sampai pop paling baru, semua bisa kami down-load sebagai bunyi HP. Pesawat HP ini bunyinya bisa tiga skala nada, jadi persis seperti musik benar. Ada pula bunyi suara binatang atau manusia juga.

Yang mengejutkan saya adalah HP model baru yang bisa jadi kamera. Di belakang pesawat HP ada lensa kecil dan inilah yang berfungsi sebagai kamera. Dengan fungsi kamera ini kami bisa mengirim foto dengan email kepada teman-teman. Ini dipanggil Sha-mail dalam bahasa Jepang. Sha ini huruf Cina dan artinya ambil foto. Sekarang setiap perusahaan pesawat telpon mengeluarkan model pesawat HP yang ada kameranya.

Ada kejadian lucu yang saya alami. Ketika masih tinggal di Jakarta, saya sempat pulang ke Jepang untuk memperbarui SIM saya. Suatu hari saya dalam kereta saya mendengar musik yang indah. Saya langsung pikir, “Wah, ada pengamen, saya harus cari uang recehan!” Mungkin ada pengamen dalam kereta api. Ternyata bunyi HP!

Di Jakarta khan ada pengamen yang main gitar, nyanyi dengan karaoke, ada juga band yang dilengkapi dari vokal sampai drum. Kalau saya dengar musik dalam kereta api di Jakarta, saya jadi langsung pikir itu adalah pengamen dan harus siapkan recehan.

Menurut saya orang Jepang punya kecenderungan suka mengikuti trend. HP tidak perlu memiliki fungsi kamera. Tapi dengan iklan yang pintar dan banjir di setiap media, kalangan muda terprovokasi membeli HP ini. Sekarang kamera-HP sudah cukup dikenal di dalam masyarakat Jepang dan kami biasa memakai atau melihat orang lain yang memakai kamera-HP. Konon sistem Sha-mail ini akan diekspor ke Eropa. Kesan saya hanya, “Buat apaan selalu mengirim foto-foto?” Pemuda-pemudi yang sibuk menekan tombol HP sepertinya kecanduan HP.

Kalau sudah begini, saya sering berpikir tentang pemuda Indonesia. Pemuda Indonesia tahu cara bermain yang tidak butuh uang. Nyanyi bersama-sama sambil main gitar, mengobrol sambil minum teh di rumah teman. Pemuda Jepang sudah agak melupakan cara bermain macam ini. Nyanyi bersama-sama diganti dengan nyanyi di karaoke. Saling berkunjung ke rumah teman makin jarang karena jarak rumah berjauhan. Rumah terletak di pinggiran kota karena tanah di kota mahal. Teman-teman tinggal jauh, susah mengunjunginya.

Kami di sini bisa hidup enak dan praktis, tetapi saya rasa, kehilangan bagi kebudayaan kami juga besar karena modernisasi ini. Saya merasakan hal ini terutama waktu naik kereta dan melihat wajah-wajah orang Jepang. Dalam kereta, biasanya orang-orang tidur, baca buku, menekan tombol HP, mendengarkan musik dari portable CD player. Semua diam dan tidak tertarik dengan urusan orang lain. Tidak ada orang yang ramah mengajak berbicara kepada orang yang duduk di sampingnya.

Saya terkadang rindu suasana kereta Indonesia. Selain penumpang, ada juga ayam, buah-buahan, barang-barang dagangan yang dibawa penumpang, atau pedagang asongan yang jual minuman, rokok, permen, pengamen, pengemis dan sebagainya. Naik kereta Indonesia yang chaos adalah penderitaan. Tapi di situ ada manusia yang masih berkomunikasi dengan yang lain. Di Jepang, hanya ada penumpang di dalam kereta dan kebanyakannya berwajah tidak senang dan lelah. Ini adegan yang sedikit menyedihkan. Menunjukkan betapa manusia kehilangan semangat di dalam dunia yang penuh teknologi dan kepraktisan. Mungkin ini adalah gejala mengapa angka bunuh diri sangat tinggi: 30 ribu orang per tahun.

Saya jadi sadar bahwa ada banyak kebahagiaan yang sederhana dari pengalaman saya di Indonesia. Apakah kami memang perlu kamera-HP dalam kehidupan kami? Bukankah lebih bahagia berhadapan dengan manusia asli daripada selalu berhadapan dengan mainan atau mesin? Pertanyaan ini mau saya serahkan kepada orang Jepang. Saya kadang rindu kehidupan di Indonesia yang tidak begitu praktis tetapi menyenangkan.*

kembali keatas

by:Yumiko Hongo