Eksodus, La Kanu

Indarwati Aminuddin

Mon, 1 July 2002

SAYA mengunjungi Buton untuk ke sekian kalinya pada 26 Januari 2001. Beberapa hari sebelumnya ada kerusuhan yang menyebabkan dua polisi dan satu warga tewas.

SAYA mengunjungi Buton untuk ke sekian kalinya pada 26 Januari 2001. Beberapa hari sebelumnya ada kerusuhan yang menyebabkan dua polisi dan satu warga tewas. Nurliah Simollah, koresponden majalah Forum, yang tinggal di Makassar ikut. Liah, panggilan akrabnya, baru setahun jadi wartawan. Kami akrab setelah beberapa kali bertemu di pelatihan-pelatihan jurnalisme.

Liah bertubuh kurus. Jilbabnya sering diikat begitu saja. Cerewet. Nyaris tanpa basa-basi bila wawancara dan suka jatuh cinta pada pandangan pertama pada siapa pun. Polisi, camat, lurah, atau aktivis. Usianya 24 tahun. Ia pernah dilamar seorang lurah saat meliput pembunuhan di Bone. Tentu saja ia menolak.

Begitu tiba di Pelabuhan Murhum, pelabuhan pintu masuk utama Pulau Buton, kami ribut menentukan menginap di hotel atau tidak. Liah ingin hemat. Ia ingin menginap di rumah penduduk yang dekat dengan lokasi kerusuhan itu. Tapi tak ada kendaraan ke sana. Saya menang. Kami menginap di losmen Hani, depan rumah dinas kepala polisi Buton. Kamar kami berjendela besar sehingga kami bisa melihat apa saja yang lalu-lalang di jalan dan bisa memandangi rumah dinas itu.

Praktis malam itu kami tak bisa ke mana-mana. Tak ada kendaraan apa pun yang lewat. Tukang ojek menolak mengantar walau dibayar Rp 100 ribu ke Lipu, lokasi huru-hara yang jaraknya hanya tiga kilometer dari losmen.

Liah mengusulkan shift mengintip. "Kapolresnya harus kita temui malam ini," katanya.

Waktu kami mepet. Tiga hari lagi Liah sudah harus berada di Makassar. Sebagai redaktur pelaksana harian Kendari Ekspres, saya juga harus memimpin rapat redaksi di Kendari.

Kami sempat ribut lagi karena Liah sering lalai. Matanya lebih sering jatuh pada polisi-polisi muda yang berjaga-jaga di depan rumah dinas dan yang keluar masuk rumah sakit di sebelah rumah dinas. "Wuihh … yang itu cakep," celetuknya.

Padahal Kepala Polisi Resor Buton Ajun Komisaris Besar Petrus Hardana sudah dua kali masuk rumah.

Kami memang memutuskan tak menggunakan telepon, karena ajudannya suka memberi jawaban, "Maaf, Bapak tak ada … maaf Bapak tak bisa diganggu .…."

Di tengah keputusasaan ini, pukul 02.00 dinihari, Liah berteriak girang. "Itu, itu Kapolres." Jilbabnya dipasang buru-buru. Kami lari kencang, menyeberangi jalan dan langsung menghadang Komisaris Petrus Hardana. Dia keluar dari rumah dan siap naik mobil. Tangannya mengepit bantal. Ia terkejut, "Siapa ya?"

Liah menjelaskan identitas kami dan minta waktu wawancara. Saya masih sibuk mengalihkan perhatian ajudannya yang tak senang dengan kehadiran kami. Besok tak ada waktu. Syukurlah, Komisaris Hardana mau wawancara di ruang kerjanya. Kami numpang mobilnya. Hardana letih sekali malam itu. Tapi ia tak bisa tidur.

Posisinya juga terancam. Hardana beragama Kristen. Sejak tugas pertama, warga Buton yang mayoritas Islam curiga terhadapnya. "Jadi saya harus hati-hati, takut eksodus atau warga lokal mengira saya yang berada di balik kerusuhan ini.."

Wawancara berlangsung dua jam. Tape recorder Liah beberapa kali ngadat. "Ini untuk pertama kalinya saya diwawancarai wartawati. Selebihnya pria semua tuh," kata Hardana.

Pembicaraan sering terputus karena telepon masuk. Hardana membawa kasur dan semua peralatan tidurnya ke ruang kerjanya. Rumah dinasnya sering kosong. Keluarganya ada di Pulau Jawa.

“Kalian kelihatan capek. Sebaiknya besok kita sambung. Nah, pulangnya diantar mobil dinas saja," katanya. Tak ada jalan lain, kami setuju.

Liah masih sempat memotretnya. "Wah..saya pasti kelihatan jelek nih," gurau Handana.

"Dijamin cakep Pak. Senyum dong …," balas Liah. Klik … klik.

Malam itu kami pulang dengan mobil polisi. Saat tiba di depan losmen, dua polisi menahan mobil dan menanyai kami. Mereka gusar melihat dua perempuan dalam mobil bos mereka. Mereka mengira si ajudan pakai mobil buat pacaran. Begitu dijelaskan, mereka cuma ber-oh-oh panjang.

ESOKNYA, pagi-pagi sekali, kami sudah berdiri di jalan. Menunggui semua mobil yang lewat untuk numpang menuju lokasi kerusuhan. Tak ada kendaraan hingga pukul 09.00. Kami memutuskan mencetak sebagian foto. Foto Petrus Hardana terlihat jelas. Matanya membelalak, lelah, kaos putih, mulutnya terbuka. Kebetulan ada mobil lewat hendak menuju lokasi kerusuhan. Kami numpang mobil itu. Pengemudinya, ternyata anggota parlemen lokal Buton. Ia sempat bertanya saat melihat foto Hardana. "Foto siapa?"

"Foto pacar saya, Pak," balas Liah.

Kening pria separo baya itu berkerut. "Kok seperti saya kenal ya?"

Dan mobil itu pun melaju membelah jalan-jalan lengang kota Buton. Tumpukan batu, kayu dan deretan drum-drum ada di mana-mana.

Buton bisa ditempuh lima jam dari Kendari, ibukota Sulawesi Tenggara. Buton pulau kecil dengan penduduk sekitar 330 ribu. Buton terkenal wisata baharinya. Mantan orang-orang kuat Orde Baru macam Laksamana Sudomo, pengusaha Ponco Sutowo, dan birokrat Ginandjar Kartasasmita sering berenang atau menyelam di Pulau Hoga dekat Buton.

Buton juga dikenal dengan julukan kota “RB” –singkatan dari “rombengan” alias barang bekas dari luar negeri. RB juga eufemisme dari “penyelundup.” Selama ini lalu lintas barang dari Singapura dan Malaysia lancar. Barang-barang berupa pakaian dan elektronik ada di mana-mana. Pengusaha RB umumnya pemilik kapal-kapal besar dan bermodal besar.

Tapi di Buton juga ada 174 ribu pengungsi asal Maluku. Jumlah itu belum termasuk pengungsi asal Timor-timur dan Sulawesi Tengah. Mereka tersebar di 19 kecamatan Pulau Buton. Pengungsi itu datang secara bergelombang sejak kerusuhan pertama meledak di kota Ambon, Januari 1999. Para pengungsi umumnya memiliki kerabat di Buton. Tapi mereka kebanyakan lahir di Maluku. Mereka secara kultural, walau sama-sama beragama Islam, memiliki perbedaan dengan kerabat mereka yang masih ada di Buton.

Sebagian pengungsi beruntung memperoleh pekerjaan dan modal kerja dari pemerintah. Mereka jadi pedagang, pegawai, bahkan wartawan. Abdul Halim Achmad, satu dari sekian banyak pengungsi itu, beruntung bisa langsung jadi wartawan. Halim berbadan gempal. Logatnya Ambon kental. Ia tiba di Kendari dengan lengan kanan masih berbekas jahitan dari orang-orang pintar di Ambon. Ia sempat dimandikan di masjid Al Fatah Ambon. Menurut Halim, ia nyaris tak terluka saat terlibat perkelahian dan sempat membunuh sejumlah orang Kristen yang menyerang kampungnya.

Halim memulai tugasnya sebagai koresponden koran Abri. Ia rutin mengikuti kunjungan gubernur, bupati, dan sangat dekat dengan petinggi militer. Ia suka mengenakan rompi dan topi bertuliskan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Sering membawa telepon seluler. Garis tangan Halim memang bagus. Kini ia jadi koresponden Media Indonesia di Kendari.

Tapi kebanyakan pengungsi tak bernasib sebaik Halim. Banyak yang tak bisa menyesuaikan diri dengan keadaan Buton. Di Ambon mereka jadi pegawai dan pedagang. Di Buton, pemerintah menempatkan mereka di lokasi pertanian dan perairan. Mereka tak biasa bertani dan tak terlatih sebagai nelayan.

Dua tahun lalu, Haji La Ode Tanny dan Asgar Malik, dua sesepuh pengungsi, mendatangi beberapa kantor suratkabar. Dua pria separo baya dengan surban kumal di kepalanya itu minta suratkabar menulis kritik mereka terhadap pemerintah. “Masak kami hanya dapat jatah ikan kering yang hancur, beras rusak, dan uang yang sering dipangkas.”

Mereka ditempatkan di lahan yang kering, tak ada transportasi, dan susah air bersih. La Ode Tanny dan Malik jadi wakil 2.378 pengungsi yang mendiami lokasi transmigrasi SP VI di Lasalimu. Kunjungan mereka ke kantor Kendari Pos dan Kendari Ekspres membuahkan banyak komentar. Ada yang menyebut pengungsi terlalu manja, malas, dan tak tahu berterimakasih.

Kota seluas 6.463 kilometer persegi itu mendadak jadi sesak dan sarat masalah. Miliaran rupiah bantuan yang mengucur sejak 1999 tak membantu banyak. Aksi protes hingga demonstrasi terjadi dua atau tiga kali sebulan. Para pengungsi, biasa juga disebut “eksodus,” membenci pemerintah yang bolak-balik mengambil data, menjanjikan bantuan, tapi tak kunjung nyata. Mereka juga benci wartawan yang rajin memotret, wawancara, tapi tak memunculkan perubahan.

Rebutan rezeki sampai juga ke lahan-lahan preman. Kelompok La Puti yang dikenal sebagai preman ganas di seputaran Pasar Karya Nugraha Buton tak lagi ditakuti. Ada kelompok Ambon yang dipimpin La Kanu.

Pertikaian besar terjadi Februari 2001. Banyak yang mengatakan konflik warga kota dan pengungsi dipicu preman asal Ambon ini. Konflik itu pun disusul pertikaian selanjutnya. Korban jiwa tak banyak, tapi dendam dan luka orang setempat menganga lebar. Imbauan spanduk panjang dengan warna pudar bertuliskan "Ciptakan Buton sebagai kota yang aman dari kekerasan" yang masih tergantung di depan Pelabuhan Murhum, ibukota Buton Baubau, tak mempan meredam suasana.

Mobil anggota parlemen lokal yang kami tumpangi ternyata tak bisa masuk ke lokasi kerusuhan. Ada tentara di mana-mana. Sebagian tidur-tiduran di bawah pohon. Bungkusan nasi berceceran di mana-mana. Begitu turun dari mobil, suitan-suitan langsung terdengar. Mungkin karena kami berdua perempuan. "Foto dong!” teriak satu tentara.

Satu mobil terbalik, masih mengepulkan asap depan kantor camat. Sekitar 100 meter dari lokasi itu ada satu mayat dengan perut terburai kena bom rakitan. Mayatnya ditutup kain batik. Lalat ada di mana-mana. Rumah penduduk kosong. Ratusan orang memilih tinggal di kantor camat. Sebagian berasal dari Kelurahan Lipu-Katobengke. Mereka warga asli Buton. Mata mereka sembab. Memegang bungkusan dan mengepit parang panjang. Tak satu pun yang mau bicara. Mereka cuma mengutuk “eksodus.”

"Tulis begitu …!" teriak mereka.

Ada satu tentara ber-ssst panjang. Mereka pun diam.

Sekitar satu kilometer dari kantor camat, ratusan warga memegang parang panjang berjaga-jaga. Mereka mendengar informasi, malam ini, kampung mereka akan diserang pengungsi. Tombak dengan ujung lancip dan sebagian bermodel kail diletakkan di depan rumah. Konsentrasi pengungsi cuma berjarak 100 meter. Polisi ada di tengah wilayah bertikai itu. Sebagian terduduk kelelahan, sebagian membaca koran, sebagian merapikan pakaiannya yang acak-acakan selepas berjaga dua malam suntuk.

Ada anggota parlemen yang tak setuju polisi ditempatkan di posisi itu. "Mereka itu kan dendam karena dua rekannya mati. Jangan-jangan ini jadi ajang pembantaian saja," katanya. Tapi tak ada yang peduli. Ia lalu memberenggut lalu pergi begitu saja.

Tapi hingga larut malam tak ada kejadian apa-apa. Kami memutuskan pulang ke penginapan. Malam itu, saya menulis berita dan mengirimnya ke Kendari Ekspres lewat faks. Foto menyusul. Tak ada internet di Buton. Malam betul-betul pekat. Lepas pukul 22.00, Perusahaan Listrik Negara sengaja memadamkan lampu.

Dua hari kemudian baru berita itu muncul. Ada kendala teknis. Berita terkirim setelah tata letak selesai. Saya membacanya di kapal cepat Super Jet 15 saat balik ke Kendari. Headline-nya tak dikotak-katik. Liah membaca berita itu keras-keras. "Kerusuhan kembali terjadi. Kali ini dua polisi tewas dikeroyok massa. Warga mengira kedua polisi itu backing pelaku pelemparan bom."

Kedua polisi itu lewat pada saat yang tak tepat. Beberapa jam sebelumnya bom meledak di sebuah gedung sekolah Lipu. Warga yang gusar jadi marah melihat dua lelaki lewat begitu saja. Keduanya berteriak-teriak mengatakan mereka polisi. Tak satu pun yang percaya. Keduanya tewas dengan luka mengenaskan.

Saya juga menulis sebuah feature tentang warga yang perutnya terburai karena salah melempar bom.

Liah menilai berita itu tendensius, karena saya, menurutnya, berpihak pada para pengungsi. Berita Liah muncul satu minggu kemudian di majalah Forum dengan foto Petrus Hardana.

Hardana titip salam lewat seorang koresponden Kendari Ekspres di Buton. Ia senang berita itu muncul di Kendari Ekspres dan majalah Forum dengan tak menyebutkan agamanya. Dua minggu kemudian ada undangan serah terima jabatan. Ajun Komisaris Besar Petrus Hardana dipindahkan ke Sampit.

Setelah 27 hari lewat, ada kabar baru. Sampit rusuh. Dayak versus Madura. Kepala-kepala dipenggal. Wajah Hardana muncul di televisi, dikerumuni wartawan yang bertugas di Sampit. Saya melihatnya dan menangkap keletihan di matanya.

Liah menelepon. "Kasihan … sepertinya kerusuhan itu mengikuti Pak Hardana."

KUNJUNGAN kedua ke Buton terjadi akhir Oktober 2001. Sembilan bulan setelah kunjungan sebelumnya tapi tak lama berselang setelah terjadi kerusuhan 8-9 Oktober. Nama La Kanu betul-betul ngetop. Ia kini ditahan. Tak satu pun wartawan yang pernah bertemu La Kanu. Saya sedikit terobsesi. Namun, saya memutuskan ketemu keluarga La Kanu dulu. Liah tak ikut. Dia lagi cuti kerja. "Saya mau selesaikan kuliah di Unhas (Universitas Hasanuddin) dulu," katanya.

Semua catatan saya siapkan. Daftar nama Kelurahan Wakonti menempati urutan pertama. Rabu, 31 Oktober 2001 saya tiba menjelang magrib di kota Buton. Suasana tak terlalu ramai. Pedagang kakilima yang umumnya pengungsi tak ada di sekitar pelabuhan. Saya memutuskan menginap semalam di losmen Hani sambil menunggui Amin, pengungsi yang mau jadi pemandu.

Kamis siang, 1 November 2001, Amin tiba. Ia berbadan besar, dengan rambut cepak. Matanya selalu berkedip-kedip kalau berbicara. Kami langsung jalan setelah memutuskan wilayah mana yang akan dikunjungi. Pertama, Wakonti, menemui ibu La Kanu. Perjalanan dengan pete-pete (kendaraan umum) dengan plat polisi DE (Ambon) itu melelahkan. Sopirnya memutar musik keras-keras, lagu dangdut mendayu-dayu di siang bolong. Bau keringat bercampur solar tercium keras. Belum lagi jalan yang berlubang-lubang dan penuh tanjakan. Jarak tujuh kilometer ditempuh hampir satu jam.

Wakonti kelurahan dadakan yang kini diberi nama baru: kelurahan Lembah Selamat. Namanya menyiratkan bahwa kelurahan ini berisi pengungsi Ambon. Banyak deretan rumah kayu dengan model seragam. Belasan ibu-ibu mengobrol di sumur pompa yang letaknya tepat di depan jalan perumahan. Suasana riuh, bunyi sumur pompa berdecit-decit, ditambah suara anak muda bermain sepak bola.

Di perumahan Lembah Selamat, ada sekitar 516 keluarga. Rumah petak ukuran 10×15 meter, berdinding tripleks. Bila tetangga sebelah ngorok, suara keluhan diiringi makian terdengar dari tetangga sebelah lainnya. Tapi Lembah Selamat dianggap perumahan paling layak untuk pengungsi di kabupaten Buton.

Saya dan Amin melewati empat blok perumahan sebelum sampai ke rumah La Kanu. Sejumlah anak muda sempat berteriak-teriak melihat orang asing di perkampungan mereka. Tapi Amin meyakinkan, kalau saya ini teman. Mereka bicara dengan logat Ambon campur Buton.

"Beta pe taman," balasnya dengan teriakan.

"Bukan wartawan koran sini?" teriak mereka.

Amin cuma melambaikan tangan. Saya teringat Jupriadi, koresponden The Jakarta Post di Makassar. Ia datang ke Lembah Selamat beberapa hari lalu dan begitu turun dari ojek, lehernya langsung ditempeli parang .

"Wartawan mana?"

"Jakarta Post," balasnya dengan suara lirih. Parang itu dilepas saat bantuan datang dari orang yang menggunakan bahasa setempat.

Kami bertemu ibu La Kanu setelah ngos-ngosan menaiki undakan batu. Ia perempuan bertubuh kurus, berkulit legam, dan berambut kruwil-kruwil. Ngomongnya cepat. Dengan kata par … par yang diulang kadang hingga lima kali tiap kalimat. Usianya 50 tahun. Ia duduk gelisah di kursi plastik, memainkan ujung rok hitamnya. Guratan kasar terlihat jelas di kaki dan tangannya. Namanya Umiyati. Biasa dipanggil Mama. Ia diam saja. Takut bicara.

Untunglah keheningan itu tersaput ketika bocah perempuan berusia dua tahun datang begitu saja dari arah depan bersama perempuan muda, juga bertubuh kecil, dan langsung memperkenalkan diri sebagai istri La Kanu.

"Jannah."

"Dia ini taman?" Umiyati bertanya.

"Aduh … saya kira par polisi lagi," selanya cepat.

Umiyati mengatakan Oktober dan November 2001 itu sebagai bulan terkutuk. Tak ada hari yang bisa membuatnya tersenyum. Ia bahkan tak bisa turun ke kota untuk belanja, karena semua orang berpendapat dari rahimnya lahir “provokator pengacau” Buton.

Suratkabar setempat, Berita Keraton, Kendari Ekspres,dan Kendari Pos menulis nama anaknya besar-besar dan disertai judul bombastis, “Gubernur Minta Eksodus Dipulangkan Saja.” La Kanu disebut sebagai “provokator.”

"Padahal, siapa bilang beta mau punya anak parusuh?" keluh Mama.

La Kanu lahir 27 tahun lalu di Ambon, anak kedua dari tiga bersaudara. Nama aslinya bagus, Asril Akhir. Saat remaja, La Kanu mulai pintar memainkan jurus-jurus silat. Ia jadi pelatih silat di Ambon. Temannya banyak, mulai pemabuk di pasar hingga tentara dan polisi. La Kanu sendiri tak merokok dan minum-minuman keras.

"Kecuali kalo dipaksa teman-temannya," kata Jannah.

"Teman-temannya suka kumpul. Cerita menyeramkan, katanya mau berkelahilah atau mau apalah."

Mama mengatakan, "Mereka samua suka jual nama La Kanu. Ambil barang orang, sebut La Kanu. Pukul orang sebut La Kanu, bakalahi sebut La Kanu, potong uang eksodus juga bagitu."

Padahal Mama baru mau memulai hidup barunya di Lembah Selamat. La Kanu sempat jadi relawan pemantau dari salah satu dari empat lembaga independen di Buton. Tugasnya mencatat dan mendata warga Wakonti, terutama Lembah Selamat, yang akan menerima bantuan. Tapi kerja itu cuma sambilan. Jumlah bantuan mulai seret.

La Kanu juga menadah beras bantuan yang mau diuangkan pengungsi. "Dia membeli beras itu, lalu menjualnya dengan harga murah di pasar," kata Umiyati.

Sejak itu nama La Kanu makin dikenal, terlebih lagi dengan embel-embel, Panglima Wakonti. Kelompok preman sebelumnya, La Puti dan kawan-kawan mulai terancam. Itu dibuktikan La Haris, kerabat jauh La Kanu. Saat dihadang sekelompok anak muda pasar Karya Nugraha Buton, ia cuma senyum hingga kedua bibirnya tertarik ke atas. "Mau apa? Saya ini sepupu La Kanu."

Kelompok anak muda itu pun menyingkir. Selesai?

Ternyata tidak.

Minggu pertama Oktober, La Haris diserang lima anak muda. Ia dibawa ke pekuburan Islam Baubau dan ditikam tujuh kali. Remaja 19 tahun itu langsung kelojotan penuh darah, usus terburai, tapi nyawanya selamat. Kelompok La Kanu mencari para penyerang. Tapi tak tahu dari mana isu kurang sedap malah merebak. Kelompok pengungsi yang punya kaitan dengan kerusuhan dikabarkan akan menyerang warga setempat. Warga kota langsung berjaga-jaga, memblokade semua jalan dan mencegat pengungsi yang akan turun kota.

Warga kota pun menyerang rumah sakit. Mereka menghancurkan apa saja. Mereka berencana mencari La Kanu, yang diduga menjenguk La Haris di rumah sakit itu. La Haris langsung dilarikan ke desa Basuo, kecamatan Batauga. Tak ada obat ataupun antibiotik lainnya selama mengungsi. Keluarganya memilih mengobati dengan cara tradisional daripada ke rumah sakit.

"Takut dipukul warga kota," keluh Hatuna, ibunya.

Bobot La Haris merosot tajam dari 65 kilogram menjadi 40 kilogram. Di rumah, kerjanya cuma duduk, tak bergerak-gerak, takut bekas jahitan memanjang di pusar, di leher, dan di punggungnya terkoyak. "Padahal dulu beta baharap pa dia … tapi uuuh kasihan … par dia pu keadaan su bagini …," isak Hatuna.

La Haris mengenali pelaku penikaman itu. Tapi tidak mau bicara dengan polisi. “Takut,” katanya lirih. Penyerangnya semua warga kota. Ini yang membuat Hatuna sedih. Pikirannya kalut, karena sejak kejadian itu ia tak bisa bekerja. Tak ada apa pun di rumah. Bantuan beras malah tertunda hampir dua bulan. Ia cuma menangis dan tak bisa bicara begitu tahu nama La Haris ada di Kendari Ekspres, dikait-kaitkan dengan La Kanu.

“Orang basuo langsung tuduh La Haris yang bikin bantuan terlambat …” isaknya.

"Beta malu, aduh … sekarang bagaimana beta pe nasib?"

PERJALANAN ketiga saya pada 13 Januari 2002. La Kanu masih dalam sel. Ada dua koresponden Kendari Ekspres di Buton, tapi untuk berita pengungsi mereka memilih diam. Keduanya mengatakan sering diancam. Terlebih lagi, Muhamad Said, koresponden politik yang baru menikah. Ia termasuk penakut dan cenderung mengabaikan berita-berita hangat. Mualamun baru jadi koresponden. Ia belum digaji penuh. Gajinya berdasarkan berita yang masuk. Ia juga tak berani mengambil risiko besar turun di lapangan.

Jumwal Saleh, redaktur pelaksana Kendari Ekspres, sering mengeluh di kantor. "Apa sih yang kalian lakukan di sana?" teriaknya di telepon. Alex, panggilan akrabnya, sering terkena serangan asma. Ia sering minta M. Nasir Idris, koordinator liputan daerah, untuk lebih tegas pada Said dan Mualamun. Mereka sering ketinggalan berita dibanding Kendari Pos, suratkabar yang juga terbitan Kelompok Jawa Pos.

Baru beberapa bulan jadi redaktur pelaksana, asma Alex rutin kambuh. Bebannya berat. Dalam rapat evaluasi, ia disoroti karena awak redaksinya cenderung menyajikan berita-berita yang sama dengan Kendari Pos.

Kendari Ekspres memang pecahan dari Kendari Pos. Kendari Ekspres diarahkan jadi koran metro kriminal. Kendari Pos lebih serius walau relatif juga sensasional sama dengan produk kebanyakan suratkabar Kelompok Jawa Pos.

Saat rapat umum, kedua koresponden itu mengadu. Kepala polisi baru, pengganti Petrus Hardana, pelit membagi informasi. Jumwal Saleh menukas tajam. "Dia tak perlu membagi informasi, kalian yang mencari." Kedua koresponden itu pun balik ke Buton dengan catatan panjang. Mewawancarai pengungsi, beberapa pejabat kepolisian, mencari keluarga La Kanu, dan orang-orang yang membela La Kanu. Tapi tetap tak memuaskan Alex.

Di tempat yang berbeda, Arbab Paproeka, pengacara yang juga diangkat sebagai sesepuh para pengungsi Maluku, menelepon dan protes berita-berita Kendari Ekspres maupun Kendari Pos.

"Semua menyudutkan pengungsi … atau yang kalian sebut eksodus itu."

“Setelah sebutan eksodus, kini mereka jadi warga Buton dengan cap kelas dua,” katanya.

Arbab ketemu wartawan tiap hari. Ia menangani banyak kasus. Ia jadi kontak bagi semua wartawan yang bekerja di pengadilan Kendari. Saya beberapa kali wawancara Arbab. Pertama 31 Oktober 2001, sesaat sebelum ke Buton. Setelah itu, Februari 2002. Selanjutnya pembicaraan-pembicaran per telepon, karena Arbab sangat sibuk.

Pertemuan pertama, Arbab bicara panjang di kantornya, yang dulu rumah pribadi, kecil dan sejuk, di Jalan Balaikota III Kendari. Tapi belakangan ia dan keluarganya merasa terganggu dengan urusan pribadi dan kantor yang sulit dibedakan. Jadilah ia boyongan ke rumah baru yang lebih lapang, di kompleks Graha Asri.

Arbab bertubuh tinggi besar. Tiga tahun terakhir ini bobot pria 40 tahun itu naik terus, hingga mencapai 79 kilogram. Perutnya membesar, terlebih begitu aktif di Partai Amanat Nasional dan jadi pengacara profesional. Ia kuatir bobot itu dikaitkan dengan berbagai kasus yang ditanganinya, mulai kasus ekstasi anak gubernur Sulawesi Tenggara La Ode Kaimoeddin, kasus korupsi Bank Rakyat Indonesia, atau kasus lain yang dianggap mahal bayarannya. Ia lalu diet. Tapi sulit menghentikan undangan makan rekan-rekannya. Ia juga sulit menghentikan kebiasannya mentraktir orang.

Ketika mulai menangani kasus-kasus kriminal para pengungsi Buton, Arbab berharap bobotnya ikut turun, tapi ternyata tidak. "Biar saja," katanya.

Kantor Arbab cuma dilengkapi satu set kursi kayu. Tak nyaman untuk duduk lama. Tak ada sekretaris. Kadang kliennya ditinggal begitu saja kalau telepon berbunyi. Koran bertumpuk di meja. Bagian belakang kantor seperti base camp. Pengungsi yang datang ke Kendari, bisa langsung ke situ. Menginap gratis. Besoknya baru keluyuran mencari orang-orang Ambon yang berhasil di Sulawesi Tenggara.

Arbab terbiasa hidup susah. “Saya pernah tak menyentuh nasi dua hari dan dalam keadaan demam,” katanya. Matanya menerawang, mengenang masa susah di rumah kost. Begitu mulai jadi dosen di Universitas Sulawesi Tenggara, dengan gaji kecil Rp 100 ribu, Arbab mulai melirik perempuan yang disukainya. Badan kerempeng, kulit hitam, dan rambut gimbal membuat Arbab sering ditolak gadis. Ia mencatat semua kekecewaan itu di buku harian yang masih disimpannya.

Istrinya, Rafiawati, perempuan berkulit putih keturunan Bugis, ditemuinya secara tak sengaja. Lugu, tak banyak bicara dan satu-satunya perempuan yang tak menolak ketika dilamar.

Perkawinan berlangsung kontroversial. Arbab keturunan Ambon-Buton, pekerjaan belum pasti, gaji pas-pasan, mendapatkan perempuan keturunan Bugis manis dari keluarga terpandang. Pertama menikah, Arbab tinggal di rumah mertuanya. Cukup lama, hingga kariernya membaik. Tapi ia masih sering susah. Karena frekuensi susahnya naik turun, Arbab bersumpah, bila berhasil ia akan selalu membantu orang yang butuh pertolongan.

"Tiap baca koran, hati saya pasti sedih. Kasihan pengungsi, lari dari Ambon karena kerusuhan, kini disebut provokator di kampung sendiri," Arbab menyeletuk begitu saja kepada saya.

Arbab memegang kertas folio kiriman dari rekannya di Buton. Ada 40 nama pengungsi yang dituduh provokator. Nama La Kanu menempati urutan pertama. La Kanu kini tengah menunggu vonis. Ia dituntut dua tahun penjara karena melanggar Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 yaitu berbuat makar dan menyulut provokasi. Arbab menilai tuntutan itu mengada-ada. "Tujuh saksi yang dihadirkan polisi malah tidak pernah melihat barang bukti berupa parang dan senjata rakitan. Saya tidak melihat relevansi tuntutan itu di sini."

Nama La Kanu telanjur penuh dengan cap provokator. Pria pincang itu selalu dikaitkan dengan kerusuhan-kerusuhan Buton. Warga Buton tampaknya ingin La Kanu dihukum seberat-beratnya. Kendari Ekspres, Kendari Pos, dan Berita Keraton, di mata pengungsi, berpihak kepada warga kota yang menginginkan La Kanu tak lagi muncul di daratan Buton.

“Saya tidak tahu, kenapa kalian, wartawan terlalu menghukum La Kanu,” sesal Arbab, “apalagi menggunakan sebutan eksodus yang menyakiti mereka.”

Redaktur pelaksana Kendari Pos M. Djufri Rachim mengatakan,“Kami sudah berupaya fair meski tak mungkin bisa 100 persen, yang pasti tak ada teror ataupun protes dari mereka.”

Djufri jadi redaktur pelaksana sejak Juli 2002. Ia mengatakan secara redaksional Kendari Pos sepakat menggunakan kata eksodus. “Tak ada pengaruh psikologisnya bagi pengungsi. Malah kalau sebut eksodus, semua langsung mahfum bahwa itu pengungsi dari Ambon atau dari Timor-Timur.”

Harian yang terbit 16 halaman dengan oplah 5.000 eksemplar itu memang pernah memuat pernyataan Gubernur Sulawesi Tenggara La Ode Kaimoeddin yang ingin memulangkan pengungsi ke Ambon dan menghentikan bantuan. Saat berita itu muncul, Djufri menyetujui hasil rapat dan menempatkan berita itu di halaman utama. Berita muncul keesokan harinya.

“Omongan yang tidak layak, mestinya koran menyepakati penggunaan kata-kata yang baik,” kata La Ode Bariun dari DPRD Sulawesi Selatan.

Bagi Djufri tanggapan itu wajar. “Saya tidak tahu kalau ada yang menyebut koran ini tendensius. Bukankah wajar harian lokal mengangkat fakta dan pendapat pejabat mengenai eksodus?”

Djufri rajin meliput kerusuhan Buton. Saat pertama kali pengungsi datang, ia menetap sebulan di Buton. Mengirim berita per hari. Ia menjumpai berbagai kesengsaraaan di sana. Ada perempuan tua yang berguling-guling, menjerit menangisi nasibnya. Anak gadisnya hampir saja diperkosa lima orang. Padahal, di Ambon, ia kehilangan semuanya. Suaminya malah masih di Ambon. Belum lagi pemotongan dana bantuan. Lalu ada nenek gila yang kehilangan anak cucunya di Ambon. “Saya langsung tahu, pemerintah tidak tanggap,” kata Djufri.

Arbab bolak-balik di Buton tiap Jumat-Sabtu. Kini, ia mencoba mencari keringanan hukuman buat La Kanu. Pertengahan Mei lalu, vonis untuk La Kanu jatuh.

“Cuma setahun, tapi sepertinya sosok monster yang sudah diciptakan koran tidak bisa hilang,” keluh Arbab.

“Kendari Pos menyudutkan La Kanu dengan sebutan-sebutan vulgar, dan kini La Kanu jadi monster ciptaan mereka.”

Ia berpendapat La Kanu tak seperti yang dituduhkan warga Buton. La Kanu bukan perusuh seperti yang sering diklaim Kendari Pos dan Kendari Ekpsres.

"Mau-maunya koran jadi corong pemerintah begitu saja," kata Arbab jengkel.

Pengungsi atau “eksodus” diubah jadi momok. Mereka kini identik dengan julukan perusuh, orang temperamental, dan warga yang tak tahu berterimakasih. Di Wakonti ada yang sedih. "Mereka tidak adil bicara begitu," kata La Ode Sariah, pensiunan tentara berumur 60 tahun.

Sariah pernah jadi komandan Komando Rayon Militer Bajuala di Ambon. Ia mengungsi ke Buton Maret 1999. Ia tak bisa apa-apa. Sikap yang sama dirasakan ribuan pengungsi di Buton.

Pengungsi yang tiba di Buton umumnya memiliki pertalian darah dengan warga setempat. Mereka merantau dan kembali dalam keadaan luka karena pertikaian Kristen-Islam di Ambon. "Pemerintah menyebut mereka eksodus, lalu koran juga begitu. Saya malah lebih sepakat menyebut mereka musafir, kok rasanya lebih enteng," kata Arbab.*

kembali keatas

by:Indarwati Aminuddin