SEIRIS alit bulan sabit keemasan mengambang di langit. Bak kanvas tanpa batas. Kelam, semburat biru, bercak abu-abu, hanya ada tiga empat bintang kecil, tanpa kedip. Kemarau kering Mei lalu masih menyisakan dinihari yang sejuk. Senyap. Angin tipis bertiup pelan, menggoyang dedaunan rimbun di tepi Kali Cemani.

Satu-dua ayam jago berkokok bersahutan. Dua ekor tekukur di kurungan, yang tergantung di emper rumah sebelah mesjid, bernyanyi. Ketika itulah azan subuh pertama melengking parau dari corong loudspeaker mesjid pondok pesantren Al-Mukmin. Di kejauhan terdengar satu-dua sandal diseret di tanah.

Dukuh Ngruki masih terlelap, penduduk masih malas bangun, ketika jarum jam dinding mesjid menunjuk angka 03:15. Tapi kehidupan sudah mulai menggeliat di pesantren, meski mesjid masih lengang.

Tak lama, sekitar seperempat jam kemudian, satu-persatu santri menghambur dari pondok. Mereka mengenakan baju koko, sarung dan “kupiah haji” bermacam warna. Ada beberapa yang mengenakan celana panjang, digulung bagian bawah sedikit agak tinggi di atas mata kaki. Mereka menenteng Al-Quran ukuran mini, buku pelajaran, dan sajadah.

Beberapa kran air wudu mulai bergemerecik. Di saf terdepan –seperempat bagian ruangan mesjid– para santri besar dan kecil duduk berjajar rapih, bersaf-saf. Tak seorang bercakap, hampir semuanya melakukan salat sunah. Ketika itulah terdengar koor tadarrus, bak ribuan lebah bergumam. Mesjid berangsur penuh, jemaah berdesakan.

Sekitar pukul 04.25, azan subuh kedua memecah kebekuan, saling mengungguli suara azan dari mesjid kampung sebelah. Tanpa menunggu komando, tadarrus pun berhenti. Para santri bersigera mengatur shaf, meski di sana-sini tampak beberapa santri kecil masih duduk, berusaha menahan kantuk. Tak ada yang menegur atau menertawakannya. Semua sibuk dengan urusan masing-masing.

Beberapa menit kemudian, ketika imam tampak berkelebat memasuki mihrab, para santri berebut maju mengisi shaf di depan yang masih kosong. Jemaah berdiri, berjajar rapi, berusaha merapat. Jari kelingking kaki merapat ke jempol kaki jemaah di sebelah menyebelah. Ketika itulah seorang santri menyerukan iqamat.

Pagi itu, subuh terasa hening dan khusyu’, tatkala KH Abubakar Ba’asyir, sebagai imam, membaca surat Al-Quran dengan lafal jelas dan lagu sederhana: Aroaital ladzi yukadzdzibu biddin … (Tahukah kamu siapa pendusta agama?…). Jemaah rukuk dan sujud cukup lama, tanpa doa qunut. Usai salat, masing-masing berdoa. Hening. Hanya terdengar bisik-bisik halus jemaah bertasbih dan bersalawat. Tak ada doa beramai-ramai seperti kebanyakan mesjid-mesjid lain.

Begitulah para santri Al-Ma’had Al-Mukmin littarbiyyatil Islamiyyah itu melaksanakan salat lima waktu setiap hari. Khusyu’, hening, tertib –mencontoh ibadah Rasulullah. Al-Quran dan buku-buku pelajaran, yang rata-rata lusuh karena sering dipegang jari dan telapak yang berkeringat, bertumpuk di bibir-bibir jendela mesjid.

Pagi itu, Ba’asyir memberikan tausiah, pengajian. Ia duduk di kursi menghadap meja kecil di depan jemaah. Di atasnya sebuah Al-Quran. Pengajian tafsir Al-Quran pagi itu baru sampai pada ayat ke-11 surat Al-Baqarah. Rangkaian ayat sebelum dan sesudahnya membeberkan watak orang munafik.

“Orang munafik itu paling jelek di muka bumi. Mereka tidak bisa dipercaya. Jika bertemu kaum mukmin, mereka mengaku beriman. Tapi jika kembali ke kelompoknya, mereka kembali ingkar. Orang seperti itu sangat berbahaya, karena mereka seenaknya sendiri mencampur-adukkan kebenaran dengan kesesatan. Karena itu kita jangan memilih orang-orang begini sebagai pemimpin negara,” kata Ba’asyir. Suaranya bening, lantang.

Satu jam kemudian tausiah berakhir. Ba’asyir beranjak dari kursi, pulang ke rumahnya, sebuah bangunan sederhana milik pesantren di belakang perpustakaan. Saya pun kembali ke ruangan tempat menginap di lantai dua, di atas ruang tamu. Ruangan seluas empat kali lima meter persegi tanpa dipan, meja, kursi, atau kasur. Hanya beberapa bantal dan tikar lusuh, dengan penerangan sebatang lampu neon.

Pagi itu, para santri kembali ke pondok mempersiapkan diri masuk sekolah –setelah sarapan pagi bersama-sama. Seragam mereka seperti anak sekolah biasa. Bedanya, mereka tak mengenal seterika. Begitu pula make up bagi santriwati –yang wajib berjilbab. Di sini santri tak mengenal pakaian mewah, dan rokok.

Pesantren itu terletak di dukuh Ngruki, desa Cemani, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, di perbatasan Kabupaten Sukoharjo dan Kotamadya Surakarta atau Solo. Untuk berkunjung ke sana, orang biasanya beranjak dari Solo, yang berjarak sekitar 2,5 kilometer. Semua sopir taksi tahu jalan menuju ke sana. Tukang becak di Tipes atau Serengan, kampung tetangga Ngruki, tahu letak pesantren seluas 8.000 meter persegi itu.

“Kebon itu dulu milik Kyai Abu Ammar. Beliau punya kebon di mana-mana, luas-luas. Ketika masih hidup, beliau sangat ramah dan murah hati kepada penduduk sini. Setiap bulan puasa beliau selalu membagi beras, setiap keluarga mendapat 10 liter,” tutur Mbah Wirodikromo, 73 tahun. Kini ia membantu anaknya membuka warung makan di pingir tikungan jalan menuju pesantren.

Almarhum K.H. Abu ‘Ammar adalah ulama terkemuka pengasuh pondok pesantren Jamsaren, Solo, yang wafat sekitar tahun 1960-an. “Yayasan Al-Mukmin membeli kebun itu dengan harga murah. Barangkali karena ahli waris beliau tahu tanah itu untuk pesantren,” tutur KH Farid Ma’ruf, direktur Al-Mukmin. Pada 1972 pembangunan pesantren Ngruki dimulai oleh trio muballigh Abdullah Sungkar, Abubakar Ba’asyir, dan Abdullah Marzuki.

Di kompleks pesantren inilah Ba’asyir hidup menumpang. Di sini pula kantor, Madrasah Tsanawiyah (SMP), Mu’allimin/Mu’allimat (sekolah guru setingkat akademi), penginapan tamu, pondok atau asrama santri. Termasuk pondok santriwati (dari berbagai kelas) yang letaknya menjorok agak tersembunyi di dalam.

Kompleks kedua, berjarak sekitar 500 meter di sebelah utara kompleks pertama, dibangun di tanah seluas 6.000 meter persegi, sumbangan seorang janda dari Kesultanan Kuwait. Selain sebuah gedung untuk pondok atau asrama, ada sebuah Madrasah ‘Aliyah (SMA) dan sebuah mesjid. Di samping kedua kompleks itu mengalir Sungai Cemani. Airnya jernih, mengalir tenang.

Di sanalah sekitar 2.000 santri mondok, 850 di antaranya santriwati. Jumlah itu belum termasuk puluhan karyawan, pengajar, dan pengasuh pesantren. Yayasan Pesantren Al-Mukmin juga memiliki lima taman kanak-kanak dan sekolah dasar di luar kompleks pesantren, masing-masing dengan 300 murid, dan sebuah SMU Islam di Gading Kidul, Solo, dengan 700 siwa.

Beberapa bangunan dan ruang kelas tampak sangat sederhana, seperti layaknya pesantren-pesantren di tempat lain. Lantai mesjidnya masih menggunakan ubin murah. Warnanya krem kusam kekuning-kuningan. Para santri dilatih hidup sederhana. Makan tiga kali sehari dengan tahu, tempe, kerupuk, satu jenis sayur, sambal. Kadang-kadang ada pisang, seminggu sekali terhidang ayam atau daging.

Semua santri harus tinggal di pondok, biar pun tempat tinggal mereka di sekitar kompleks pesantren. Mereka dilarang keluar kecuali beberapa jam di hari Jumat. “Setiap hari mereka belajar, tak ada waktu buat kegiatan yang tidak berguna,” ujar Farid Ma’ruf. Untuk memacu motivasi belajar, pengasuh memajang sejumlah slogan di beberapa dinding.

Kebanyakan dalam bahasa Inggris, beberapa di antaranya dalam bahasa Arab. Ada pula yang dalam bahasa Indonesia. Science is the light of life, without science will be darkness; Reading can make us clever; The failure is the first step of succsess; Kapan kamu membuktikan tanggungjawab yang telah dipercayakan oleh kedua orangtuamu? Dan sebagainya.

Pondok pesantren inilah yang dicurigai oleh pemerintah, intelijen dan polisi beberapa negara, termasuk Malaysia dan Singapura, sebagai “sarang teroris.” Bahkan pengasuhnya, Abubakar Ba’asyir, dinobatkan sebagai “pemimpin spriritual kaum teroris” Asia Tenggara. Dan tak tanggung-tanggung, ia juga dituding terkait dengan jaringan Al-Qa’idah-nya Osama bin Ladin.

Cuma sayang, wartawan media Barat maupun Malaysia dan Singapura, lebih suka mengutip sumber-sumber pemerintah, intelijen, interogator dan polisi. Majalah Time misalnya. Pada edisi 25 April 2002 menurunkan cover story berjudul Asia’s Own Osama.

Memang banyak wartawan asing yang berkunjung ke Ngruki. Di buku tamu tercatat beberapa wartawan, misalnya dari New York Review of Books, Dallas Morning News, Boston Globe, Sigma Publishing, Time, National Public Radio, Kyodo News, Yomiuri Shimbun. Juga beberapa wartawan lokal. Baik dari Jakarta maupun dari Solo sendiri.

Seorang redaktur sebuah majalah berita di Jakarta bercerita kepada saya, dia pernah mendengar desas-desus bahwa di Ngruki ada “kamp latihan militer.” Harian The New York Times edisi 25 Januari 2002 menulis, bahwa pesantren Ngruki yang dibangun “Mr. Ba’asyir” adalah “a radical Islamic boys boarding school.” Padahal di sana hampir separuh santrinya adalah santriwati.

“Saya juga heran mengapa ada pandangan seperti itu. Padahal, kami di sini biasa-biasa saja. Belajar dan mengajar. Malah ada kameraman televisi asing yang merasa perlu men-shoot pesantren sampai ke dapur, ke lorong-lorong, dan selokan-selokan. Mungkin mereka mau cari tahu barangkali di sini ada senjata, granat, bom. Ya silakan saja,” ujar Farid Ma’ruf, tertawa.

Mereka juga mewawancarai Ba’asyir. “Pertanyaan mereka selalu sama: apa benar saya terlibat dalam berbagai teror, apa benar saya pernah ketemu Osama. Semua itu sudah saya bantah. Kami bahkan sempat pula berdiskusi mengenai Islam. Tapi, setelah beritanya dimuat kok dipelintir,” keluh Ba’asyir.

Salah satu berita yang menurut Ba’asyir dipelintir itu disiarkan Malaysia Online dan harian Utusan Malaysia, edisi 3 September 2001. Pernyataan Ba’asyir bahwa dia tak tahu menahu dengan Kumpulan Mujahidin Malaysia, belakangan dicetak dengan judul yang sangat bertentangan: Ketua Majelis Mujahidin Akui Sokong KMM. Padahal, wawancara itu justru atas inisiatif Ba’asyir untuk lebih menjelaskan duduk perkaranya.

“Kami lalu memprotes wartawannya, Zulkiflee Bakar, yang tinggal di Jakarta. Dia bilang sudah menulis laporan sesuai hasil wawancara, tapi redaksi Kuala Lumpur mengubahnya. Dalam wawancara, Ustaz Abu bilang tidak tahu-menahu dengan Kumpulan Mujahidin Malaysia, tapi berita yang tercetak menyebut Ustaz Abu menyokong KMM,” kata Irfan S. Awwas, ketua tanfizi Majelis Mujahidin Indonesia.

Saya jadi penasaran, ingin menyaksikan “sarang teroris” dan bertemu langsung dengan “sang teroris.” Saya menemui salah seorang pengacaranya yang tergabung dalam Tim Pengacara Muslim. Setelah itu saya mengirim SMS kepadanya.

Ba’asyir menyambut baik niat saya berkunjung ke Ngruki. “Nanti saja Senin tanggal enam. Hari ini saya masih akan ke Jawa Timur dulu,” katanya dari seberang telepon. Maka saya pun, minggu pertama bulan Mei lalu, menginap tiga malam di pesantren Ngruki –yang oleh Presiden Abdurrahman Wahid pernah ditengarai sebagai “sangar.”

Namun, belakangan kesan “sangar” itu agak mereda setelah Wakil Presiden Hamzah Haz berkunjung ke Ngruki akhir bulan Mei lalu. Tentu saja selalu muncul kesan “sangar” setiap kali orang menyebut pesantren Ngruki, sebab para pengasuhnya memang tergolong “muslim garis keras” –penamaan yang tak disukai oleh Ba’asyir.

“Islam itu ya Islam. Tidak ada Islam keras, Islam ekstrem, fundamentalis, Islam lunak, Islam liberal. Tapi, barangkali kesan keras itu karena saya mengajarkan Islam yang lurus, yang kaffah atau sempurna, yang hanya mengacu kepada Al-Quran dan hadis. Dan seharusnya kan memang demikian,” katanya.

Menurut Ba’asyir, selama ini kaum muslimin di Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam dan Indonesia, juga di beberapa negeri lain, masih banyak yang melakukan bid’ah, praktik ibadah yang tak diajarkan oleh Rasulullah. Misalnya, penghormatan terhadap ulama yang berlebih-lebihan, meminta-minta berkah ke makam para wali. Dan sebagainya.

Upaya Ba’asyir menyebarkan pemahaman tentang Islam yang disebutnya kaffah itu dimulai ketika mereka menggelar pengajian di pada 1966-1967. Di sanalah Abubakar Ba’asyir, Abdullah Marzuki, Abdullah Sungkar, Hasan Basri, Abdullah Tufail memberikan pengajian. Pada 1969 mereka mendirikan stasion Radio Da’wah Islamiyah (Radis), yang pada 1975 diberangus oleh militer Jawa Tengah gara-gara siarannya yang “keras.”

Dua tahun kemudian, 1971, mereka mendirikan SMA Islam Diniyah Khushusi (khusus mengajarkan pendidikan agama) di Jalan Gading Kidul, Solo. Pada tahun berikutnya Abdullah Marzuki mendirikan pesantren “As-Salam” di Solo, sementara Abubakar Ba’asyir dan kawan-kawan membangun “Al-Mukmin” di Ngruki, dan diresmikan pada 1974.

Abubakar Ba’asyir lahir 64 tahun lalu dari keluarga Ba’asyir Abud yang sederhana di Desa Pekunden, Mojoagung, Jombang, Jawa Timur. Setelah tamat dari pondok pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, pada 1963 ia melanjutkan kuliah di Fakultas Dakwah Universitas Islam Al-Irsyad, Solo.

Selain sebagai muballigh, ia juga aktif di organisasi kepemudaan. Pada 1961, ketika masih nyantri di Gontor, ia menjadi ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) cabang Gontor. Dan ketika pindah ke Solo ia menjadi sekretaris Pemuda Al-Irsyad, lantas ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI), salah satu organ Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Surakarta.

Visi Islamnya membawanya seiring sejalan dengan beberapa muballigh Solo seperti Abdullah Sungkar, Abdullah Marzuki, Hasan Basri, Abdullah Tufail. Dakwah mereka memang “keras,” sehingga tak urung bersinggungan dengan wilayah politik. Apalagi di tengah represi rezim Presiden Soeharto kala itu, ketika mereka menolak asas tunggal Pancasila.

Pada 1978 mereka pun ditangkap dengan tuduhan terlibat dalam gerakan “Komando Jihad.” Gerakan yang dimotori oleh bekas DI/TII ini muncul pada 1970-an, memperjuangkan berdirinya “Negara Islam” dengan mengganti dasar negara Pancasila. Tapi desas-desus mengatakan, “Komando Jihad” adalah rekayasa Bakin (Badan Kordinasi Intelijen Negara), untuk menjebak tokoh-tokoh muslim “garis keras” seperti bekas Masyumi yang terlarang.

Sungkar dan Ba’asyir ditahan di tempat yang berbeda. Ba’asyir sendiri ditahan berpindah-pindah di beberapa tempat. Mula-mula di tahanan Kodim 0735 Surakarta, lalu ke tahanan Kodam Diponegoro di Semarang, kemudian dipindah lagi ke penjara Mlaten, Semarang, setelah itu ke penjara Pati. Dan terakhir ke penjara Surakarta.

“Selama empat tahun dalam penjara, saya mengalami siksaan psikis. Hampir setiap hari diinterogasi dari jam satu malam sampai subuh,” katanya. Baru pada 1982 mereka diadili di pengadilan Sukoharjo. Abdullah Sungkar sebagai terdakwa I, Ba’asyir terdakwa II. Salah satu dakwaannya: mereka menerima seorang tamu eks-DI/TII, bernama Haji Ismail Pranoto alias Hispran, yang bermaksud mem-bai’at mereka setia kepada perjuangan DI/TII.

Hispran yang berdomisili di Tegal itu memang bekas pemimpin DI/TII. Namun, ketika itu terdengar desas-desus, bahwa dia dan kelompoknya berkolaborasi dengan (almarhum) Mayor Jendral Ali Moertopo. Menurut kabar burung itu, Hispran “ditugasi” Bakin untuk menjebak sejumlah tokoh Islam, terutama bekas Masyumi, yang ketika itu sebagian memang berseberangan dengan Orde Baru.

Caranya cukup halus dan memikat. Suatu hari, tanpa disangka-sangka, Hispran bertamu ke rumah seorang tokoh Islam yang sudah diincar Bakin. Setelah berbasa-basi, Hispran mengemukakan maksudnya untuk mem-bai’at. Ia mengeluarkan selembar kertas yang siap ditandatangani. Isinya: ikrar setia meneruskan perjuangan DI/TII. Ada yang menolak, ada yang terjebak. Maka, beberapa menit setelah Hispran keluar dari rumah itu, dua orang intel sigap menyergap tuan rumah.

Begitu pula yang dialami oleh Sungkar dan Ba’asyir pada 1976. Ketika itu ceramah-ceramah mereka memang menolak asas tunggal Pancasila. Mereka ditahan selama empat tahun dengan tuduhan subversi. Akhirnya pengadilan memutus 12 tahun penjara potong masa tahanan. Mereka naik banding.

Sementara putusan belum dieksekusi, mereka menyingkir ke Malaysia. Belakangan, 17 tahun kemudian, pengadilan Sukoharjo bermaksud melaksanakan eksekusi sembilan tahun penjara atas Ba’asyir berdasarkan putusan Mahkamah Agung pada 1982. Namun, setelah mendapat tekanan publik, sementara hukum soal subversi juga sudah dicabut, akhirnya eksekusi tersebut ditangguhkan.

Pada hari-hari pertama menghilang, Sungkar dan Ba’asyir diincar dan dicari-cari intel. Dengan memperalat seorang tukang becak, petugas dari Kodim 0735 Surakarta memata-matai mereka. Ketika itulah Supardan, kini 65 tahun, tukang becak yang tinggal persis di depan pesantren, mengemban tugas istimewa. Suatu siang, ketika tengah istirahat, ia didatangi oleh seorang tentara.

“Saya dikasih 28 pasfoto. Tapi yang harus saya awasi dua, yaitu Abdullah Sungkar dan Abubakar Ba’asyir. Ketika itu saya tidak tahu apa maksudnya. Tapi wong namanya disuruh oleh pak tentara, ya saya mau saja. Dia bilang, katanya kalau saya bisa menemukan mereka, apa pun yang saya minta nanti akan dikasih. Ketika itu ke mana pun saya narik becak selalu diikuti. Dia pakai kaos, celana pendek, topi,” tutur Supardan.

Suatu pagi, Supardan sempat mengantar Nyonya Ba’asyir berbelanja ke pasar, pulang-pergi. “Tapi saya tidak ketemu dengan suaminya. Saya pikir dia akan mengantarkan sesuatu kepada suaminya. Ternyata tidak. Selama dua minggu saya disuruh mengintai begitu. Tapi sepeser pun saya tidak dikasih duit. Kalau siang tentara itu jajan, makan di warung, tapi saya nggak dikasih makan,” tutur Supardan. Hingga kini Supardan tetap menarik becak. Seorang anaknya nyantri di Ngruki.

Alkisah, Ba’asyir berhasil melarikan diri ke Malaysia bersama Sungkar. Tentu saja menggunakan nama samaran: Abdus Shamad bin Abud. “Abdus Shamad itu nama seorang kyai, guru saya di Solo yang sangat saya hormati. Beliau zuhud, hidup sangat sederhana, menafikan keduniawian. Sedang Abud adalah nama ayah. Jadi sebenarnya tidak terlalu menyamar saya karena mencantumkan nama ayah,” katanya.

Cerita pelariannya ke Malaysia, Mei 1985, menarik. Ketika itu hari Jumat. “Sudah berhari-hari banyak intel berseliweran di jalanan perkampungan penduduk di sekitar pesantren. Saya pikir, kalau saya pura-pura ke mesjid salat Jumat, masak mau diikuti juga,” tuturnya. Mengenakan sarung, membawa buku, dan mengendarai Honda Astrea, Ba’asyir menuju ke sebuah mesjid. Kebetulan ia mendapat giliran berkhotbah.

“Dalam perjalanan saya selalu menengok ke kiri kanan berkali-kali. Eh, kok nggak ada yang ngikuti, ya. Alhamdulillah. Saya lalu belok masuk ke rumah ipar saya. Jadi saya nggak salat Jumat. Kan dalam keadaan darurat, dan menghadapi bahaya. Sepeda motor saya tinggal di sana, saya lalu ke rumah almarhum Ustaz Abdullah Sungkar, ngajak dia hijrah ke Malaysia. Kami janji ketemu jam lima sore di suatu tempat.”

Jumat sore itu, mengendarai mobil, mereka menuju Semarang. Tidak lewat rute biasa, Salatiga, melainkan melalui kecamatan Kalioso. “Begitu mobil kami keluar rumah, alhamdulillah, hujan turun derrrraaas sekali. Sepanjang perjalanan sampai ke Semarang itu hujan tidak reda, gelap gulita. Sampai di Semarang sekitar jam delapan malam, ba’da isya’. Sudah ada kawan yang menunggu untuk membawa kami ke Jakarta,” lanjutnya.

Di Semarang mereka ganti mobil, langsung meluncur ke Jakarta lewat Bandung. “Perjalanan ke Jakarta aman-aman saja. Ketika itu pengejaran terhadap Ustaz Abdullah Sungkar rupanya dipusatkan di Jawa Timur. Ustaz Sungkar rupanya jadi target utama karena ceramah-ceramahnya –terutama di Surabaya dan sekitarnya– memang sangat keras,” lanjutnya.

Sampailah mereka di Jakarta, dan tinggal 20 hari. Meski aman, mereka tetap bersembunyi dan berpindah-pindah rumah. Merancang rencana hijrah ke Malaysia, mereka mendapat bantuan Moh. Natsir, tokoh Islam bekas ketua partai politik Masyumi dan perdana menteri Indonesia pada 1950-an. Ketika itu Natsir memang jadi semacam godfather bagi sementara gerakan politik Islam.

Beberapa hari kemudian mereka menyeberang ke Lampung dengan mobil, dikawal tiga orang. “Sampai di Lampung kami men-carter mobil menuju Medan. Perjalanan darat itu ditempuh selama tiga hari dua malam. Lalu kami ke Kisaran. Dari sini menyeberang ke Malaysia dengan perahu motor. Perahu kayu, sebesar rumah. Penumpangnya saya hitung 23 orang, semua penumpang gelap.”

Ketika itu ombak sangat besar, sementara Selat Malaka gelap gulita. “Baru pertama kali itu saya naik perahu seperti itu. Ketika itu saya sudah pasrah bongkokan kepada Allah. Kalau ketika itu perahunya tengelam, ya saya mati di tengah laut,” katanya tertawa.

Sekitar subuh mereka berlabuh di Pulau Kepang. Dari sini mereka naik ferry menuju ke pelabuhan Kelang. “Kami melalui pintu pelabuhan biasa, dan sempat diperiksa oleh petugas imigrasi. Sampai di sini, alhamdulillah, aman. Mungkin mereka mengira kami orang Malaysia. Yah, ini semua tiada lain berkat pertolongan Allah.”

Ba’asyir yakin betul, para petugas intelijen tak mampu melihatnya karena di sepanjang perjalanan ia selalu membaca surat Yasin: Waja’alna min baini aidihim saddan, wa min kholfihim saddan, fa aghsyainahum fahum la yubshirun (Di depan mereka Kami taruh palang, di belakang mereka juga palang. Selanjutnya Kami tutup mereka sehingga tiada dapat melihat).

Maka selamatlah mereka sampai di Kuala Lumpur, Malaysia, diterima oleh beberapa orang Indonesia yang sudah lama mukim di sana. “Ketika itu imigran gelap masih mudah masuk ke Malaysia. Bahkan Perdana Menteri Mahathir ketika itu diam-diam juga membantu pelarian kami. Ada pejabat tinggi bercerita, Mahathir minta agar kami diam saja. Mahathir bilang, kalau pemerintah Indonesia tanya akan dijawab, memang mereka pernah ke sini tapi sekarang entah ke mana.”

Namun, belakangan Mahathir berbalik memburu Ba’asyir. Juga para muballigh yang dianggap bersuara keras. Menurut Ba’asyir, perubahan sikap itu gara-gara UMNO, partainya Mahathir, kalah dalam pemilihan umum menghadapi PAS (Parti Islam sa-Malaysia). Partai oposisi itu menang di dua negara bagian: Kelantan dan Penang.

Di Malaysia pun Ba’asyir berdakwah. Lima belas tahun kemudian, November 1999, setelah Presiden Soeharto lengser dari kekuasaan, dia pulang ke Indonesia. “Selama di sana saya tak pernah mendengar ada organisasi yang namanya Kumpulan Mujahidin Malaysia itu. Saya baru mendengarnya setelah dua tahun kembali ke Indonesia,” kata Ba’asyir.

Karena itu ketika namanya dikaitkan dengan peledakan bom di Atrium Senen, Jakarta, pada 1 Agustus 2001, dengan tujuan sebuah bus berisi orang-orang Kristiani, yang dilakukan Taufik Abdul Halim, warganegera Malaysia yang diduga polisi Malaysia, anggota Kumpulan Mujahidin Malaysia. Taufik membantah. Kepada harian Kuala Lumpur The Star, Taufik mengatakan tak tahu-menahu Kumpulan Mujahidin Malaysia.

Setiap kali bicara mengenai tuduhan dia terlibat terorisme, raut muka Ba’asyir tenang, biasa-biasa saja. Kata-katanya tak emosional. Ia lebih banyak tertawa, sembari menekankan keyakinannya akan kebenaran ayat-ayat Al-Quran. “Berkali-kali sudah saya tegaskan, saya sama sekali tidak menyetujui cara-cara anarki seperti itu. Sebab, cara-cara seperti itu bertentangan dengan visi dan misi perjuangan saya. Tapi kalau saya dituduh terlibat juga, ya silakan buktikan.”

Bom yang keburu meledak di Atrium Senen sebelum mengenai sasaran itu menyerempet kaki kanan Taufik, si pembawa bom. Taufik dirawat di rumah sakit Kramatjati, Jakarta Timur.

Di pengadilan, Taufik mengaku pernah ke Ambon bersama beberapa kawannya untuk “berjihad membela umat Islam yang sedang teraniaya.” Mereka lewat Nunukan, Tawao, Kalimantan Timur, lalu ke Sulawesi Utara. Dia dijatuhi hukuman mati dan kini masih banding.

Polisi Malaysia juga mengaitkan Ba’asyir dengan lima orang warga Malaysia yang ditengarai anggota Kumpulan Mujahidin Malaysia, yang dituduh terlibat dalam pembunuhan anggota parlemen Joe Fernandez. Seorang di antaranya kakak ipar Taufik, yaitu Zulkifli alias Musa Abdul Choir. Zulkifli yang juga warganegara Malaysia itu dituduh terlibat penyerangan kantor polisi di Guar Cempedak, 4 Februari 2001. Polisi menyebut ia “paling berbahaya” dan pemimpin Kumpulan Mujahidin Malaysia di Selangor dan pernah “jihad” di Ambon.

Tak begitu jelas, apakah organisasi Kumpulan Mujahidin Malaysia itu memang benar ada. Sebab, intelijen, polisi dan pemerintah Malaysia juga menyebut organisasi itu sebagai “Kumpulan Militan Malaysia.” Ini mengingatkan pada cara-cara militer Indonesia menyebut kelompok yang berseberangan dengan rezim Soeharto sebagai “Gerakan Pengacau Keamanan.” Ada kalanya Kumpulan Mujahidin Malaysia juga disebut sebagai Jemaah Islamiyah.

Menurut Center for Defence Information yang berkedudukan di Washington DC, Kumpulan Mujahidin Malaysia didirikan oleh Hambali alias Nurjaman, alias Riduan Isamuddin, warganegara Indonesia, kini 40 tahun, yang sampai kini menghilang tak ketahuan lagi bekas jejaknya. Hambali pernah berguru kepada Ba’asyir. Sementara itu Jemaah Islamiyah, juga menurut polisi Malaysia, didirikan oleh Ba’asyir.

Jemaah Islamiah dicurigai bertanggung-jawab terhadap berbagai pengeboman di Jakarta dan Manila beberapa waktu lalu. Ini janggal, sebab sejak November 1999, Ba’asyir sudah hengkang dari Malaysia. Center for Defence Information juga menyebut Laskar Jihad pimpinan Ja’far Umar Thalib. Tapi lembaga ini terkesan spekulatif ketika menyebut adanya “Indonesian Islamic Liberation Front.”

Sementara itu, Time edisi Asia 25 April 2002 yang berjudul Eye of the Storm, selain menyebut Laskar Jihad (Indonesia) dan Moro Islamic Liberation Front (Filipina) sebagai jaringan Al-Qa’idah, anehnya juga menyebut Gerakan Aceh Merdeka sebagai salah satu organisasi yang terkait dengan “jaringan teroris” Asia Tenggara.

Laporan Time juga menyebutkan bahwa Kumpulan Mujahidin Malaysia mula-mula dibentuk oleh Ba’asyir dan Hambali, tapi belakangan diubah namanya jadi Jemaah Islamiyah pada 1990. Menurut Time, Ba’asyir adalah the founding father dan pemimpin spiritualnya, sementara Hambali sebagai operator atau pelaksana sehari-hari.

Kumpulan Mujahidin Malaysia juga dihubungkan dengan Parti Islam sa-Malaysia (PAS). Menurut kepala polisi Malaysia, Inspektur Jenderal Tan Sri Norian Mai, anak lelaki Menteri Besar Kelantan, Datuk Nik Aziz Nik Mat, yaitu Nik Adli, adalah pemimpin Kumpulan Mujahidin Malaysia di Selangor.

Datuk Nik Aziz Nik Mat membantah tuduhan itu. “Itu tuduhan yang mengada-ada, dan sangat politis,” katanya. Sembari bergurau, Nik Aziz meledek UMNO sebagai “teroris” karena menggunakan lambang keris, sementara lambang PAS adalah bulan bintang.

Ba’asyir juga membantah. “Kalau mereka merampok bank, tidak berarti saya yang menyuruh. Selama ini saya kan mengajar agama, tidak mengajar perbuatan kriminal. Saya sangat menentang dan menyesalkan perbuatan itu. Mereka itu ingkar, menganggap seolah-olah membobol bank itu halal. Cara-cara seperti itulah yang merusak nama baik kami.”

Untuk menopang hidup sehari-hari selama di Malaysia, Ba’asyir menerima imbalan ala kadarnya dari ceramah atau pengajian-pengajian. Sehari-hari dia hanya berjualan madu, haba saodah atau biasa disebut “jinten item,” dan sejenis bumbu yang di Malaysia disebut runcit.

“Ketika itu penghasilan saya tak seberapa. Berdakwah, sambil berdagang kecil-kecilan. Tapi cukuplah untuk makan sehari-hari bersama isteri, yang beberapa bulan kemudian menyusul saya ke Malaysia.” Ba’asyir memang hanya membutuhkan nafkah ala kadarnya, sekedar bisa untuk menopang kegiatan dakwahnya. Hidupnya sangat sederhana. Ba’asyir punya tiga anak, kini dua sekolah di Yaman dan Pakistan, cucunya tujuh orang.

Madu dan jinten memang komoditi yang biasa diperjual-belikan di kalangan pesantren. Dalam Al-Quran madu disebut sebagai obat, sementara menurut Rasulullah, “jinten adalah obat segala macam penyakit kecuali kematian.” Komoditi lain yang biasa beredar di pesantren ialah minyak wangi, karena Rasulullah gemar akan wewangian.

Minyak wangi seperti itu juga banyak dijual di beberapa toko yang menjual kitab-kitab agama, yang biasanya milik orang Arab. Mereknya macam-macam: jannatun na’im (nama sorga), hajar aswad (batu hitam di pojok ka’bah), alf zahra (seribu bunga). Tapi, entah bagaimana, orang Betawi menyebutnya “minyak nyongnyong.”

Terakhir, Ba’asyir tinggal di sebuah bedeng di Kampung Manggis, Banting, Selangor, sebelah tenggara Kuala Lumpur, satu jam perjalanan dengan kendaraan bermotor. “Di sana saya sempat membangun rumah kecil-kecilan. Tapi tanahnya pinjam seorang kenalan,” kata Ba’asyir.

Tanah perkebunan yang luas di Sungei Manggis itu milik Muhammad Yuhana bin Hamidon, warga Malaysia, salah seorang murid Ba’asyir. Di sana Ba’asyir berdakwah sambil berdagang. Tapi polisi Malaysia mencurigainya pernah ke Afghanistan belajar merakit senjata dan membuat bom. Mendengar tuduhan itu ia tertawa.

“Ketika Afghanistan dikuasai tentara Uni Sovyet, saya memang pernah berkunjung ke Pakistan untuk mengurus sekolah beberapa santri, termasuk anak-anak saya. Tentu saja saya juga ketemu dengan para mujahidin di perbatasan. Itu kan biasa. Di antara para jemaah haji juga ada yang ketemu para mujahidin di Mekah dan Medinah. Tapi saya tidak belajar membuat bom. Ya, buat apa?” katanya.

Di Kampung Manggis, Ba’asyir bertetangga dengan Ustaz Hambali. Dia mengenal Hambali pada 1990. “Dia asal Jawa Barat, juga berdakwah sambil berdagang seperti saya. Tapi dagangnya sukses. Dia punya perusahaan mengantarkan jemaah haji, sering ke Timur Tengah,” katanya.

Muballigh asal Sukamanah, Jawa Barat, itu di kalangan jemaahnya biasa dipanggil syekh. Padahal, usianya masih muda, terpaut lebih dari 20 tahun dengan usia Ba’asyir. Sebagai pedagang sukses, Hambali tak segan-segan menyumbangkan sejumlah infaq untuk dakwah.

Polisi Malaysia menuduh Hambali sebagai tokoh penting Kumpulan Mujahidin Malaysia. Bahkan sebagai operator sehari-hari jaringan Al-Qa’idah Asia Tenggara. Ba’asyir dituding sebagai otaknya. Hambali makin dicurigai polisi Malaysia karena mobilitasnya yang tinggi, bolak-balik Malaysia-Timur Tengah mengurus jemaah haji.

Hambali pernah belajar mengaji kepada Ba’asyir di Malaysia. Hambali juga sering bersuara keras. Misalnya, berbicara terus-terang bahwa masih banyak kaum muslimin Malaysia yang melakukan hal-hal yang sifatnya bid’ah, ibadah yang tidak bersumber pada ajaran Rasulullah SAW.

Lebih-lebih ketika ia mengajarkan jihad fi sabilillah dan qital atau mati syahid untuk membela agama, yang menurut Ba’asyir, “merupakan ajaran Islam yang bersumber dari Al-Quran dan hadis.” Bisa dimaklum jika belakangan muncul kesalah-fahaman, seolah-olah Ba’asyir dan Hambali mengajarkan faham baru. “Ajaran jihad itu sejak semula sudah ada dalam Al-Qur’an dan hadis. Bukan ajaran atau tafsiran baru,” ujar Ba’asyir.

HARI kedua menginap di Ngruki, usai zuhur, saya berbincang-bincang lagi dengan Ba’asyir di rumahnya. Bangunan sederhana itu lebih mirip bedeng. Ia rupanya tak punya rumah. Sebatang pohon blimbing wuluh tampak sudah lama tumbuh di depan terasnya yang sempit.

Jika bepergian kemana saja, semula Ba’asyir lebih suka mengendarai motor Honda Astrea miliknya sendiri. Apalagi untuk urusan pribadi, ia enggan menumpang mobil yang disediakan pesantren atau Majelis Mujahidin. Tapi belakangan para pengasuh pesantren menyarankan Ba’asyir tak lagi mengendarai motor.

“Itu sangat berbahaya. Dia kan sudah uzur. Apalagi sekarang banyak orang yang tidak suka kepadanya. Siapa tahu, suatu hari dia dicegat atau dilempari batu di jalanan yang sepi,” kata Farid Ma’ruf. Mula-mula Ba’asyir tak mau menuruti nasihat sahabat-sahabatnya. “Ah, nggak apa-apa. Saya yakin Allah selalu melindungi,” kilahnya. Tapi belakangan ia menurut juga. Maka Honda Astrea itu pun kini pensiun.

Ada tiga pot tanaman hias yang kurang terawat di depan rumahnya. Satu di antaranya terguling pecah. Di ruang tamu tak ada meja kursi, kecuali selembar karpet merah yang digelar di lantai, dan sebuah lemari penuh sesak kitab-kitab agama. Sesekali tercium aroma wewangian yang biasa dipakai kebanyakan kyai di pesantren. Saya menyeruput kopi jahe kental. “Ini minuman kesukaan saya,” ujar tuan rumah.

Siang itu ia mengenakan jubah bersih, lengkap dengan kain selempang di pundak dan “kupiah haji.” Semua serba putih. Dengan cermat ia membaca print out berita mengenai dirinya yang saya copy dari internet.

“Semua berita ini tidak benar. Saya sudah membantahnya. Berbagai tuduhan bahwa saya terlibat dalam teror, berbagai pengeboman, perampokan, dan sebagainya, semua itu fitnah. Tak satu pun yang terbukti. Saya tahu orang-orang kafir itu tidak menyukai saya, karena saya komit melaksanakan ajaran Islam yang kaffah. Sikap seperti itu tentu dianggap keras oleh mereka,” katanya. Raut wajahnya tak berubah.

Tiba-tiba telepon genggamnya berdering. Terdengar jingle Thala’al badru, lagu yang didendangkan kaum Anshar saat menyambut kedatangan Rasulullah dan rombongan kaum Muhajirin saat hijrah dari Mekah ke Medinah. Ba’asyir berbicara dalam bahasa Jawa kromo.

“Ya, ya. Silakan terus. Tapi jangan merusak. Jangan sampai ada anarki, ya?” katanya kepada seseorang yang menelepon. Siang itu rupanya sekelompok muslimin Solo menggelar demonstrasi, memprotes penangkapan polisi Indonesia terhadap Ja’far Umar Thalib dari Laskar Jihad.

Ba’asyir berusia 64 tahun, tubuhnya ramping dan tampak liat sehat. Janggutnya yang lebat memutih sengaja dipelihara sebagai sunah Nabi. Ia berkisah ihwal tuduhan “teroris” yang membuatnya terkenal di seluruh dunia itu. Pertama kali, tuduhan itu dilontarkan oleh Tan Sri Norian Mai dari kepolisian Malaysia pada Agustus 2001: Abubakar Ba’asyir, dengan nama samaran Abdus Shamad bin Abud, terlibat dalam kegiatan ilegal Kumpulan Mujahidin Malaysia.

Tuduhan itu berlanjut, setelah pemerintah Singapura pada 5 Januari 2002 menahan 15 orang yang diduga merencanakan serangan terhadap berbagai fasilitas Amerika Serikat di sana. Tigabelas di antara mereka mengaku anggota gerakan bawah tanah Jemaah Islamiyah, yang menurut polisi Malaysia didirikan oleh Ba’asyir.

“Beberapa di antara mereka memang mengaku menjadi murid saya. Dalam arti pernah mengikuti pengajian saya. Tapi saya kan tidak pernah mengajarkan anarki dan perusakan-perusakan. Selama ini saya mengajarkan agama, mengajak orang taat kepada Allah, mengajar bagaimana berahlak mulia, berbudi luhur,” tambahnya.

Tuduhan itu memuncak ketika Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew menyatakan kepada Straits Times bahwa “selama Indonesia tidak menangkap Abubakar Ba’asyir, Singapura dan seluruh wilayah Asia Tenggara tidak akan aman.”

Lee juga menuduh Indonesia sebagai “sarang teroris,” sementara pemerintah Presiden Megawati Soekarnoputri tidak serius membasmi teroris. “Tapi anehnya, Straits Times juga memberitakan saya termasuk di antara belasan orang yang ditangkap di Singapura itu. Padahal, sampai saat ini saya masih hidup bebas di Solo,” ujar Ba’asyir.

Seminggu setelah tuduhan serius itu, Ba’asyir memenuhi panggilan polisi Indonesia untuk memberikan klarifikasi. “Termasuk klarifikasi terhadap tuduhan polisi Malaysia bahwa saya terkait dengan tandzim Al-Qa’idah pimpinan Osama bin Ladin,” katanya. Ia menjelaskan semua kegiatan dakwahnya, baik di Malaysia maupun setelah pulang ke Indonesia.

“Di Mabes Polri saya bilang, kalau memang melakukan teror saya bersedia dihukum dengan hukum Islam yang seberat-beratnya. Sebab, tindakan teror itu berarti mengacau keamanan, menimbulkan ketakutan orang banyak, dan menimbulkan pengrusakan. Tapi, kalau ternyata saya tidak melakukan apa-apa, berarti itu fitnah. Dan saya akan menggugat pemerintah Singapura,” katanya lagi.

Ba’asyir memenuhi janjinya. Awal Maret lalu ia menggugat pemerintah Singapura di pengadilan Jakarta Selatan. Melalui Tim Pengacara Muslim, ia menuntut terhukum membayar ganti rugi moril sebesar Rp 1 trilyun. Jika tuntutan itu terlaksana, ganti rugi sebesar itu akan dibagikan kepada korban bencana alam dan untuk membiayai pendidikan Islam.

Selain itu sementara menunggu eksekusi, terhukum juga dituntut membayar uang paksa Rp 1 milyar setiap hari sampai seluruh ganti rugi moril itu terbayar lunas. Tapi dalam dua kali sidang, tergugat tidak pernah hadir. Pengadilan memutuskan kasus ditutup karena kekebalan diplomatik.

Meski Ba’asyir selalu bicara blak-blakan tanpa ada kesan berdiplomasi, saya merasa perlu melontarkan pertanyaan-pertanyaan lebih tegas. Semua berita dari berbagai bahasa telah menuding dia sebagai teroris. Bahkan sebagai pemimpin spiritual teroris Asia Tenggara, yang punya hubungan dengan Al-Qa’idah.

“Apakah ustadz bisa dipercaya, tidak bohong?” tanya saya seperti jaksa.

“Lho, kalau saya bohong ya buktikan saja kebohongan itu. Dan kalau saya benar teroris, mengapa saya menggugat pemerintah Singapura yang menuduh Indonesia sebagai sarang teroris?” jawabnya datar.

Kegeraman sebagian media Barat, barangkali karena pernyataan Ba’asyir mengenai Osama bin Ladin. Ia, misalnya, tanpa tedeng aling-aling menyatakan bahwa Osama, “bukan teroris.”

Kepada The New York Times, misalnya, tanpa ragu-ragu ia juga menyatakan penghargaan yang tinggi kepada Osama, “yang telah menunjukkan keberaniannya di hadapan dunia Islam, berjuang melawan arogansi Amerika Serikat.” Tapi saya katakan kepada Ba’asyir, tindakan Osama adalah tindakan politik, bukan agama.

“O, tidak. Tindakan Osama itu berdasarkan wasiat terakhir Rasulullah SAW sebelum beliau wafat. Wasiat Rasulullah ialah agar kaum musyrikin dan ahlul kitab, kaum Yahudi dan Nasrani, diusir dari Jazirah Arab –kecuali duta-duta besar mereka,” kata Ba’asyir. Ia lalu mengutip sebuah hadis yang dimuat dalam buku mengenai dirinya berjudul Saya Teroris? susunan Fauzan Al-Anshari.

“Aku berwasiat kepada kalian tiga perkara. Usirlah kaum musyrikin dari Jazirah Arab, dan izinkan duta-duta mereka sebagaimana aku mengizinkannya,” kata Nabi.

Ibnu Abbas berkata: “Rasulullah diam tidak mengucapkan wasiat ketiga.”

Dalam riwayat lain Ibnu Abbas berkata: “Saya lupa wasiat yang ketiga.” Dalam riwayat Umar ibn Khattab, Rasulullah bersabda: “Kalau aku masih hidup, insya Allah benar-benar akan kuusir Yahudi dan Nasrani dari Jazirah Arab.”

Menurut Ba’asyir, Osama hendak melaksanakan wasiat tersebut. Dalam pamflet Pengumuman Perang Melawan AS (menurut versi Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, World Islamic Front for Jihad Against the Jews and Crusaders, Februari 1998) Osama menyerukan kepada raja, sultan dan ulama-ulama di Timur Tengah, khususnya Arab Saudi, untuk mengusir tentara Amerika Serikat dan mengantikannya dengan pasukan dari negeri-negeri muslim.

Selama di Malaysia Ba’asyir banyak membaca buku dan pamflet-pamflet Osama. “Videonya juga banyak beredar di sana. Tapi tidak berarti saya ada kontak atau punya jaringan dengan dia,” kata Ba’asyir. Menurut dia, dalam beberapa video itu Osama mengungkapkan nasib umat Islam yang teraniaya di Palestina, Bosnia, Chehnya, dan sebagainya. Semua itu, menurut Osama, gara-gara politik Amerika yang bermain mata dengan Israel. Osama lalu menawarkan jalan keluarnya, yaitu jihad fi sabilillah.

Jadual dakwah Ba’asyir cukup padat. Spesialisasinya ialah tafsir Al-Quran dan ‘aqidah, filosofi keyakinan agama. Selasa pagi, misalnya, ia mengajar tafsir Al-Quran di kelas enam Mu’allimin; Rabu pagi di kelas enam Mu’allimat; sementara Rabu sore mengajar akidah untuk guru-guru wanita. Jumat pagi mengajar tafsir di Tsanawiyah dan Aliyah; Jumat malam mangajar akidah untuk para guru pria.

Kegiatan itu masih diseling dengan memberikan tausiah usai salat subuh. Ia juga memberikan pengajian di kota Solo tiap Senin sampai Jumat. Bahkan juga beberapa pengajian di luar kota Solo, biasanya Minggu dan Senin malam.

Saya minta izin ikut serta ketika Ba’asyir akan memberikan pengajian di sebuah mesjid di tengah kota Sukoharjo. Saya ingin menyaksikan, betapa “sang teroris” itu tampil di depan umum. Senin malam minggu pertama Mei lalu, usai salat isya, jemaah memenuhi mesjid Sukoharjo. Tua, muda, lelaki, perempuan.

Ba’asyir duduk di kursi menghadapi sebuah Al-Quran di meja kecil. Ia lebih tampil dengan sosok seorang kyai. Uraian dan petuah-petuahnya didengarkan dengan khidmat. Meski tausiah-nya diseling sindiran atau banyolan lucu, tak ada gelak tawa berlebihan. Ada rasa hormat pada sang guru. Meski sesekali ia nyerempet kasus-kasus politik mutakhir, misalnya, juga tak ada tepuk tangan berlebihan seperti halnya jika yang bicara seorang muballigh atau da’i.

Saya juga mengikuti Ba’asyir ketika ia diundang rapat oleh Majelis Ulama Indonesia di Mesjid Agung Surakarta. Rapat itu rupanya sangat penting. Wartawan dilarang masuk. Tapi saya bilang kepada Ba’asyir, tak akan meliput rapat itu. Saya hanya ingin melihat kehadiran Ba’asyir di lingkungan komunitas muslim Solo.

Benar. Rapat yang dihadiri segenap komponen organisasi Islam Solo itu membicarakan kemelut yang menimpa sebuah rumah sakit Islam, yang oleh mereka dianggap aib. “Karena itu jangan sampai ketahuan oleh pers,” kata salah seorang hadirin. Di forum itu Ba’asyir tampil biasa-biasa saja. Segenap hadirin, ibu-ibu muslimat, wakil organisasi massa dan partai politik Islam, hingga wakil Front Pemuda Islam, bersikap biasa saja terhadap “sang teroris.”

Sepanjang Mei itu jadual dakwahnya di luar kota Solo juga padat. Tanggal 9 Mei, misalnya, ia menghadiri tablig akbar di mesjid Al-Azhar, Jakarta. Keesokan harinya ia menuju Purworejo, Jawa Tengah, menghadiri sebuah acara Nahdlatul Ulama. Tanggal 11 pulang, keesokan harinya sudah harus menuju Jombang, lalu ke Mojokerto, keduanya di Jawa Timur.

Rabu, 15 Mei Ba’asyir kembali ke Jakarta karena keesokan harinya harus hadir dalam sidang dalam perkara gugatan terhadap pemerintah Singapura. Setelah istirahat sehari, 18 Mei menghadiri pengajian di Ciamis, Jawa Barat. Dan keesokan harinya langsung hadir dalam tablig akbar di Sragen, Jawa Tengah. Sesudah itu kembali ke Ngruki, mengajar. Tapi 25 Mei sudah dipesan untuk bicara dalam tablig akbar di Klaten, Jawa Tengah.

Sosok Ba’asyir semakin mendapat legitimasi ketika ia dipilih sebagai Amirul Mujahidin dalam Kongres I Majelis Mujahidin Indonesia di Yogyakarta, 5-7 Agustus 2000. “Sebenarnya ketika itu saya tidak mau, tapi saya didaulat,” ujarnya. Ia hanya menggeleng sungkan ketika ditanya mengapa ia terpilih.

Menurut Irfan S. Awwas, ketua panitia pelaksana kongres, Ba’asyir dinilai satu-satunya tokoh yang memenuhi syarat. “Track record–nya bagus. Ia jujur, ihlas, sabar, santun, tawadhu’ (rendah hati). Hidupnya sederhana, rela berkorban. Ia bahkan sampai jadi buronan karena mempertahankan keyakinan Islam,” kata Irfan kepada majalah Hidayatullah.

Kongres dihadiri sekitar 2.000 orang dari 24 propinsi, termasuk bekas terpidana “Komando Jihad” asal Medan, Timsar Zubil dan kader Al-Chaidar yang dikenal sebagai eksponen DI/TII. Tokoh “Peristiwa Tanjung Priok” seperti Mawardi Noor bahkan tampil sebagai pemakalah di samping akademikus Deliar Noer. Hadir pula tokoh Partai Persatuan Pembangunan KH Alawy Muhammad.

Kongres akhirnya melahirkan Piagam Yogyakarta yang intinya dua: upaya penegakan syari’ah Islamiyah (tathbiqus syari’ah) secara kaffah dalam kehidupan kaum muslimin Indonesia, dan merintis kepemimpinan umat (imamah) menuju terwujudnya kekhalifahan (khilafah) umat Islam sedunia.

Kekhalifahan Islam itu di abad XX pernah digulirkan sebagai Pan Islam –setelah selama tujuh abad terbentang di wilayah Timur Tengah sampai ketika Kerajaan Usmani hancur pada 1924. Sejak itu, menurut Ba’asyir, selama 76 tahun kaum muslimin tetap merindukan terwujudnya kembali imamah dan khilafah tadi.

Impian membentuk khilafah sedunia inilah yang juga disebut dalam beberapa pernyataan Osama bin Ladin. Dalam konteks Asia Tenggara, Ba’asyir dan beberapa muballigh dicurigai mencita-citakan sebuah Daulah Islamiyah Nusantara, meliputi kawasan-kawasan muslim di Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei Darussalam, serta Filipina, Muangthai dan Kamboja bagian selatan.

“Tapi untuk jangka waktu dekat ini konsentrasi Majelis Mujahidin tertuju pada perjuangan penegakan syariat Islam di Indonesia,” kata Ba’asyir. Menurutnya, Majelis Mujahidin sudah siap dengan konsep amandemen UUD 45 yang sesuai dengan syariat Islam. Juga konsep hukum pidana dan ekonomi menurut Islam –untuk diajukan ke parlemen.

Itu berarti ia masuk ke wilayah politik. “Bagaimana perjuangan politik berhasil tanpa partai politik?” tanya saya. Ba’asyir menyadari porsi perjuangannya di bidang dakwah, bukan politik. “Karena itu kita harus memanfaatkan partai-partai politik Islam,” katanya. Tapi ia tak menyembunyikan kekecewaannya. Di antara belasan partai Islam, hanya dua yang menyetujui pelaksanaan syariat Islam: Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Bulan Bintang.

Untuk sementara, Ba’asyir dan Majelis Mujahidin yang dipimpinnya akan berdakwah kepada tokoh-tokoh partai Islam, menyampaikan konsep-konsep mengenai kenegaraan. “Mau mendirikan negara Islam?” tanya saya agak tersentak.

“Bukan begitu. Bagi kami negara Islam atau Negara Kesatuan Republik Indonesia, tak masalah. Itu hanya nama. Yang penting isinya,” kata Ba’asyir.

SELASA sore, hari ketiga saya menginap di Ngruki, ketika hendak menuju ke rumah Ba’asyir melanjutkan obrolan, saya tertegun. Suasana di halaman pesantren mendadak berubah. Terasa ada yang bangkit, semacam gerakan yang bersemangat. Puluhan santri tegap membentuk lima barisan. Mereka mengenakan kaus oblong dengan tulisan punggung “Kamufisa,” Kader Mujahidin Fisabilillah.

Terdengar bunyi peluit bergantian. Suara serak aba-aba dengan nada tinggi. Beberapa saat kemudian, barisan anak-anak muda bertubuh sehat itu menghadap ke pintu gerbang. Serempak mereka pun berlari-lari keluar pesantren sambil bernyanyi. Raut muka mereka memerah memancarkan semangat dan kegembiraan. Hati saya bergetar.

Perjuangan menegakkan Islam

kuakui tak seindah kata

Penuh cobaan dan duka nestapa

menghiasi setiap ayun langkah

Namun kucoba, kurenungkan lagi

pesan dalam Al-Quran suci

Allah tiada pernah membiarkan

pengakuan iman tanpa ujian

Allah adalah tujuan kami

Rasulullah teladan kami

Jihad adalah jalan kami

syahid cita kami tertinggi

Rabu sore para santri berlatih karate dan kungfu. Santri dewasa wajib mengikuti olahraga lari beberapa kilometer, seminggu tiga kali: Ahad, Selasa, Jumat, antara zuhur dan asar. Ahad pagi, usai subuh, ada pula rombongan santri yang berolahraga di lapangan tak jauh dari pesantren.

Beberapa santri ada yang berinisiatif melakukan olahraga angkat berat. Sementara Sapala, santri pencinta alam, secara berkala jalan kaki naik gunung, misalnya ke Dieng, Lawu. Pesantren Ngruki yang mewajibkan kegiatan fisik seperti inilah yang oleh pers asing dicurigai sebagai “kamp pelatihan militer.” Padahal, menurut Farid Ma’ruf, olahraga seperti itu merupakan tradisi di semua pesantren.

“Pesantren-pesantren zaman dulu kan mengajarkan pencak silat. Mungkin untuk menghadapi penjajah Belanda. Kegiatan fisik seperti itu sangat perlu. Terutama untuk mengimbangi kejenuhan anak-anak yang selama seminggu terus-menerus hanya berada di pondok saja, tidak ke mana-mana,” ujar Farid Ma’ruf.

Setiap Kamis malam ada sejumlah santri dewasa punya jadual jalan kaki, minimal 25 kilometer keluar pesantren. Bukan sekedar olahraga biasa, tapi melakukan dakwah, minimal mengajar membaca Al-Quran, di beberapa mesjid, surau, atau keluarga-keluarga di sekitar pesantren.

Seperti halnya para santri di zaman kuno yang terkadang memiliki semacam kesaktian atau kanuragan — yang diperoleh dalam latihan pencak silat diiringi salat tahajud, puasa dan zikir — pada 1987 ada 16 santri yang belakangan ketahuan sebagai “sakti.” Mereka mendaki Gunung Lawu, tersesat, meninggal semua. Anehnya, meski baru tiga hari ditemukan, mayat mereka tak kaku atau membusuk.

Pertengahan Mei lalu, ketika Front Pemuda Islam Surakarta menggelar tablig akbar di perempatan Gladag, di sebelah selatan Balaikota Surakarta, para santri dewasa jalan kaki menempuh jalan Ngruki-Gladag yang berjarak sekitar tiga kilometer. Mengenakan kaus hijau tua lusuh bertuliskan “Kamufisa” di punggung, mereka menjadi pagar betis.

Barangkali mereka menghayati betul bunyi slogan di salah satu dinding pesantren Ngruki yang tampak mencolok: Allah is our aim; Rasulullah is our leader; Al-Quran is our way of life; Jihad is our way; Death in the way of Allah is our highest aspiration.

Menurut Ba’asyir, jihad dalam Islam bukan semata-mata berarti perang secara fisik. Ibadah haji bagi kaum wanita, misalnya, menurut Rasulullah juga bisa berarti jihad. Upaya sekuat tenaga untuk melawan hawa nafsu juga bisa berarti jihad, bahkan merupakan jihad akbar, jihad yang nilainya besar.

“Tapi selama ini kaum muslimin memang melupakan ajaran jihad secara fisik itu. Jihad untuk membela dan menegakkan agama. Terutama dalam situasi ketika agama dan umat Islam terpinggirkan, terpojok, teraniaya. Dalam keadaan seperti itu, umat Islam wajib membela sesama kaum muslimin,” katanya.

Meski begitu, menurut Ba’asyir, jihad tidak boleh dilakukan di negeri-negeri yang aman seperti di Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei Darussalam, tapi di tempat-tempat di mana umat Islam teraniaya. Misalnya di Palestina, Bosnia, Afghanistan, Chehnya, Moro, Ambon, Poso.

“Artinya, umat Islam boleh berjihad jika mereka, atau saudara mereka, terusik. Kalau umat Islam aman-aman saja, ya tak usah jihad. Barangkali karena ajaran jihad yang saya sampaikan itu dianggap keras, saya lalu dianggap sebagai provokator atau teroris. Memang, kalau umat Islam komit dan konsisten melaksanakan ajaran Al-Quran, pasti dianggap keras oleh orang kafir,” katanya.

Sikap keras seperti itu rupanya merisaukan kolomnis Sukidi. Melalui kolom Republika 14 Januari 2002 berjudul Dialog Islam-Barat untuk Perdamaian Dunia, Sukidi menilai konflik Islam dan Barat belakangan ini makin mengeras.

“Gelombang anti-muslim di Amerika Serikat dan Eropa yang disusul gelombang anti Amerika Serikat dan Barat di dunia Islam menyadarkan kita bahwa masalah krusial ini tidak bisa diselesaikan dengan jihad versi Osama bin Ladin, atau crusade versi Kristen yang sempat diucapkan oleh Presiden George W. Bush,” tulis Sukidi.

“Demokrasi dan perdamaian dunia tidak bisa ditegakkan di atas fondasi rapuh seperti prasangka buruk, melainkan harus melalui jalan dialog dan rekonsiliasi, dengan dilandasi semangat kepercayaan, toleransi, dan sikap terbuka untuk saling menghormati.”

Namun, sebelum penyerangan terhadap World Trade Center pada 11 September 2001, prasangka buruk Barat terhadap Islam sudah lama mencuat. Tesis Samuel Huntington dari Universitas Harvard tentang benturan kebudayaan di majalah Foreign Affairs (1993) merupakan salah satu adanya ketegangan Islam-Barat itu.

Begitu pula artikel majalah Time edisi 15 Juni 1992 mengenai the sword of Islam. Bisa dimaklum jika kemungkinan konfrontasi antara Islam dan Barat itu sempat diungkap pula oleh mantan Menteri Luar Negeri Italia, Gianni de Micheles, dalam wawancaranya dengan majalah Newsweek edisi 2 Juli 1990.

Di lain pihak, dunia Islam pun melancarkan kritik keras ke alamat Barat. Sejak lama, filsuf muslim asal Pakistan, Muhammad Iqbal menuding, “Demokrasi Barat adalah organ kuno yang mendendangkan lagu imperialisme. Sistem ini dianggap sebagai ratu kebebasan. Padahal, dalam praktek merupakan setan otokrasi yang dibungkus pakaian tipuan.”

Itu sebabnya Sukidi menawarkan dialog sebagaimana tawaran Hugh Goddard dalam bukunya, Christians and Moslems: From Doubble Standards to Mutual Understanding (1995). Menurut Goddard, dialog tersebut “untuk menggeser prasangka buruk, salah paham, kebencian, konflik dan kekerasan, menuju saling pengetian, saling memahami dan menghormati, saling toleran.”

“Bayangkan jika crusade versi Bush dan jihad versi Osama diamini oleh segenap umat Kristen dan Islam di seluruh dunia, apa jadinya? Padahal masalahnya, terorisme adalah murni kriminalitas politik,” katanya dalam wawancara khusus dengan majalah Syir’ah edisi 25 Februari–25 Maret 2002.

Ba’asyir menuding Amerika Serikat sebagai “setan besar.” Kebencian itu gara-gara pemerintah Amerika Serikat berlaku tak adil terhadap kaum muslimin di beberapa kawasan dunia. Dan biasanya main mata dengan Israel. “Saya bukan anggota Al-Qa’idah. Tapi saya respek kepada Osama yang menunjukkan keberaniannya kepada dunia Islam melawan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya,” kata Ba’asyir kepada New York Times.

Itu tak berarti dunia Islam akan bermusuhan melawan dunia Barat selama-lamanya. Sebab, menurut Ba’asyir, “Selama Amerika Serikat memusuhi dunia Islam, dia adalah musuh. Tapi jika mereka menghentikan permusuhan dan kebenciannya, kaum muslimin tentu bisa menjalin perdamaian. Dan memang Al-Quran juga mengajarkan begitu.”

Yang jadi soal, tulis Sukidi di Republika, “kita tidak ingin menyelesaikan kekerasan dengan kekerasan baru, terorisme dengan terorisme baru. Karena itu, jalan keluarnya ialah dialog yang dilandasi ketulusan hati, terbebas dari prasangka buruk, sehingga terjalin toleransi alias tasamuh.”

Suasana tasamuh itu pula yang hingga kini melingkupi perkampungan penduduk di sekitar pesantren Ngruki. Keberadaan pesantren di tengah perkampungan penduduk yang padat ternyata tidak terlalu menggangu. Menurut Mbok Yamto, yang membuka warung makan di tikungan menuju pesantren, kadang-kadang ada saja beberapa santriwati yang membeli lauk-pauk di warungnya.

“Mereka tidak makan di sini, karena santri kan tidak boleh keluar dari pesantren. Kecuali kalau memang perlu sekali. Lauk itu dibawa pulang ke pondok,” katanya. Sri, putrinya, yang membantu ibunya melayani pembeli, menambahkan: “Mereka memang tidak bergaul dengan penduduk sini. Tapi kami tidak merasa terganggu. Mereka ramah-ramah kok.”

Tak berarti para santri tak ada yang membelot atau membolos. Hampir setiap minggu ada saja belasan santri, yang dihukum jalan jongkok bersama-sama. Ada yang karena malas membersihkan kamar tidur, ada yang lalai membersihkan kamar mandi. Para santri dewasa yang kedapatan membolos biasanya dihukum dengan cukur sampai gundul.

Hari kedua menginap di Ngruki, saya bertemu seorang wali santri asal Wonosobo, Jawa Tengah. Sebagai duda ditinggal mati isteri, ia merasa tak mampu mendidik kedua putrinya. Ia pun memutuskan menyekolahkan mereka ke pesantren Ngruki. Tapi, alangkah sedih, anak pertama yang sudah duduk di kelas terakhir Mu’allimat itu terancam dikeluarkan dari pesantren –tidak dengan hormat.

Gadis langsing, hitam manis, dan berjilbab rapih itu, dua kali ketahuan membolos. Beberapa bulan lalu seharian ia tak pulang ke pesantren. Belakangan ketahuan dia menemui pacarnya. Dan kali ini ia membolos lagi, pulang ke pesantren pukul 20:00. Ia nonton film Ada Apa Dengan Cinta di Bioskop Sriwedari. “Repotnya, ia termasuk santriwati senior yang seharusnya jadi contoh sebagai santriwati yang berahlak mulia,” kata wali kelasnya.

Lurah Desa Cemani, Masruchin, mengatakan tak terlalu sulit mengatur warganya yang berasal dari berbagai daerah di tanah air itu. “Lho, itu kan ada seninya tersendiri. Begini. Selama ini saya selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh pesantren, selalu tukar pikiran dan konsultasi,” katanya.

Menurut Lurah Masruchin, di antara warga Cemani tentu ada yang membaca suratkabar atau nonton televisi yang memberitakan Abubakar Ba’asyir yang dituduh sebagai teroris. “Tapi mereka ternyata tak peduli, kok. Begini. Penduduk sini itu kan magol, tanggung. Disebut orang desa, bukan; dikatakan sebagai orang kota ya bukan. Mereka itu nggak peduli kok, nggak mau mikirin yang gitu-gitu,” katanya.

Tigapuluhan tahun silam, mayoritas penduduk Cemani terdiri dari buruh dan tani. Hanya sebagian kecil pegawai negeri atau pedagang kecil. Hingga kini, komposisi itu tak jauh berubah. Dulu, mayoritas penduduk terpengaruh Partai Komunis Indonesia, kini sebagian besar bersimpati pada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Perubahan yang agak mencolok: kini tampak beberapa mesjid, satu-dua gereja, dan sejumlah perempuan dan gadis lalu lalang mengenakan jilbab.

Beberapa tahun lalu, jalan-jalan di Ngruki masih sempit, berbatu-batu, belum diaspal. Ketika itu, di kiri kanan jalan masih tampak beberapa kebun yang luas. Rata-rata berpagar bambu atau petai cina. Rumah-rumah penduduk pun rata-rata masih berdinding gedeg, beberapa di antaranya beratap rumbia.

Kini, Ngruki berubah total. Sekitar jam enam pagi, kehidupan sudah menggeliat. Sejumlah toko kelontong, satu dua warung telemokunikasi, sudah buka. Begitu pula beberapa warung makan, juga warung pisang atau singkong goreng di emper-emper rumah penduduk. Para pegawai dan anak-anak sekolah bergegas naik sepeda atau motor.

Kini hampir tak ada lagi jalanan atau pojok desa yang gelap. Meski tak terlalu benderang, beberapa lampu jalanan menerangi teras rumah-rumah penduduk, juga tikungan-tikungan jalan. “Tidak terlalu banyak yang makan di sini, tapi lumayanlah buat makan sehari-hari,” ujar Mbok Yamto.

Dulu, di malam hari, Ngruki sepi bagaikan tanpa jiwa. Jalanan gelap, seram. Tak ada orang lewat. Tapi kini seperti ada denyut kehidupan yang berdegup, meski tak terlalu cepat. Terdengar suara lagu dangdut, atau dialog sinetron dari televisi. Azan maghrib dan isya bersahutan dari beberapa mesjid yang jaraknya tak terlalu berjauhan. Dan setelah itu, masih terdengar suara perempuan mengaji lirih di sebuah rumah sederhana.

Ketika malam turun perlahan, suasana kehidupan di pesantren juga berangsur sepi. Para santri keluar dari pondok, membawa buku-buku pelajaran untuk belajar di kelas. Dua tiga di antaranya menenteng bantal usang. Mereka memang dilarang belajar di kamar tidur. Beberapa di antaranya belajar di mesjid.

Dari pondok putri terdengar suara serak seorang santriwati lewat loudspeaker. “Itu kan latihan berpidato dalam bahasa Arab,” kata seorang santri yang bertugas jaga malam. Bersama seorang temannya, yang sama-sama mengenakan kaus Kamufisa, ia bersiaga di pos penjagaan pintu gerbang.

Dua orangtua santri tengah ngobrol di ruang tamu. Mereka menengok anak atau kemenakan yang mondok di pesantren. Saya ikut ngrumpi, dan sempat berkenalan dengan Achmadi, guru STM Ponorogo, Jawa Timur. Seorang anaknya nyantri di sini. Selain mengajar, ia membuka praktek pijat refleksi kombinasi akupunktur di rumahnya.

“Kapan-kapan saya mau ke sini lagi untuk menularkan ilmu pijat kepada para santri di sini,” katanya. Beberapa santri yang menerima para tamu itu tampak menyambut gembira. “Kalau begitu, bisa dipraktekkan dulu dong malam ini,” kata saya sembari tertawa. Kami pun naik ke lantai dua.

Saya membuka songkok, baju koko, singlet, sarung. Hanya dengan celana dalam, saya tengkurap di selembar tikar, siap dipijat. “Aduh, ya Allah, astagfirullah,” saya berteriak-teriak kesakitan.

“Kalau bagian tubuh yang dipencet terasa sakit, itu tandanya memang ada penyakitnya. Tapi setelah ini, percayalah, badan rasanya enak,” kata Achmadi, tertawa pelan.

Achmadi yang bertubuh pendek gempal itu menekan dan menusuk-nusukkan alat pemijat dari kayu. Bentuk pegangannya menyerupai pestol mainan hingga mudah memegangnya. Tekanannya tak terlalu keras, tapi rasanya sakit bukan kepalang. Lengan dan telapak tangannya berpeluh, napasnya seperti orang berolahraga.

Sambil menahan rasa sakit di telapak kaki, betis, paha atau pinggang, saya sempat tertawa geli. Bukan karena pijitan Ahmadi. Tapi lantaran celetukan salah seorang tamu yang tiduran di pojok ruangan itu. “Di sarang teroris kok sempat-sempatnya pijet, to pak?” katanya tergelak dengan logat Jawa medok. Ahmadi hanya mesem.

Malam pun merayap semakin senyap. Suara serak santriwati lewat loudspeaker tak terdengar lagi. Burung-burung malam terdiam. Hanya angin kecil menggesek-gesek pelan dedaunan bambu, mengiringi gemercik air Kali Cemani yang mengalir tenang.

Dari ruang tamu terdengar seorang santri, pelan-pelan membaca surat Al-Rahman (Maha Pemurah). Surat ke-55 Al-Quran itu jadi favorit para qari dan qariah lantaran ada ayat yang diulang-ulang. Suaranya bulat, enak, dalam alunan irama qiraah sederhana: Fabiayyi ala-i robbikuma tukadzdziban; Karunia Allah yang mana lagi yang hendak kamu dustakan?*

by:Budiman S. Hartoyo