dan Irawan Saptono

SEBUAH suara ledakan didengar Rakadeni Wardhana, wartawan foto Radar Bali, dari jalanan Denpasar, Sabtu 12 Oktober lalu. Malam hampir larut. Radar Bali baru saja naik cetak. Raka memacu motornya, mencari sumber ledakan di sekitar Renon, wilayah perkantoran Denpasar. Raka tak menemukan apa-apa.

Ia membelokkan motornya ke sebuah rumah bilyar. Justin Herman, pemimpin redaksi Radar Bali, ada di sana. Baru tiga kali Raka menyodok bola, telepon seluler Justin berbunyi. Seseorang memberitahu ada bom besar meledak di Jalan Legian, Kuta.

Justin, Raka dan reporter Djoko Heru Setyawan, segera meletakkan tongkat bilyar, buru-buru membayar dan bubar. Raka dan Djoko bergegas ke Kuta, dengan motor 15 menit sudah sampai.

Di sana ternyata mereka bukan wartawan yang pertama. Mereka melihat pusat ledakan terletak persis depan diskotek Sari Club dan bar Paddy’s. Raka segera menarik kamera digital dari ranselnya. Suasana histeris. Jalan Legian penuh sesak. Orang tumpah-ruah di jalanan. Banyak turis menangis. Mengerang-erang. Berteriak-teriak kesakitan. Api berkobar di mana-mana. Sari Club dan bar Paddy’s terletak berseberangan. Di sana banyak mayat dan potongan tubuh mayat terbakar. Berdarah-darah, tersebar di mana-mana. Bahkan jatuh di atap dan halaman rumah penduduk. Orang yang berkerumun di sekitar ledakan berteriak-teriak minta tak seorang pun mendekat. Mereka takut ada ledakan berikutnya.

Raka tak percaya. Ia belum pernah memotret adegan sedahsyat ini. Ia masih muda, usianya 23 tahun, masih kuliah di Universitas Udayana. Seharusnya bukan tugasnya memotret peristiwa ini. Ia wartawan foto olahraga. Ayahnya, Djoko Sugianto, juga wartawan foto, bekerja untuk majalah Matra, juga memotret semalaman dengan perasaan tak menentu.

Raka harus mendekati api. Kamera yang dibawanya tak mampu mengambil gambar dari jauh. Sembilan belas frame gambar terekam kameranya. Hanya setengah jam, Raka kembali ke kantor agar foto-fotonya bisa dimuat di halaman satu Jawa Pos.

Radar Bali adalah anak perusahaan Kelompok Jawa Pos dari Surabaya. Jawa Pos belum deadline untuk halaman satu. Radar Bali dijual bersama Jawa Pos yang beredar di Bali –sebagai seksi terpisah, delapan halaman dan dikerjakan tim tersendiri yang merangkap biro Bali Jawa Pos.

Di kantor Radar Bali, Justin Herman memimpin reportase. Semua wartawan, yang bisa dikontak, diminta kembali ke kantor dan disebar ke lokasi kejadian dan rumah-rumah sakit terutama rumah sakit Sanglah.

Justin sedikit lebih tua dari Raka, usianya 32 tahun, tubuhnya kurus, agak tinggi dan berkumis. Ia bekerja buat Jawa Pos mula-mula di Dili, Timor Timur, ketika masih dikuasai Indonesia. Di Dili, ia mengalami banyak peristiwa yang menegangkan, termasuk chaos menjelang referendum 1999. Namun serangan bom besar di Kuta, dengan jumlah korban yang banyak dan kondisi memilukan, tak pelak membuatnya gundah.

Api belum padam di Kuta, dan para korban yang luka-luka masih tergolek tak berdaya, tapi berita serangan bom sudah sampai di Jakarta, dan akhirnya seluruh dunia. Supri Priambodo dari biro Reuters Jakarta menelepon Radar Bali, minta foto. Raka memindahkan foto-fotonya ke komputer. Beruntung, ia menggunakan kamera digital, sehingga tak perlu menunggu toko atau laboratorium foto buka esok harinya. Malam itu pula, foto-foto Raka dikirim ke Reuters lewat email.

Menurut Raka dan Justin, Associated Press juga membeli foto-foto Radar Bali. Bom Bali dianggap berita besar kelas dunia. Minggu dini hari, foto-foto jepretan Raka sudah mulai terlihat pada situs web www.yahoo.com.

Emosi meluap. Kendati redaksi Radar Bali menekan keinginan mereka untuk terlibat dalam spekulasi, terutama tentang siapa pelaku pengeboman, kata-kata keras tak urung muncul di harian itu. Teks tujuh foto yang muncul hari Senin terbaca, “Biadab! Hanya satu kata itulah yang pantas ditujukan kepada pelaku-pelaku pengeboman Sari Club, Kuta.”

Justin dan kawan-kawan terus mengikuti perkembangan jumlah korban. Minggu dini hari, jumlah korban tewas yang bisa dihitung baru 15 orang. Minggu pagi pukul 07.00 jumlahnya jadi 54 orang, dua jam kemudian 131 orang, kebanyakan turis asing. Ternyata naik terus hingga tembus 180 orang. Cukup banyak turis Australia dinilai meninggal, belum lagi yang dinyatakan hilang.

Australia berkabung secara nasional. Sama juga Bali. Semua rumah di Bali mengibarkan bendera setengah tiang selama beberapa hari. Harian Australia, The Sydney Morning Herald, memasang banner merah bertuliskan, “Australia in Mourning” –di bawah logo halaman satu. Hari Selasa Herald juga memuat foto-foto korban tewas semasa hidup dengan pose hampir semuanya tersenyum. Judul berita utamanya, “Smiles Forever Lost” (Senyum yang Hilang).

Kuta, desa di kabupaten Badung, Bali, memang bisa disebut sebagai desa dunia. Sepanjang tahun desa ini dihuni ribuan orang dari berbagai negara. Orang Australia menganggap Kuta sebagai pekarangan belakang rumah mereka sendiri. Bali hanya ditempuh selama lima jam terbang dari Sydney, dari Darwin kurang dari satu jam.

Kuta menyediakan kenyamanan bagi turis Australia, yang kaya maupun biasa. Mereka bisa tinggal di kamar yang disewakan di gang-gang sempit dengan harga murah, wilayah Poppies, dan bisa makan di warung-warung nasi, yang harganya sangat murah bagi turis asing. Turis yang lebih berada biasa menginap di Nusa Dua –tarif kamar dengan dollar. Sari Club dan Paddy’s, yang hancur dan hangus itu, terletak di tengah-tengah "Kampung Australia" ini. Tepat di ujung gang Poppies I.

Diskotek Sari Club sering dikunjungi orang Australia atau turis kulit putih pada umumnya. Tempatnya terbuka, dan ramai sekali, sehingga sering pengunjung harus antri. Tiap malam, para turis dari berbagai negara, seperti Inggris, Swedia, Australia, Amerika, Jerman, Argentina, berkumpul di sini. Orang-orang Indonesia tak banyak yang masuk ke sini. Sari Club seringkali diidentikkan dengan klub orang kulit putih.

DI Kuta ada komunitas Islam yang menetap di Jalan Bakungsari. Komunitas ini sudah lama ada. Warganya kebanyakan lahir dan besar di Kuta. Bakungsari terletak tak jauh dari dua diskotek itu.

Dari sini, ledakan Sabtu malam memekakkan telinga. Agus Bambang Priyatno, biasa disebut media dengan Haji Bambang, adalah tokoh komunitas Muslim Bakung. Tidak sulit menemukan lelaki ini. Hampir semua warga Kuta mengenalnya. "Haji Bambang sedang berada di lokasi kejadian. Cari saja di sana, tanya orang-orang, yang mana Haji Bambang, semua orang tahu," ujar seorang kerabat Haji Bambang.

Kamis, hari keempat setelah peledakan, Haji Bambang masih sibuk mengumpulkan sisa-sisa sepatu milik para korban. Lelaki itu paruh baya. Logat Balinya kental. Ia berkaos, celana doreng, dan sandal kulit. Tumpukan sepatu yang dipungutinya dari reruntuhan sudah menggunung. Dia bisa menerobos ke mana pun. Polisi hormat padanya. Seorang perwira polisi sesekali mengajaknya bicara.

"Nanti akan ada 50 keluarga korban dari Australia yang hendak berdoa, tolong diatur dan diberi jalan agar lancar," ujar Haji Bambang, meminta para polisi yang berjaga di ujung Jalan Legian bersiap-siap.

Sejak peledakan, Haji Bambang ikut mengangkuti korban luka, korban tewas, dan potongan-potongan mayat ke rumah sakit. Anggota komunitas Islam Bakung, terutama yang yang bergabung dalam Rukun Kipayah desa Kuta, yang dipimpinnya, bergerak bersama-sama warga Hindu yang dipimpin bandesa (ketua) adat Kuta, Made Wendra. Wendra menyetir mobilnya sendiri mengangkut para korban ke rumah sakit.

Inilah realitas keragaman pengeboman Bali. Sukarelawan datang dari berbagai negara, dengan warna kulit, agama, umur, jenis kelamin, maupun latar belakang beragam. Kuta tidak hitam putih. Korbannya juga tidak hitam putih. Haji Bambang hanya satu dari ratusan orang, yang turun-tangan membantu korban pengemboman Bali. Mereka bekerja dari memungut sepatu hingga mendirikan pusat informasi di rumah sakit Sanglah. Mulai dari membuat situs web hingga menghubungi hotel-hotel agar membantu sanak-saudara korban yang butuh penginapan. Mereka juga mendirikan pusat informasi di bandar udara Ngurah Rai –agar kerabat korban mendapat pelayanan langsung setibanya di Bali.

Keragaman ini tak luput dari liputan media Bali. Harian Denpasar Post pada hari Senin menulis berita berjudul, "Bantu Evakuasi Korban, Warga Kuta dan Muslim Berbaur." Isinya menceritakan kerja sama komunitas Islam Bakung dan komunitas Hindu Kuta. Tokoh-tokoh Kuta dikutip menyampaikan penghargaan pada Haji Bambang. Camat Kuta Made Subawa memuji kerja sama ini.

Ini kebijakan redaksi resmi. I Gusti Putu Artha, redaktur pelaksana Denpasar Post, mengatakan, “Berita itu untuk menciptakan suasana sejuk. Kami tahu sendiri bagaimana masyarakat sedih dan marah akibat peristiwa ini. Kami tak ingin konflik Ambon terjadi di Bali. Kami sadar media memiliki daya hipnotis yang besar bagi masyarakat. Kalau media tidak bisa bertindak arif, yang ditakutkan adalah dampaknya di masyarakat.”

Denpasar Post milik Kelompok Media Bali Post. Sama dengan Radar Bali, yang jadi sisipan Jawa Pos, Denpasar Post sisipan Bali Post.

Artha memilih kebijakan itu karena krisis ini potensial mendorong warga Bali mencari kambing hitam. Di mana pun, kecenderungan mencari kambing hitam, biasa diarahkan kepada kelompok minoritas. Bukan hanya Bali, bukan hanya masyarakat berkembang. Bali adalah daerah yang didominasi orang Bali beragama Hindu. Minoritas yang mungkin bisa kena getah pengeboman Bali adalah “warga pendatang” –sebuah istilah politis yang arti sebenarnya orang non-Bali tapi warga Indonesia. Mereka sering mendapat stereotip sebagai pelaku tindak kriminal terutama pencurian.

Kebijakan inilah yang mendorong sebagian besar media Bali, elektronik maupun cetak, untuk menekankan keberagaman dan kebersamaan ketika mereka sedang dilanda krisis. Artha juga pembawa acara Topik Pers.

HARIAN Bali Post dan Denpasar Post biasanya deadline pukul 23.00. Nyoman Wirata, redaktur pelaksana Bali Post, berada di rumah Sabtu malam itu karena sedang libur. Edisi Minggu dikerjakan tim khusus. Ketika mendengar bom meledak di Kuta, Wirata menelepon kantor dan minta menunda cetak untuk memasukkan laporan bom.

Bali Post beruntung, wartawan foto yang dikirim menenteng kamera digital. Tiga lembar foto dipasang di halaman satu, melengkapi headline Minggu berjudul, “Ledakan Guncang Kuta.” Edisi hari itu, dan edisi-edisi berikutnya, jumlah oplah Bali Post ditambah hingga 15 ribu eksemplar.

Dalam situasi krisis, warga butuh informasi, dan harian ini berusaha memenuhinya. Tapi Bali Post sadar, serangan teroris ini bisa membangkitkan persepsi yang kurang baik dari masyarakat Bali terhadap radikalisme sebagian orang Islam. Kalau mereka salah posisi, bisa-bisa muncul citra bahwa bom ini identik dengan Islam. Terorisme, terutama sejak serangan 11 September 2001 di New York dan Washington, sering dipersepsikan sebagai gerakan kekerasan oleh kelompok-kelompok Islam garis keras.

Wirata membuat kebijakan editorial dengan hati-hati. Tidak ada analisis tentang siapa pelaku serangan bom. Fokus pemberitaan pada apa yang terjadi di lapangan. Kutipan diambil dari otoritas yang berwenang. “Berita-berita kami juga tidak berupaya menuduh organisasi-organisasi tertentu,” ujar Wirata. Wartawannya diminta bekerja keras meliput di lapangan.

Di tempat lain Sabtu malam harian Nusa juga sudah siap cetak. Redaktur pelaksana Gede Pasek Suardika sedang bergegas ke pura ketika mendengar ledakan. Langit Kuta terang kemerahan. Ia menelepon Lukman Siswo Bintoro, wartawan foto Nusa. Lalu menelepon kantor, ternyata masih ada dua redaktur. Para wartawan dikontak lagi.

Suardika segera menuju kantor. Perubahan langsung dilakukan. Format halaman muka Nusa Minggu diubah. Bom di Jalan Legian jadi headline. Nusa tak punya foto. Lukman masih bekerja dengan kamera biasa. Dia butuh waktu hingga esok siang untuk mencetak. Maka Minggu pagi berita Nusa hanya dilengkapi gambar peta Pulau Bali dan denah tempat kejadian.

Tujuh wartawan dan seorang wartawan foto meliput di Legian. Dini hari, disusul seorang redaktur bertugas di rumah sakit umum Sanglah. Malam itu mereka berusaha menghitung korban tewas. Wartawan Nusa di Legian menghitung sampai 40 orang tewas dan di Sanglah 14 mayat. Informasi korban masih simpang siur.

Nusa juga mendapatkan informasi bahwa ada 10 warga negara Pakistan ditangkap polisi di daerah Nusa Dua. Mereka juru dakwah yang sudah lebih dari sebulan menetap di Bali, berkeliling mengadakan dakwah di sejumlah masjid. Informasi dari polisi ini, menurut Suardika, sebetulnya layak berita. Hanya saja Nusa mengurungkan niat untuk menurunkan beritanya.

Para redaktur menganggap informasi ini sangat peka mengingat warga Bali sedang sedih dan marah. Bila informasinya keliru, bisa saja muncul kesan, penangkapan itu terkait dengan pelaku pengeboman. Mereka khawatir muncul kesimpulan yang keliru karena isu terorisme sering dikaitkan dengan Islam garis keras. Berita itu disimpan dulu.

Radar Bali juga menyimpan informasi ini. Pertimbangannya sama. Peka dan bisa memanaskan suasana.

Dua hari kemudian, ketika kekagetan Minggu mulai mereda, Bali Post menulis pemeriksaan terhadap warga Pakistan ini. Isi beritanya agak samar. Mereka tidak menunjuk kewarganegaraan orang-orang ini. Judul beritanya, “Ungkap Bom Kuta, Dua WNA Diperiksa.” Berita ini menyebutkan sejumlah warga negara asing diperiksa terkait dengan ceramah-ceramah mereka di sejumlah tempat di Bali tanpa izin. Bali Post mengutip pernyataan dari juru bicara polisi Bali Yatim Suyatmo.

Nusa juga menulis berita ini tapi disisipkan dalam berita lain. Mereka menganggap suasana sudah lebih dingin. Hari berikutnya, headline Bali Post menjelaskan semuanya. “10 Warga Pakistan Diperiksa Intensif.” Bali Post memberikan keterangan 10 orang itu dengan “semuanya pria berjenggot dengan pakaian khas lengkap dengan jubahnya berasal dari Pakistan.” Ini agak aneh karena mereka menghindar dari pemakaian kata “muslim” atau “Islam” walau “berpakaian khas” sehingga dengan mudah bakal muncul kesan bahwa 10 orang Pakistan itu adalah muslimin.

Tapi Bali Post juga memuat bantahan Suyatmo. Pemeriksaan itu masih awal untuk menyimpulkan apa-apa yang relevan dengan bom. Namun ucapan Suyatmo dibenturkan dengan penyataan kepala polisi Indonesia Da’i Bachtiar dari Jakarta. Da’i mengatakan, 10 warga Pakistan itu diperiksa berkaitan dengan peledakan bom di Kuta.

Radar Bali pada hari yang sama melepaskan berita itu dan dimuat di halaman pertama Jawa Pos. “Kami memutuskan memberitakan informasi itu edisi Rabu, setelah Bali Post menurunkannya di edisi Selasa,” ujar Justin Herman.

Redaksi Radar Bali sadar isu terorisme sangat peka. Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Maka, redaksi menghindari pemuatan komentar-komentar yang menuduh kelompok-kelompok Islam garis keras, baik yang berbasis di Indonesia maupun yang di luar negeri.

Nusa memotret sebanyak mungkin fakta dan peristiwa dalam pada proses penyelidikan. Nusa misalnya sengaja menulis pernyataan walikota Denpasar A.A. Ngurah Puspayoga yang berjanji memberikan perlindungan bagi “warga pendatang.” Mungkin ini agak berlebihan karena malah bisa menimbulkan kesan sebaliknya bahwa ada sesuatu dengan para pendatang ini.

Berita ini, kata redaktur pelaksana Nusa Gede Pasek Suardika, dibutuhkan karena potensi konflik di Denpasar besar. “Kami ingin dan harus ikut melembutkan konflik yang terjadi,” kata Pasek.

Nusa juga memuat berita penguburan tiga warga Kampung Islam, desa Pamogan, Denpasar Selatan, yang jadi korban bom. Berita ini sengaja didepankan pada hari Senin karena menonjolkan unsur keragaman. Sekali lagi ada bukti bahwa pengeboman ini makan korban bukan hanya turis Australia atau orang Bali tapi juga “warga pendatang.”

Nusa menyebut ketiga nama almarhum: Faturahman, Ahmad Soeharto, dan Haris. Nusa juga mengutip pernyataan Said Dudin, seorang tokoh Muslim di sana, yang mengutuk serangan bom.

KALAU ada televisi yang bisa membuktikan bahwa siaran televisi seharusnya tak hanya dimonopoli dari Jakarta, karena mereka juga dibutuhkan publik setempat, maka Bali TV adalah contoh yang tepat. Bom Kuta membuat awak Bali TV bekerja keras melayani kebutuhan informasi publik.

Biasanya Bali TV siaran sore dan hanya hari libur siaran pagi. Bali TV mengudara pertama kali 26 Mei lalu. Setiap Minggu biasanya tak ada acara berita. Tapi Minggu 13 Oktober lalu, keadaannya luar biasa. Bali dilanda bom dan jadi berita dunia. Gede Nyoman Suryawan, kepala pemberitaan Bali TV, memutuskan bikin siaran berita khusus untuk peristiwa besar ini.

Sabtu malam itu tak ada reporter maupun kameraman. Tiga orang teknisi ruang master control masih berjaga: Mastawan, Cahyadi, dan Agus Supartana. Maklum, malam Minggu semua orang sudah pulang sebelum pukul 23.00. Memang jadwalnya begitu. Ledakan keras itu didengar hingga kantor Bali TV. Petugas jaga kantor memberitahu ada telepon yang memberitahu ledakan bom terjadi di Kuta.

Ketiga teknisi itu bertindak cepat. Tanpa pikir panjang, mereka mengambil kamera dan meluncur ke Kuta. “Kalau saya cari reporter dan kameraman, takut peristiwanya lewat,” ujar Mastawan.

Mereka sadar tak memiliki kemampuan jurnalisme, tak bisa wawancara, tak kenal sumber-sumber, tapi mereka menguasai kamera video, dan bisa merekam gambar. Maka mereka mengambil gambar sebanyak-banyaknya. Mereka menghubungi reporter Bali TV ketika sudah berada di Kuta.

Keputusan ini terbukti cemerlang. Ketika di Jakarta, stasiun khusus berita Metro TV masih menyiarkan peristiwa ini lewat hubungan telepon (tanpa gambar), Bali TV sudah siaran dengan gambar.

Breaking news Bali TV tak terhitung jumlahnya. Breaking news ini bergantung pada perkembangan yang terjadi di lapangan. Tayangan rekaman peristiwa dan reportase lainnya sengaja diulang-ulang agar pemirsa yang belum sempat menonton tidak merasa ketinggalan berita.

Ulil Abshar-Abdalla, seorang aktivis Jaringan Islam Liberal dari Jakarta, yang kebetulan berada di Denpasar, mendengar ledakan ketika ada di hotel –mengobrol dengan beberapa orang. Mereka memutuskan mendekati lokasi. Tapi semua jalan masuk tertutup. Ulil kembali ke hotel dan menonton Bali TV sudah siaran. “Mencekam sekali,” kata Ulil.

Gede Nyoman Suryawan tiba di studio sekitar pukul 03.00. Setelah itu ia berjaga di kantor hingga pukul 23.00. Reportase dilakukan bekerja sama dengan wartawan Bali Post –induk perusahaan Bali TV.

Waktu yang cepat berputar, peristiwa yang terus bergerak, membuat para editor Bali TV tak sempat menyunting gambar dengan teliti. Mayat-mayat yang tidak utuh dan potongan-potongan mayat terlihat jelas di layar kaca.

Tapi Bali TV juga hati-hati untuk siaran langsung. Mereka biasa membuka dialog interaktif lewat telepon dengan pemirsanya. Topik-topiknya aktual. Namun, untuk peristiwa serangan bom ini, Suryawan memilih tak menyelenggarakan dialog interaktif.

Salah satu kekurangan siaran langsung adalah ketiadaan waktu untuk melakukan verifikasi. Belum lagi kalau ada penelepon yang menggunakan media untuk menyatakan kebencian. Bali TV memutuskan tak ambil resiko bila ada pemirsa mencaci-maki. “Dialog interaktif tak bisa distop atau diedit. Tak bisa dibayangkan kalau ada yang kelepasan bicara, lalu mengumpat soal yang sensitif, bukan tak mungkin akan terjadi keributan.

JAKARTA beda dengan Bali. Di Jakarta, jam menunjuk pukul 22.10 ketika bom meledak –lebih lambat satu jam dari waktu Bali. Tapi kabar ledakan itu tak menyebar cepat. Arief Supriyono, redaktur pelaksana Republika, mengatakan ia mendengar terjadinya ledakan pada Minggu pukul 01.00 dini hari. Republika terlanjur masuk cetak. Berita ini tak terkejar untuk dimuat edisi Minggu. “Kita cari informasi untuk memuatnya hari Senin,” kata Arief.

Harian Kompas bisa mengejar deadline dan memasukkan berita ini. Headline Kompas pada Minggu petang sudah direncanakan dengan berita bom yang meledak di Manado sekitar pukul 18:00 depan konsulat Filipina.

Ternyata masih ada dua ledakan lagi. Ledakan berikutnya terjadi di Renon, Denpasar, sekitar 100 meter dari konsulat Amerika Serikat. Ledakan ketiga, yang mematikan, terjadi di Sari Club dan Paddy’s. Kompas melaporkan 13 orang tewas dan 157 luka-luka.

Media elektronik tak punya keterbatasan waktu cetak. Televisi, dotcom, dan radio berlomba-lomba memberitakan isu ini. Awak Metro TV, RCTI, SCTV, Indosiar, Trans TV,TV7, maupun berbagai radio Jakarta, bekerja mengejar ketinggalan mereka. Wartawan-wartawan internasional juga hampir semuanya bekerja dari Jakarta. BBC menyiarkannya dini hari. Reuters, Agence France Presse, dan Associated Press juga turun dengan beritanya serta foto Sari Club.

Minggu pagi Indonesia terbangun dengan mimpi buruk. Bom meledak di Bali.

Beda Bali beda Jakarta. Di Bali media bersikap lebih hati-hati. Di Jakarta, mungkin karena jumlah media lebih banyak, kompetisi lebih ketat, dan politisi juga jauh lebih banyak dari Bali, hari Minggu juga sudah dipenuhi dengan spekulasi tentang siapa yang melakukan pengeboman.

Pejabat Jakarta yang muncul pertama kali di depan layar televisi adalah Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono. Dia mengenakan pakaian sehari-hari, jaket dan kemeja kuning. Kemarahan terpancar dari penyataan Yudhoyono, “Saya tidak ingin ada komentar baru, seolah-olah pemerintah mengada-ada dengan mengatakan bahwa terorisme ada di Indonesia. Saya tegaskan, terorisme ada di depan mata kita.”

Ucapan ini mengingatkan orang pada ucapan beberapa tokoh masyarakat, termasuk Wakil Presiden Hamzah Haz, yang sering mengatakan tak ada teroris di Indonesia. Di Bali cukup banyak orang yang kecewa karena ucapan-ucapan itu melenakan mereka. Pernyataan Yudhoyono membangunkan orang dari keterlenaan ini. Terorisme ternyata serius keberadaannya di Indonesia.

Ketika Yudhoyono muncul di layar televisi, di Solo kebetulan ada rapat beberapa tokoh Muslim. Ustad Abubakar Ba’asyir dari pondok pesantren al-Mukmin, bersama 50-an ulama lainnya, mengadakan pertemuan biasa. Bom membuat acara ini berubah jadi diskusi soal Bali. Analisis mereka pengeboman itu dipastikan bikinan agen-agen Amerika Serikat.

Mereka pun bikin pernyataan bersama. Sebuah pertemuan pers diadakan. Beberapa jam kemudian radio Elshinta FM 90,05 MHz Jakarta mewawancarai Ba’asyir lewat telepon. Ba’asyir mengatakan pengeboman itu dilakukan Amerika untuk membuktikan tuduhan mereka bahwa Indonesia adalah sarang teroris. Amerika Serikat sangat diuntungkan dengan adanya bom. Tak mungkin pengeboman dilakukan oleh orang Indonesia karena ledakannya sangat besar dan tak menguntungkan. Bom itu untuk mengadu domba antar warga Indonesia. Bali adalah tempat umat Hindu. Mereka dikhawatirkan bisa mengira pengeboman dilakukan orang Islam.

Argumentasi ini populer atau setidaknya juga dipikirkan orang lain. Presiden Partai Keadilan Hidayat Nur Wahid dan Mohammad Ismail Yusanto dari Hizbut Tahrir juga menuduh Amerika berada di balik pengeboman. Mereka berdua bicara dalam sebuah pertemuan publik di Tebet, Jakarta, dan dilaporkan Elshinta.

Senin pagi Habib Rizieq Shihab dari Front Pembela Islam juga mengatakan di radio bahwa ada petunjuk Amerika berada di balik pengeboman. Shihab curiga karena tak ada korban warga Amerika dalam pengeboman itu. Dia mengatakan fakta ini terkait dengan peringatan kedutaan Amerika sehari sebelumnya, yang minta warganya tak mengunjungi club dan bar.

Kalau memang pelakunya al-Qaeda, maka sasarannya biasanya orang-orang Amerika atau aset strategis milik Amerika. Ternyata sasaran pengeboman Bali adalah aset warga Indonesia. Korban kebanyakan adalah warga negara Australia.

Sebagian media Jakarta melakukan spekulasi ketika cerita tentang korban dan upaya pertolongan masih berlangsung. Harian Republika termasuk yang suka menurunkan laporan tentang spekulasi pelaku peledakan. Dalam rentang waktu seminggu, ada 19 item pemberitaan soal otak ledakan. Bandingkan dengan harian Kompas, Media Indonesia, dan Suara Pembaruan, yang masing-masing hanya satu, satu, dan enam.

Ada tiga teori soal otak ledakan Bali. Teori pertama, al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden berada di balik ledakan. Presiden Amerika Serikat George W. Bush, Perdana Menteri Australia John Howard, dan Menteri Pertahanan Matori Abdul Jalil, curiga al-Qaeda dan jaringannya di Asia Tenggara, Jemaah Islamiyah, berada di balik aksi itu.

Departemen Luar Negeri Amerika Serikat bahkan memasukkan Jemaah Islamiyah sejak 23 Oktober, dua minggu setelah bom Bali, dalam daftar “organisasi teroris.” Artinya, siapa pun akan dianggap melakukan kejahatan bila memberi sumbangan ke Jemaah Islamiyah. Anggota-anggota mereka juga dilarang masuk ke Amerika Serikat.

Teori ini percaya al-Qaeda menjadikan Asia Tenggara sebagai basis gerakan mereka sesudah pengeboman Amerika terhadap Afghanistan tahun lalu. Kecurigaan orang pada al-Qaeda dan Jemaah Islamiyah didorong karena ada puluhan orang yang ditangkap polisi Singapura, Malaysia, maupun Filipina, karena hendak melakukan pengeboman.

Fathur Rohman al-Ghozi, seorang alumnus pesantren al-Mukmin, ditangkap Januari lalu di Manila. Al-Ghozi dihukum 12 tahun penjara karena memiliki TNT illegal lebih dari satu ton. Agus Dwikarna, yang dituduh punya hubungan dengan al-Qaeda, ditangkap di Manila pada bulan Maret karena dalam tasnya ditemukan bom C4. Dia dihukum 10 tahun penjara.

Matori Abdul Jalil jadi pejabat Indonesia pertama yang curiga al-Qaeda karena modus operandi pengeboman Bali sama dengan kebanyakan tindak kekerasan yang dilakukan al-Qaeda. Dia mengatakan al-Qaeda beroperasi di Indonesia dan peledakan Bali dikerjakannya bersama dengan “teroris lokal.”

Teori kedua mengatakan Amerika Serikat berada di balik ledakan. Alasannya macam-macam. A.C. Manullang, mantan intel Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), dikutip Republika mengatakan, “Tragedi Bali, hampir sama dengan peledakan WTC. Peledakan WTC tidak ada satu pun orang Yahudi yang mati. Di Bali tidak ada satu pun orang Amerika yang mati.”

Z.A. Maulani, bekas direktur Bakin, mengatakan bom yang meledak di Kuta merupakan bom “nuklir mikro.” Dalam wawancara dengan Metro TV, Maulani membawa gambar lokasi ledakan dan mengatakan dilihat dari dampak ledakan, bom yang digunakan bukan senjata konvensional, melainkan masuk kategori “micro nuke” atau dikenal dengan “special atomic demolition munition.” Bahan bakunya, kata Maulani lagi, adalah plutonium dan uranium. Daya ledaknya setara dengan empat ton TNT. Maulani juga berpendapat hanya negara maju macam Amerika Serikat bisa punya senjata macam ini.

Republika juga melaporkan bahwa dua pekan sebelum peristiwa pemboman Bali, “kapal perang” Amerika merapat di Benoa, Bali, seakan-akan untuk memperkuat teori ada keterkaitan Amerika dengan bom Bali.

Teori ketiga, militer Indonesia berada di balik ledakan. Alasannya, ledakan di Bali hanya bisa dilakukan oleh orang yang terlatih secara profesional dan dengan perhitungan matang. Militer Indonesia, menurut teori ini, pihak yang harus dicurigai. Militer mempunyai kepentingan untuk mengoalkan Undang-Undang Anti Terorisme, yang akan memberi kewenangan militer untuk membabat orang yang dicurigai sebagai teroris. Ledakan di Bali, bisa dipakai senjata oleh militer untuk menunjukkan pentingnya undang-undang ini.

Ketiga teori ini, hingga kini belum didukung oleh bukti-bukti yang kuat. Pihak-pihak yang dituding juga membantah semuanya.

Teori pertama misalnya, dibantah oleh Abubakar Ba’asyir, yang menyatakan tidak tahu-menahu soal bom di Bali. Dia bersumpah tak kenal Omar al-Faruq, warga Kuwait yang ditangkap Juni lalu di Bogor dan diinterogasi dinas rahasia Amerika di Bagram, Afghanistan. Al-Faruq mengatakan dalam interogasinya bahwa ia kenal Ba’asyir. Mereka terlibat pengeboman gereja-gereja Indonesia pada malam Natal 2000 dengan korban tewas 16 orang.

Mereka juga hendak membunuh Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri pada Juli 2001 tapi batal karena pembawa bom terluka di Atrium Senen, sekitar satu kilometer dari Pecenongan, tempat Megawati mengadakan rapat bersama pengurus partainya. Taufik Abdul Halim, warga negara Malaysia, pingsan, ditangkap polisi, dan dijatuhi hukuman penjara 20 tahun.

Ba’asyir orang nomor satu Majelis Mujahidin Indonesia. Pada 1976 bersama rekannya Abdullah Sungkar, Ba’asyir ditangkap militer Indonesia dan ditahan empat tahun karena dianggap melakukan kegiatan subversi. Mereka menolak asas tunggal Pancasila. Mereka diadili dan dihukum 12 tahun. Tapi mereka banding dan ketika menunggu banding itulah, pada Mei 1985 Ba’asyir dan Sungkar melarikan diri ke Malaysia. Mereka tinggal di sana hingga November 1999 sesudah Presiden Soeharto jatuh dari kekuasaannya.

Malaysia dan Singapura menuduh Ba’asyir mendirikan Jemaah Islamiyah ketika dia tinggal di Malaysia. Salah seorang rekannya bernama Ridwan Isamuddin alias Hambali, hingga kini masih dicari polisi. Hambali beberapa kali memimpin diskusi untuk sekelompok anak muda Malaysia, termasuk Taufik Abdul Halim.

Memang belum ada bukti bahwa al-Qaeda atau Jemaah Islamiyah terlibat pengeboman Bali. Keputusan Washington memasukkan Jemaah Islamiyah dalam daftar organisasi teroris membingungkan sebagian diplomat Indonesia. Bagaimana tidak?

Marty Natalegawa dari Departemen Luar Negeri Indonesia mengatakan pada Associated Press, “Saya ingin mempertanyakan persepsi bahwa (Jemaah Islamiyah) ini adalah organisasi Indonesia. Tak ada orang yang tahu di mana pusat yang sesungguhnya. Jaringan teroris biasanya tak kelihatan dan luwes karakternya. Mereka bisa muncul di mana saja.”

Arief Budiman dari Universitas Melbourne mengatakan kepada Antara bahwa pemerintahan Bush “overeacting” dalam menghadapi isu terorisme di Indonesia. Ancaman terorisme memang real tapi tak sebesar yang dikatakan Bush.

Budiman mengatakan terorisme ini sejak tahun lalu dikatakan politisi Indonesia tidak ada sehingga ketika terjadi bom Bali, muncul pembenaran untuk Presiden Bush. Tapi reaksinya Bush juga berlebihan dengan menekan Jakarta untuk bertindak sedemikian rupa sehingga dibuatlah peraturan antiterorisme yang merupakan ancaman terhadap upaya demokratisasi Indonesia pasca-Presiden Soeharto.

Teori kedua dibantah oleh duta besar Amerika untuk Indonesia, Ralph L. Boyce. “Saya sangat sedih dan kecewa mendengar tuduhan yang tidak masuk akal itu,” kata Boyce. Dia justru berpendapat segala macam peringatan yang dikeluarkan pemerintah Amerika Serikat, agar warganya berhati-hati, kok malah dijadikan dalih bahwa mereka yang melakukan pengeboman Bali.

Peringatan yang disebut-sebut Rizieq Shihab dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat pada 10 Oktober (di Indonesia 11 Okober karena beda waktu 12 jam). Pengumuman itu dikeluarkan dalam bentuk “public announcement” yang ditujukan untuk warga negara Amerika di seluruh dunia. Mereka diminta berhati-hati karena ada ketidaksukaan terhadap rencana Presiden Bush menyerang Irak. Washington menganjurkan warganya, di mana pun dia berada, agar mengindari klub, restauran, tempat ibadah, sekolah, dan tempat rekreasi terbuka.

Departemen Luar Negeri Amerika menyebutnya sebagai “worldwide caution.” Bukan hanya untuk warga Amerika di Indonesia. “Public announcement” merupakan pengumuman yang derajadnya lebih lunak ketimbang “travel warning” –peringatan agar tidak melakukan perjalanan ke negara atau tempat tertentu.

Entah kenapa Manullang masih percaya pada pernyataan bahwa ada 4,000 orang Yahudi tak masuk kerja di World Trade Center pada 11 September 2001? Entah kenapa pula Republika masih menerbitkan isu yang salah itu?

Tahun lalu, ketika World Trade Center ditabrak pesawat, isu ini memang diberitakan banyak media dunia, termasuk Jawa Pos, Republika, dan Koran Tempo. Isu ini menyedihkan. Argumentasinya tidak logis, sumbernya tak jelas. Faktanya, beberapa media Amerika, membuktikan korban serangan, jumlahnya lebih dari 3,000 orang yang sudah diidentifikasikan, banyak juga orang Amerika keturunan Yahudi.

Entah kenapa Republika konsisten menerbitkan kesalahan ini?

Pernyataan Manullang, yang juga dikutip Republika, bahwa di Bali tak ada satu pun orang Amerika mati, juga salah. Sedikitnya dua warganegara Amerika Serikat tewas dalam aksi teror itu: Jake Young, bekas pemain American football dari Universitas Nebraska, dan konsultan Steven Brooks Webster dari California. Greta Morris dari kedutaan Amerika Serikat di Jakarta mengatakan beberapa warga Amerika juga terluka dalam pengeboman itu.

Manullang tampaknya suka menyebarkan pendapatnya di media. Dia sempat menelepon Kantor Berita Radio 68H. Produser Supriyatno Yayat mengatakan Manullang memberi komentar soal bom itu dengan harapan disiarkan. Namun, komentarnya hanya didengarkan, tidak disiarkan. “Keterangan Manullang dianggap tidak kredibel,” ujar Yayat.

Argumentasi Z.A. Maulani juga sangat bisa diperdebatkan oleh reporter yang cukup cerdas. Jika bom nuklir ukuran kecil meledak di Kuta, bagaimana dengan radiasinya? Mengapa tak dilaporan ada orang pusing atau muntah di Denpasar, Tabanan, Singaraja, atau Gilimanuk? Bagaimana dengan debu radiasi yang terbawa angin?

Apakah Perdana Menteri John Howard dan Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer diizinkan, setidaknya oleh “agen-agen Amerika Serikat,” untuk datang ke situs pengeboman bila itu bom nuklir? Bagaimana pula dengan Presiden Megawati Sukarnoputri dan Wakil Presiden Hamzah Haz? Mereka terkena radiasi? Polisi juga tak menemukan bekas-bekas kebakaran atau radiasi nuklir, kecuali residu bahan peledak jenis RDX (cyclotrimethylenetrinitramine).

Manullang dan Maulani adalah orang yang diwawancarai media dalam kapasitas mereka sebagai pihak ketiga, istilah kerennya “pengamat.” Mereka bukan saksi mata, mereka bukan pelaku. Di Indonesia, kriteria kapan seseorang disebut “pengamat” atau “pakar” seringkali tidak jelas. Kredibilitas mereka, setidaknya ditunjukkan Supriyatno Yayat, seringkali kurang baik bahkan tidak baik.

Teori ketiga dibantah oleh kepala Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu. “Bahan peledak yang dipakai di Bali jenisnya C4. TNI hanya memiliki peledak jenis TNT. Peledakan itu bukanlah pekerjaan TNI,” katanya.

C4 sering disebut bom plastik. Bom ini terdiri beberapa komponen tapi hampir 90 persen terdiri bahan peledak RDX yang dicampur bahan kimia mirip lilin sehingga mirip adonan kue warna putih. C4 bisa mulur dan dibentuk sesuai kebutuhan. Menurut situs web Ribbands Explosives, sebuah perusahaan London yang menjual C4, bom ini mengakibatkan ledakan dengan laju sekitar 8500 meter per detik.

Menurut sebuah silabus matakuliah tentang TNT (trinitrotoluene) dari Imperial College of Science, Technology and Medicine, London, C4 kira-kira 50 persen lebih kuat dari TNT (trinitrotoluene) dan disukai teroris karena tidak berbau.

C4 dijual dengan sangat terbatas. Ribbands Explosives menjual dengan syarat si pembeli memiliki sertifikat tertentu –terutama untuk militer. Penjualan secara komersial memang terbatas tapi C4 bisa juga dibeli di pasar gelap. Bahkan tangan amatir pun bisa meramunya dari bahan-bahan kimia yang bisa diperoleh dengan mudah.

Harian The Seattle Times selama 17 hari pada 23 Juni hingga 7 Juli lalu menerbitkan sebuah serial tentang seseorang bernama Ahmed Ressam. Serial ini dikerjakan empat wartawan dan diberi judul “The Terrorist Within.” Ceritanya, tentang bagaimana Ressam, lahir di Bou Ismail, sebuah kota kecil Algeria. Miskin dan sudah. Ressam jadi imigran gelap di Prancis. Dari Prancis, karena hukum imigrasi ketat, Ressam pindah ke Kanada, negara yang cukup bersahabat dengan para imigran.

Di Montreal Ressam direkrut masuk sel al-Qaeda. Ressam dilatih al-Qaeda di Khalden, Afghanistan, tempat ia diajari membuat paspor palsu maupun meramu bahan-bahan kimia jadi peledak. Ressam tertangkap di sebuah kota perbatasan dekat Seattle ketika hendak masuk ke Amerika dari Kanada. Di tempat ban cadangan ban mobilnya, terdapat sejumlah bom buatan sendiri termasuk C4. Tujuan Ressam, mengebom bandar udara Los Angeles. Ressam dihukum 25 tahun penjara.

REPUBLIKA, secara konsisten memunculkan teori kedua. Bila Republika mengutip media luar Indonesia, yang diambil juga diarahkan pada kemungkinan keterlibatan Amerika dalam peledakan itu.

“Keterlibatan Amerika memang belum ada bukti. Tetapi sama dengan tuduhan kepada al-Qaeda juga belum ada buktinya. Semuanya memang baru dugaan. Jadi tidak ada salahnya juga dengan pilihan ini,” kata redaktur pelaksana Arief Supriyono.

Supriyono mengatakan dia kecewa dengan media Barat yang menuduh al-Qaeda dalang peledakan Bali.

“Yang kami lakukan adalah membuat keseimbangan berita. Ada alternatif penjelas dan kemungkinan lain di balik aksi peledakan itu. Ketika semua orang bicara al-Qaeda, kami mengingatkan belum tentu pendapat umum ini benar. Dari berbagai wawancara dan data yang kami lakukan, kami semakin yakin bahwa Amerika terkait dengan peledakan ini. Terkait belum tentu pelaku,” katanya.

Salah orang yang diwawancarai Republika adalah Suripto dari Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia. Suripto bekas intel sejak zaman Orde Lama. Dalam buku Catatan Harian Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie, Suripto disebut-sebut sebagai intel yang banyak bekerja dengan mahasiswa 1960-an. Pada 1980-an ketika gerakan mahasiswa Indonesia baru mulai muncul, peranan Suripto sempat jadi omongan para aktivis ketika ia berkeliling kampus-kampus. Pada zaman pasca-Soeharto, Suripto diangkat jadi sekretaris jendral Departemen Kehutanan.

Suripto mengatakan peledakan Bali adalah bagian dari “black propaganda” yang dilakukan secara sistematis oleh Amerika Serikat terhadap Indonesia. “Black propaganda itu semula dilakukan lewat majalah Time, tetapi tidak cukup kuat memberikan pembuktian, dan akhirnya untuk menguatkan bahwa ada terorisme di Indonesia dipakailah skenario Bali.”

Republika juga mewawancarai Riza Sihbudi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Juanda pensiunan tentara, maupun mantan menteri agama Tarmizi Taher. Semuanya tak yakin al-Qaeda berada di balik ledakan itu. Mereka lebih menduga, bom Bali dibuat teroris yang sudah terlatih dan bekerja secara profesional di negara Barat.

“Kami tidak cukup hanya menyajikan fakta, tetapi juga menjawab siapa di balik aksi peledakan itu. Karena pertanyaan ini yang pertama kali muncul ketika ada peledakan. Soal belum cukup bukti, pihak media Barat juga belum cukup bukti menuduh al-Qaeda. Yang kami lakukan bukan menuduh Amerika, tetapi ada dugaan keterkaitan Amerika,” kata Supriyono.

Sikap Republika berbeda dengan Kompas, Media Indonesia, dan Suara Pembaruan. Ketiga suratkabar tampaknya tak mau terlibat dalam pro-kontra siapa dalang peledakan. Kalau dugaan Amerika atau al-Qaeda dimuat, berita itu dibuat berdasarkan komentar atau pernyataan resmi macam Matori Abdul Jalil atau Abubakar Ba’asyir.

Republika mengejar sumber-sumber untuk dimintai komentar. Hasilnya, spekulasi, prasangka, dan apa yang disebut analisis, campur baur dengan informasi dan pernyataan resmi. Kaidah dasar dalam jurnalisme, verifikasi, tampaknya tertutup oleh komentar-komentar orang yang disebut “pengamat” maupun prasangka dari redaksi Republika sendiri.

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku The Elements of Journalism mengatakan wartawan boleh punya opini tapi mereka tetap tak diharapkan menulis tentang sesuatu dan ikut terlibat. Ini membuat wartawan lebih sulit untuk melihat dengan perspektif yang berbeda. Lebih sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari pihak lain. Lebih sulit lagi menyakinkan masyarakat bahwa si wartawan meletakkan kepentingan mereka lebih dulu ketimbang kepentingan kelompok di mana si wartawan ikut bermain.

Kesetiaan pada kebenaran inilah yang membedakan wartawan dengan juru penerangan atau propaganda. Kebebasan berpendapat ada pada setiap orang. Tiap orang boleh bicara apa saja walau isinya propaganda atau menyebarkan kebencian. Tapi jurnalisme dan komunikasi bukan hal yang sama. Jurnalisme harus menyaring mana yang benar dan mana yang salah.

Presiden Bush dan beberapa media Amerika memang terlalu cepat mengambil kesimpulan. Sejarah mungkin kelak membuktikan mereka salah karena menuding Abubakar Ba’asyir atau Jemaah Islamiyah. Tapi tidakkah kesalahan itu yang harus lebih dulu dipersoalkan ketimbang menandinginya dengan informasi lain yang juga tidak jelas kebenarannya? Saling tuding-menuding, meminjam istilah Ulil Abshar-Abdalla, akan memunculkan self-denial atau penyangkalan diri di kalangan publik Indonesia.

Kompas, Media Indonesia, dan Suara Pembaruan mempunyai tekanan yang berbeda dalam memberitakan ledakan Bali. Mereka lebih banyak memberi tekanan pada berita-berita mengenai dampak ledakan Bali, dari anjloknya indeks harga saham gabungan, hancurnya pariwisata Indonesia, lesunya perekonomian sampai citra Indonesia yang rusak di mata dunia internasional.

Kompas, Suara Pembaruan, dan Media Indonesia juga memberi porsi besar pada liputan seputar kelambanan pemerintah, soal kurang tanggapnya intelijen dalam mendeteksi adanya serangan, komentar para pejabat yang saling berseberangan, ketidaksiapan petugas dalam mengidentifikasi mayat, sampai kelambanan petugas medis dalam menangani korban luka-luka. Khusus Kompas dan Media Indonesia, tidak banyak memberitakan dugaan seputar otak ledakan Bali.

Suara Pembaruan juga masuk ke spekulasi ini walau tak sekencang Republika. Cyprianus Aoer, redaktur pelaksana Pembaruan, mengatakan, “Kami lebih banyak menulis soal pernyataan keprihatinan, dampak peledakan dan korban dari pada pelaku peledakan. Kecuali jika ada keterangan resmi dari kepolisian.”

Aoer sendiri mendengar berita ledakan di Bali itu Sabtu tengah malam. Koran Sabtu dan Minggu sudah berada di pasaran. “Saat itu saya berpikir, kalau ledakan itu besar, Suara Pembaruan perlu terbit khusus hari Minggu. Berita soal ledakan di Bali bisa disisipkan ke edisi Minggu yang sudah beredar,” katanya.

Minggu pagi Aoer mendengar korban ledakan itu sudah lebih dari 150 orang. Siang hari para redaktur sudah berkumpul di kantor Suara Pembaruan. “Kami belum siap. Banyak wartawan yang kami hubungi, handphone-nya tidak aktif karena sudah terbiasa hari Minggu hari libur. Percetakan yang saya telepon juga tidak siap kalau harus mencetak edisi Minggu. Sirkulasi juga tidak siap. Kami terbit seperti biasanya, meski momennya terlambat dua hari,” katanya.

Tema Pemberitaan Kompas, Republika, Media Indonesia, dan Suara Pembaruan, 13-19 Oktober 2002

 

Kompas

Republika

Media Indonesia

Suara Pembaruan

Peristiwa ledakan

Pernyataan keprihatinan

10

Kritik terhadap kelambanan pemerintah

12

Dampak ledakan

18

10

Pemeriksaan polisi

Otak di belakang ledakan

19

Korban ledakan

10

Perang terhadap terorisme

Lain-lain

Total

74

70

52

54


SEKARANG mungkin masih terlalu awal untuk minta polisi Indonesia, dibantu oleh polisi berbagai negara, mencari tahu teori mana yang benar. Bagaimana pun ledakan ini sangat dahsyat dan tampaknya kompleks sekali. Para pelaku tahu benar bagaimana menimbulkan dampak sosial yang rumit.

Seminggu sesudah bom, desas-desus banyak bermunculan, dari short message service hingga email berantai. Sejumlah media seperti Kompas, SCTV, Detikcom, dan Tempo, mendapat kiriman email tentang pengakuan bom.

Email ini dikirim atas nama Jemaah Islamiyah. Mereka mengaku bertanggung jawab atas peledakan bom di Bali. Di hari yang sama, juga banyak beredar di internet soal laporan Badan Intelijen Nasional seputar pelaku peledakan Bali. Email itu menyebar dari satu tangan ke tangan lain. Ada enam pelaku yang diidentifikasi dalam email tersebut, dari gerakan separatis sampai teroris internasional. Kepada Detikcom, juru bicara BIN Muchyar Yara membantah email tersebut datang dari BIN.

Berbagai rumor, desas-desus tersebut bila tidak disikapi dengan hati-hati oleh media, bisa mengacaukan mana sumber yang layak dan tak layak untuk diwawancarai. Indonesia sedang berada dalam krisis yang sulit. Peranan media jadi penting sekali untuk bisa jadi institusi terpercaya.

Ketidakberdayaan, krisis kepercayaan terhadap institusi negara, seringkali berujung pada hal yang menggelikan dan tidak masuk akal. Salah satu contoh. Detikcom menurunkan wawancara dengan paranormal Ki Joko Bodo untuk mencari para teroris Bali.

Menurut Bodo, bom ini pelakunya orang dalam negeri sendiri, yang dipakai untuk menjatuhkan pemerintahan Presiden Megawati. Si teroris memanfaatkan sentimen anti-Amerika untuk menurunkan citra Megawati.

Detikcom juga wawancara dengan Dimitri Mahayana, seorang futurolog. Menurut Mahayana, tidak mungkin Osama bin Laden berada di balik peledakan. Kemungkinan justru Amerika yang diuntungkan dari peledakan tersebut.

Pertanyaannya, apa relevansi mewawancarai paranormal dan futurolog dalam mengungkap pelaku aksi peledakan?

Marzuki Usman, salah seorang pengurus Partai Kebangkitan Bangsa, pernah bergurau dengan Abdurrahman Wahid soal terorisme. “Indonesia ini negara teroris jelas bukan. Mau dibilang demokratis juga bukan. Teokratis juga bukan. Indonesia ini negara bukan-bukan.”*

–Laporan ini dikerjakan berdasarkan reportase Ni Luh Dian Purniawati dan Irawan Saptono yang mewawancarai sumber-sumber media di Denpasar serta Eriyanto yang mengerjai analisis isi media Jakarta serta mewawancarai sumber-sumber media Jakarta.

by:Eriyanto