Panggil Saya Persi

Mohamad Iqbal

Mon, 4 November 2002

DULU saya adalah orang yang senantiasa merasa tidak nyaman berada di antara kaum transeksual. Mungkin trauma masa kecil suka ditakut-takuti bencong.

DULU saya adalah orang yang senantiasa merasa tidak nyaman berada di antara kaum transeksual. Mungkin trauma masa kecil suka ditakut-takuti bencong. Tapi entah kenapa saya kemudian jadi simpati kepada mereka ketika melakukan riset untuk sebuah pameran foto tentang transeksual.

Awalnya, pertengahan September tahun lalu, di aula kecil Hotel Grand Menteng, Matraman, tempat diadakan pemilihan Ratu Waria se-Jakarta. Sederhana dan meriah. Diikuti puluhan kontestan dari berbagai pelosok Jakarta. Mereka melangkah anggun bagai model elit dalam fashion show musim gugur kota Paris. Di catwalk mereka menjelma jadi idola mereka, memakai model teranyar milik Oscar Lawalata, ala Marilyn Monroe, sampai baju kebaya buatan sendiri. Teriakan supporter riuh-rendah ketika Avi Naif, sebagai pembawa acara malam itu, mengumumkan, ”Pemenang yang berhak menjadi ratu waria tahun 2001 ini adalah … Persi.” Tepukan membahana, sorak sorai meningkahi wajah sumringah hadirin.

Ketika pemenang naik ke panggung, bergiliran menerima piala, terdengar protes dari sudut ruangan, “Jurinya buta nek! Tidak bisa membedakan mana yang pantas menjadi ratu.” Di sudut lain, salah satu pemenang membanting piala sebagai tanda protes. Panita berusaha menenangkan ketegangan. Acara berakhir dengan pergunjingan kemenangan Persi.

“Keputusan juri adalah mutlak nek,” kata seorang transeksual asal Papua, sambil menuruni tangga hotel.

Beberapa hari kemudian, was-was juga saya ketika suatu sore sampai di sebuah rumah kontrakan berlantai tiga di kawasan Blora, Jakarta Pusat. Tempatnya persis di samping sebuah bar dan diskotik dangdut. Lorong gelap lantai dua rumah kos itu sempat membuat saya ragu.

“Cari siapa sayang?” seseorang menegur genit.

“Saya mencari Persi, ratu waria yang menang kontes beberapa hari lalu.”

“Saya sendiri, ada perlu apa?” tanyanya.

Saya kaget karena Persi sangat berbeda tanpa make up dan rambut palsunya. Belum sempat mengutarakan maksud dan tujuan, Persi tersenyum berdiri, meninggalkan teman-temannya. Sambil mengucapkan sesuatu yang tak jelas dalam bahasa slang transeksual, Persi mengandeng tangan saya mesra dan membawa saya ke sebuah kamar, “Ini kamar saya, silahkan masuk,” ujarnya.

Raut mukanya kelihatan lelah sore itu, “Nama saya Ardi tapi panggil saya Persi,” lembut suaranya, memperkenalkan diri sambil memberi tangan. Telapak tangannya halus, kukunya dibiarkan tumbuh agak panjang dan bersih. Dalam kamar 2×4 meter itu terdengar suara bising dangdut-tekno dari diskotek sebelah. Dinding tripleks kamar itu dipenuhi puluhan potret diri dan poster wanita-wanita cantik. Belasan potret diri Persi dengan label beberapa majalah fashion terkenal, juga menempel teratur. Berada di kamar itu membuat kita seakan-akan sedang membaca harapan dan impian hidup si pemilik kamar.

“Dulu ketika kecil saya seorang penari. Di Kebumen, bapak saya penabuh gamelan di sebuah grup asal Banyumas yang mementaskan tarian Calung. Biasanya dibawakan perempuan yang disebut lengger. Awalnya saya dipaksa untuk menarikan itu tapi lama-lama saya menikmatinya. Sentuhan dan tatapan laki-laki yang ikut menari seperti mempertegas bahwa ada sesuatu yang beda dalam diriku. Sesuatu yang bergelora, sesuatu yang lembut, yang terperangkap dalam tubuh kokoh Ardi,” kenangnya.

Hari berikutnya kami bertemu lagi untuk makan siang di sebuah restoran siap saji di Mall Atrium Senen. Persi memperkenalkan teman kamarnya, yang disebutnya “kucing.” Ini sebutan untuk teman laki-laki homoseksual yang dipelihara dan hidupnya dibiayai para transvestite.

“Saya ke Jakarta untuk dapat lebih bebas, kedua orang tua saya tidak tahu saya begini, tapi adek-adek saya tahu. Mereka sering datang menjenguk saya, biasanya saya ajak mereka pergi ke Dufan sambil melepas kangen.”

Persi berumur 23 tahun. Sejak 1997, Persi menjadikan Taman Lawang sebagai tempatnya mengejar impian untuk jadi seterkenal transeksual macam Dorce, Tata Dado dan Avi Naif, yang bergerak di dunia hiburan.

Saya kira Persi bukanlah tipe waria yang masuk dalam kelompok transeksual atau transgender. Dia lebih masuk pada kelompok tranvestite yang jumlahnya mencapai 4.000 orang di Jakarta. Persi tidak memiliki keinginan operasi kelamin secara total, hanya sebatas membesarkan kedua dadanya dengan cara konvensional: minum pil anti-hamil.

Pertemuan itu membuka peluang bagi saya untuk mendekatinya secara personal. Persahabatan terjalin beberapa minggu kemudian. Saya masuk dalam kehidupannya, mengikuti kegiatannya, dan mengenal teman-temannya. Mereka menyebut saya sebagai lekongnya Persi. Pacarnya Persi.

Pernah kami bersama-sama pergi ke Diskotik Moon Light, diskotik khusus gay dan transeksual yang terletak di Jalan Gajah Mada. Kami menuju pojok ruangan di mana terdapat bar, untuk memesan minum dan sekedar mengobrol. Kebetulan hari itu ada acara dengan tema, “Jadilah bintang di langit.” Sebuah lomba mirip bintang seperti Krisdayanti, Titi DJ, Shanty, Reza.

Awalnya risih juga melihat tatapan mata liar pengunjung tempat ini, tapi lama-lama menjadi terbiasa, apalagi ketika acara lomba mirip bintang dimulai. Bait-bait lagu Mencintaimu milik Krisdayanti terdengar memenuhi ruangan yang tak terlalu besar tapi padat oleh manusia. “Krisdayanti” tampil menyanyi lip sync, wajahnya mirip sekali, begitu juga cara berpakaian dan bernyanyinya. Bau keringat dan parfum berbaur dengan ketawa penonton, menambah kisruh dan gaduh tempat itu. Beberapa pengunjung maju ke depan untuk memberikan selembaran uang ribuan ke dalam balik kutangnya. Ada kebersamaan dan senasib di tempat ini yang dihamburi keriaan sesaat.

Ini mengingatkan saya pada Stonewall Inn, sebuah penginapan dan bar di daerah Greenwich Village, New York, dalam film Stonewall karya sutradara Nigel Finch. Ceritanya diangkat dari kerusuhan kaum transeksual yang meledak dari Stonewall Inn pada 1969. Protes ini menjadi manifesto untuk menuntut hak-hak mereka: menikmati hidup setara dengan orang lain. Kisah ini akhirnya jadi tonggak dibuatnya undang-Undang untuk orang tranvestite di Amerika Serikat. Finch sendiri meninggal pada 1995 karena penyakit Aids sebelum Stonewall sempat diedarkan.

Hidup terus berjalan. Kini Persi sudah terbiasa menjadi subkomunitas kaum yang paling marjinal, dengan cibiran dan tatapan sinis orang-orang di sebuah mal. Dia melangkah percaya diri di atas berbagai panggung kontes pemilihan ratu transeksual, tapi berlari kencang pucat pasi dikejar-kejar petugas keamanan dan ketertiban kota, bersembunyi di balik kerimbunan pohon dan lorong gelap di sekitar Taman Lawang.

Persi terkadang melamun menerawang jauh mencoba memastikan masa depannya, hari tuanya dan segudang persoalan lain yang selalu hadir dalam benaknya. Melaju pelan di atas kereta api ekonomi, Persi pulang ke rumah orang tuanya di Sleman, Jawa Tengah, sebagai Ardi. Untuk sesaat Persi meninggalkan seluruh harapan dan impiannya, tertinggal kusam di antara dinding-dinding kamar kos di jalan Blora.*

kembali keatas

by:Mohamad Iqbal