Dana Untuk Wartawan Lombok

Trisna Wahyuni

Mon, 2 September 2002

SUATU siang di sebuah gubernuran Nusa Tenggara Barat, beberapa wartawan Mataram nongkrong, ngobrol ngalor-ngidul. Di sana ada Adhar Hakim dari SCTV, Sudjatmiko dari harian Nusa, dan Yusuf Riaman dari Media Indonesia.

SUATU siang di sebuah gubernuran Nusa Tenggara Barat, beberapa wartawan Mataram nongkrong, ngobrol ngalor-ngidul. Di sana ada Adhar Hakim dari SCTV, Sudjatmiko dari harian Nusa, dan Yusuf Riaman dari Media Indonesia. Kebetulan Gubernur Nusa Tenggara Barat Harun al Rasyid lewat bersama pembantunya, Chairul Mahsul. Ketika melewati wartawan Al Rasyid nyeletuk, “Ini ya wartawan yang nunggu 20 juta itu.”

Sudjatmiko tersinggung dan menjawab, “Kami bukan PWI dan kami tidak minta-minta uang.” Harun al Rasyid kelihatannya tertegun dan meninggalkan ruang itu. Para wartawan pun bubar. Tapi kenapa Al Rasyid mengeluarkan ucapan itu?

Chairul Mahsul mengatakan Harun al Rasyid sudah sering diberitahu bahwa organisasi wartawan bukan hanya Persatuan Wartawan Indonesia. Al Rasyid mengira wartawan yang dilihatnya siang itu anggota PWI.

Salah paham ini bermula 1 Agustus lalu ketika PWI cabang Nusa Tenggara Barat mengadakan konferensi satu hari untuk memilih pengurus baru 2002 –2007. Menurut panitia Ismail Husni, pelaksanaannya butuh dana sekitar Rp 50 juta.

Sebelum pertemuan diadakan, beberapa pengurus PWI menemui Gubernur Al Rasyid dan minta bantuan. Gubernur setuju membantu Rp 10 juta dari kas pemerintah. Ini bukan barang baru karena tahun lalu pemerintah daerah juga menganggarkan Rp 100 juta untuk membiayai PWI ikut event olah raga wartawan di Palembang.

Sampai sejauh mana sebuah organisasi wartawan bisa menerima uang pemerintah? Tidakkah bantuan itu bisa mempengaruhi independensi wartawan-wartawannya dalam bekerja? Tidakkah bantuan itu bakal menimbulkan persepsi kurang baik dari si pemberi kepada wartawan?

Ismail mengatakan tak jadi soal organisasinya mendapat uang dari pemerintah karena “lembaga, jadi tidak bisa di sangkut-pautkan dengan independensi dan kode etik jurnalistik.” PWI Nusa Tenggara Barat, seperti halnya organisasi lain, juga punya hak mengajukan bantuan kepada pemerintah daerah. Tak berarti bantuan ini bisa mengurangi independensi wartawan. “Apa salah kalau Persatuan Wartawan Indonesia mengajukan permohonan bantuan dana, kalau ternyata permohonan itu kemudian di tanggapi positif oleh pemerintah?” kata Ismail.

Chairul Mahsul mengatakan, “Anda tidak minta kita hormati, tapi kalau ada yang minta, kita hormati juga.”

Persoalan tak terhenti di sini. Sejumlah wartawan merasa terganggu nama baiknya dengan kasus ini. Rabu 7 Agustus lalu 11 wartawan mengadakan dengar pendapat dengan Komisi A DPRD Nusa Tenggara Barat.

Adhar Hakim, koresponden SCTV yang juga sekretaris PWI Reformasi, bertindak sebagai juru bicara. Adhar minta parlemen kritis dalam melihat proposal permohonan anggaran yang mengatasnamakan wartawan. “Jangan hanya karena mentang-mentang kelompok wartawan yg tergabung dalam suatu organisasi lantas disetujui.”

“Proses ini penting sebagai upaya bersama mendorong jurnalis lebih mandiri dan independen,” kata Adhar. “Dengan terus-terusan menerima dana dari pemerintah, saya khawatir mereka semakin tidak berani bersikap kritis kepada pemerintah dan independen. Buktinya, anggota-anggota PWI Nusa Tenggara Barat hampir tidak pernah bersikap kritis kepada pemerintah.

“Saya khawatir terbentuk image di masyarakat, wartawan kerjaannya cuma gitu, minta-minta duit,” kata Adhar. Dia menambahkan pekerjaan PWI bisa mengganggu wartawan lain. “Apa yang mereka lakukan, kita sering kena dampaknya. Buktinya mereka yang minta uang kita yang kena omongan gubernur,” katanya, kesal.

Menurut Adhar, dia tak mungkin mencampuri urusan rumah tangga PWI. Tapi jika organisasi itu tak berusaha menghentikan ketergantungannya kepada pemerintah dan pemerintah juga tak membatasi pendanaan bagi organisasi wartawan, maka usaha meningkatkan mutu jurnalisme setempat akan sia-sia.

Sudjatmiko dari Aliansi Jurnalis Independen setempat mengatakan, “Kita ingin organisasi profesi jurnalis itu independen secara tegas, tidak tergantung pada pihak mana pun dan mandiri.”

Urusan dana ini memang pelik. Di Indonesia tak sedikit organisasi wartawan yang menerima bantuan, baik dari berbagai kantor pemerintah di Jakarta maupun di berbagai daerah, dan jangan lupa, berbagai pemerintahan negara asing yang punya program bantuan untuk media. Mulai dari Amerika Serikat hingga Jepang, dari Swedia hingga Inggris. Bagaimana mengukur suatu bantuan bisa diterima secara independen dan kapan ditolak, tampaknya bakal jadi diskusi yang menarik.

Anggota Komisi A Amir Husain Chaniago sepaham dengan pemikiran Adhar. “Wartawan tidak perlu di bantu siapa pun. Kalau sudah dikasi duit oleh siapa pun, mereka tidak bisa nulis benar lagi.” Lain lagi komentar Faturahman Zakaria. “Kemarin sudah terlanjur, tahun 2001 kita membiayai PWI sampai 100 juta untuk ke Palembang.” Anggaran tahun depan tampaknya Chaniago dan Zakaria siap-siap tak menyediakan dana apapun untuk wartawan.

Ismail Husni punya jawaban terhadap kritik-kritik ini. “Saya tidak urus orang protes. Dia mau protes silahkan, itu haknya. Mungkin ukuran independensinya di luar PWI berbeda. Jadi saya tidak urus, silahkan mau jungkir balik.”*

kembali keatas

by:Trisna Wahyuni