Berbalas Pantun

Eriyanto

Mon, 1 July 2002

DI MELAYU, ada tradisi berbalas pantun. Ini semacam permainan. Seseorang mengucapkan sebuah pantun dan dibalas lawan bicara. Pantun ini disambut dengan pantun lain, begitu seterusnya.

DI MELAYU, ada tradisi berbalas pantun. Ini semacam permainan. Seseorang mengucapkan sebuah pantun dan dibalas lawan bicara. Pantun ini disambut dengan pantun lain, begitu seterusnya. Tetapi di Aceh, "berbalas pantun" ini sebuah sindiran terhadap pola pemberitaan media terhadap konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Sindiran ini bukan pantun berbentuk kata-kata kiasan, tentu. Tapi perang pernyataan antara TNI dan GAM. Serambi Indonesia, harian terbesar di Aceh, bahkan memberi tempat khusus di halaman pertama di bagian bawah untuk parade pendapat ini. Hari ini TNI mengatakan berhasil membunuh dalam suatu kontak senjata, besoknya orang GAM membantah. Esoknya lagi dibantah lagi oleh orang TNI, begitu seterusnya. Dalam satu berita bisa ada tiga hingga empat pernyataan dari pihak GAM ataupun TNI.

Serambi Indonesia melakukan itu mungkin karena terhimpit TNI dan GAM. Kedua-duanya merasa paling benar. Kedua-duanya juga merasa paling berhak ditempatkan sebagai sumber berita utama. Tiap hari di Aceh terjadi kekerasan dan kontak senjata, kedua belah pihak mempunyai versi yang berbeda-beda. Serambi Indonesia tinggal mengutip pernyataan dari kedua belah pihak. Kalau hari ini, TNI mengklaim menembak GAM, orang GAM pasti protes dan Serambi Indonesia tinggal memuat protes itu di edisi berikutnya. Tanggapan ini akan dikomentari lagi oleh TNI, begitu seterusnya. Konfirmasi bukan dilakukan dengan reportase ke lapangan, tapi tinggal tunggu reaksi atau pernyataan pihak lainnya.

Tidak jelas, mana pernyataan yang benar, mana yang salah, TNI-kah atau GAM-kah. Mana fakta, mana propaganda. Pernyataan itu tinggal kutip saja ketimbang menimbulkan kemarahan dari kedua belah pihak.

Satu tahun ini sudah dua kali Serambi Indonesia berhenti terbit karena diancam. Pada 20 Juni 2001, koran terbesar di Aceh ini memutuskan tak terbit. Gara-gara mereka diteror oleh GAM yang marah dengan berita Serambi Indonesia edisi 19 Juni yang berjudul "Masyarakat bergelimpangan di Aceh Besar, Sekeluarga Ditemukan Tewas di Lumpuk." Tulisan itu menimbulkan kekecewaan GAM karena pelakunya disebut "kelompok bersenjata" dan bukan Brimob.

Kejadian kedua terjadi Agustus 2001. Selama 11 hari, koran yang bertiras 30 ribu eksemplar ini berhenti terbit. Gara-gara tulisan Serambi edisi 10 Agustus 2001 yang berjudul "Insiden Idi, 31 Karyawan Tewas." Pihak GAM marah karena Serambi menyebut pelakunya sebagai "gerombolan orang tak dikenal" bukan ditulis tentara atau polisi. GAM mengancam akan membakar kantor redaksi dan membunuh para wartawannya. Akibatnya Serambi Indonesia memutuskan berhenti terbit untuk sementara.

Tindakan main hakim sendiri TNI dan GAM jika tak puas dengan pemberitaan media ini yang membuat Serambi Indonesia memilih jalan aman. Cara Serambi Indonesia ini ditiru koran lain, dengan cara yang berbeda. Tabloid Kontras misalnya. Ketika mengangkat kasus, selain liputan sendiri, Kontras menyediakan dua halaman khusus, satu halaman untuk pernyataan GAM, satu lagi pernyataan TNI.

Koran seakan tak berani menampilkan liputan tanpa pernyataan dari kedua belah pihak. Tabloid lain di Aceh, Aceh Tribune, bahkan memilih untuk tak memberitakan konflik TNI dan GAM ini. "Kami beberapa kali dikritik tak memberitakan realitas Aceh yang penuh konflik. Tetapi ada banyak peristiwa lain yang bisa diberitakan," kata Munawardi Ismail, redaktur pelaksana Aceh Tribune.

Konfirmasi sering didapat Kontras dengan cara unik. Tiap Senin pagi, Serambi Indonesia, induk tabloid Kontras, memuat iklan di halaman pertama, berita utama Kontras. Dari iklan itu pembaca bisa mengetahui apa yang menjadi sajian utama Kontras yang terbit Rabu. Sampai Senin, Kontras baru menulis berita itu 60 persen, dan naik cetak Selasa malam. Senin itu juga hampir selalu saja ada orang GAM dan TNI yang menelepon ke redaksi meminta komentarnya dimuat. Redaksi tak perlu repot-repot menghubungi pihak GAM dan TNI karena mereka yang akan menghubungi redaksi.

"Seringkali kami menolak dengan halus permintaan mereka. Karena jumlah orang GAM dan TNI yang menelepon terlalu banyak. Kami katakan, sudah ada rekan mereka yang menelepon dan akan kami muat pernyataannya," kata Yarmen Dinamika, redaktur pelaksana Kontras.

Redaksi biasanya memilih komentar berdasarkan wilayah, kalau sebuah wilayah sudah terwakili, dianggap cukup. Antar orang GAM sendiri sering timbul rebutan komentar. Satu kasus bisa ditanggapi banyak pimpinan wilayah GAM.

Dari berbagai kekerasan di Aceh, jarang wartawan yang terjun ke lapangan. Wilayah yang sulit, jalur transportasi yang buruk, dan jaminan keamanan yang minim membuat wartawan memilih tinggal di rumah atau kantor sambil menunggu pernyataan GAM atau TNI. Pernyataan itu bisa dikirim lewat faksimile, bisa juga telepon langsung ke wartawan.

Pihak GAM maupun TNI ketika terjadi konflik selalu memberitahu wartawan. Seorang wartawan yang bertugas di Sigli menceritakan bahwa antara kedua belah pihak saling adu cepat. Kalau kontak senjata pukul delapan pagi misalnya, satu atau dua jam berikutnya wartawan pasti mendapat kronologi peristiwa.

Bahkan menurut Bahtiar Gayo, wartawan Waspada yang bertugas di Aceh Tengah, satu atau dua jam sebelum kontak senjata, ada saja orang GAM atau TNI yang memberi sinyal. Orang GAM biasanya menelepon ke rumahnya di Takengon dan meminta dua jam sesudah telepon itu mengecek ke rumah sakit di seluruh Aceh Besar. Ini tandanya orang GAM akan menghadang TNI. Sebaliknya, kalau TNI akan menyisir, istilah untuk mencari dan memburu orang yang dituduh GAM, komandan Komando Distrik Militer (Kodim) Aceh Tengah biasanya memintanya tidak melewati jalan yang akan dilewati.

Setelah kontak senjata, pihak TNI biasanya mengumpulkan wartawan di Kodim. Lalu diceritakan peristiwa kontak senjata, memberi foto-foto korban, yang selalu diidentifikasi sebagai orang GAM. Pihak GAM, tidak bisa mengumpulkan wartawan. Yang dilakukan GAM setelah terjadi kontak senjata adalah mengirim foto kejadian dan kronologi peristiwa.

Yarmen Dinamika menceritakan, Kontras selalu menerima kronologi kejadian plus foto dalam sebuah amplop tertutup dari GAM. Amplop itu bisa dikirim seorang kurir, bisa juga lewat pos. Tiba-tiba saja amplop itu sudah ada di redaksi. Bagaimana mengidentifikasi kiriman itu benar dari GAM? Menurut Yarmen Dinamika, surat dari GAM selalu disertai sebuah surat dengan kop bertajuk Acheh Sumatra National Liberation Front (ASNLF). Surat itu selain tanda tangan disertai dengan cap ASNLF. Cap itu sendiri istimewa, karena selalu terdiri dari empat warna. Kalau GAM megirim lewat faksimile, GAM akan menelepon lewat wartel atau nomor berapa faksimile tersebut dikirim.

Lalu apakah wartawan di Aceh tak turun ke lapangan dan melihat secara langsung peristiwa itu? Ukurannya adalah berapa nyawa. Tiap hari terjadi kekerasan di Aceh, dari penculikan, penyenderaan, kontak senjata. "Kalau korban lebih dari 15 orang, kami baru turun ke lapangan, seperti kasus simpang KKA atau Tengku Bantaqiah. Ini bukan berarti kami tak menghargai korban satu atau tiga orang. Terlalu banyak peristiwa kekerasan di Aceh, dan kami harus memilih" kata Yarmen.*

kembali keatas

by:Eriyanto