Iklan Islam Warna-warni

M. Said Budairy

Mon, 2 September 2002

KETIKA menyaksikan tayangan iklan Islam warna-warni di televisi yang jadi heboh itu, saya tertarik pada penampilannya. Dari aspek dramaturgi, bagus. Art-director, copywriter, visualizer, tipografer –tim yang membidani lahirnya iklan itu– bekerja padu.

KETIKA menyaksikan tayangan iklan Islam warna-warni di televisi yang jadi heboh itu, saya tertarik pada penampilannya. Dari aspek dramaturgi, bagus. Art-director, copywriter, visualizer, tipografer –tim yang membidani lahirnya iklan itu– bekerja padu. Ditampilkan ragam keramaian khitanan massal, dengan beberapa jenis peristiwa. Tampak anak-anak yang terpejam, di close-up lelehan airmatanya, terdengar lengkingan lembut tangis kesakitan. Kerjaan timnya sutradara Garin Nugroho dari Yayasan SET itu membikin muslim tradisional seusia saya susah untuk tak tersedot perhatiannya. Susah melewatkan tayangan suasana keramaian yang ditingkah oleh dentang rebana dan kasidahan. Iklan itu dikerjakan dengan baik, bernuansa seni tinggi. Ia menggunakan simbol-simbol dengan logika yang bias, dalam usaha meyakinkan orang mempercayai pesannya: “Islam warna-warni. Tak cuma satu. Banyak ragam. Saling menghargai.”

Mengamati selintas dunia periklanan, jenis iklan sponsorship atau iklan konsumen tampak mendominasi iklan televisi. Perkembangannya pesat karena didukung dana besar. Kreativitas yang terjadi luar biasa.

Tapi penayangan iklan di televisi dapat pula dilakukan melalui kerjasama dengan pihak-pihak nonkomersial, misalnya dengan lembaga dana. Tujuannya untuk memberi informasi, mensosialisasikan pandangan, pendirian, mengenai suatu aspek dalam kehidupan sosial. Iklan Islam warna-warni termasuk jenis iklan layanan masyarakat, salah satu programnya Jaringan Islam Liberal.

Kita tahu iklan juga dimanfaatkan partai politik. Iklan politik berupaya mengkonstruksi pemirsa agar pada saat pemilihan umum memilih partai tersebut. Gagasan iklan politik sama dengan iklan konsumen. Bedanya, produk yang dijual bukan barang, tapi gagasan dan program. Dalam bentuk dan cara tertentu, iklan juga digunakan menggalang kekuatan memerangi terorisme setelah peristiwa 11 September 2001, ambruknya World Trade Centre di Amerika Serikat.

Pencipta iklan televisi menggunakan simbol-simbol yang diterjemahkan sendiri untuk memperkuat pesan iklan tersebut agar komunikasinya efektif dalam mempengaruhi pemirsa. Dalam pemaknaan simbol, bisa terjadi penafsirannya sama antara pencipta dan pemilik iklan dengan pemirsa. Bisa juga penafsirannya berbeda. Selain ada juga pemirsa kebingungan menafsirkan simbol-simbol tersebut.

Pada kasus iklan Islam warna-warni, ketiga penafsiran itu terjadi. Ada pemirsa sepakat Islam itu warna warni, pesta khitanannya beragam. Tapi ada juga yang berbeda, terlihat ketika tayangan iklan tersebut dihentikan oleh somasi Majelis Mujahidin Indonesia.

Salah seorang pengelola Jaringan Islam Liberal-nya Institut Studi Arus Informasi yang terlibat dalam melahirkan iklan tersebut menyatakan perasaannya “hancur lebur” karena penayangan iklan dihentikan secara sepihak oleh SCTV dan RCTI. Bahkan dia menulis, “Belum juga diketok palu dan disahkan syariat Islam di MPR, saya merasa sudah mendapatkan akibat dari kesewenang-wenangan yang mengatasnamakan Islam itu”.

Lalu secara institusional ada penyelenggaraan konferensi pers. Disajikan keterangan pers bertajuk “Kebebasan Kita dalam Ancaman.” Isinya menyesalkan dan memprotes tindakan SCTV yang masih terikat kontrak tapi menghentikan secara sepihak tayangan iklan. Dasar yang digunakan Majelis Mujahidin Indonesia dalam menyampaikan somasinya dikecam dan dinilai “dapat menjadi ancaman besar bagi kebebasan berekspresi secara umum.” Dan untuk mengokohkan keterangan pers itu 26 nama organisasi dicantumkan sebagai pihak yang mengeluarkan pernyataan. Sementara di panggung tempat konferensi pers diselenggarakan, tampil antara lain Ulil Absar-Abdallah, Goenawan Mohamad, Rizal Mallarangeng, dan Atmakusumah Astraatmadja.

Iklan Islam warna-warni dihentikan penayangannya oleh SCTV karena adanya somasi dari pihak yang menafsirkan beda simbol-simbol dan pesan yang disajikan oleh pembuat dan pemilik iklan. Iklan itu disomasi Fauzan al-Anshari mewakili Majelis Mujahidin Indonesia karena dinilai sebagai penyesatan opini. Dalam somasinya al-Anshari mengungkapkan, “Iklan ini menyebarkan opini yang sesat tentang Islam. Tayangan iklan tersebut akan melahirkan opini yang salah, seolah-olah Islam itu bermacam-macam. Sehingga akan muncul opini pluralisme agama yang meyakini bahwa semua agama itu baik dan benar.”

Al-Anshari mengajukan dalil dengan mengutip Al-Quran surat Al-Imran (3) ayat 19, “Sesungguhnya agama (yang diridhoi) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada yang berselisih orang-orang yang telah diberi Alkitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian diantara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya."

Untuk memperkuat pendapatnya, bahwa Islam itu agama tauhid, agama yang satu, bukan warna-warni, tapi umatnya yang warna-warni, al-Anshari mengutip surat Al-Hujarat (49) ayat 13, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kami. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal.”

SCTV (tadinya juga RCTI tapi kebetulan kontraknya sudah habis) dituntut untuk menghentikan penayangan iklan tersebut paling lambat 3 x 24 jam. Jika somasi tidak dipenuhi akan diadukan ke polisi Jakarta sebagai tindak pidana pelecehan terhadap agama (Pasal 156a KUHP).

MAKA perang ayat Al-Quranpun untuk kasus ini pecah ketika Luthfi Assyaukanie, salah seorang penggagas Jaringan Islam Liberal, tulisannya disiarkan Koran Tempo. “Kebetulan saya terlibat dalam pembuatan rancangan iklan itu. Bersama teman-teman Komunitas Islam Utan Kayu, kami menggodok dan mendiskusikan setiap kata yang akan ditayangkan dalam iklan tersebut. Frase ‘Islam Warna-warni’ adalah pilihan akhir yang keluar dari kesadaran penuh dan bukan dari kehendak main-main yang tak punya dasar sama sekali,” ujar Assyaukani.

Pesan yang ingin disampaikan dari iklan tersebut, menurutnya, Islam adalah agama yang beragam ketika dia dipraktekkan oleh kaum muslim. Pesan itu mengajak umat Islam menolak pemahaman satu Islam, karena pemahaman seperti itu dapat menjurus pada pembenaran kelompok tertentu dan menafikan kelompok lainnya. Keyakinan terhadap banyak Islam akan membuka peluang terhadap pluralisme dan keragaman sosial.

Katanya lagi, Islam warna-warni sebuah ungkapan yang ditemukan tak hanya berdasarkan pilihan eksotisme kata-kata semata, tapi juga berdasarkan dalil teologis (kalamiyyah), fikih (fiqhiyyah), maupun sosiologis (ijtimaiyyah) yang dirujuk ketika rancangan iklan dibuat. Dengan kata lain, slogan ini merupakan hasil renungan atas doktrin esensial Islam dan kenyataan sejarah Islam itu sendiri.

Secara teologis, Islam selalu hadir dalam bentuk yang tidak pernah seragam. Sejak wafatnya Nabi Muhammad, umat Islam selalu dihadapkan pada beragamnya keyakinan (akidah) umat Islam, baik mengenai ketuhanan, kenabian, wahyu, maupun persoalan-persoalan ghaybiyyat lainnya. Secara teologis, Islam selalu hadir dalam wajahnya yang beragam, dalam bentuk Murjiah, Syiah, Khawarij, Muktazilah, maupun Ahlussunnah.

Klimaksnya Assyaukani, seperti juga al-Anshari, mengutip ayat Quran. Suratnya berbeda, surat Hud (11) ayat 118 – 119 untuk memperkuat pandangan, banyaknya wajah Islam adalah merupakan "kesengajaan" yang dibuat oleh Allah. Terjemahan ayat itu, “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.” Ayat satunya yang dikutip dari surat al-Ma’idah (5) ayat 51, “Hai oang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” Ayat terakhir itu diartikan memperkuat kesimpulan Assyaukani, “dengan sangat jelas Allah menolak ketunggalan (wahidah) dan sebaliknya menciptakan keanekaragaman (mukhtalifin).”

Menurut saya, kasus iklan Islam warna-warni ini hakekatnya merupakan kenyataan adanya penafsiran beda antara pembuat dan pemilik iklan dengan sebagian pemirsa dalam menangkap simbol-simbol dan pesan yang dikedepankan. Beberapa pemirsa yang kebingungan atau yang ingin agar banyak orang tak kebingungan menerima simbol-simbol tersebut, mengusulkan agar Pantau menulis perihal ini secara dalam dan bijak, khususnya dari telaah media.

Dari telaah media, meskipun kekuatan dana mendominasi iklan, kekuatan masyarakat tetap dapat mengoreksinya. Karena itu keberadaan iklan seharusnya memperhatikan realitas sosial masyarakat pada umumnya. Ketika suatu iklan membentur nilai-nilai tertentu dalam masyarakat dan dianggap bertentangan atau bisa membahayakan keyakinan mereka, maka reaksi kelompok tersebut muncul sebagai bagian kontrol sosial secara spesifik.

Kelompok-kelompok Islam yang ada sudah mulai banyak tahu apa itu JIL. Ada kelompok yang serta merta menentang. Perlawanannya cukup keras, melalui internet maupun media cetak. Ada yang bersikap wait and see sambil memperhatikan perilaku praktik keagamaan kelompok Islam liberal ini. Mungkin juga sambil berusaha meluruskan. Ada pula yang melakukan sorotan tajam menyelidik terarah pada adanya bantuan dana luar negeri untuk menggerakkan program JIL. Kelompok ini khawatir JIL jadi kuda troya. Sebab, apa yang dimaui JIL, banyak bagiannya yang pada saat ini tak bisa diterima begitu saja oleh mainstream Islam di Indonesia. Itu sebabnya saya berpendapat kasus iklan Islam warna-warni sekedar pucuk gunung es dari perbedaan pemahaman tentang Islam yang kesenjangannya masih besar. Untuk mendekatkannya perlu waktu panjang, butuh kesabaran dan ketekunan. Usaha itu sebaiknya dibarengi pendekatan diri kepada dan memohon hidayah Allah. Ada contoh sebagai bukti. Untuk menghentikan perbedaan faham tentang tahlil, talqin, doa qunut, jumlah rakaat salat tarawih dan sejenisnya saja, memerlukan waktu puluhan tahun. Dan bisa menggandengkan Hasyim Muzadi dan Syafii Maarif masing-masing sebagai tokoh utama Nahdlatul Ulama dan Muhammadiah butuh waktu lebih dari setengah abad.

Islam liberal, menurut penjelasan pada situs webnya www.islib.org, adalah suatu bentuk penafsiran baru atas agama Islam dengan wawasan berbeda mengenai keterbukaan pintu ijtihad pada semua bidang. JIL berpendapat “ijtihad” adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Ijtihad bisa diselenggarakan dalam hampir semua segi, baik segi ilahiyyat (teologi), ubudiyyat (ritual), dan muamalat (interaksi sosial).

Tentang "kebenaran" (dalam penafsiran keagamaan), menurut gagasan JIL, sebagai sesuatu yang "relatif" sebab sebuah penafsiran adalah "kegiatan manusiawi" yang terkungkung oleh konteks tertentu; "terbuka" sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; "plural" sebab sebuah penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.

Mengenai kebebasan beragama dan berkepercayaan, JIL menganggap bahwa urusan "beragama" dan "tidak beragama" adalah hak perorangan yang harus dilindungi. JIL tak bisa membenarkan prosekusi atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.

JIL percaya pada keniscayaan pemisahan antara kekuasaan keagamaan dan politik. Bentuk negara yang sehat untuk pertumbuhan agama dan politik adalah suatu negara di mana dua wewenang itu dipisahkan. Agama bekerja pada ruang privat dan perorangan.

Nama "Islam liberal" digunakan untuk menggambarkan prinsip-prinsip yang mereka anut, yaitu Islam yang menekankan "kebebasan pribadi" (sesuai dengan doktrin kaum Mu’tazilah tentang "kebebasan manusia") dan "pembebasan" struktur sosial-politik dari dominasi yang tak sehat dan menindas. Kata sifat "liberal" mempunyai dua makna sekaligus: "kebebasan" (being liberal) dan "pembebasan" (liberating). JIL tak percaya pada Islam "as such," Islam tanpa embel-embel seperti dikemukakan sebagian orang. Islam tidak mungkin tanpa "ajektif," tanpa kata sifat, sebab pada kenyataannya Islam mengalami penafsiran yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsirnya.JIL memilih satu jenis tafsir, atau ajektif untuk Islam, yaitu "liberal."

Tentu saja ini berbeda dengan, misalnya, Nahdlatul Ulama yang menyebutkan ajektif Islamnya ahlussunnah wal jamaah. Masih ditambah lagi, “menganut salah satu dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.” Kata sifat ini pasti diamini oleh Lakpesdam NU, salah satu lembaga resminya NU.*

kembali keatas

by:M. Said Budairy