BERDIRI di tepi jembatan Aioi, Hiroshima, pandangan mata Hatsuyo Nakamura menyusuri Sungai Ota. Usianya 86 tahun, umur yang ajaib bagi seorang hibakusha, korban bobosan asap bom atom 57 tahun silam.

“Di sana,” tangannya menunjuk ke utara, “Sungai Ota bercabang Sungai Temma. Dan persis di bawah jembatan Aioi ini Sungai Ota terpecah dua: Motoyasu dan Honkawa. Seperti itulah Perang Dunia Kedua memecah-mecah hidup saya.”

Keriput di seputar bibir Nakamura seperti mengunci mulutnya ketika terkatup. Geraknya amat pelan dan gemetar. Ia dibimbing Myeko Nakamura, anak bungsu sekaligus penterjemahnya. Mata sipit Nakamura sesekali terkedip, menerawang, seperti mengingat-ingat ke saat lebih setengah abad silam.

Hiroshima, 5 Agustus 1945, menjelang tengah malam. Sembilan jam sebelum bom atom dijatuhkan, penyiar radio stasiun kota mewartakan terbangnya 200 pesawat B-29 Amerika Serikat mendekati Pulau Honshu dari arah selatan. Penduduk Hiroshima—yang sebagian telah lelap, diminta mengungsi ke daerah aman.

Nakamura belum tidur waktu itu. Sejak suaminya, Isawa Nakamura jadi serdadu, dan mati dalam perang di Singapura 15 Februari 1942, janda Nakamura harus bekerja sampai larut, menjahit baju, dari piyama hingga kimono. Isawa tak meninggalkan apa-apa kecuali sebuah mesin jahit tua merek Sankoku.

Tiga anak Nakamura menjadi yatim dalam usia belia. Toshio, laki-laki 10 tahun; Yaeko, perempuan delapan tahun; dan Myeko, perempuan lima tahun. Sebelum berangkat perang, Isawa-san sempat mengajari Myeko berdiri dan berjalan pelan-pelan. Hanya Toshio yang sempat mengetahui ada telegram berisi tujuh kata yang dibaca ibunya pada 15 Maret 1942. Sejak itu mereka tak pernah lagi berbincang tentang rencana setelah ayah pulang. Hatsuyo Nakamura hanya mengajak anak-anak berdoa untuk ayahnya. Dari jenis doanya, anak-anak jadi tahu jika ayah mereka sudah tiada.

Mendengar perintah pengungsian dari radio itu Nakamura segera membangunkan tiga anaknya, mengganti baju, dan mengajak mereka berjalan ke lapangan di timur-laut kota yang biasa dipakai parade militer. Si kecil Myeko melanjutkan tidur dalam gendongan ibunya. Kedua kakaknya berjalan tersaruk menahan kantuk sambil memegangi sisi-sisi gaun Nakamura yang memandu jalan.

Sampai di lapangan yang jaraknya satu kilometer dari rumah, mereka langsung rebah dan tidur. Sudah banyak orang berkumpul, tak ada yang ribut. Sebagian besar tidur, sebagian kecil berjaga.

Pukul dua dini hari, para pengungsi terkesiap bangun oleh deru suara pesawat B-29 yang melayang bolak-balik, melintas rendah. Dalam hening, kepanikan menjalar. Tapi, deru pesawat itu lewat. Tak ada bom.

Ketiga anak Nakamura begitu takut. Ibunya merasakan lewat dekapan mereka yang kencang. Mereka memutuskan pulang. Rumah, dirasa lebih membuat tenang.

Pukul setengah tiga mereka sampai. Anak-anak kembali tidur. Nakamura menyalakan radio, dan langsung terdengar keras peringatan untuk mengungsi. Tanpa menunggu sedetik pun, radio dimatikan. Nakamura menengok pada anak-anaknya, tak ada yang terbangun. Nakamura berpikir sebentar, apakah harus mengungsi? Melihat ketiga anaknya lelap dalam kelelahan, ia putuskan tetap tinggal.

“Semua orang pada akhirnya toh akan mati, dengan atau tanpa bom. Kalau itu terjadi, saya masih bisa memilih, untuk mati di rumah sendiri,” Nakamura berserah, digelarnya tatami dan beranjak tidur. Sekali ditengoknya jam, pukul tiga dini hari.

Pukul tujuh pagi, 6 Agustus 1945, sirene di berbagai sudut kota meraung. Nakamura bergegas ke rumah Tuan Nakamoto, kepala kampung, dan apa yang harus dilakukan? Nakamoto menyarankan untuk tinggal saja di rumah sampai suara sirene berikutnya terdengar. Sirene tadi baru peringatan dini.

Nakamura kembali ke rumah, menyalakan kompor dan menanak nasi. Ia duduk menunggu sambil membaca koran Hiroshima Chugoku. Sampai pukul delapan (bom atom meledak limabelas menit kemudian), Nakamura mendengar anaknya bergumam dari tempat tidur. Diambilnya sebungkus kacang Jepang untuk dimakan anak-anaknya. Nakamura sendiri berharap anaknya kembali tidur setelah capai berjalan semalam. Tapi, anak-anak itu dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka, meminta nasi karena perut mereka lapar.

Nakamura keluar kamar dan segala tanda bahaya terdengar ingar-bingar. Menengok keluar jendela, ia melihat kilauan begitu putih, tak ada putih seputih kilau itu yang pernah ia lihat sebelumnya. Seorang lelaki tetangga yang ada di luar rumah mengangkat tangan seperti hendak melindungi matanya dari cahaya. Nakamura tak memperhatikan apa yang kemudian terjadi dengan lelaki itu. Insting keibuannya segera menarik tubuhnya ke kamar anak-anak. Tapi tiba-tiba pemandangan menjadi gelap pekat. Nakamura terbanting ke lantai. Didengarnya bunyi derak kayu dan tembok-tembok yang runtuh. Seluruh tenaganya seperti hilang seketika.

Demikianlah Little Boy, nama bom atom itu, telah meledak di Hiroshima. Bentuk Little Boy seperti lontong dari baja seberat empat ton, panjangnya tiga meter, dengan diameter 0,7 meter. Ia diterbangkan dengan pesawat B-29 yang bernama Enola Gay dari Pulau Tinian, dekat Guam di Lautan Pasifik, sejauh 2.740 kilometer dari Hiroshima.

Pulau Tinian direbut Amerika Serikat dari Jepang pada 23 Juli 1944 sebagai lompatan terakhir sebelum menyerang Jepang. Begitu Tinian direbut, Little Boy diangkut oleh pesawat khusus bernama Indianapolis dari San Fransisco.

Pada 5 Agustus 1945 petang, Little Boy baru dimasukkan ke dalam perut Enola Gay dan siap diterbangkan kapan saja. Dini hari 6 Agustus 1945, tepatnya pukul 02.45 waktu Tinian (atau 01.45 waktu Hiroshima), Enola Gay lepas landas dari Tinian menuju Hiroshima.

Menurut catatan William D. Parson yang menjadi co-pilot, Enola Gay baru melintas di atas Iwojima pukul 06.05 waktu Tinian. Pukul 07.30 sinyal merah dinyalakan tanda bom dipanaskan agar siap meledak ketika dijatuhkan. Pukul 08.38 pesawat mencapai ketinggian 9.970 meter dari permukaan laut, sesuai perhitungan jarak paling pas untuk menjatuhkan bom. Pukul 08.47, fusi elektronik diujicobakan, hasilnya oke, mesin peledak sudah panas. Pukul 09.04, pesawat berbelok ke barat. Pukul 09.09, lanskap kota Hiroshima sudah terlihat di jendela depan pesawat. Dan begitu Enola Gay melintasi jembatan Aioi, lewat 30 detik dari pukul 09.15 waktu Tinian (atau 08.15 waktu Hisroshima), Little Boy, bom atom pertama dalam sejarah perang, dijatuhkan.

Begitu melepas Little Boy, Enola Gay langsung mendaki 155 derajat berbelok ke utara untuk menghindari efek ledakan bom. Little Boy terjun bebas selama 43 detik sampai ketinggian 580 meter di atas rumah sakit Shima, dan meledak di udara.

Teorinya secara sederhana, energi ledakan itu muncul dari nukleus atom yang terpecah dua. Dari dua, pecah menjadi empat, dari empat menjadi delapan, dan seterusnya. Energi ledakan berlipat dalam tempo yang sangat singkat. Sepersepuluh-ribu detik setelah ledakan, panas mencapai 300 ribu derajat Celsius dalam radius 17 meter dari pusat ledak (hypocenter). Panas yang sampai ke rumah sakit Shima saat itu mencapai 6.000 derajat Celcius.

Lima menit setelah ledakan, asap atom menguar seperti cendawan putih raksasa hingga setinggi 17 ribu meter di atas tanah. Zat radioaktif mematikan sebagaian besar warga Hiroshima yang terkena dalam radius lima kilometer dari pusat ledak, baik secara langsung maupun dalam hitungan hari. Mereka yang ada di dalam radius lima kilometer itu dan kemudian lari keluar dari lingkar akar cendawan atom itu, nyaris semuanya menderita cacat kulit, bahkan mengalami mutasi genetik. Minimal, korban menderita cikal-bakal kanker atau leukemia.

RUMAH Nakamura terletak 5,4 kilometer dari pusat ledak. Sebuah selisih 40 meter yang menentukan keselamatan keluarga miskin itu.

Rumah mereka terbuat dari kayu yang murah dan ringan di kawasan Nobori-cho yang padat dan miskin, tak ada kaca, atapnya cuma asbes yang gapuk. Rumah itu sudah tak ada begitu Nakamura mampu beringsut dan menengadahkan kepala. Perasaan yang campur-aduk menggelayut. Sejauh mata memandang, yang ada hanya puing-puing berserakan. Sayup terdengar si bungsu Myeko mengerang, “Ibu, tolong aku!”

Myeko tampak sulit bernapas dan tak bisa bergerak. Dengan segala daya yang tiba-tiba muncul, Nakamura mencoba mengangkat anaknya dari serakan puing rumah. Myeko segera terselamatkan dari tindihan puing dipan tempat tidur. Tapi, Nakamura tak melihat atau mendengar suara kedua anaknya yang lain?

Nakamura menjadi sangat panik. Raut muka Myeko memucat. Ia masih tersengal-sengal. Rengkuhan lengan ibunya membuat Myeko jadi agak tenang. Napasnya kembali teratur. Nakamura pun menghela lega. Sang ibu dan putri bungsunya itu seperti saling menguatkan.

“Tasukete! Tasukete!”(Tolong! Tolong!)

Suara itu tak jelas dari mana datangnya. Telinga Nakamura berdengung dan ia merasa setiap suara lebih kecil ketimbang aslinya. Tapi Nakamura merasa pasti bahwa itu suara si sulung Toshio. Cuma di mana sumbernya? Ada derak puing kayu beringsut pelan. Nakamura langsung mendudukkan Myeko dan merangsek ke puing kayu yang ternyata bekas salah satu tiang utama rumah mereka. Di bawah kayu ada lembar daun pintu, dan begitu tiang kayu disingkirkan, daun pintu pun terangkat ke samping. Muncullah muka Toshio yang tegang.

“Ibu, Yaeko mati!”

Jantung Nakamura seperti berhenti. Tubuh Yaeko tergeletak di sebelah Toshio, diam tak bergerak dan kakinya masih tertimbun puing. Nakamura ingin mengangkat tubuh Yaeko, tapi ia sudah tak punya tenaga. Nakamura menciumi pipi Yaeko dan memanggil-manggil namanya seperti tak rela Yaeko pergi untuk selamanya. Air mata ibu membasahi wajah sang anak.

Ternyata Yaeko tidak mati. Ia pingsan.

“Air…air. Aku mau minum,” Yaeko menggumam lirih.

Nakamura bagai menerima rahmat dari surga, sekaligus juga bingung. Di mana ada air? Ia juga merasa tenggorokannya begitu kering dan badannya panas dengan kulit serasa perih terbakar. Diperhatikannya pakaian yang dia kenakan sudah tak karuan, lusuh dan kacau seperti juga baju tiga anaknya.

“Air…air…,” rintih Yaeko. Di mana ada air di tengah reruntuhan Nobori-cho saat ini? Nakamura mengumpulkan liurnya yang tersisa, dibukanya mulut Yaeko. Perlahan Nakamura keluarkan ludahnya hingga masuk ke mulut Yaeko yang langsung menelan, sementara matanya masih terpejam.

Entah mendapat tenaga dari mana, Nakamura menyingkirkan puing-puing yang masih menimbun Yaeko.

“Itaiii!” (Sakiiit!) seru Yaeko.

“Sekarang bukan waktunya untuk mengeluh sakit atau tidak,” Nakamura mengangkat anaknya yang kedua sampai terduduk. Diperhatikannya tubuh Yaeko, tak ada luka serius.

Nakamura beranjak menengok ke sekeliling. Orang yang dilihatnya tadi dari jendela telah rebah di tanah, mati. Istri Nakamoto datang ke arahnya dengan sisi muka berlumur darah. Ia bertanya apakah Nakamura punya perban untuk menutup luka. Tak ada perban. Nakamura merobek kain-kain yang dia punya menjadi potongan-potongan panjang seperti perban dan memberikannya kepada istri Nakamoto.

Yayoi Hataya, tetangga sebelah rumah, dengan panik mengajak Nakamura dan anak-anaknya untuk mengungsi ke taman Asano tempat simpanan air bersih tersedia. Mereka membawa beberapa pernik barang yang bisa dibawa termasuk remukan makanan kering yang masih ada dalam bungkusan. Di sepanjang jalan mereka banyak mendengar orang menjerit minta tolong lantaran anggota keluarganya tertimpa puing-puing rumah. Hanya satu rumah yang belum roboh, yakni pastoran Jesuit di sebelah bekas taman kanak-kanak Myeko yang sudah tak karuan bentuknya. Mereka melihat Pastor Wilhelm Kleinsorge berupaya memberi pertolongan seadanya kepada para korban.

Di taman Asano yang penuh debu, puluhan pengungsi berkumpul. Mereka berbagi air minum. Sebetulnya agak tak tepat disebut air minum karena galonan air di bak bawah tanah itu masih mentah dan direncanakan untuk memadamkan api bila terjadi kebakaran. Tapi para pengungsi tak peduli. Udara dan badan mereka terasa begitu panas.

Nakamura kemudian menjadi sangat sibuk memberi pertolongan ke sana kemari bersama Pastor Kleinsorge. Tentu saja pertama-tama ia memastikan anak-anaknya aman dengan bekal yang cukup. Toshio diminta si ibu untuk menjaga adik-adiknya. Tak lama, ketiga anak Nakamura pun tertidur di bawah tenda darurat. Sebaliknya sang ibu terus bolak-balik seolah tak kenal lelah. Lewat tengah malam, Nakamura baru bisa tidur.

DI SAAT yang sama ketika Nakamura tertidur, petang hari sedang menjelang di New York, 5 Agustus 1945. Seorang wartawan-cum-novelis bernama John Hersey asyik mendengar musik dari radio. Ia sungguh menikmati waktu jeda menulis usai merampungkan karya-karya jurnalistik maupun fiksi yang sangat menyedot energinya. Dalam hari-hari mengisi kembali energi itu, biasanya ia tak menulis apapun, otaknya serasa tumpul dan kesaktian menulis seperti hilang. Lazimnya Hersey, masa tumpul itu berlangsung paling lama satu minggu. Kerjanya cuma membaca bacaan ringan, mendengarkan musik di radio, dan menikmati pujian atau kritik dari pembaca tulisannya.

Kali ini ia lebih banyak menerima pujian. Khususnya dari pembaca tulisan panjangnya di majalah The New Yorker edisi Juni berjudul “Survival.” Tulisan ini berkisah bagaimana seorang Letnan Angkatan-Laut, John F Kennedy, menyelamatkan diri dari kapal-perangnya PT 109 yang tenggelam di bagian selatan Samudra Pasifik.

Pujian lain berdatangan juga dari para pembaca novelnya A Bell for Adano yang memenangi Pulitzer untuk karya fiksi 1945. A Bell for Adano bercerita tentang pendudukan pasukan Amerika Serikat atas sebuah desa di Italia.

Musik pop di radio yang didengarkan Hersey tiba-tiba berhenti. Hersey cuek saja. Ia tak mencoba memutar tombol mencari frekuensi lain. Yang terdengar kemudian pidato Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman yang rekamannya tersimpan rapi di Library of Congress: “Sixteen hours ago, an American airplane dropped one bomb on Hiroshima, Japan, and destroyed its usefulness to the enemy. That bomb had more power than 20.000 ton of T.N.T. It had more than two thousand times the blast power of the British Grand Slam, which is the largest bomb ever used in the history of warfare.…It was an atomic bomb.”

Hersey langsung bangun dari kursi malasnya. Keningnya berkerut. Bom Atom? Ingatannya langsung melayang ke Juni 1942 ketika Roosevelt menandatangani akta persetujuan dimulainya The Manhattan Project. Sebuah riset bernilai US$ 2 miliar dan melibatkan 120 ribu pekerja, dengan satu tujuan membuat bom atom untuk menaklukkan lawan dan memenangi Perang Dunia II.

Malam itu Hersey berjanji dalam hatinya, “Saya akan menulis tentang Hiroshima!” Dan Hersey tidak main-main.

Ben Yagoda dalam bukunya About Town: The New Yorker and the World It Made

mengisahkan di berbagai halaman terpisah tentang proses Hersey merampungkan artikel Hiroshima sepanjang lebih dari 30 ribu kata.

Sampai akhir 1945, Hersey baru merampungkan risetnya dengan mengumpulkan berbagai data pendukung tentang Hiroshima. Ia mulai berdiskusi dengan kolega sesama jurnalis tentang rencananya. Keputusannya ia akan mulai perjalanan jurnalistik dari Cina ke Jepang. Cina pintu masuk ke Jepang yang termurah. Meski begitu, pada 1945 anggaran liputan lebih dari US$ 10 ribu masih sangat mahal untuk sebuah tulisan. Untungnya, sekaligus unik, Hersey bisa mendapat persetujuan dukungan dana dari dua majalah, The New Yorker dan Life.

Alasan lain ia memasuki Jepang dari Cina sebetulnya lebih bersifat pribadi. Ia ingin menengok kembali kampung halamannya. Maklum ia lahir 1914 di Tientsin dari pasangan misionaris Protestan dan menghabiskan masa kecilnya di sana sampai 1925.

Sebelum berangkat ia banyak berdiskusi dengan editor New Yorker William Shawn dan merumuskan 10 ide kerangka tulisan (outline of story ideas). Salah satu idenya tawaran Shawn yang dikembangkan dari artikel Joel Sayre tentang pengeboman wilayah Cologne-Jerman dari perspektif korban (orang Jerman) yang menderita akibat peristiwa tersebut.

Artikel Sayre yang sangat bagus itu akhirnya batal dimuat The New Yorker karena tidak kontekstual. Jerman sudah memutuskan untuk menyerah pada Pasukan Sekutu. Shawn mengusulkan kepada Hersey untuk menulis soal Hiroshima dari perspektif korban sebagaimana dilakukan Sayre. Konteksnya masih hangat karena perdebatan tentang bom atom terus berlangsung dan melibatkan para politisi, intelektual, bahkan agamawan. Di samping secara jurnalistik, magnitude Hiroshima-Jepang jauh lebih besar ketimbang Cologne-Jerman.

Tapi Hersey belum menemukan satu pun outline tulisan yang dinilainya paling kuat untuk mengisahkan Hiroshima. Ia sudah mencoba mengerahkan seluruh pengalaman dan pengetahuan jurnalistiknya yang mendalam sejak di bangku kuliah. Menamatkan studi di Yale University, Hersey sempat setahun menjadi sekretaris Sinclair Lewis, dosen jurnalisme yang tersohor di Cambridge.

Setelah itu ia bekerja di majalah Time sebagai penulis. Di awal Perang Dunia II ia juga membuat beberapa reportase untuk Life yang masih “satu keluarga” dengan Time di bawah kepemilikan saham Henry Luce. Reportase termasyhur dari Hersey untuk Life terbit 1944 berjudul “Joe is Home Now” yang mengisahkan trauma para serdadu GI Amerika Serikat sepulang dari perang dan mencoba hidup kembali bersama masyarakat biasa. Para pembaca sangat takjub pada karakter-karakter narasumber yang dibangun dan dilansir Hersey dalam “Joe is Home Now.” Sampai-sampai, Tom Wolfe dalam pengantar di buku antologinya The New Journalism, menyebut “Joe is Home Now” sebagai a seminal precursor of the genre.

Dalam “Survival” Hersey menggunakan metode penulisan jurnalistik yang berbeda dengan “Joe is Home Now” yang menitikberatkan pada dinamika karakter narasumber. “Survival” lebih menekankan detail-detail kejadian yang melodramatis, struktur tulisan beritme sastrawi, dan rekonstruksi dialog narasumber yang mendekati sempurna. Hersey tidak menitikberatkan karakter karena John F. Kennedy yang menjadi narasumber utama sahabat Hersey sendiri sehingga Hersey harus mengambil jarak.

Wawancara mendalam dilakukan Hersey sejak awal Kennedy bercerita sambil makan siang di La Martinique, sebuah supper-club di New York, hingga rumah sakit Boston tempat Kennedy mendapat perawatan untuk memulihkan otot-ototnya yang kaku karena peristiwa dramatis tenggelamnya kapal PT 109 di selatan Samudra Pasifik itu.

Anehnya Life—tak jelas alasan apa—tak jadi memuat artikel tersebut, sebuah tindakan redaksi yang kemudian disesali oleh Life sendiri. “Survival” dimuat The New Yorker dan menjadi karya jurnalistik yang klasik dan dikenal banyak warga Amerika Serikat. Bagaimana tidak, “Survival” dicetak ulang sebanyak 100 ribu eksemplar oleh ayah Kennedy untuk kepentingan kampanye anaknya memenangi kursi di House of Representatives (parlemen Amerika Serikat) dengan membagikan kopi artikel itu pada calon pemilihnya di Boston. Alhasil “Survival” menjadi sangat dikenal, bahkan kemudian difilmkan dengan judul PT 109. Ketika Kennedy menyiapkan diri untuk merengkuh kursi presiden, buletin U.S. News and World Report memuat kembali “Survival” dan mencetaknya dalam jumlah yang begitu banyak (tak ada data/sumber yang menyebut secara tepat seberapa banyak)—dengan sayangnya—tanpa seizin The New Yorker maupun John Hersey.

Hersey juga menulis tiga buku fiksi-perang: Men on Bataan, Into the Valley, dan A Bell for Adano. Tampak sekali baik dalam karya jurnalistik maupun novelnya, Hersey sangat piawai mengemas kekerasan perang hingga memikat banyak pembaca.

Sebaliknya Shawn, editor Hersey, tak suka bacaan perang dalam format penulisan apapun. Shawn pernah menulis ke sahabatnya sesama wartawan Hobart Weekes pada 1943, betapa ia benci dengan diksi kata killing, dan berandai-andai jika memungkinkan: setiap perang dapat ditulis dan dilansir di media tanpa harus menggunakan kata killing itu. Sebuah pengandaian yang tak terkabul.

Shawn juga tak suka narasi mengenai dampak bom setelah meledak. Terkecuali, jika narasi itu menimbulkan impresi pembaca yang mendorong pengurangan bom dalam perang, maka Shawn akan senang hati untuk mengendalikan perasaannya yang terlalu peka. Selama 54 tahun kariernya di New Yorker, Shawn hanya pernah satu kali memberikan kontribusi artikel tentang bencana yang dialami manusia (itupun tidak dengan by name, cuma ada inisial namanya “W.S.” di akhir artikelnya) dan diberinya judul “The Catastrophe,” sebuah kisah imajinasi jika sebuah meteor menghancurkan kota New York.

Ketika Shawn menjadi pemimpin redaksi, beberapa tulisan yang membawa semangat macam “The Catastrophe” beberapa kali muncul, seperti tulisan Joseph Mitchell “The Bottom of the Harbor,” Rachel Carson “Silent Spring,” Barry Commoner “The Closing Circle,” dan Jonathan Schell “The Fate of the Earth.” Hersey memahami kecenderungan Shawn, tapi ia sendiri tak pernah menulis artikel-artikel semacam tadi. Sampai Hersey berangkat ke Cina, ia belum menemukan satu outline yang dirasa meyakinkan, baik bagi dirinya maupun Shawn.

MARET 1946, muncul berita bahwa Amerika Serikat akan menguji coba sebuah bom atom dua bulan mendatang. Sebagai seorang reporter yang punya tipikal takut kehilangan news peg, Hersey mengirim kawat kepada Shawn langsung dari Cina yang isinya kemungkinan ia akan mempercepat kepergiannya ke Jepang bulan Mei dan mengirim artikelnya dari sana demi mengejar waktu seiring rencana uji coba bom atom. Meski dalam kawatnya itu, sebagaimana dikutip Yagoda dalam About Town, Hersey menyambung:

Still think it would be advantageous to wait and write them upon my return; in that case you would not get them into print until July or perhaps around the anniversary of the Hiroshima bomb an August. Personally I don’t see why the may experiments should detract from the Hiroshima story provided eye can get in the sort of detail we envisaged.

Shawn langsung membalas pada hari yang sama:

Eye was about was about to cable you urging you to do piece as we originally planned. We do not think that may experiment will affect it. The more time that passes the more convinced we are that piece has wonderful possibilities. No one has even touched it. Think best to write it back here and time it for anniversary.

Hersey jadi merasa tak harus buru-buru. Dalam pelayarannya ke Jepang, dia masih belum menemukan pendekatan untuk mengisahkan Hiroshima. Sialnya lagi, serangan flu menyergapnya saat melayari selat Jepang. Sambil berbaring, istirahat, Hersey membaca novel karya Thornton Wilder 1927 yang dipinjamnya dari perpustakaan kapal. Judulnya The Bridge of San Luis Rey, cerita mengerikan dengan seting abad ke-18 di Peru dari titik pandang lima karakter yang berbeda.

Tak dinyana, novel inilah yang memberi inspirasi Hersey untuk mengemas Hiroshima. Dalam kepalanya, ia harus mencari lima orang narasumber utama yang mengalami peristiwa ledakan bom atom. Dari pengalaman lima korban itu ia akan membangun narasi yang terpotong-potong dengan penutup yang menohok atau sebaliknya menggantung di akhir tiap potongan. Pembaca akan mengikuti kronologi yang tidak mengalir utuh melainkan terpencar-pencar dalam lima tokoh, di mana setiap tokoh memiliki karakter unik.

Pada 25 Mei 1946, Hersey mendarat di Hiroshima Port. Kurang dari setahun setelah bom atom jatuh di kota itu, Hiroshima masih hancur lebur. Tak ada gedung permanen apalagi yang bertingkat seperti sebelum perang. Penduduk tinggal di rumah-rumah semi permanen yang terbuat dari kayu atau cetakan bata yang kasar dan tidak dilapisi semen. Ada banyak jalur rel kereta api dan trem, tapi tak bisa berfungsi karena tak ada listrik, sementara batubara sangat mahal. Nyaris tak ada pohon kecuali yang sengaja ditanam di Jalan Heiwa Odori yang saat ini dikenal sebagai Peace Boulevard Avenue. Itu pun banyak yang kering karena tanah masih terpengaruh radiasi atom. Sungai juga belum sepenuhnya bersih dari pengaruh radiasi. Beberapa jembatan masih bertahan, tapi di tepinya masih tercetak balur-balur hitam bayangan radiasi. Dari berbagai balur hitam tersebut bisa diketahui titik ketinggian di mana bom atom meledak.

Turun dari kapal, Hersey segera mencari informasi di mana ia bisa menginap. Tapi, tak ada satu pun orang Jepang yang bisa bicara dalam bahasa Inggris di pelabuhan itu. Hersey sudah menghapal beberapa kalimat dan kata-kata Jepang yang berguna baginya seperti tabemasu (makan), nomimasu (minum), hoteru (hotel), resutoran (restoran), dan kalimat-kalimat tanya yang sopan. Cuma tiap kali ia coba bicara dalam bahasa Jepang, orang Jepang yang diajaknya bicara selalu membetulkan cara pengucapannya. Dan sesudah pengucapannya benar, lawan bicaranya akan menjawab dengan panjang lebar dalam bahasa Jepang yang tidak ia mengerti.

Untungnya Hersey menguasai sebagian huruf kanji yang dipelajarinya di Cina sejak kecil dan diulang lagi ketika bertandang ke Cina sebelum Hiroshima. Huruf kanji di Cina sama artinya dengan huruf kanji di Jepang meski pelafalannya berbeda. Di samping itu Hersey juga mempelajari penggunaan abjad hiragana dan katakana yang biasa digunakan sehari-hari oleh masyarakat Jepang bersamaan dengan abjad kanji. Jadi ketika Hersey tak paham apa yang dimaksud lawan bicaranya, ia akan meminta lawan bicaranya itu menulis dalam abjad mereka. Pedomannya bagi Hersey, abjad hiragana digunakan untuk kata-kata umum, katakana digunakan untuk kata dan istilah asing, sedangkan kanji untuk nama dan istilah Jepang yang baku.

Hersey mencari seorang asing yang mengenal betul Hiroshima, siapa saja. Maka seorang perempuan belasan tahun, Midori Murata, yang ditemukannya sedang berbelanja ikan, membawanya ke seorang pastor Jesuit di sebuah kapel darurat. Pastor itu berumur 39 tahun, mukanya cekung dengan leher panjang dan jakun yang menonjol. Pertama bertemu seolah mereka sudah kenal nama, Hersey langsung disapa hangat oleh pastor itu tanpa menanyakan nama, melainkan dengan pertanyaan,“Where are you come from?”

“New York, America. What about you?” jawab Hersey.

“America? Me? German!” balas pastor itu tertegun. Agak kikuk ia berpaling ke Nona Murata.

“Amerika kara?” ulang Murata yang juga kaget.

Hersey juga tertegun, asal negara bisa menjadi awal yang tidak mengenakkan. Tapi ia mencoba mencairkan suasana.

“Watashi no namae wa John Hersey desu ne. Hajimemashite!” ujar Hersey sambil membungkukkan badan menghormat. Cukup berhasil, sang pastor dan nona Murata cepat pulih dari keterkejutan mereka.

“My name is Wilhelm Kleinsorge. Nice to meet you,” Pastor itu menjabat tangan Hersey erat-erat, “Have a seat, please!”

Hersey mengambil tempat duduk sederhana yang terbuat dari peti kayu murahan. Murata mengamati Hersey, menurutnya orang ini cukup tampan dan gagah, badannya tinggi. Ketika Murata pertama kali bertemu di Hiroshima Port, ia terkesan dengan lubang Hersey yang melancip ke depan, dan lubang hidung itu akan selalu terlihat oleh Murata tiap kali ia mendongak bicara dengan orang asing itu. Murata pula yang akhirnya diminta Pastor Kleinsorge untuk mencarikan penginapan bagi Hersey.

Di penginapan yang kini telah menjadi hotel kecil Dormy-in di distrik Ko-machi, Hersey mulai mengumpulkan informasi dengan teknik bola salju mulai dari kisah Pastor Kleinsorge. Pada hari kedua sore hari, pintu kamarnya diketuk dari luar. Hersey membuka pintu dan dilihatnya seorang anak lelaki membawakan pakaiannya yang telah dicuci dan diseterika. Anak kecil itu begitu kaget melihat Hersey, tanpa sempat mengucap kata, ia langsung berbalik dan lari dengan masih membekap pakaian Hersey. Tak berapa lama, seorang ibu muda datang kembali bersama anak itu dan pakaian Hersey yang tertekuk-tekuk. Ibu itu meminta maaf dengan sopan dan berjanji akan menyeterika ulang pakaian Hersey. Wartawan Amerika itu berjongkok di depan si anak dan tersenyum,

“Watashi no namae wa John Hersey. Hajimemashite. Anata no namae wa…”

“Toshio, Toshio Nakamura,” Ibunya yang menjawab.

Nakamura kecil melihat Hersey kemudian tersenyum kembali pada ibunya. Ia merasa orang asing ini menyukai ibunya. Terbukti Hersey mempersilakan mereka masuk dan mengajak bicara. Ibunya, Hatsuyo Nakamura tidak bisa berbahasa Inggris, lebih sering keduanya tersenyum-senyum saja. Mereka berkomunikasi lewat tulisan dan campuran bahasa Inggris-Jepang yang kacau. Sesekali Hersey membuka kamus untuk memahami tulisan Nakamura, lalu saling tersenyum dan mengangguk-angguk lagi.

Besoknya, Hersey yang datang ke rumah keluarga Nakamura. Ia naik sepeda. Kali ini bahasa Jepangnya lebih lancar. Toshio yang semula takut berubah jadi kagum. Setelah satu jam bicara dengan ibunya, Hersey memberikan uang entah berapa yen, tapi ditolak oleh Nakamura. Hersey bilang uang itu pengganti jam kerja yang hilang untuk menjahit atau mencuci baju. Nakamura tetap menolak. Menurutnya berbicara itu bukan kerja.

Toshio yang siang itu sudah pulang dari sekolah darurat, diajak Hersey keliling kota. Ibunya mengizinkan. Maka Toshio pun jadi pemandu jalan dengan membonceng sepeda. Hiroshima pada waktu itu tak seluas sekarang, bila dibandingkan kira-kira besarnya sama dengan kota Yogyakarta. Mereka berdua bersepeda mulai dari daerah utara Gokoku Shrine di area reruntuhan Hiroshima Castle hingga ke selatan sampai daerah Senda-machi tempat berdiri rumah sakit Palang Merah yang menjadi salah satu pusat perawatan korban bom atom.

Sengaja mereka tidak lewat jalan protokol Rijo-dori, melainkan lewat padang pasir di lingkaran inti seputar pusat ledak yang sekarang telah jadi ruang publik dengan berjibun aneka pohon dan bunga. Ketika bom atom meledak, semua penduduk di distrik itu tewas secara mengenaskan. Tak ada lagi yang mau tinggal di daerah itu. Selain berulang-ulang menanam pohon (sampai beberapa tahun tanah yang terkena radiasi sulit ditumbuhi pohon secara normal), pemerintah Jepang juga membangun museum seni, museum anak, kolam renang, youth center, dan stadion baseball. Khusus di stadion baseball, tiap Agustus, seminggu pertama, diselenggarakan World Conference Against A & H Bombs (Atomic & Hydrogen Bombs).

Di area Saiku-machi yang kemudian diubah namanya jadi Ote-machi 1 chome, sebelah barat-daya stadion baseball, berdiri tegar kerangka gedung Hiroshima Prefecture Industrial Hall. Kerangka gedung ini satu-satunya yang masih tegak di Hiroshima setelah bom atom meledak. Padahal jaraknya kurang 200 meter dari pusat ledak. Maklum, temboknya setebal setengah meter. Cuma semen luarnya saja yang terkelupas di beberapa sisi. Kubahnya yang mirip masjid Istiqlal di Jakarta, tinggal kerangka bajanya saja dan tampak seperti sangkar burung yang besar. Di prasasti yang dipasang di pinggir sungai Motoyasu persis di seberang kerangka, tercatat bahwa gedung ini selesai dibangun pada 5 April 1915 oleh arsitek asal Czech, Jan Letzel.

Hersey dan Toshio sempat masuk bersama ke kerangka gedung ini dan mengamati bekas radiasi asap di temboknya. Sejak 1967, orang sudah tak mungkin masuk tanpa izin dan kepentingan yang sangat khusus. Beberapa pasak besi yang tinggi ditata sedemikian rupa untuk menjaga agar kerangka ini tidak runtuh. Nama Hall pun diubah menjadi A-bomb Dome.

Setelah Hersey dan Toshio puas mengelilingi A-bomb Dome, mereka berdua menyeberang jembatan Aioi dan belok ke kiri ketika sampai tengah jembatan yang ujungnya tiga ini (jembatan ini berdiri di atas Sungai Ota yang terbelah dua jadi sungai Honkawa dan Motoyasu), masuk ke delta Nakajima-cho yang juga jadi padang pasir. Di delta itu dibangun sebuah Cenotaph untuk mengenang para korban. Ukurannya 1,5×2 meter dengan tinggi 1,8 meter berbentuk mirip tandu untuk mengusung jenazah. Begitu bersimpuh di depan Cenotaph yang lowong itu, siapa pun akan melihat A-bomb Dome di kejauhan persis di tengah lowongan Cenotaph. Tahun demi tahun, Nakajima-cho berubah menjadi Peace Memorial Park yang teduh. Ada Peace Memorial Museum di bagian selatan yang berbatasan dengan Heiwa Odori/Peace Boulevard Avenue. Di museum ini pemerintah Jepang bersama warga membangun diorama sejarah Hiroshima sebelum, tatkala, dan sesudah bom atom meledak.

Dari Nakajima-cho, Toshio mengajak Hersey menyeberangi Sungai Honkawa lewat jembatan Nishi Heiwa untuk mengunjungi kantor koran Chugoku Shimbun. Menurut Toshio, mulanya Hersey sangat bersemangat memasuki kantor koran utama di Hiroshima itu, tapi sesampai di sana ia disambut sinis dan dingin. Tak ada yang kenal The New Yorker maupun Life, sebagian kecil tahu Time tapi dengan sudut pandang buruk bahwa majalah itu sekadar alat propaganda Amerika. Hersey keluar dari kantor Chugoku Shimbun dengan muka kecut.

Sesudah itu baru mereka bergerak ke tenggara menuju Senda-machi. Beberapa kali Hersey berhenti untuk mengamati sesuatu, bertanya pada orang, mencatat, dan meminta lawan bicaranya menulis menurut bahasa mereka, membuat gambar-gambar yang Toshio sendiri tak mengerti apa maksudnya.

MENURUT dokumentasi The New Yorker, Hersey mewawancara 40 hibakusha (korban bom atom), dua ahli kedokteran, dan dua rohaniwan. Dari sekian banyak sumber, Hersey mengangkat enam pengalaman narasumber. Mereka adalah janda Hatsuyo Nakamura, staf personalia East Asia Tin Works Toshinki Sasaki, dokter Masakazu Fujii, Pastor Wilhelm Kleinsorge, ahli obat Terufumi Sasaki, dan pendeta Kiyoshi Tanimoto.

Dari catatan Hersey sendiri, para sumbernya tidak bisa dikatakan secara sosial-ekonomi merepresentasikan penduduk Hiroshima. Kepada Harold Ross, editor The New Yorker, yang memeriksa hasil reportasenya, Hersey menyatakan bahwa soal bahasa menjadi kendala utama untuk melakukan check and recheck informasi yang didapatkannya.

Toshio Nakamura menyatakan tak ada data yang salah dari laporan Hersey, kecuali kurangnya detail pada peristiwa yang dialami oleh adiknya Yaeko Nakamura. Dalam laporan Hersey, Yaeko tidak pingsan melainkan langsung ditolong ibunya setelah Myeko dan Toshio.

Bagaimana Hersey menulis hasil reportasenya?

Sekembalinya ke New York pada 12 Juni 1946, Hersey langsung konsentrasi menulis selama enam minggu. Pertama dia memperkuat outline yang telah dikonstruksikan di Jepang berdasarkan kesaksian enam narasumber, baru kemudian mulai menulis artikel tersebut. Seperti menatah patung, ia tidak menulis dari awal sampai akhir melainkan menggarap bagian per bagian, satu bagian ditulis lalu pindah ke bagian lain, di hari selanjutnya ia bisa saja kembali ke bagian awal untuk memperkuat fakta, mengurangi atau memperhalus tulisan, lalu pindah ke bagian lain lagi sesuai outline.

Enam minggu lewat, tulisan Hersey yang diberinya judul “Hiroshima” selesai. Jumlahnya lebih dari 30 ribu kata, terbagi dalam empat bagian dan tiap bagian dipecah dalam enam sosok narasumber. Di beberapa sekuen, antar sosok itu bertemu dan bersimpangan, tapi tak pernah ada sekuen yang menyebut mereka berkumpul jadi satu. Bagian pertama diberi judul A Noiseless Flash, kedua The Fire, ketiga Details are being Investigated, dan terakhir Panic Grass and Feverfew.

Hersey sengaja memecah tulisannya yang direncanakan masuk rubrik Reporter at Large dalam empat edisi The New Yorker. Ia sudah berpikir setelah The New Yorker menerbitkannya, maka empat tulisan itu akan dia sempurnakan lagi menjadi satu buku.

Tapi William Shawn yang membaca naskah pertama Hersey punya kesimpulan lain. Seluruh bagian itu harus dipublikasikan dalam sekali terbit. Ia begitu terpukau membacanya. John Lardner, wartawan Newsweek, pernah mewawancarai Shawn sehubungan dengan artikel Hiroshima itu dan menulis, Hersey had, in typical New Yorker fashion, refocused on the scene at the beginning of each installment. To Shawn, this made the story lose much of its impact and he went to Ross with a suggestion that was daring even for the New Yorker. “This,” he said, “can’t be serialized. It’s got to run all at once.”

Shawn sendiri pada awalnya kebingungan untuk memberi alasan mengapa naskah Hersey harus diterbitkan dalam satu edisi. Sebab, jika idenya itu direalisasikan, satu edisi The New Yorker Agustus 1946 akan melulu berisi artikel Hersey, alias menggusur artikel-artikel lain yang sudah disiapkan. Dan itu tidak lazim bagi pembaca The New Yorker yang, meski fanatik membaca artikel-artikel panjang, terbiasa menerima sajian lebih dari satu artikel untuk satu edisi. Shawn akhirnya menemukan alasan itu, seperti yang pernah tercantum dalam editorial edisi pertama The New Yorker Februari 1925, “The New Yorker starts with a declaration of serious purpose…” Harold Ross yang membantu Shawn menyunting tulisan Hersey setuju saja.

Selama 10 hari, Shawn dan Ross menyunting tulisan Hersey di ruang editor yang terkunci. Tak ada yang tahu apa yang terjadi di ruangan itu kecuali seorang pembantu yang tugasnya membersihkan ruangan. Bagi Hersey, suatu kehormatan besar bila tulisannya disunting oleh Harold Ross. Dalam sejarah The New Yorker, Ross dikenal sebagai editor paling teliti, halus, dan memberi nyawa bagi tulisan yang disuntingnya. Sampai pernah William Maxwell menulis kepada John Updike pada 1960, keduanya kontributor di majalah itu, “Sayang sekali jika kamu belum pernah mendapat catatan suntingan dari Ross.” Untuk bagian pertama tulisan Hersey saja, Ross memberi catatan dan koreksi sampai 47 buah. Setelah direvisi oleh Hersey, Ross masih memberi 27 catatan. Hingga revisi terakhir pun, Ross masih mencatat enam kalimat yang perlu diperbaiki Hersey yang akhirnya digubah sendiri oleh Ross.

Pada 31 Agustus 1946, The New Yorker yang hanya berisi tulisan Hersey beredar di pasaran. Tulisan lain hanya satu paragraf editorial yang mendahului artikel Hersey, berjudul “To Our Readers”:

The New Yorker this week devotes its entire editorial space to an article on the almost complete obliteration of a city by one atomic bomb, and what happened to the people of that city. It does so in the conviction that few of us have yet comprehended the all but incredible destructive power of this weapon, and that everyone might well take time to consider the terrible implications of its use.

Artikel Hersey mengalir dari halaman awal sampai akhir majalah, hanya disisipi satu ilustrasi abstrak dan tidak diinterupsi oleh newsbreak (gambar-gambar kecil) atau satu pun iklan. Agak unik dan mencengangkan memang, bahkan melanggar kebiasaan lay out The New Yorker yang tak pernah membiarkan halamannya hanya dipenuhi rumput tulisan tanpa gambar.

Toh begitu digelar di pasar pada hari pertama, majalah edisi tersebut langsung ludes terjual. Seorang pelanggan, sebagaimana dikutip Ben Yagoda dalam bukunya About Town, menulis ke The New Yorker, “no one talking about anything else but the Hersey article for the last two days, either in trains, restaurants, or at home.”

Majalah Time dan Herald Tribune sampai menulis editorial tentang artikel Hersey tersebut. Albert Einstein, sang penemu rumus atom, memutuskan untuk membeli 1.000 eksemplar edisi “Hiroshima” itu, tapi ia tak berhasil mendapatkan satu pun di lapak-lapak penjual majalah.

Pada malam 9 hingga 12 September 1946, radio ABC di Amerika dan BBC di Inggris menyiarkan pembacaan artikel Hersey selama setengah jam kali empat hari (total dua jam) tanpa diselingi iklan. Tak berapa lama, “Hiroshima” Hersey pun dicetak ulang dalam bentuk buku 90 halaman. Buku yang dijual dengan harga US$ 5,99 per eksemplar itu dengan segera menjadi best seller. Saturday Review of Literature, sebuah buletin yang fokus pada peningkatan mutu bacaan di Amerika Serikat, sampai menulis “Everyone able to read should read it.”

Sebetulnya di mana letak kekuatan reportase Hersey tersebut hingga menjadi masterpiece jurnalisme? The New York Times yang dikutip di sampul belakang buku menjawab, “Nothing can be said about this book that can equal what the book has to say. It speak for itself, and in an unforgettable way, for humanity.”

Tampaknya pengaruh William Shawn dalam proses mulai perencanaan reportase hingga penyuntingan artikel cukup besar menentukan hasil akhir karya Hersey. Jika suntingan Ross berkonsentrasi pada detail narasi artikel, maka suntingan Shawn menyusupkan napas humanisme dalam tulisan. Artikel “Hiroshima” itu sama sekali berbeda dengan reportase peristiwa-peristiwa perang lainnya. Tak ada jumlah korban disebut, tak ada soal teknis persenjataan maupun pesawat pembawa bom, pun tak ada keterangan tentang bom atom itu sendiri, meskipun Hersey sudah mengumpulkan semua data itu sebelum datang ke Hiroshima. Artikel ini hanya bertutur soal apa yang dialami oleh enam orang penduduk Hiroshima sebelum, saat, dan sesudah bom atom jatuh. Itu saja.

Namun dengan gaya jurnalisme sastrawi, artikel tersebut menjadi sangat menyentuh, sekaligus menjadi politis tanpa usaha memolitisasi sedikit pun. “Hiroshima” Hersey disebut-sebut dalam materi kuliah Nieman Fellowship di Universitas Harvard, Cambridge, telah menghentikan perdebatan antara politisi, agamawan, dan ilmuwan bom atom. Kesimpulannya uji coba bom atom selayaknya dihentikan. Sayangnya, dalam perang dingin yang kemudian bergolak antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, kesimpulan itu seolah menjadi suara dari padang gurun. Hanya sayup terdengar.

AWAL tahun 1947, Hatsuyo Nakamura menerima kiriman artikel “Hiroshima” dari John Hersey. Demikian juga dengan narasumber lain, baik yang menjadi sosok utama maupun sosok yang melintas dalam peristiwa yang dialami enam sosok utama itu. Nakamura mengirim kartu pos ucapan terima kasih kepada Hersey, tapi juga permintaan maaf karena ia tak bisa membaca artikel berbahasa Inggris tersebut.

Hersey merasa agak bersalah dan trenyuh. Ia berusaha mencari sponsor agar bukunya diterjemahkan dan ditulis dalam alfabet Jepang (hiragana, katakana, dan kanji), sehingga siapa pun orang Jepang bisa membaca tulisan ini.

Hersey tak menunggu lama. Random House, Inc. dan Alfred A. Knopf, Inc. mengalokasikan dana untuk penerjemahan dan penulisan dalam bahasa Jepang. Meski hak cipta ada di tangan Hersey, ia membebaskan siapa pun untuk mencetak edisi bahasa Jepang yang berjudul Hiroshima-shi. Setiap tahun menjelang peringatan jatuhnya bom atom pada 6 Agustus, buku ini dicetak ulang dan masih tetap saja banyak dibeli orang. Pidato upacara peringatan tiap tahun di lapangan Peace Memorial Park juga pasti selalu mengutip satu-dua kalimat tulisan Hersey.

Nakamura membeli satu buku Hiroshima-shi. Ia mengirim surat kepada Hersey bahwa anaknya, Toshio sangat terharu dan bangga dengan buku tersebut. Maklum, Hersey menutup buku itu dengan mengutip tulisan pekerjaan rumah yang dibuat Toshio untuk gurunya. Isinya tentang pengalaman Toshio sehari sebelum dan sesudah bom atom meledak.

Begini Toshio menulis, “Sehari menjelang bom, saya pergi berenang. Pada pagi hari bom, saya sedang makan kacang. Saya melihat cahaya berkilat. Saya terlempar ke dipan adik perempuan saya. Ketika kami selamat, yang saya lihat hanya reruntuhan sejauh mata memandang. Kami pergi ke lapangan. Angin berpusar kencang sempat sekali datang. Pada malam harinya sebuah tangki gas terbakar dan saya lihat bayangan apinya menjilat tercermin di permukaan sungai. Kami tidur di lapangan semalaman. Esoknya, saya pergi ke jembatan Taiko dan bertemu dengan dua teman perempuan saya, Kikuki dan Murakami. Mereka sedang kebingungan mencari-cari ibu mereka. Tapi setahu saya, ibunya Kikuki luka berat dan ibu Murakami, telah meninggal dunia.”

Pada Agustus 1985, keluarga Nakamura dicengangkan dengan kedatangan Hersey ke rumah mereka di Nobori-cho. Toshio yang membukakan pintu. Tapi berbeda dengan 39 tahun lalu, Toshio tidak lari. Ia hanya bertanya-tanya dalam hati, siapa gerangan orang kulit putih, dengan uban kelabu dan kacamata berbingkai hitam tebal di hadapannya itu.

“Watashi no namae wa John Hersey desu. Anata no namae wa…,” sapa John Hersey

Hatsuyo Nakamura berjingkat sigap, “Toshio, Toshio Nakamura. Aaa Jono Hereshi saaan…”

Perempuan lewat paroh baya itu hendak membungkuk hormat, namun John Hersey segera memeluknya. Toshio melihat muka ibunya bersemu merah.

Pada 6 Agustus 2002, muka Hatsuyo Nakamura tampak sedih mengenang pertemuan tersebut. Ia menunjukkan dua telegram yang lama disimpannya, satu tentang kematian suaminya Isawa Nakamura, dan satunya lagi berbunyi, “John Hersey died at home in Key West, Florida on March 24, 1993. He told me to inform you before. Regards, Barbara Hersey.”*

by: