Kisah Tinggi Hati, Sepi, dan Cinta

Arief Budiman

Mon, 1 July 2002

KARENA kenal dengan Mira Lesmana dan Riri Riza, yang beberapa waktu lalu mengunjungi Melbourne, kota tempat tinggal saya di Australia, saya diundang untuk nonton film terbaru mereka Eliana eliana.

KARENA kenal dengan Mira Lesmana dan Riri Riza, yang beberapa waktu lalu mengunjungi Melbourne, kota tempat tinggal saya di Australia, saya diundang untuk nonton film terbaru mereka Eliana eliana. Film ini digalapremierkan pada 18 Juni lalu di Jakarta.

Saya kenal Lesmana karena dia merencanakan membuat film tentang almarhum adik saya, Soe Hok Gie. Lesmana tertarik setelah membaca buku Soe Hok Gie Catatan Harian Seorang Demonstran. Lesmana datang ke Australia dalam rangka memperkenalkan filmnya yang sukses Ada Apa Dengan Cinta alias A2DC. Kesempatan ini digunakan Lesmana bertemu saya untuk bertanya-tanya tentang Soe.

Di Melbourne, saya menonton film A2DC. Film ini ternyata sangat menyegarkan.

Ceritanya tentang kehidupan sekelompok cewek remaja kelas menengah pengurus mading alias majalah dinding di sebuah sekolah di Jakarta. Karakter remaja ini lain-lain. Ada yang tomboi, ada yang telmi alias telat mikir, ada yang kedua orangtuanya tiap hari bertengkar. Cerita dimulai ketika Cinta (salah seorang dari mereka yang paling pintar bergaul dan rajin menulis), dikalahkan dalam penulisan puisi oleh seorang cowok yang tak mereka kenal. Rangga namanya. Cowok ini tak pernah menulis di mading padahal satu sekolah, orangnya kuper (kurang pergaulan), dan cuma bisa bergaul dengan pesuruh sekolah, senangnya cuma membaca buku-buku sastra, dan bapaknya punya masalah politik dengan pemerintah.

Alya, teman sekelompok Cinta, yang ayah dan ibunya suka berantem, akhirnya tak tahan lagi dan mencoba bunuh diri dengan menyayat urat nadinya di kamar mandi. Timbul masalah saling meyalahkan karena kurangnya pertolongan, kekecewaan, dan bermacam persoalan lainnya. Film berakhir dengan happy ending ketika Cinta berciuman dengan Rangga, sang pacar yang kuper tapi artistik, di bandar udara sebelum Rangga berangkat ke Amerika Serikat.

A2DC dijalin dengan gaya dan bahasa remaja yang khas dan segar, sehingga banyak menimbulkan tawa penonton. Para remaja ini terasa begitu menyegarkan, belum terpolusi oleh kepengapan politik Indonesia. Mereka bercerita tentang cinta yang sederhana, tentang kekecewaan yang kecil-kecil, tentang solidaritas, dan hal-hal kecil lainnya.

Film Eliana eliana kategorinya lain. Film ini juga bicara soal remaja, tapi yang berhubungan dengan sosok ibu. Beda dengan A2DC, Eliana eliana bukan film yang bertutur, melainkan film yang menggambarkan konflik psikologis antara sang remaja Eliana dan Bunda, ibunya yang keras kepala dan tinggi hati. Bunda pernah memaksa menikahkan putrinya ketika Eliana masih umur belasan tahun. Eliana yang mewarisi sifat-sifat ibunya, keras kepala dan tinggi hati, melarikan diri ke Jakarta. Sang ibu bersumpah tak akan memaafkan putrinya ini.

Tapi lima tahun kemudian, karena rasa sepi dan sayang, Bunda menyusul Eliana ke Jakarta untuk menyuruhnya pulang.

Nah, selama hampir dua jam, film ini bercerita tentang perang psikologis antara dua mahluk yang berkarakter keras. Mereka tak berkelahi kecuali kadang-kadang ribut mulut. Tetapi mereka saling menolak dengan macam-macam perbuatan yang simbolik. Bunda sudah membawa tiket pesawat untuk kepulangan Eliana ke Padang. Eliana, tanpa mengatakan tidak, mencuekkan sang ibu dengan terus mencari telepon seorang temannya, yang biasanya membayar sewa rumah. Konflik tak diucapkan tapi dipraktekkan melalui teknik kamera close-up yang bagus, diiringi musik yang ekspresif.

Akhirnya, setelah sadar bahwa teman baiknya pun sudah meninggalkan dia, Eliana kembali ke pelukan Bunda. Tapi justru ketika Eliana berserah diri, Bunda membebaskan Eliana untuk pulang kapan saja dia suka, bukan lantaran permintaan sang ibu.

Eliana eliana, tak seperti A2DC yang rileks, membuat kita mengerutkan dahi. Sang sutradara muda Riri Riza menggarapnya dengan sungguh-sungguh sehingga memuaskan penyuka film-film serius. Barangkali kalau ada kekurangan dalam film ini, maka itu terletak pada skenarionya. Kadang-kadang terasa bahwa ketegangan yang terjadi antara Eliana dan Bunda agak terlalu lama dipertunjukkan sehingga saya merasa ketegangan yang dibangun menjadi agak kendur. Nano Riantiarno dari Teater Koma mengatakan pada saya, kalau saja pelukisan ketegangan itu dikurangi 15 menit, dari proses yang berlangsung satu jam itu, perhatian kita bisa terus lekat.

Kemudian, setelah "ketegangan" yang terasa agak kepanjangan itu, runtuhnya dinding pemisah antara Eliana dan Bunda secara tiba-tiba (tanpa penonton dipersiapkan untuk menerima bahwa itu adalah akibat dari sebuah proses sebelumnya) terasa dipaksakan. Berbeda dengan A2DC. Ketika Cinta menerima ciuman pacarnya, kita merasa bahwa memang itulah yang harus terjadi setelah kesalahpahaman dan keangkuhan keduanya sehingga membuat kerinduan mereka makin menimbun. Dalam Eliana dan Bunda persiapan itu terasa agak kurang. Ketika tiba-tiba Eliana menyatakan siap untuk berangkat yang dibalas secara surprise oleh Bunda dengan mengatakan bahwa dia bisa berangkat kapan saja, kita merasa proses itu seperti kurang wajar. Bukankah kita sudah dibikin untuk menerima bahwa kedua tokoh ini punya kepribadian yang keras dan tinggi hati? Kok tiba-tiba semuanya hilang begitu saja seperti tanpa alasan? Proses evolusi transformasi sikap inilah yang kurang digambarkan.

Tapi secara keseluruhan Eliana eliana sangat menarik. Membuat film untuk menggambarkan perwatakan jelas lebih sulit ketimbang membuat film yang bertutur seperti A2DC, meski ini pun tidak mudah. Keberanian Riri Riza untuk mengerjakan film ini perlu dihargai, tanpa kita menutup mata atas kekurangan-kekurangan yang masih ada.*

kembali keatas

by:Arief Budiman