Said Zahari,Meniti Lautan Gelora: Sebuah Memoir Politik, Kuala Lumpur: Universiti Kebangsaan Malaysia-Utusan Publications, Cetakan I, 2001, xl + 374 halaman.

“NAMA saya Linda. Nama emak saya Salamah. Nama bapa saya Said Zahari. Saya berumur 13 tahun. Tapi saya tak merasa dapat belaian dari bapa, saya tak pernah ditimang oleh bapa. Sebab masa saya lahir bapa sudah ditahan dalam penjara. Bila saya melawat bapa saya di tempat dia ditahan, saya hanya bercakap dengan bapa melalui talipon, kami tak dibenarkan dekat….”

JUMAT malam, 30 Agustus 2002. Malaysia begitu indah. Sebagian besar warganya, bersiap-siap menantikan detik-detik datangnya hari bersejarah, 31 Agustus, hari kemerdekaan Malaysia ke-45. Ketika jarum jam menunjukkan pukul 00.00, suasana berubah. Langit Kuala Lumpur terang benderang oleh kilatan cahaya bunga api berwarna warni. Di sana-sini terdengar teriakan, “Merdeka, merdeka, merdeka…”

“Hidup Malaysia…”

“Malaysia boleh….”

Lagu-lagu patriotik seperti Negaraku, Jalur Gemilang dan Keranamu Malaysia pun dinyanyikan bersama-sama. Pokoknya suasana serba seronok alias meriah.

Saya sejak petang hingga malam berada di sebuah rumah di kawasan Subang Jaya, sekitar 30 menit naik kereta api, dari Stasiun Sentral Kuala Lumpur. Rumah itu kediaman pasangan Said Zahari dan Salamah. “Pak Said” salah seorang wartawan sekaligus pejuang Melayu 1950-an dan 1960-an, sebelum dan sesudah Malaysia merdeka pada 1959. Orangnya ramah, bersahaja. Ssianya sudah 73 tahun. Berjalan dengan tongkat, tapi suaranya tegas, penuh ekspresi.

Saya beruntung bisa bicara dengannya sambil sesekali menyeruput teh manis hangat buatan Salamah dan sepiring biskuit. Saya sebelumnya sudah membaca biografi Said Meniti Lautan Gelora: Sebuah Memoir Politik.

Peristiwa pahit yang pernah dialaminya, ya terjadi persis pada 30 Agustus, 41 tahun yang lalu. Waktu itu, sebagai ketua pengarang (pemimpin redaksi) harian Utusan Melayu, Said memimpin sekitar seratusan pekerja media tersebut, wartawan, administrasi dan percetakan, untuk mogok kerja selama tiga bulan. Mereka melakukan itu untuk mempertahankan sikap independen Utusan dari campur tangan pemerintah dan partai yang berkuasa, UMNO (United Malays National Organization). Akibatnya fatal. Perdana Menteri Malaysia Tunku Abdul Rahman Putra melarang Said, seorang warganegara Singapura, masuk Malaysia. Baru 28 tahun kemudian, Mei 1989, ketentuan itu dihapus oleh Perdana Menteri Mahathir Mohamad.

“Jadi, cuba Saudara bayangkan. Ketika esok harinya Malaysia akan merayakan hari kemerdekaannya yang keempat, baru empat tahun sahaja merdeka, saya malah diharamkan masuk ke sini hampir 28 tahun! Bukan oleh penjajah Inggris, tapi oleh pemerintah Malaysia sendiri. Kemerdekaan saya dirampas kerananya. Padahal saya dan kawan-kawan melakukan mogok itu hanya ingin membuat Utusan independen. Perlu juga diingat, dan siapa pun bersetuju, bahawa Utusan begitu besar peranannya dalam ikut memperjuangkan kemerdekaan Malaysia,” kata Said kepada saya.

Pada 22 Agustus 1979 ada juga peristiwa penting yang dialami Said. Kali ini ia dibebaskan dari penjara setelah meringkuk selama 17 tahun! (Bandingkan dengan tahanan politik aktivis kiri di Indonesia, termasuk novelis Indonesia Pramoedya Ananta Toer, yang dipenjara rezim Soeharto rata-rata 14 tahun: 1965-1979).

“Pada hari itu, saya benar-benar bebas, saya benar-benar merdeka,” kata Said.

Dia dipenjara karena dituduh komunis oleh pemerintahan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew. Keputusan penahanannya pun tanpa proses pengadilan. “Ya, saya difitnah. Saya sememangnya telah menjadi mangsa kekejaman politik Lee!” kata Said.

Dua peristiwa tragis itulah yang jadi kisah menarik dalam memoir Said. Memoir ini diluncurkan Juni 2001, setelah dikerjakan selama tiga tahun (1996-1999), saat Said diundang jadi dosen tamu di Universiti Kebangsaan Malaysia. Said menulisnya sekaligus dalam tiga bahasa yang dikuasainya: Melayu, Inggris, dan Cina.

Sebenarnya, sejak masih dalam penjara, Said sudah ingin menuliskan pengalaman pahitnya itu. “Pertama, saya telah teraniaya demi kepentingan politik dan kesenangan hidup mereka yang memenjarakan saya. Kedua, saya telah dituduh, dicaci-maki dan difitnah dengan pelbagai tuduhan, cacian dan fitnah oleh orang yang berkepentingan itu. Dan ketiga, kebebasan saya telah dirampas, hak asasi saya diinjak-injak, apabila saya dipenjarakan sekian lama tanpa dibicarakan di muka pengadilan.”

Ada beberapa fakta sejarah yang diceritakannya, yang tidak atau belum terungkap dalam buku-buku sejarah resmi. Dalam soal-soal yang diyakininya benar, misalnya, Said berani berbeda pendapat dengan para elite partai dan pemerintah yang berkuasa, dengan golongan komunis, termasuk juga dengan kawan-kawan seperjuangannya. Bahkan ia tak segan mengeritik Tunku Abdul Rahman, apalagi Lee Kuan Yew. Sebaliknya, kalaupun ada pendapatnya yang sejalan dengan mereka, ia tak segan mengungkapkannya secara jujur.

“Saya sengaja menulis kisah saya dalam buku ini dengan pendekatan yang sesuai dengan pendirian politik saya yang pro-pembangkang atau oposan, bahkan kiri,” kata Said. “Jadi wajar jika banyak terdapat perbezaan penafsiran saya terhadap sejarah dengan buku-buku sejarah resmi, baik versi pemerintah Malaysia dan Singapura maupun pihak kerajaan Inggris. Saya menulis berdasarkan fakta-fakta sejarah yang mereka tutup-tutupi. Banyak fakta sejarah yang dengan sengaja tidak mereka ungkapkan. Melalui buku ini saya mau bersikap jujur terhadap sejarah.”

SAID Zahari lahir pada 18 Mei 1928 di Scotts Road, sebuah perkampungan orang Melayu di Singapura, anak ketiga dari pasangan Zahari dan Asmah. Emaknya berasal dari Pulau Bawean. Bapanya berasal dari Kampung Chari’an, Kendal, Jawa Tengah, yang datang ke Singapura pada awal 1920-an dan bekerja sebagai supir seorang Jerman. Tak lama setelah Said lahir, bapanya diserang penyakit di dalam perutnya dan beberapa bulan kemudian meninggal. Emaknya tengah mengandung adik bungsunya dua bulan. Karena persoalan ekonomi, mereka kemudian tinggal di rumah Nenek Kemok dan Tok Sa’ban (orangtua Asmah), di Kampung Kebun Bunga di daerah Bukit Timah, Singapura.

Di kampung itulah Said bersama keempat saudara kandungnya (Harun, Zali, Zawiyah dan Yatim) menghabiskan masa kecil mereka. Keempatnya bersusah payah mencari nafkah. Emaknya membuat kuih-muih setiap pagi dan petang. Harun bekerja sebagai tukang kebun di Kebun Bunga. Zali dan Said, yang masih bersekolah di Sekolah Melayu Tanglin Besar, tiap pagi dan petang ditugaskan berkeliling kampung untuk menjual kuih-muih. “Aku berasa gembira apabila kuih-muihku yang kujaja habis terjual, dan sebaliknya akan bersedih sekiranya tidak laris. Pada suatu hari, aku balik ke rumah sambil menangis kerana separuh lagi kuih-muih yang kubawa tidak terjual,” tulis Said.

Selain di kampungnya dan di sekitar sekolahnya di daerah Tanglin, kira-kira tiga kilometer dari rumah, Said bersama kawan-kawan sebayanya juga sering bermain ke Kampung Chantek, dua kilometer dari rumah. Di kampung ini banyak tinggal orang Melayu dan orang Singapura keturunan Jawa, yang sama dengan penghuni Kampung Kebun Bunga, rata-rata hidup miskin, kebanyakannya buruh kasar. Said juga rajin mengikuti kegiatan keagamaan, seperti menghadiri majlis serakalan Maulid Nabi, mengumandangkan azan magrib setiap hari, tadarus al-Quran di bulan Ramadhan dan lain-lain. Waktu itu, Said kecil jadi murid kesayangan Wak Pawi (guru barzanji) dan Kiai Tasim (guru ngaji). Emak dan Nenek Kemok kagum karena ibu-ibu kampung sering memuji Said.

Paling menyeronokkan Said dan kawan-kawannya adalah saat-saat datangnya hari Lebaran. Mereka gembira bermain bunga api dan membakar mercun padi (mercon kecil). Keesokan harinya, mereka bermaaf-maafan sambil pesta ketupat, lepat dan kuih-muih.

Prestasi belajar Said di sekolah pun termasuk tinggi. Ketika duduk di tingkat akhir Sekolah Melayu Tanglin Tinggi, remaja 13 tahun itu terpilih untuk dilatih menjadi guru di Maktab Perguruan di Tanjung Malim, Malaya. Betapa gembira Said mendengar keputusan itu. Dialah anak pertama dalam keluarganya yang akan jadi guru sekolah. Sebuah profesi yang amat disegani dan dihormati oleh masyarakat Melayu pada masa itu. Namun harapan itu sirna setelah terjadi penaklukan tentara Jepang ke pemerintah kolonial Inggris atas Malaya dan Singapura secara cepat pada awal Februari 1942. Perang Pasifik merambat ke daerah ini.

Alat-alat propaganda Jepang bertindak cepat. Said mencatat, ada tiga agenda politik Jepang untuk menguasai pikiran rakyat Syonan-to (nama baru Singapura). Pertama, perintah dikeluarkan agar masyarakat mempelajari Nippon Go (bahasa Jepang). Kedua, murid-murid sekolah dan juga warga diajarkan menyanyikan lagu-lagu patriotik yang berunsur Nippon Seisin (semangat keperwiraan orang Jepang). Ketiga, menguasai pikiran umum supaya menerima dan setia kepada kerajaan Jepang. Setiap pagi orang diminta tunduk hormat ke arah matahari terbit, pusat kemaharajaan Tenno Heika di Tokyo. Jika tidak, niscaya ditempeleng atau dipukul oleh tentara Jepang, yang memergokinya.

Waktu itu, Said ikut kursus bahasa Jepang di Queen Street dan berkenalan dengan remaja Anas asal Sumatera. Keduanya cepat maju dalam mempelajari bahasa Jepang dan terpilih belajar di Syonan Sihan Gakko (Sekolah Latihan Perguruan Jepang). Sekolah yang kursusnya dijadwalkan berlangsung selama tiga tahun ini direncanakan jadi tempat penggodokan guru-guru untuk sekolah-sekolah di Syonan-to dan Maraii (nama baru Malaya) dan Kepulauan Riau. Bersama 34 murid lain berusia antara 14-16 tahun, beretnis Melayu, India dan Cina, Said mempelajari sejarah, bahasa dan sastra, matematika, musik dan latihan jasmani di bawah bimbingan guru-guru Jepang. Mereka tinggal di asrama di kawasan Sekolah St. Joseph di Queen Street dan diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing pada setiap akhir pekan.

Setahun setelah Jepang menduduki Singapura, agenda politiknya untuk mengamankan bahan baku dari Asia Tenggara mulai tercium. Menurut Said, untuk menyenangkan hati rakyat, Jepang menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia, Burma, Indo-Cina dan Filipina dengan membantu gerakan-gerakan kemerdekaan pro-Jepang di negara-negara tersebut. Tapi, Malaya tak termasuk dalam agenda diberi kebebasan. Jepang ingin menjadikannya sebagai bagian dari kekaisaran Jepang. Mereka ingin menguasai, memiliki dan mengeruk sumber kekayaan alam Malaya. Malaya juga mau dijadikan benteng pertahanan kekuasaannya di Asia Tenggara.

Suasana belajar di Sihan Gakko pada tahun pertama berjalan tenang. Jepang sedikit banyak berhasil mempengaruhi pikiran para murid. Demikian juga sahabat kentalnya Anas, yang memanfaatkan semangat keperwiraan Jepang itu untuk memahami arti dan semangat kemerdekaan Indonesia. Dari Anas, Said banyak tahu tentang pergerakan kemerdekaan Indonesia. Apalagi pada masa itu gerakan kemerdekaan di Indonesia terus diperjuangkan. Sukarno dan golongan nasionalis yang lain menyusun gerakan kemerdekaan dan bekerjasama dengan Jepang. Sementara di bawah tanah, gerakan antifasis Jepang juga hebat berjuang untuk mengusir Jepang dari Indonesia.

Memasuki tahun kedua pelajaran, keadaan peperangan sudah berubah. Said dan Anas banyak mendengar dan membaca berita-berita kekalahan tentara Jepang di Kepulauan Filipina. Beberapa pelajar mulai malas masuk kelas. Minat belajar berkurang. Suasana sekolah tak semeriah tahun sebelumnya. Guru-guru kelihatan muram, seolah tak lagi yakin akan kemampuan tentara Jepang. Mereka tinggal menunggu perintah dari Tokyo, yang mengalami serangan udara bertubi-tubi dari Amerika Serikat.

Tapi dalam suasana demikian, salah seorang gurunya mengatakan, “Penaklukan Dai Nippon sudah tamat dan kami akan balik ke Jepun. Sihan Gakko akan ditutup. Tapi percayalah, kami akan datang lagi dalam masa 15 tahun.” Said tak begitu paham apa maksud kata-kata gurunya itu. Namun 15 tahun kemudian, apabila semakin ramai perusahaan Jepang ke Malaya dan Singapura untuk menjual barang-barang buatan mereka dan membuka pabrik-pabrik serta gedung-gedung perniagaannya, barulah ia mengerti apa maksud kata-kata gurunya itu. Jepang telah kembali “menaklukkan” rantau ini, bukan dengan kekuatan tentara, tapi melalui kekuatan ekonomi.

Setelah kekalahan Jepang, Said meneruskan pendidikannya, sembari mengikuti perkembangan politik Malaya dan Singapura melalui suratkabar seperti The Straits Times, Free Press dan terutama Utusan Melayu, yang dilanggan abangnya, Harun Zahari. Harun saat itu secara diam-diam sudah menjadi pengikut setia Parti Kebangsaan Melayu Malaya (PKMM) pimpinan Dr. Burhanuddin Al-Helmy. Di rumah Said sering berkumpul rekan-rekan seperjuangan Harun dari PKMM atau Angkatan Pemuda Insaf (API) untuk berbual-bual soal gerakan kemerdekaan Malaya dari kolonialisme Inggris. Said tertarik dengan pergerakan kemerdekaan, termasuk tentang cerita-cerita pemberontakan dan gerakan kemerdekaan Indonesia yang dipimpin oleh Sukarno.

“Dengan tidak kusedari kebencianku terhadap penjajah Inggris semakin meluap-luap. Aku begitu kagum membaca berita-berita tentang tentera gerila rakyat Indonesia yang cuma bersenjatakan bambu runcing. Mereka bertempur dengan askar-askar Belanda dan Inggris yang bersenjata modern. Aku juga pernah mendengar secara sembunyi-sembunyi pidato Bung Karno dan pidato Bung Tomo yang berapi-api. Mereka berucap membakar semangat rakyat supaya jangan gentar melawan Belanda. Semangat juang rakyat Indonesia itu telah menular ke Tanah Melayu. Aku seronok bersendirian.”

SUATU pagi tahun 1951, Said Zahari ditanya Kamaluddin Muhammad, seorang wartawan Utusan, yang juga dikenal sebagai sastrawan dan aktivis PKMM. Keris Mas, nama beken sahabat Harun itu, menawari Said untuk bekerja di Utusan, mula-mula sebagai penterjemah (dari bahasa Inggris ke bahasa Melayu) lalu sebagai reporter. “Kalau engkau mahu, sudah tentu engkau boleh dan engkau akan dapat pekerjaan itu,” kata Keris Mas. Said setuju dan keluar dari pekerjaannya sebagai guru.

Dua hari kemudian, setelah diwawancarai pemimpin redaksi Yusof Ishak dan beberapa wartawan senior koran tersebut, Said dinyatakan lulus dengan gaji $120 sebulan. Said gembira dan bangga dapat bekerja di Utusan, walau gajinya $30 lebih kecil dari gaji sebelumnya. “… aku anggap Utusan sebagai medan suara orang Melayu dan sebagai sebuah akhbar yang memperjuangkan nasib bangsa Melayu yang terjajah sekian lama. Bekerja dengan Utusan pada masa itu, samalah seperti aku bekerja untuk bangsa dan tanah airku. Waktu itu aku baru berumur dalam lingkungan 25 tahun .”

Utusan Melayu diterbitkan pertamakali pada 29 Mei 1939 di Singapura. Ia suratkabar berbahasa Melayu pertama yang dimiliki oleh orang Melayu di sana. Para wartawannya adalah orang Melayu nasionalis dan anti kolonialsime Inggris. Mereka punya misi mengangkat martabat bangsa Melayu dari belenggu penjajahan Inggris. Motto perjuangan koran ini bersendikan tiga landasan: agama, bangsa dan tanah air. Ini dinyatakan langsung dalam tajuk Utusan terbitan perdana, “Dengan sendi yang tiga itulah akhbar Utusan Melayu ini berdiri dan atas itulah jua Utusan Melayu hidupnya dan menyabung nyawa.” Motto ini dipegang Said sepanjang bertugas jadi wartawan Utusan.

Said menjadi penterjemah dua bulan saja, terus ditempatkan ke bagian berita. Dibimbing Othman Wok, Said bersama Salim Kajai dan Mazlan Nordin banyak meliput kegiatan orang Melayu di Singapura, masalah keagamaan, kriminalitas dan lain-lain. Said belajar bagaimana meliput, membuat laporan dan menulis yang baik.

Said juga sering membuat liputan perkembangan politik Singapura. Waktu itu suasana politik lesu. Sejak undang-undang darurat diberlakukan pada 1948, politik Singapura dimonopoli golongan konservatif yang dipelopori Partai Progresif pro-Inggris. Gerakan politik dan serikat buruh berhaluan kiri ditumpas kerajaan Inggris. Ada pula Partai Buruh, UMNO dan MCA (Malayan Chinese Association) yang punya hubungan dengan UMNO dan MCA di Malaya. Suasana politik ini berlanjut sampai 1954 ketika PAP (People’s Action Party) pimpinan Lee Kuan Yew yang berhaluan kiri dibentuk dan Barisan Buruh (Labour Front) menggantikan Partai Buruh Singapura. Pada pemilihan umum 1954, Labour Front memenangi kursi terbanyak. David Marshal, pemimpinnya, terpilih menjadi Perdana Menteri Singapura.

Utusan tetap meneruskan peranannya untuk menyadarkan orang Melayu betapa pentingnya tanah air mereka dibebaskan dari kekuasaan Inggris. Tumpuan diberikan kepada perjuangan orang Melayu di Malaya melalui UMNO yang makin lantang menuntut kemerdekaan. Inggris mulai memberikan tekanan-tekanan karena mencurigai peranan Utusan dalam perjuangan kebangsaan Melayu. Pada 1951 mereka menangkap Samad Ismail, wartawan senior koran tersebut, beberapa bulan sebelum Said masuk Utusan. Samad ditangkap di Singapura bersama beberapa orang lain dan mahasiswa karena dituduh terlibat dalam kegiatan-kegiatan subversif prokomunis.

Samad dibebaskan pada 1953 dan kembali bertugas di Utusan sebagai timbalan pengarang (wakil pemimpin redaksi). Utusan makin berani. Reputasi Samad sebagai bekas tahanan politik melambung tinggi. Reputasi Utusan sebagai suara nasionalis Melayu yang antipenjajah juga makin besar. Utusan memberikan ruang kepada berita-berita perjuangan kemerdekaan, baik dari UMNO maupun partai-partai politik lainnya seperti Partai Rakyat, Partai Buruh dan Partai Islam se-Malaya (PAS). “Sepanjang ingatanku, Utusan tak pernah pilih kasih dalam memberikan publisiti kepada parti-parti politik. Selain mempertahankan kepentingan agama, bangsa dan tanah air, Utusan juga memperjuangkan keadilan sosial, membongkar penyelewengan dan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan rakyat.”

Pada 1955, Said mendapat tugas menggantikan Aziz Ishak untuk jadi kepala biro Utusan di Malaya yang berkantor di Kuala Lumpur. Sebelum hijrah ke Kuala Lumpur, Said melangsungkan pernikahannya pada 20 November 1955, dengan idaman hatinya, Salamah binti Abdul Wahab. Ia juga sempat mewakili Utusan mengikuti rombongan wartawan Malaya, Singapura, Hongkong dan Borneo Utara untuk melawat ke Inggris selama sebulan sebagai tamu kerajaan itu. Sekembalinya dari London, Said langsung menempati pos barunya di Kuala Lumpur.

Pada masa yang hampir bersamaan, sebuah peristiwa penting terjadi: Samad Ismail dipindahkan ke Jakarta secara tiba-tiba. Ini memunculkan krisis internal dalam Utusan. Tak banyak orang tahu, termasuk Said, apa sebab Samad dipindahkan ke biro Jakarta. Menurut Said, hingga kini persoalan itu masih misterius. Banyak pelaku yang terlibat secara langsung dalam krisis itu sudah tak ada lagi. Samad Ismail sendiri agak keberatan menceritakan sepenuhnya alasan di balik perpindahan itu, termasuk dalam biografinya sekalipun, Memoir Samad Ismail di Singapura.

Said berpendapat krisis itu terkait dengan agenda politik penjajah Inggris yang bakal memberikan kemerdekaan kepada Malaya, tapi mau kepentingannya di sana agar tak terganggu sesudah kemerdekaan. “Aku menjangkakan penjajah Inggris tak mahu Utusan yang akan berpindah ke Kuala Lumpur terus diterajui oleh Samad Ismail. Aku fikir ia berkait rapat dengan status Samad Ismail sebagai bekas tahanan politik dan seorang pengasas PAP yang rapat hubungannya dengan Lee Kuan Yew. Beliau mempunyai pengaruh yang kuat dan hubungannya yang rapat dengan pemimpin-pemimpin radikal di Singapura. Aku kira tentu Inggris mahu Samad Ismail disingkirkan, dengan cara apa sekalipun.”

Dalam suasana krisis internal itulah kantor Utusan berpindah dari Singapura ke Kuala Lumpur pada awal 1958, tanpa Samad Ismail. Yusof Ishak masih menjadi pemimpin umum dan pemimpin redaksi. Said dilantik jadi pengarang berita (setingkat redaktur pelaksana). Yusof Ishak yakin sikap independen Utusan dapat dipertahankan seperti di Singapura walau mereka sudah pindah ke Kuala Lumpur. Said Zahari sendiri menilai Utusan waktu itu sebenarnya lebih memihak kepada kerajaan dan UMNO. Secara umum Utusan mendukung kerajaan, tapi karena ia suratkabar independen, wajar saja bila ia juga memberikan ruang kepada pihak-pihak lain untuk menyuarakan pandangan dan pendapat yang berbeda dengan kerajaan.

Tapi sejak pindah ke Kuala Lumpur, Utusan terus menerima tekanan dari pihak kerajaan, dalam berbagai cara. Pada 1959, Yusof Ishak tak tahan lagi dan hengkang ke Singapura selama-lamanya. Semua saham Utusan pun dibeli oleh kaki tangan-kaki tangan Perdana Menteri Tunku Abdul Rahman dan UMNO. “Begitulah gugurnya Yusof Ishak, gugurnya bukan di tangan penjajah … tetapi di tangan beberapa orang individu dalam UMNO dan Kerajaan Perikatan pada awal zaman Malaya mencapai kemerdekaannya. Tersingkirnya Samad Ismail ke Jakarta dan kecundangnya Yusof Ishak mengakhiri satu era di Utusan. Keduanya menjadi lambang keagungan dan ketrampilan Utusan sebagai akhbar kebangsaan yang bebas. Sejak itu, Utusan mula berubah wajah.”

Setelah Yusof berhenti, dua jabatan penting dalam Utusan dipegang oleh dua orang berbeda: Nordin Sharif memegang pengurus besar (pemimpin umum) dan Said Zahari menjadi ketua pengarang. Dalam suasana tegang saat itu, jabatan panas yang baru diterima Said merupakan sebuah beban berat. Bahkan ada tuduhan terhadapnya bahwa ia telah melakukan kudeta menyingkirkan Yusof, atau ia dipergunakan Tunku dan UMNO untuk menghapuskan penguasaan Yusof ke atas saham Utusan. Namun Said tak peduli. Ia berjanji akan memikul tanggungjawab dan bertekad memegang prinsip Utusan terhadap bangsa, agama dan tanah air, di samping mempertahankan kebebasan persuratkabaran umumnya.

Said dan kawan-kawan menepati janji. Utusan tetap bersikap kritis terhadap kerajaan dan cenderung membela rakyat. Misalnya, dalam kasus penggunaan tanah kerajaan oleh petani Sungai Sirih, Kuala Selangor; kasus kecaman Menteri Pertanian Aziz Ishak soal sikap sebagian pegawai kerajaan yang masih berjiwa kolonial apabila berurusan dengan petani; atau kasus pembangunan pabrik untuk menampung keperluan baja bagi kaum tani di Malaya.

Ada juga beberapa isu politik internasional yang membawa Utusan berbeda pendapat dengan sikap kerajaan. Utusan berdiri di pihak negara-negara yang berjuang untuk mendapatkan pembebasan nasional di Asia dan Afrika serta menentang kaum kolonial dan imperial yang mau mengekalkan kekuasaannya. Misalnya, dalam kasus Irian Barat. Utusan bukan saja 100 persen mendukung Indonesia dan mengecam Belanda, malah juga mengeritik pendirian Kerajaan Malaya yang tak mendukung Indonesia. Padahal saat itu Malaya baru saja mencapai kemerdekaannya pada 30 Agustus 1959 –yang dilakukan secara damai dengan London, berbeda dengan Indonesia yang harus mengangkat senjata melawan Belanda.

Perdana Menteri Tunku Abdul Rahman dan rekan-rekannya dalam UMNO “kebakaran jenggot” terhadap sikap Utusan. Hubungan antara Utusan dengan pemerintahan Tunku, yang sudah terjalin sejak zaman perjuangan kemerdekaan, sedikit demi sedikit retak dan akhirnya putus. Said percaya Tunku menerima tekanan yang tak putus-putus dari rekan-rekannya yang tak senang terhadap sikap kritis Utusan. Tekanan itulah yang membuat Tunku, dengan menggunakan UMNO, merasa perlu menguasai saham Utusan. Ini mencetuskan peristiwa paling penting dalam sejarah Utusan: pemogokan Utusan Melayu pada 21 Juli-21 Oktober 1961.

Tokoh UMNO yang jadi “jenderal” dalam peperangan dengan Utusan adalah Ibrahim Fikri. Ia mewakili sekelompok individu dalam UMNO yang punya hubungan dekat dengan Tunku Abdul Rahman. Ibrahim menemui Said di kantornya sambil mengajukan empat syarat yang harus dilakukan Utusan:

• memberi dukungan kepada UMNO, karena akan lebih menguntungkan secara bisnis;

• menyiarkan berita-berita yang benar tapi membatasi kepala-kepala berita partai lain;

• menyiarkan lebih banyak berita dengan kepala berita yang besar mengenai pernyataan-pernyataan menteri-menteri kerajaan; dan

• mendukung kebijakan kerajaan apabila kebijakan itu sudah dilakukan, dan mengeritik secara halus apabila kebijakan itu hasilnya buruk.

Said dan kawan-kawan menolak tegas empat syarat itu. Setelah diadakan pertemuan mendadak yang diikuti para karyawan Utusan dari bagian redaksi, sirkulasi dan percetakan, mereka sepakat untuk tak mau menyerah kalah, bahkan siap melakukan aksi mogok. Said menulis, “Apa yang kami inginkan hanyalah hak menentukan Utusan tetap hidup sebagai sebuah koran kebangsaan yang bebas, tidak dikuasai oleh partai politik apa pun. Mereka yakin bahwa Utusan yang bebas dari penguasaan seperti itulah yang benar-benar bisa berkhidmat kepada bangsa, agama dan tanah air, bukan kepada satu kelompok orang Melayu yang menganggotai satu partai politik saja. Hanya dengan dasar yang bebas sajalah, Utusan bisa mencerminkan pikiran rakyat, membela nasib rakyat dan memperjuangkan kepentingan rakyat dengan jujur, ikhlas dan berani.”

Benar saja, setelah kantor Utusan dikunci, mereka mendirikan kemah-kemah di luar kantor. Walau menghadapi berbagai rintangan dan kesulitan, kekompakan antara sesama pemogok terus terjalin mantap selama sebulan lebih. Said sempat menengok kantor Utusan di Singapura untuk memberi semangat kepada pemogok-pemogok di sana. Namun pada 2 September 1961, setibanya di Johor Bahru, daerah perbatasan Malaya dan Singapura, saat hendak kembali ke Kuala Lumpur, ia tak diperbolehkan lagi masuk. Tunku Abdul Rahman mengeluarkan surat larangan tertanggal 30 Agustus 1961: “Under section 9 of the Immigration Ordinance, 1959, I hereby by order prohibit permanently the entry into the Federation of Malaya Said Zahari, a citizen of Singapore, formerly of Utusan Melayu Press, Kuala Lumpur.”

Sejak itu, Said terputus hubungan dengan para pemogok di Malaya dan tak pernah lagi masuk Malaya selama hampir 28 tahun! Serentak dengan pengharamannya masuk negeri ini, perpecahan mulai berlaku di kalangan pemogok. Seolah-olah, menurut Said, sebuah komplotan pengkhianatan telah diatur untuk dilaksanakan pada waktu itu. Beberapa orang pemogok tiba-tiba membelot dan meninggalkan rekan-rekan seperjuangan.

Di balik pemogokan ada perdebatan menarik mengapa pihak kerajaan dan UMNO begitu ngotot untuk menguasai Utusan. Dalam bukunya Akhbar dan Kuasa (1996), Mohd. Safar Hasim berpendapat bahwa UMNO yakin Utusan telah dipengaruhi orang Indonesia. Safar mengutip pendapat Tunku Abdul Rahman saat meresmikan kantor baru Utusan pada 9 Februari 1965, “… akhbar ini telah dengan terang-terangan digunakan oleh pihak Indonesia untuk tujuan mereka yang jahat terhadap pemerintahan negara kita. Mereka telah berjaya mencapaikan tujuan mereka itu dengan cara mengupah beberapa orang kakitangan akhbar ini yang tidak jujur dan tidak taat setia kepada negeri ini.”

Tuduhan itu dibantah keras wartawan senior Utusan, termasuk Said Zahari dan Usman Awang. Usman, seperti dikutip Safar, berpendapat tuduhan Tunku itu salah karena para pekerja Utusan sendiri pun tidak tahu langsung tentang Indonesia. “Saya pikir itu satu pendapat yang aneh dan bodoh yang mencari alasan untuk menutupi kenyataan,” kata Usman. Said membenarkan argumen rekannya itu. Ia menegaskan semua tuduhan dibuat untuk memenuhi tujuan-tujuan politik pihak kerajaan dan UMNO.

LEE Kuan Yew bukan orang asing lagi bagi Said Zahari dan Utusan. Said pertamakali bertemu Lee pada 1954 di kantor Utusan di Singapura. Lee saat itu dikenal sebagai pengacara yang cerdas, alumnus sebuah sekolah hukum Inggris, dan mulai dikenal sebagai pemimpin orang Cina Singapura. Lee menjadi pengacara Samad Ismail dan Utusan. Samad memang sudah lama punya hubungan dekat dengan Lee dari PAP yang berhaluan kiri. Samad memperkenalkan Said dengan Lee dan mengarahkannya supaya menghubungi pengacara muda itu jika memerlukan nasihat hukum dalam urusan kerja. “Hubungilah saya, Said, bila masa-masa sahaja,” kata Lee kepada Said. Dia cukup terkesan dengan Lee.

Ucapan Lee itulah yang diingat Said saat terjadi pemogokan Utusan. Said sudah mencoba mengontak Lee sejak di Malaya namun tak berhasil. Ketika mengunjungi para pemogok Utusan di Singapura, Said juga sekaligus ingin langsung menemui Lee yang saat itu sudah jadi perdana menteri Singapura. Dia ingin agar Lee, sebagai tokoh PAP, mencegah Othman Wok untuk tidak memecah kekompakan pemogok. Othman adalah wartawan Utusan sekaligus anggota PAP, namun setelah peristiwa pemogokan, dia diminta Ibrahim Fikri dari UMNO membantunya terus menerbitkan Utusan di Kuala Lumpur.

Usaha Said gagal. Dia kecewa terhadap sikap Lee dan PAP –partai “sosialis yang propekerja” itu yang menghampakan harapan semua pekerja yang sedang mogok di Kuala Lumpur dan Singapura. “Dengan kekecewaan itu, aku telah mengenali beliau dengan lebih dekat lagi dan telah mengenali sifat dan tindak-tanduk PM Lee Kuan Yew dan PAP bersama agenda politiknya…. Sejak hari itu barulah kami tahu siapa Lee Kuan Yew sebenarnya.”

Begitupun, Lee seorang politikus ulung dan cerdik. Beberapa hari setelah Said diharamkan masuk Malaya, Lee membuat pernyataan yang berisi ungkapan rasa prihatin dan simpatinya terhadap tragedi yang menimpa Said, seorang warga Singapura. Sebagai perdana menteri Singapura, Lee mengatakan bahwa pemerintahan PAP akan membantu menyelesaikan permasalahan Said dengan Tunku Abdul Rahman. Dalam sebuah pertemuannya dengan Said, Lee sempat mengatakan, “Said, saya fikir Anda patut mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Kalau tidak Anda mungkin akan terhanyut ke Barisan Sosialis atau Partai Rakyat Singapura, dan ini akan merumitkan lagi urusan saya.”

Said menganggap keprihatinan Lee itu permainan politik belaka. Dia yakin Lee termasuk salah seorang pemain utama dalam arena politik lebih besar yang melibatkan politik Malaya. Said juga memaklumi kebimbangan Lee soal “akan keterhanyutannya” ke dalam Barisan Sosialis dan Partai Rakyat Singapura. Said memang sudah lama berhubungan erat dengan kedua organisasi kiri itu bahkan juga dengan serikat pekerja radikal, mahasiswa dan kelompok sosialis lainnya. Tak heran bila Said sering dicap sebagai komunis, prokomunis dan chauvinis (Melayu). Singapura mayoritas penduduknya keturunan Cina tapi ia dikelilingi negara-negara mayoritas muslim di Malaya dan Indonesia. Pada zaman Perang Dingin, Lee juga menjalin hubungan erat dengan Inggris maupun Amerika Serikat untuk menangkal komunisme di Asia Tenggara. Namun Said berpendapat hubungan-hubungan itu terjalin atas dasar kesamaan pemahaman dan ideologi politik: perjuangan menegakkan keadilan, menghapuskan penindasan, kekejaman, kezaliman dan untuk membebaskan Malaya (termasuk Singapura) dari belenggu penjajah. Hubungan itu semakin erat terjalin setelah ia diharamkan masuk Malaya.

Said mengalami pertentangan hebat dalam dirinya, antara mau terus jadi wartawan bebas atau terjun dalam politik. Sebagai wartawan ia berprinsip untuk mendukung dan memihak kepada politik yang gigih memperjuangkan kebebasan, keadilan sosial dan demokrasi. Karena sudah “terlanjur basah” dan setelah berdialog dengan teman-teman dan tokoh-tokoh politik, baik yang ada di Singapura maupun Malaya, Said akhirnya memasuki Partai Rakyat Singapura pada 1962. Said memilih partai berlambang kepala banteng itu karena dianggap berpotensi untuk menyatupadukan orang Melayu di Singapura.

Partai Rakyat Singapura didirikan Ahmad Boestaman dan kawan-kawan pada 1955 di Kuala Lumpur dengan nama Parti Rakyat Malaya (PRM), berasaskan sosial demokrat dan nasionalisme. Boestaman mendirikan partai itu untuk meneruskan perjuangan PKMM yang telah diharamkan oleh penjajah Inggris menyusul diberlakukannya keadaan darurat pada 1948. Namun pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, Partai Rakyat Singapura menghadapi masalah kepemimpinan dan konflik ideologi, terutama penonjolan ideologi sosialis berkiblatkan Beijing oleh segelintir anggotanya yang keturunan Cina. Ini mengakibatkan sebagian anggota Partai Rakyat Singapura keturunan Melayu menjadi agak bingung, tak berdaya dan akhirnya keluar dari partai.

Persoalan-persoalan inilah yang dihadapi Said saat terpilih menjadi ketua Partai Rakyat Singapura untuk 1963-1964. Said bertekad mengembalikan garis politik Partai Rakyat Singapura kepada landasan asalnya, sambil membuat beberapa perubahan mendasar untuk disesuaikan dengan iklim dan cita rasa politik Singapura masa itu. “Kami merancang untuk menyusun satu manifesto politik PRS yang baru, untuk menggariskan strategi dan taktik perjuangan parti yang pragmatis, realistik dan berpijak di bumi nyata, bumi pulau Singapura dalam konteks tanah besar Malaya,” tulis Said .

Tekad Said itu ternyata cocok dengan ucapan Lee, “Kalau Anda terhanyut dalam PRS, akan merumitkan lagi urusan saya.” Lee membenci PRS dan menuduhnya tempat persembunyian “anasir-anasir” komunis. Karenanya, menurut Said, Lee menggunakan momok komunis untuk menangkap dan menahan musuh-musuh politiknya. Dia juga telah menimbulkan ancaman bahaya penyebaran politik Sukarno dan Partai Komunis Indonesia. Dalam sebuah kampanye anti-Barisan Sosialis, misalnya, Lee membakar perasaan kaum Cina dengan menakut-nakuti mereka tentang Indonesia. Dia mengingatkan bahwa betapa sengsaranya nasib mereka nanti jika Singapura dibanjiri orang dari Indonesia yang mengelilingi Singapura.

Pihak Inggris gembira melihat permainan politik Lee karena memang itulah yang mereka harapkan. Said melihat, membangkitkan sentimen anti-Indonesia dan anti-Sukarno di kalangan rakyat Singapura dan Malaya memang menjadi agenda politik Inggris. Tujuan utamanya, menebus kegagalan komplotan Inggris-Amerika dalam menumpas Sukarno pada 1950-an. Kali ini, dengan dukungan politik dari Lee Kuan Yew dan Tunku Abdul Rahman melalui proyek pembentukan Malaysia (1961), Inggris merasa lebih yakin akan berhasil menjatuhkan Sukarno dan sekaligus menghancurkan pengaruh PKI pimpinan D.N. Aidit. Inggris saat itu sudah mendapat jaminan bantuan militer dari Australia, Selandia Baru, dan Amerika jika tindakan militer terhadap Indonesia diperlukan.

Said membuktikan, niat jahat penjajah Inggris itu berhasil apabila Indonesia merasa tertantang untuk berkonfrontasi dengan Malaysia. Konfrontasi “Ganyang Malaysia” pada 1963 ditujukan kepada Malaysia, tapi pada hakikatnya terhadap kekuasaan Barat yang mendalangi Malaysia. Presiden Sukarno sendiri terjepit di tengah-tengah perang saudara sesama rakyat Indonesia. Konfrontasi kemudian ditutup Jenderal Soeharto, yang didukung kekuatan Inggris-Amerika, mengambilalih kepresidenan Indonesia tak lama setelah peristiwa 30 September 1965. Sejak itu kemerdekaan sejati Indonesia berakhir dan muncullah zaman neokolonialisme.

SUATU malam bulan Ramadhan, 1 Februari 1963, Said Zahari baru saja terpilih jadi ketua Partai Rakyat Singapura dalam sebuah rapat khusus partai itu. Seusai rapat, ia mampir ke rumah temannya untuk meminjam tali leher (dasi) yang akan dibawanya ke Jakarta esok paginya, untuk menghadiri sidang Sekretariat Wartawan Afro-Asia. Dia pulang ke rumahnya di Kampung Kebun Ubi, Singapura, lalu tidur. Tiga jam kemudian, menjelang sahur, 2 Februari 1963, ia dibawa secara paksa oleh enam polisi khusus Singapura dengan mobil yang diiringi sebuah jip tentara Ghurka lengkap bersenjata.

Penangkapan Said oleh kakitangan Lee Kuan Yew. Said meringkuk dalam beberapa penjara Singapura: dari Penjara Outram, Penjara Changi, Penjara Kawalan Sederhana, Penjara Pusat Bulan Sabit, sampai dibuang ke Pulau Ubin. Semuanya menghabiskan waktu hampir 17 tahun! Selain Said, lebih dari seratusan pemimpin Barisan Sosialis, Partai Rakyat Singapura, serikat buruh, mahasiswa Universiti Nanyang dan Universiti Singapura, serta beberapa wartawan suratkabar berbahasa Mandarin juga ditangkap. Mereka ditangkap dalam sebuah operasi besar-besaran yang disebut Operation Cold Store.

Mereka ditangkap di bawah undang-undang Preservation of Public Security Ordinance. Di bawah undang-undang ini, orang yang ditangkap tak perlu dibicarakan di mahkamah terbuka. Karena itu, mereka dipanggil “tahanan politik” bukan “banduan penjenayah” (tahanan kriminal), dan bisa ditahan selama mungkin. Mereka dituduh anggota Partai Komunis Malaya atau orang yang bersimpati kepada komunis, atau menjadi anggota organisasi front bersatu komunis. Mereka juga dituduh mau menggulingkan pemerintahan PAP dengan kekerasan.

Kalau mereka dikemukakan ke mahkamah secara terbuka dengan tuduhan seperti itu, Said yakin tidak ada seorang pun yang akan didapati bersalah. Mereka ditangkap, ditahan, didera dan disiksa secara fisik dan mental, kemudian dipaksa mengakui sudah melakukan kesalahan dan bertaubat. Bukan itu saja, sudah bertaubat tak mau lagi “buat kerja salah,” mereka dipaksa pula memuji orang yang menangkap dan menahan mereka. Karena tak tahan didera dan disiksa, banyak tahanan politik yang tunduk kepada kemauan si penangkap, lalu membuat pengakuan di depan TV, sebelum dibebaskan. Demikian kejam dan tidak adilnya undang-undang itu. Ia digunakan semata-mata untuk keselamatan politik PAP pimpinan Lee Kuan Yew.

Said tetap degil dan “keras kepala” untuk teguh pada pendiriannya. Dia dicacimaki, diancam tembak, diteror dan sebagainya. Namun banyak juga kisah menarik, mengharukan bahkan lucu, yang Said sendiri tak pernah membayangkan sebelumnya. Misalnya, bersama para tahanan politik lain, ia sempat belajar bahasa Mandarin. Dalam kesepian kamar tahanan yang kumuh, sempit dan pengap, ia juga mampu menuangkan berbagai perasaan marah, pedih dan pahitnya dalam bentuk puisi. Sajak-sajak berbahasa Melayu, Inggris dan Mandarin itu dicorat-coret di atas kertas tandas yang diambilnya secara sembunyi-sembunyi.

Beberapa sajak berhasil diselundupkan ke luar penjara walau banyak juga yang dirampas kakitangan penjara. Puisi itu dikumpulkan dan diterbitkan dalam buku Puisi dari Penjara/Poems from Prison (1973).

Said juga bercerita tentang See Kim Chong, sahabatnya selama di tahanan, yang mengajarnya bahasa Mandarin. Saat hendak dibebaskan, Kim Chong datang ke bilik Said sambil menyerahkan kenang-kenangan sebuah kitab suci al Quran dengan tafsirnya dalam bahasa Indonesia karya Mahmud Junus. Ketika Said mengucapkan terimakasih, Kim Chong sambil tersenyum memberitahu bahwa dirinya sudah tamat membaca kitab itu. Teman tahanannya yang lain, yang sudah bebas, T.T. Rajah, pernah mengiriminya The Glorious Koran karya M. Pickthall.

Said tersiksa ketika ditahan di ruang khusus tanpa boleh berkomunikasi dengan tahanan lain. Said menemukan sebuah “teori komunikasi” unik dan menggelikan yang didapatnya dari teman tahanan tetangganya melalui pesan di kertas tissue kumal. Pesan itu berbunyi, “Gunakan batang berus (sikat) gigi untuk mengetuk perlahan-lahan pada dinding bilik sambil baring rapat di tembok. Untuk huruf `a’ ketuk satu kali, huruf `b’ ketuk dua kali, huruf `c’ ketuk tiga kali dan seterusnya. Kita akan gunakan bahasa Inggeris yang senang-senang ….”

Said geli membacanya. Karena penasaran, selain untuk mengisi kebosanan, dia mencobanya dan berhasil. Bayangkan, untuk menulis kalimat, “Apa khabar”, dia harus mengetuk dinding 141 kali. Untuk mengetahui jawaban tetangganya, dia terpaksa berkonsentrasi mendengar dan menghitung berapa jumlah ketukan untuk setiap huruf lalu menghubungkannya menjadi perkataan dan seterusnya menjadi kalimat! Begitulah yang sering dilakukan Said dan tetangganya. “Kalau Anda tertarik dan penasaran, silakan mencobanya sendiri,” kata Said.

Persoalan menyedihkan selama di penjara adalah soal keluarga. Walau mereka sering menjenguk ayahnya, anak-anak Said Zahari sangat merasakan langsung kekejaman politik Lee. Apalagi kalau menghadapi tuduhan-tuduhan ngawur bahwa ayahnya komunis (sebuah tuduhan yang menurut Said masih muncul hingga kini walau dia sudah membantahnya). Salamah setia, tabah dan tak pernah putus asa dalam mendidik tiga anaknya (Roesman, Rismawati dan Noorlinda). Termasuk saat dia mengalami sendiri dua peristiwa penting di rumah sakit tanpa didampingi suaminya: operasi kanker payudara dan kelahiran Noorlinda.

Tentang Linda, panggilan puteri bungsu Salamah-Said itu, Said punya catatan khusus: dia lahir tiga bulan setelah ayahnya dipenjara. Said membuat puisi istimewa untuknya, “Born Unfree.”Linda pun, juga dua kakaknya, merasakan betapa sedihnya menjalani masa kanak-kanak dan remaja tanpa kasih sayang ayahnya.

Pada 15 Februari 1976, semasih ayahnya dipenjara, Linda meluapkan jeritan sedihnya dalam acara Konvensi Hak Asasi Manusia di Kuala Lumpur: “Nama saya Linda. Nama emak saya Salamah. Nama bapa saya Said Zahari. Saya berumur 13 tahun. Tapi saya tak merasa dapat belaian dari bapa, saya tak pernah ditimang oleh bapa. Sebab masa saya lahir bapa sudah ditahan dalam penjara. Bila saya melawat bapa saya di tempat dia ditahan, saya hanya bercakap dengan bapa melalui talipon, kami tak dibenarkan dekat….”

Pada 22 Agustus 1979, ketika Linda sudah berumur 15 tahun, Said tiba-tiba dibebaskan dari Pulau Ubin, tempat dia dibuang dan diasingkan. Saat itu Said bersama jiran-jirannya umat Islam tengah bersiap-siap menyambut Idul Fitri, hari kemenangan. Dia disambut gembira istri, anak-anaknya, serta cucu-cucunya.

Kelegaan keluarga Said Zahari bertambah 10 tahun kemudian (Mei 1989), ketika dia dinyatakan boleh kembali masuk Malaysia. Setelah hampir 28 tahun, surat perintah Tunku Abdul Rahman yang mengharamkan Said masuk Malaya, telah dimansuhkan oleh Perdana Menteri Mahathir Mohamad. Sejak hari itu, Said bebas keluar-masuk Malaysia, tempat dia telah bekerja sebagai wartawan Utusan selama tujuh tahun (1954-1961).

Penghapusan itu bukan terjadi begitu saja. Pada waktu itu ada rencana perayaan besar-besaran hari ulang tahun Utusan yang ke-50 di Kuala Lumpur. Said sebagai wartawan senior koran itu diundang untuk menghadirinya, malah juga diminta menulis sebuah artikel untuk buku tentang perjalanan sejarah Utusan (diterbitkan dengan judul Di Sebalik Jendela Utusan). Said setuju untuk menulis, tapi minta maaf tak bisa hadir karena dilarang masuk Malaysia. “Perkara itu boleh diluruskan. Kami berharap Encik Said ikut dalam perayaan ini,” kata Zainudin Maidin, ketua pengarang Utusan. Jadi, bereslah urusan dan Said pun masuk Malaysia kembali.

Begitupun, Said tetap Said, yang teguh pada pendiriannya. Dalam buku itu, misalnya, dia menulis artikel bertajuk, “Mogok Utusan –Kenapa dan Untuk Apa?” Di situ ia kembali secara kritis mengungkapkan peristiwa mogok yang sebenarnya. Tak ada yang berubah dalam pandangannya, terutama soal kebebasan media.

Sayangnya, ketika menyorot bagaimana posisi Utusan pascamogok bahkan hingga hari ini, suratkabar yang mutunya sudah merosot sekali itu, Said tak langsung mengemukakannya. Dia hanya menulis, “… biarlah para pembaca Utusan sendiri dan rakyat umum yang membuat keputusan.”

Bukan rahasia umum bahwa Utusan termasuk salah satu suratkabar yang paling tidak independen di Malaysia. “Utusan sejak itu hingga kini telah menjadi corong UMNO dan pemerintahan Mahathir,” kata Mustafa K. Anuar dari Universiti Sains Malaysia.

Saat memperingati hari kebebasan media 3 Mei 1999, sejumlah 580 wartawan Malaysia membuat memorandum agar kebebasan media di Malaysia tidak ditekan. Mereka mengusulkan kepada Kementerian Dalam Negeri Malaysia agar Akta Penerbitan dan Mesin Cetak 1984 serta Akta Keselamatan Dalam Negeri (ISA) dihapuskan. Akta-akta itulah yang antara lain membuat para wartawan dan media di Malaysia tidak bisa bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintahan Malaysia. Apalagi beberapa media besar, seperti Utusan, dimiliki orang-orang yang dekat dengan kerajaan dan UMNO.

Said gembira dengan memorandum itu. Sepanjang ingatannya, inilah kali pertama –sejak peristiwa mogok Utusan– wartawan menuntut kebebasan media di Malaysia walau hanya dalam bentuk surat saja. Justru yang dia prihatinkan, tokoh-tokoh wartawan Malaysia semua membungkam soal memorandum itu. Media tempat wartawan-wartawan penandatangan memorandum itu bekerja, pun tak merasa terpanggil untuk mengulas isu itu. “Ironi bagiku,” kata Said.”

TIBA-TIBA teh manis buatan Salamah sudah habis saya minum. Saya pamit kepada Said dan Salamah sambil mengucapkan terimakasih. Ketika mencicipi teh tarik dan roti canai di Stasiun Kuala Lumpur Sentral, saya menyaksikan banyak anak muda Melayu membawa bendera Malaysia sambil berteriak, “Merdeka, merdeka, merdeka ….”

Saya langsung teringat kisah Said. Waktu itu, pada 1947 atau 1948, pemuda Said berada Lapangan Farrer Park, Singapura, bersama ribuan orang untuk mendengarkan rapat umum partai-partai politik. Semua orang berbaris rapi dan berkelompok sesuai dengan partainya masing-masing. Said kebingungan, di barisan partai mana ia harus ikut.

Nah, saat Said celingak-celinguk itulah, seorang pemuda Cina sebayanya menarik tangannya dan mengajaknya ikut dalam barisan partainya. “Bolehkah?” tanya Said. Pemuda itu hanya tersenyum mengiyakan. Acara pun dimulai. Semua orang, juga Said, berteriak, “Merdeka, merdeka, merdeka….”

Seusai acara, Said menjabat tangan pemuda Cina itu sambil menanyakan barisan partai mana yang mereka ikuti itu. Pemuda itu menjawab, “Partai Komunis Malaya.”

Said mengulangi keheranan, “Partai Komunis Malaya?”

“Ya, Partai Komunis Malaya.”

Said tak tahu apakah pemuda itu menyangka dirinya tidak senang mengikuti barisan partai itu. Tapi Said mengaku sama sekali tak menyesal mengikuti rapat terbesar yang pernah diikutinya itu.

Di tempat roti canai itu, saya berandai-andai: jangan-jangan waktu itu Lee Kuan Yew melihat di mana posisi Said berbaris. Dan 15 tahun kemudian, Lee menuduh Said sebagai komunis dan kemudian mengurungnya selama hampir 17 tahun!*

by:Nasrullah Ali-Fauzi