SEPUCUK surat pembaca datang saat Tempo tengah gencar meliput skandal Badan Urusan Logistik (Bulog) pada pertengahan 2000. Namanya hanya “Debbie,” tanpa nama lengkap dan alamat, kecuali keterangan “WNI keturunan.” Debbie memrotes Tempo edisi 14 Mei 2000 karena menggambarkan Suwondo, seorang pembantu Presiden Abdurrahman Wahid, yang dicurigai terlibat skandal itu, sebagai, “seorang Cina Muslim … dialah Alif Agung Suwondo alias An Peng Sui.”

Debbie menulis, “Kalimat itu menunjukkan bahwa Tempo memperlihatkan dirinya sebagai media yang tidak dewasa. Apakah Suwondo WNA (Warga Negara Asing)? Mengapa ditulis Cina? Bukankah dia tinggal di Indonesia? Sampai kapan perpecahan di Indonesia berhenti kalau media massa mempergunakan ras sebagai bumbu pelengkap cerita?”

Debbie tak berhenti hanya pada Tempo. Kritiknya juga diarahkan pada kebanyakan media Indonesia yang kerap menuliskan etnis Cina sebagai WNI keturunan Cina atau orang Tionghoa. Namun apabila menyangkut suku bangsa lain, hanya diberi kata-kata “di darahnya mengalir darah Belanda, ayah/ibu dari Ceko, atau Indo.”

“Ironisnya, apabila anak tiri bangsa ini menyumbangkan jasanya untuk Indonesia, misalnya di bidang bulu tangkis, tidak ada kata-kata, ‘Susi Susanti, WNI keturunan Cina, telah menyumbangkan emas Olimpiade.’ Kalimat yang muncul: Susi Susanti, pahlawan bangsa, putra bangsa. Sebaliknya, jika ada segelintir anak tiri yang nakal, akan ditulis, ‘Bob Hasan, pengusaha Cina licik.’”

Protes Debbie menarik sekali. Orang Tionghoa yang berbuat jahat diungkap etniknya atau nama Tionghoanya. Tapi orang Tionghoa yang berbuat baik tak diungkap etniknya. Soewondo, juga diduga Tempo, sebagai orang yang terlibat skandal Rp 35 miliar dan digambarkan sebagai, “Cina muslim yang sangat leluasa keluar masuk Istana Negara.”

Ternyata protes tak berhenti di sana. Salah seorang redaktur Tempo, Karaniya Dharmasaputra, juga menerima protes tentang atribusi Soewondo ini melalui telepon. Dharmasaputra adalah redaktur yang mencantumkan atribusi kecinaan Soewondo. Kepada saya, Dharmasaputra mengatakan bahwa, seseorang bertanya lewat telepon, “Kok Anda lakukan itu?”

Dharmasaputra menjawab bahwa atribusi itu sebuah kebutuhan. Dia mulanya membaca laporan tim Tempo soal Soewondo dan menilai perlu membubuhkan “keturunan Cina” sebagai kelengkapan penggambaran Soewondo. Maka muncullah frase “Cina muslim” dan “An Peng Sui.”

“Everybody tidak tahu siapa Soewondo itu. Akhirnya saya menuliskan kata keturunan Cina sebagai deskripsi tambahan. Saya sendiri keturunan Cina dan tidak terganggu dengan hal itu,” tutur Dharmasaputra.

Dharmasaputra memang orang Indonesia keturunan Tionghoa. Logatnya Jawa dan alumnus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Orangnya biasa-biasa saja, ramah, mudah bergaul, dan sebagai wartawan prestasinya baik. Dia pernah mendapat penghargaan dari sebuah organisasi wartawan karena karyanya. Tapi Dharmasaputra mungkin berpikir terlalu sederhana dengan atribusi itu.

Saat edisi Soewondo beredar, protes langsung masuk, baik dari Debbie maupun lewat telepon. Ini belum lagi dari orang Tionghoa yang tak suka tapi hanya diam. Dharmasaputra mengatakan tak tahu bagian mana yang salah menurut protes Debbie. Dia merasa tak beritikad buruk terhadap Soewondo atau warga Indonesia keturunan Tionghoa, “Apa salahnya? Ini kan bukan berarti problem.”

Menurunya, sangat perlu menggambarkan identitas Soewondo. Tak ada yang perlu ditutupi sepanjang atribusi itu relevan dan tak mengandung niat menjelekkan kaum tertentu.

“Jadi menurut saya tak usahlah terjebak dengan hal-hal demikian. Saya malah berharap kita lebih rileks menghadapi persoalan-persoalan etnis,” katanya.

Berbeda jika Tempo menulis kalimat dengan yang tujuan negatif, “Misalnya, semua pengusaha Cina itu jahat. Nah, itu baru rasis.”

Tempo juga melakukan sikap terpuji. Protes Debbie dimuatnya sebagai surat pembaca, walau Tempo tak memberi komentar apapun.

PERSOALANNYA, sejauh mana pencantuman identitas Soewondo relevan dalam laporan Dharmasaputra? Dalam pengalaman saya, dan juga banyak wartawan lain, seringkali dampak sebuah berita muncul di luar dugaan, menyalahi logika sederhana milik kebanyakan wartawan, hanya gara-gara keterangan tambahan.

Membubuhkan profiling (penyosokan) yang relevan, membutuhkan pemikiran dan standar baku dalam penulisannya. Atribusi yang relevan membantu publik memahami persoalan dengan lengkap. Namun atribusi yang tak relevan justru menciptakan kesan bahwa kesalahan seseorang terkait dengan identitasnya, entah itu suku, agama, ras atau bahasa.

Saya berasal dari Kendari dan bekerja sebagai wartawan di Kendari. Pada Agustus 2001 dua harian milik Kelompok Jawa Pos, Kendari Ekspres dan Kendari Pos, menurunkan berita tentang penganiayaan terhadap tiga gadis muda yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di bengkel Citra Nusa Motor. Nama ketiga gadis itu Diyoba, Siti dan Nahima. Pelakunya seorang ibu rumah tangga, majikan mereka, yang diduga seorang Indonesia keturunan Cina. Dugaan muncul karena mereka pemilik bengkel.

Kendari Ekspres dan Kendari Pos, memberitakannya tanpa mencantumkan frasa keturunan Cina dalam berita-berita tersebut. Kedua harian ini hanya menyebut “warga keturunan” –yang di Kendari cukup dimengerti sebagai orang Tionghoa.

Laporan itu dramatis. Tiga gadis muda asal Kabupaten Raha itu melarikan diri dari tempat kerjanya selama 10 bulan dengan luka-luka sekujur tubuh dan tak menerima gaji selama bekerja di sana. Asmah Asmon, wartawati Kendari Pos menerima laporan menjelang deadline. Begitu pula Indah Astriyani dari Kendari Ekspres. Mereka wartawan yang biasa-biasa saja, tanpa punya sentimen anti-Tionghoa, dan mencantumkan “warga keturunan” sebagai dugaan pelaku penganiayaan.

Saat berita itu terbit, isu yang cepat beredar adalah “konflik Cina- pribumi.” Kemarahan warga Raha tak terelakkan. Isu lain bahkan beredar, bahwa belasan kapal laut dari Kabupaten Raha akan tiba pagi harinya, untuk melakukan demonstrasi atas penganiayaan tersebut. Isu ini menakutkan. Orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa yang berada di Kendari, merasa perlu cepat-cepat mengeluarkan keterangan pers untuk minta maaf pada warga Kendari.

Tapi warga Raha terlanjur marah. Situasi memanas. Semua toko milik pengusaha keturunan Tionghoa di kawasan perdagangan Mandonga tutup. Aparat berjaga-jaga. Yuliana, si majikan yang dituduh menganiaya, belum diproses secara hukum, namun masyarakat sudah memvonis bahwa perilaku itu dilakukan oleh seorang orang Cina.

Demonstrasi terjadi. Gabungan dari warga Raha dan aktivis Koalisi Peduli Perempuan memadati jalan. Isunya adalah anti-Cina. Teriakan-teriakan anti Cina mulai terdengar di mana-mana. “Bakar saja … gantung orang Cina itu … hancurkan mereka.” Beberapa orang mulai melempar. Mengenai toko dan kaca-kaca rumah penduduk sekitar kawasan Mandonga.

Belakangan, Koalisi Peduli Perempuan mengundurkan diri dari demonstrasi itu. “Kami mulai khawatir kok demonya jadi anti Cina?” keluh Wa Ode Deli Yusniati.

“Padahal persoalannya kan hanya penganiayaan majikan pada pekerjanya,” katanya.

Ironisnya, suami Yuliana, Syarif menelpon Kendari Ekspres keesokan harinya. Nadanya memelas.”Saya ini bukan orang Cina asli. Keluarga saya malah banyak dari Raha begitu pula istri saya. Lagian kami sudah bertahun-tahun tinggal di Kendari.”

Ia menambahkan, “Mohon….kalau istri saya bersalah, saya rela ia diproses secara hukum. Tapi tolong jangan tulis keturunan Cina di situ. Lagian, bukan salah saya kalau lahir dari keluarga keturunan Cina.”

Beberapa hari setelah kejadian tersebut diadakan pertemuan antara tokoh masyarakat Raha dan tokoh Tionghoa yang bergabung dalam organisasi bernama Bakom. Semua warga Tionghoa dianggap bersalah dalam kasus tersebut. Tokoh masyarakat Raha mendesak mereka minta maaf. Hasil kesepakatan itu dimuat Kendari Pos dalam berita berjudul “Bakom Akan Minta Maaf.”

Inti pertemuan itu, semua warga keturunan Tionghoa akan menyatakan maaf atas kejadian bengkel Citra Nusa Motor melalui media massa selama dua minggu berturut-turut. Warga Tionghoa Kendari juga berjanji tak akan melakukan perbuatan serupa pada siapapun juga. Bayangkan perbuatan Yuliana seorang dipikul ribuan orang Tionghoa Kendari.

Persoalannya tidak selesai hingga minta maaf. Warga Kendari keturunan Tionghoa hingga hari ini masih memikul gelar “tak tahu diri, tak tahu berterimakasih.” Semua konflik kecil yang berkaitan dengan warga keturunan Tionghoa di Kendari selalu berakhir dengan kegeraman pada kelompok Tionghoa tersebut.

Soewondo atau Yuliana yang diduga salah tapi seluruh orang Tionghoa terkena dampaknya. Penyosokan yang dilakukan media Kendari, “warga keturunan” tanpa prasangka rasial itu, tanpa sadar ikut mengobarkan sentimen etnis kelompok lain yang mengarah ke tindakan sosial berbuntut diskriminasi. Kasus Kendari hanya satu dari dari sekian banyak kejadian rasialisme yang menjadi aksi teror massa yang pernah terjadi di Indonesia. Ganas dan mencekam.

Ketika Indonesia dilanda awal dari krisis moneter 1997, banyak warga keturunan Tionghoa, memperoleh cap dari media, sebagai kelompok yang menggoyahkan ekonomi Indonesia. Mereka dituduh menimbun bahan makanan, melarikan uang ke luar negeri, hingga menggoyahkan ekonomi Indonesia. Harga makanan naik. Kerusuhan ras meledak di mana-mana. Wartawan menulis berita-berita penggeledahan terhadap sejumlah pabrik atau toko milik orang Tionghoa dan disebarkan media massa. Ini menciptakan kesan bahwa apa yang terjadi selama ini merupakan pembenaran atas prasangka terhadap keturunan Tionghoa.

Wartawan tak bekerja cukup keras untuk menerangkan makna penurunan nilai bath Thailand terhadap dollar Amerika pada Juli 1997. Lalu apa artinya pengambangan kurs rupiah terhadap dollar yang dilakukan oleh Bank Indonesia pada Agustus 1997 –sebagai reaksi terhadap penurunan nilai bath. Wartawan Indonesia banyak yang kurang mengerti kompleksitas dunia keuangan global. Bagaimana modal pindah dan investasi di pasar uang terpuruk.

Memang lebih mudah untuk menulis soal penggeledahan gudang dan toko milik warga Tionghoa. Apalagi sesudah pemerintah membentuk tim gabungan, yang terdiri pejabat Departemen Perdagangan dan Perindustrian serta polisi dan jaksa, untuk menyelidiki gudang-gudang milik pengusaha keturunan Tionghoa. Wartawan diikutsertakan dalam penyelidikan itu. Kamera televisi dihidupkan. Operasi itu terbukti tak efektif karena krisis memang bukan disebabkan karena penimbunan bahan makanan. Operasi itu bahkan tidak adil karena lebih dominan ditujukan pada pengusaha Tionghoa. Dampaknya, semua kita tahu, kerusuhan besar anti warga Tionghoa, pada pertengahan 1998.

DARI sekian banyak kelompok pendatang yang bermukim turun-temurun di Indonesia, warga Tionghoa adalah kelompok yang paling sering memperoleh penyosokan negatif dibanding warga keturunan India atau Arab atau Eropa.

Saya melakukan riset kecil-kecilan terhadap majalah Tempo untuk mendapatkan sedikit gambaran bagaimana pencitraan negatif ini dilakukan media. Saya mengambil Tempo karena majalah ini termasuk salah satu suratkabar yang secara umum dianggap salah satu yang terbaik di Indonesia.

Rubrik ekonomi bisnis dan hukum Tempo sering melakukan penyosokan negatif terhadap identitas “Cina” atau “Tionghoa.” Misalnya, dalam berita soal Bank Rakyat Indonesia dalam edisi 9-15 Februari 1999 berjudul “Memerah Uang Rakyat, Memberikannya ke Konglomerat.”

Di sana ditulis: “Bank Rakyat Indonesia terancam bangkrut karena tercekik kredit macet raksasa. Kredit itu dipinjam oleh para konglomerat –sebagian besar Tionghoa– dan kerabat mantan Presiden Soeharto.”

Tempo menyimpulkan pelaku terbesar yang menyebabkan Bank Rakyat Indonesia nyaris bangkrut adalah konglomerat Tionghoa. Kesimpulan itu diperoleh dari hasil penyelidikan Indonesian Corruption Watch, yang menyebutkan pengucuran kredit Bank Rakyat Indonesia per Oktober 1998 ke konglomerat mencapai Rp 15 triliun atau sekitar 50 persen dari total kredit.

Tempo mengatakan ada keterlibatan pengusaha Tionghoa, yakni kucuran dana yang diperoleh anak perusahaan milik The Ning King yakni Griya Tangerang Estetika, melibatkan uang Rp 340 miliar dan kelompok milik Joko dan Eka Chandra, dengan nilai kredit US$ 50 juta untuk mengembangkan proyek Taman Anggrek II.

Pada alinea ketiga Tempo menulis, “Hebat. Griya Tangerang Estetika mewakili praktek bisnis realestate yang agak umum di Indonesia semasa Orde Baru. Dengan modal sekecil mungkin tanah dibebaskan (jika perlu orang berseragam untuk menakut-nakuti rakyat). Jika tanah sudah di tangan, mintalah kredit sebanyak-banyaknya dari bank. Tak sulit membujuk para bangkir pemerintah, terutama jika anda bisa membuat ‘hubungan khusus’ dengan mereka.”

Meskipun memegang bukti keuangan, katakanlah tiga pengusaha Tionghoa, namun penyosokan dalam kalimat “konglomerat–sebagian besar Tionghoa” yang digunakan Tempo tidak relevan. Karena tanpa menyebutkan keturunan Tionghoa, berita itu tak mengalami perubahan makna apapun. Kejahatan tak memandang etnik.

Sebaliknya saat menggunakan atribusi keturunan Tionghoa dan diikuti kalimat-kalimat tajam “tak sulit membujuk para bangkir pemerintah, terutama jika Anda bisa membuat ‘hubungan khusus’ dengan mereka,” Tempo menghubungkan asumsi bahwa kredit dari Bank Rakyat Indonesia terjadi karena pengusaha Tionghoa memiliki hubungan khusus dengan pejabat sesuai streotipe mereka: nepotisme dan kolusi.

Perhatikan juga berita berjudul “Bye, Bye, Bank Cina Asli. Bye?” edisi 25 Februari-03 Maret 2002. Di sana tertulis: “Sampai dekade 1990, orang sering memelesetkan BCA sebagai Bank Cina Asli. Pemiliknya Liem Sioe Liong, orang Cina, asli kelahiran Fujian. Pegawainya kebanyakan Cina. Meskipun yang menabung kita semua, yang kebagian utang sebagian warga keturunan Cina. Di jalanan, di kantor, di warung kopi, orang sering menggerundel: BCA cuma membesarkan dan memperkaya orang Cina. Pendeknya, cap BCA adalah Cina. Kalau ada kerusuhan anti-Cina, BCA selalu jadi sasaran paling dulu.”

Ada asosiasi dari Tempo bahwa BCA adalah bank yang menghidupi orang-orang Cina. Tempo menekankan asosiasi itu telah jadi sebuah istilah umum, ”Bank Cina Asli” yang mengakar hingga ke jalan, warung kopi dan bahkan kantor-kantor. Pertanyaannya, siapa “orang” yang dimaksudkan Tempo sering memelesetkan BCA menjadi Bank Cina Asli? Jangan-jangan ini berasal dari orang Tempo sendiri? Sama sekali tak relevan mengatakan BCA “Bank Cina Asli.”

Mungkin lebih lucu bila BCA disebut “Bank Capek Antri.” Plesetan ini lebih umum didengar kalangan karyawan dan nasabah BCA –setidaknya di beberapa cabang BCA di Utan Kayu, Jakarta—karena memang antrian BCA Utan Kayu panjang sekali.

Istilah “Bank Cina Asli” itu bukan sebuah istilah yang bisa didengar di mana-mana hingga Tempo membaptisnya jadi plesetan umum. Secara sinis Tempo menggambarkan betapa bank tersebut selalu menjadi sasaran empuk dalam kerusuhan-kerusuhan anti-Cina yang pernah terjadi di Indonesia. Ini kesimpulan yang masih bisa didiskusikan. Saat terjadi kerusuhan anti-Cina di Indonesia pada Mei 1998, bukan hanya BCA yang jadi sasaran tapi juga bank-bank lain dan bahkan fasilitas umum lainnya.

Pada Desember 1999, Tempo menurunkan wawancara dengan James T. Riady dari kelompok Lippo. Bisnis Lippo meliputi perbankan, keuangan, properti, industri, hingga bisnis eceran. Riady keturunan Tionghoa.

“Biasanya pengusaha keturunan Tionghoa selalu dikaitkan dengan pemerintahan Orde Baru dan bekingnya. Nah, bagaimana pengalaman dan pendapat Anda?” tanya Tempo.

Riady menjawab, “Anda bertanya seolah-olah ekonomi Indonesia dikuasai oleh etnis Cina. Itu tidak benar. Faktanya, total ekonomi swasta tidak lebih dari 15 persen ekonomi nasional. Mungkin saja etnis Cina menguasai 70 persen dari total ekonomi yang dikuasai swasta.”

Pertanyaan lainnya, “Pengusaha keturunan Tionghoa identik dengan sogok-menyogok dalam menjalankan usahanya. Menurut Anda, apakah hal ini merupakan hal biasa di zaman Soeharto?”

Di masa Presiden Soeharto, banyak pengusaha berusaha dekat dengan kekuasaan dan melakukan sogok-menyogok untuk memperlancar bisnis mereka. Ini tak hanya pengusaha etnis Tionghoa tapi juga non-Tionghoa maupun pengusaha asing. Namun kalimat Tempo tersebut mengidentikkan sogok-menyogok hanya perilaku pengusaha Tionghoa. Wartawan Tempo secara tak sadar mengikuti asumsi itu karena mereka berpikir dalam kerangka prasangka rasial.

Ini sama dengan yang dilakukan Adi Prasetya dari Tempo saat mewawancarai legislator Alvin Lie, “Bukankah sudah zaman pengusaha keturunan Tionghoa seperti Anda jadi objek pemerasan?”

Riset saya lewat database Tempo menunjukkan frasa keturunan Cina, muncul 294 kali sejak majalah Tempo terbit lagi Oktober 1998 hingga bulan lalu serta muncul 35 kali di Koran Tempo terhitung sejak 1999. Tidak semuanya berbentuk penyosokan negatif tapi mayoritas dilakukan dengan tidak relevan.

Angka Koran Tempo memang tak setinggi majalah Tempo mungkin karena usianya lebih muda atau mungkin juga sebab lain. Tapi harian ini juga tidak bebas dari penyosokan negatif. Koran Tempo 29 Januari 2002 ada berita berjudul, “Anggota MPR RI Kalbar Dituduh Mengambil Jalan Umum.”

Isinya Walikota Pontianak Buchary Arahman menilai Budiono Tan “arogan.” Tan seorang anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Utusan Daerah, yang kebetulan dari etnis Tionghoa, dan mewakili Kalimantan Barat. Buchary beralasan, tiga surat walikota yang minta Budiono Tan membongkar pagar-pagar yang menutup tanahnya, yang selama ini digunakan sebagai jalan umum, tak dihiraukan.

Penyosokan yang dilakukan Koran Tempo adalah menyebut etnis Tionghoa lalu diikuti kata arogan. Mungkin saja, Tan arogan, mentang-mentang punya kuasa, tapi tidak relevan dan bisa menimbulkan citra negatif terhadap warga Tionghoa di Kalimantan Barat, bahkan di Indonesia, bila penyosokan itu terus-menerus dilakukan Koran Tempo dan majalah Tempo, dan tak ada kebijakan redaksional untuk mengaturnya. Patut pula dipertanyakan apakah wartawan Koran Tempo sekadar mengutip ucapan itu dari walikota Pontianak atau wartawan Koran Tempo yang membubuhkannya dengan alasan menggambarkan Budiono Tan?

Saya menemui Bambang Harymurti, direktur produksi PT Tempo Inti Media Tbk., yang memegang kendali redaksional Tempo dan Koran Tempo, sejak tahun 1999. Harymurti adalah pemimpin redaksi kedua media itu.

Harymurti mengatakan Tempo tak punya itikad buruk dengan contoh-contoh yang saya sebut. “Ini mungkin berita tentang politisi kikuk yang melawan walikotanya. Tapi, sepertinya juga ada rasisme dari penulis yang lolos dari pengawasan redakturnya,” kata Harymurti, agak ragu.

Harymurti berpendapat masalah ketegangan rasial seharusnya dibicarakan terbuka, bukan ditutup-tutupi. Kebijakan Tempo, kalau memang ada ketegangan rasial, ya harus dibicarakan terbuka. Sama dengan Karaniya Dharmasaputra, Harymurti berpendapat sejauh relevan, bisa saja orang digambarkan identitasnya: etnik, agama, ideologi dan sejenisnya.

Bambang Harymurti juga menjelaskan pemakaian istilah “Cina” dan “Tionghoa” di medianya. Pemakaian dua kata ini memang kontroversial. Ada yang setuju dipakai kedua-duanya, ada yang hanya memakai “Cina” tapi ada juga yang menuntut pemakaian “Tionghoa.”

Menurut Harymurti, batasan layak tidaknya menggunakan Cina atau Tionghoa, sangat tergantung pada kemampuan memahami, “Apakah istilah itu tidak memancing rasa permusuhan antar etnis?”

Lalu bagaimana Tempo melihat soal penyosokan negatif? Terlebih lagi, sejauh ini Tempo tak memiliki standar baku redaksional soal pemakaian atribusi. Menurut Harymurti, tak ada kesepakatan terhadap pemilihan kata. Seorang redaktur atau reporter berhak memilih istilah apa yang akan dipakainya, misalnya Cina atau Tionghoa.

Setiyardi, salah seorang wartawan Tempo, mengatakan pada saya, “Untuk menjelaskan konteks berita, kadang-kadang predikat itu menjadi penting. Misal, bila Tempo menulis soal keluhan Hendrawan untuk mendapat status warga negara Indonesia. Contoh lain, saat Tempo menulis Hendra Rahardja, bekas juragan Bank BHS yang membangun pabrik di tanah leluhurnya (Tiongkok), padahal utangnya di bank Indonesia tak pernah dibayar.”

Menurut Setiyardi, ia pribadi tak punya pandangan apa-apa soal etnis Tionghoa. “Selain itu saya kok tidak merasa Tempo membuat streotipe licik, menguasai semua bidang ekonomi dan korban pemerasan. Beberapa kali kami memang mendiskusikan soal Tionghoa dalam rapat. Bahkan cover story perdana majalah Tempo pascabredel adalah cerita soal pemerkosaan yang konon menimpa perempuan Tionghoa.”

“Setelah itu ada beberapa cover story soal etnis Tionghoa yang pernah dibuat, seperti pilihan politik mereka. Pernah juga dalam rubrik selingan yang cukup panjang, Tempo menulis soal kebangkitan budaya Tionghoa. Tempo memutuskan menggunakan Tionghoa. Kami pernah mendapat protes dari pembaca yang kebetulan beretnis Tionghoa, karena ada kata ‘Cina’ di Tempo. Memang etnis tersebut tak nyaman bila disebut Cina.”

Menurut Leo Suryadinata dari National University of Singapore, dalam sebuah kolom Tempo, istilah Cina muncul dalam bahasa Melayu sejak abad 20 dan rujukannya untuk negeri Tiongkok dan warganya. Tak ada makna penghinaan saat itu. Namun bangkitnya nasionalisme Cina daratan membuat istilah itu dianggap kurang baik oleh kalangan Tionghoa sendiri.

Istilah Tionghoa yang berkonotasi sopan adalah rujukan untuk orangnya. Berbeda dengan istilah Tiongkok yang lebih menunjuk pada negara. Suratkabar Indonesia menerima istilah Tionghoa hingga muncul rezim Orde Baru. Pada seminar Angkatan Darat Agustus 1966 diputuskan mengganti istilah Tionghoa atau Tiongkok menjadi Cina sebagai perwujudan bentuk amarah rakyat Indonesia terhadap Rakyat Republik Cina yang mendukung Partai Komunis Indonesia. Presiden Soeharto memutuskan sebutan Cina sebagai istilah resmi.

Siauw Giok Tjhan, salah satu tokoh Tionghoa pada 1950-an dan 1960-an, yang gigih menentang diskriminasi terhadap orang Tionghoa, menulis dalam buku Lima Zaman, bahwa rezim Orde Baru ikut memperkuat kebijakan yang menimbulkan rasialisme di Indonesia.

Pemerintah Orde Baru membuat kebijakan yang diskriminatif bagi orang Tionghoa. Orde Baru melarang penggunaan bahasa dan aksara Mandarin sehingga menimbulkan kesan bahwa apa yang berasal dari Tionghoa itu buruk dan perlu diwaspadai. Siauw berpendapat politik adalah perangkat besarnya. Tapi propaganda bisa berlangsung dalam bentuk yang paling halus tanpa sadar seperti melalui berita-berita media.

LEMAHNYA kebijakan redaksional Tempo memungkinkan penyosokan negatif senantiasa terjadi. Pada Juni lalu satu berita selingan muncul di majalah Tempo. Berita itu bercerita tentang polisi syariah Malaysia yang berhak menangkap “lelaki sial” di tempat-tempat hiburan Kota Bharu, Kelantan.

Pada alinea 10 tertulis: “’Rasa aman’–yang belum tentu nyaman bagi sebagian orang juga dipelihara di Terengganu. Hiburan malam yang dekat dengan urusan syahwat pun serba disamarkan. Tengoklah kedai Gunting Gadis gaya di lantai dua Plaza Perdana, Kuala Terengganu. Plang nama di luar hanyalah akal-akalan untuk mengelabui polisi syariah. Para wanita penata rambut di sini –umumnya keturunan Cina– merangkap sebagai pekerja seks. Tarifnya lumayan, minimal 100 ringgit.”

Relevankah penggunaan kalimat “umumnya keturunan Cina” itu?

Harymurti menjelaskan atribusi itu sangat relevan. “Ini supaya diketahui saja bahwa yang melakukannya adalah orang-orang non-muslim.”

Bukankah di Malaysia sebagian keturunan Tionghoa, walau bukan mayoritas, juga menganut agama Islam? Istilah itu pada akhirnya menimbulkan citra buruk pada warga Tionghoa di Malaysia. Kesan yang timbul adalah pelaku pelanggaran seksual selama ini hanya dilakukan oleh perempuan-perempuan keturunan Tionghoa.

Menurut Sumit Mandal, seorang dosen Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, yang penelitiannya sering fokus pada politik etnik, di Indonesia dan Malaysia, istilah “keturunan Cina” itu relevan bila Tempo memberikan penjelasan tambahan tentang politik etnik dan hukum yang berlaku bagi muslim Kelantan bila melakukan pelanggaran seksual.

Mandal mengatakan pada saya sebuah fakta bahwa Malaysia adalah negara dengan penganut Islam mayoritas. Namun syariat Islam ketat hanya berlaku di wilayah Terengganu dan Kelantan, yang pemerintahannya dijalankan oleh Partai Agama Islam se-Malaysia (PAS).

Tengok juga Tempo edisi April 2001. Tempo menurunkan tiga wartawannya, Bambang Soedjiartono, Adi Sutarwijono, dan Ahmad Taufik, untuk melaporkan sebuah kasus penggelapan uang. Tulisan itu dimuat dengan judul, “Vonis Wilayah Kelabu Bisnis dan Delik.”

Mereka melaporkan bahwa Karim Tano Tjandra, terdakwa kasus penggelapan uang sebesar Rp 30,9 miliar di Medan, memperoleh vonis bebas dari Mahkamah Agung. Uang itu berasal dari perusahaan perkebunan kelapa sawit, yang pernah dikelola Karim.

Beberapa saat sebelum putusan Mahkamah Agung jatuh, Karim mendapat kabar bahwa dirinya bakal bebas. Berbekal kabar itu, Karim menyatakan akan menuntut hakim dan jaksa serta lawan perkaranya di Medan, karena Karim sempat ditahan selama setahun di penjara Medan.

Tempo menulis: “Tepatkah tuntutan Karim, apalagi terhadap jaksa dan hakim? Awalnya, kasus Karim lazimnya bisnis ‘Ali Baba’ antara Karim dan sobatnya, Lintong Mangasa Siahaan. Syahdan, Lintong menjadi Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara IV di Bahjambi, Sumatera Utara. Karim yang keturunan Cina itu sering memborong besi tua milik perusahaan perkebunan negara yang dipimpin Lintong.”

Terlepas dari apakah Karim kurang ajar atau tidak, Tempo mengidentifikasi sosok Karim sebagai “keturunan Cina” dan membubuhkan label “Ali Baba” dalam bisnisnya. Karim digambarkan sebagai “Baba” yang melakukan perjanjian bisnis dengan “Ali” (Siahaan). Wartawan Tempo lalu merekonstruksikan apa yang terjadi pada Karim persis sama dengan bisnis Ali Baba 1950-an.

Ahmad Taufik menjelaskan penyosokan itu, “pembubuhan kata yang biasa saja. Kata itu sudah sangat umum, jadi dipakai begitu saja. Etnis Cina pada Karim pun hanya sekadar identitas. Apalagi tak ada itikad buruk dari kami kok.”

Harymurti mengatakan, “Saya menganggapnya relevan karena bukankah bisnis ‘Ali Baba’ itu adalah sebuah bisnis antara pribumi dan kelompok Tionghoa? Jadi saat menyebut ‘Ali Baba,’ dengan sendirinya sangat relevan menyebut Karim sebagai keturunan Tionghoa,” jelas Harymurti.

Sumit Mandal tak setuju. Pertama, penggambaran istilah bisnis “Ali Baba” sebagai kesepakatan “pribumi-Cina” lebih menonjolkan aspek etnis. Istilah tersebut menggambarkan adanya kelas ekonomi elit yang masuk dalam bisnis “Ali Baba.” Di sisi lain, istilah itu juga menggambarkan adanya hubungan rapat antara beberapa pengusaha Tionghoa dengan keluarga Cendana pada zaman Orde Baru. Bila menonjolkan aspek etnik, yang terjadi adalah seluruh masyarakat Cina Medan, mungkin juga Indonesia, dikaitkan dengan kesepakatan bisnis “Ali Baba”dengan segala dampak buruknya yang pernah terjadi di masa Orde Baru.

Kalau tidak relevan, menurut Mandal, atribusi Tempo itu bisa berisiko, “Rujukan kepada keturunan itu secara sadar atau tidak seperti memberi keterangan tambahan yang tidak berkaitan, malah mengaburkan berita dengan pencitraan rasial.”

Sumit mengatakan seharusnya wartawan Tempo melaporkan realitas, termasuk dalam persoalan yang mengandung elemen etnis, bukan malah melansir berita dengan pencitraan tertentu yang sudah beredar di masyarakat tanpa memikirkannya lagi matang-matang.

SADAR atau tidak sadar, prasangka etnis itu selalu terjadi. Media bisa berperan mendorong prasangka itu menjadi pembenaran. Tidak secara langsung namun bertahap. Karakteristik yang paling menonjol dalam beberapa berita yang membubuhkan penyosokan negatif adalah timbulnya pemikiran-pemikiran bahwa apa yang beredar selama ini sebagai isu, gosip, streotipe, dan prasangka rasial ternyata benar adanya.

Sumit Mandal juga khawatir dengan sebuah gejala baru yang muncul di Jakarta belakangan ini ketika isu terorisme dilansir Presiden George W. Bush. Mandal mengacu pada seminar bertajuk “Arab dan Islam di Indonesia Dewasa Ini” yang diadakan Muhammadiyah Oktober lalu. Seminar ini intinya mengatakan para pemimpin Muhammadiyah khwatir akan aksi-aksi radikalisme Islam yang dipimpin oleh para warga Indonesia keturunan Arab.

Mereka menyebut beberapa organisasi berbendera Islam: Laskar Jihad yang dipimpin Ja’far Umar Thalib, Front Pembela Islam pimpinan Habib Rizieq Shihab, Majelis Mujahidin Indonesia pimpinan Abubakar Ba’asyir, dan Jamaah Ikhwan al-Muslimin Indonesia pimpinan Habib Husein al Habshi. Nama-nama ini kebetulan memang orang Indonesia keturunan Arab. Seminar juga menyebut nama almarhum Abdullah Sungkar, yang dituduh melakukan sejumlah aksi pemboman di Indonesia.

Terlepas mereka bersalah atau tidak, tapi menempelkan label Arab kepada mereka, bisa sama dampaknya dengan menempelkan label Tionghoa pada Soewondo, Yuliana, Karim Tano, Bob Hasan, dan sebagainya. Sumit Mandal mengatakan pencitraan negatif orang Tionghoa di Indonesia juga dimulai dengan sebuah seminar. Orang Tionghoa dikaitkan dengan ekonomi, jangan-jangan orang Arab kelak dikaitkan dengan terorisme?

Prasangka rasial bisa terjadi pada masyarakat mana pun. Di dunia ini praktis tak ada negara yang warganya homogen. Multikulturalisme adalah realitas kehidupan dan media harus punya standar baku bagaimana meliput isu-isu yang terkait dengan etnik, agama, dan sebagainya. Kejahatan yang dilakukan beberapa warga Tionghoa hanyalah peristiwa biasa yang bisa terjadi pada etnik lain. Sikap media yang menempelkan label negatif dengan sendirinya bisa menimbulkan komentar, “Oh … ini benar saya membacanya di majalah kemarin.”

Deddy Mulyana, dosen komunikasi dari Universitas Padjadjaran, Bandung, punya argumentasi menarik untuk menerangkan “kebiasaan” wartawan dalam menggunakan kata-kata. “Kadang tanpa disadari wartawan membuat sebuah berita yang sama sekali tak ada kaitannya antara kata dan makna atau sebaliknya membuat makna kata yang statis. Kedua-duanya merupakan titik ekstrem.”

Mulyana menilai pengunaan kata “Cina” bisa untuk dua kondisi berbeda. Yang satu dalam peristiwa biasa dan lainnya berkaitan dengan kejahatan. Konotasinya akan berbeda. Di Indonesia, dalam kehidupan sehari-hari orang memang suka menggunakan kategori-kategori etnis, rasial, sosial, dan sebagainya. “Preman Flores … padahal preman dari suku lain pun banyak,” ujarnya.

Sering kebiasaan ini dimaksudkan untuk menyederhanakan realitas yang kompleks. Padahal kategori itu sendiri bersifat fungsional. Mulyana khawatir bila stereotipe atau prasangka yang berlangsung terus-menerus ini dikembangkan, maka yang terjadi adalah self fulfilling prophecy atau ramalan yang menjadi kenyataan karena sadar atau tidak, ramalan tersebut malah benar.

Contoh lain, menurut Mulyana, adalah sebutan untuk Nigger atau Negro buat orang kulit hitam di Amerika Serikat. Mereka lebih senang disebut Black American atau African American. Nigger adalah julukan yang dinilai kasar. Awalnya, julukan itu hanya beredar dikalangan orang hitam sendiri sebagai ledekan atau bahan candaan. Tapi suatu masa, istilah itu dipakai umum, dan istilah itu ditolak karena dianggap kasar dan rasialis. Atau Redneck, julukan bagi kulit putih, yang tidak berpendidikan. Istilah ini juga ditolak karena merendahkan.

Di Amerika, orang hitam sering digambarkan secara stereotipe sebagai orang bodoh, berbahaya, pemalas dan gemar berfoya-foya. Jejak itu kadang masih mencuat di media massa Amerika saat ini. Mereka diasosiasikan sebagai pecandu obat-obatan, kejahatan, tunjangan sosial dan kekerasan.

Di Indonesia, orang Cina digambarkan sebagai ekslusif, pintar berdagang, pelit, nepotisme dan kolusi. Mudah sekali menemukan penyosokan negatif pada berita-berita dalam bisnis dan hukum terhadap warga Tionghoa ini. “Sepertinya kita memang harus belajar berempati pada kelompok bersangkutan. Kita harus menghindari panggilan Cina itu,” ujar Mulyana.

Dalam beberapa kasus yang pernah terjadi di Indonesia, media bukanlah faktor utama pemicu meledaknya prasangka-prasangka etnik. Namun media bisa mempengaruhi prasangka itu menjadi sebuah pembenaran. Sebaliknya, pandangan media terhadap penyosokan, sering sama. Penyosokan diterjemahkan sebagai “kata-kata tambahan,” “biasa saja,” “lumrah,” “tak ada maksud jahat,” atau “memperjelas status seseorang sepanjang relevan.”

Tempo hanya sebuah contoh. Gatra misalnya, memiliki sikap sama saat menjawab surat protes seorang pembaca bernama Suhadi atas pembubuhan penyosokan “identitas Cina” dalam berita berjudul: Syuting Gadis Sabun ala Pati” yang terbit 19 Oktober lalu.

“Keturunan Cina atau bukan itu tak jadi masalah.Tapi pemberitaan itu setidaknya telah merusak reputasi kami sebagai etnis Cina di depan publik. Saya rasa Gatra tak perlu memuat nama seseorang lengkap dengan etnisnya,” tulis Suhadi.

Dijawab oleh Gatra, penyebutan etnis semata-mata dimaksudkan untuk melengkapi profil pelaku. “Bila Anda perhatian kami juga sering melengkapi identitas tokoh dengan etnisnya, misalnya dari Batak, Flores, Ambon atau Bugis.”

Jawaban senada juga dikemukakan Arif Supriyono, redaktur pelaksana harian Republika, “Orang cenderung ingin tahu, jadi tidak ada salahnya. Sangat berbeda bila wartawan beritikad buruk.”

Di Republika, artikel yang menggunakan frasa keturunan Cina muncul 500 kali dalam pencarian melalui internet selama setahun terakhir. Frasa itu umumnya digunakan dalam berita olah raga, bisnis, international, gaya hidup. Sebagian besar relevan.

Republika sama halnya Tempo, tak memiliki standar baku redaksional dalam penggunaan frasa Cina atau Tionghoa. “Redaksi tak punya kebijakan khusus, terserah mau menggunakan Tionghoa atau Cina yang penting tidak berniat buruk memancing emosi,” kata Arif.

“Boleh jadi ada yang menganggapnya rasis, tapi sejauh ini tidak pernah ada protes dari kelompok Tionghoa,” jelas Arif.*

by: