Belajar dari India

Heru Widhi Handayani

Mon, 1 July 2002

KAK boleh nggak kali ini kita nggak berdoa. Tuhan tahu kok perasaan kita," kata Intan terbata-bata saat Bayu memintanya memimpin doa makan. Ada air mata kesedihan di sana.

KAK boleh nggak kali ini kita nggak berdoa. Tuhan tahu kok perasaan kita," kata Intan terbata-bata saat Bayu memintanya memimpin doa makan. Ada air mata kesedihan di sana. Ia tak sendiri. Tak kurang dari belasan anak lainnya tertunduk lesu. Hidangan di meja makan tak kunjung ada yang menyentuh. Semua berasa hambar.

Dialog itu terjadi setelah mereka mendengar kabar hutan tempat mereka belajar tentang keanekaragaman hayati akan dibangun taman kota. Intan yang diperankan Hanifa Ratih, satu dari limabelas anak yang terlibat dalam sanggar alam itu. Sedangkan Bayu, diperankan Anton Mirzaputra, pembinanya. Terbayang dalam benak mereka tak akan ada lagi tempat untuk bernaung di bawah pohon yang besar-besar, sambil bernyanyi, bertukar ilmu dan perasaan tentang alam sekitar.

Sekilas dalam tayangan muncul tulisan pada sebidang papan: Dendrobium Antennatum. Namanya aneh. Tak lain, sejenis anggrek langka yang biasa tumbuh di Papua. Anggrek ini menjuntai, mirip antena. Pesonanya semakin terpancar manakala berada di bawah naungan purnama. Dan jadilah judul film semimusikal besutan Garin Nugroho itu Rembulan di Ujung Dahan.

Lewat Rembulan di Ujung Dahan kembali Garin tidak sekadar menonjolkan segi hiburan. Ia juga mengusung misi pendidikan. Entertainment edukatif, begitu Garin membahasakannya.

"Ini belajar dari India. Mereka memproduksi film-film pendidikan tertentu yang mengajak anak-anak sekolah untuk menonton ramai-ramai," kata Garin.

Psikologi komunal itulah yang digunakan mereka. Dan Garin menirunya. Ia ingin menyosialisasikan pendidikan tentang lingkungan hidup. Hasilnya, dalam film Rembulan di Ujung Dahan penonton kanak-kanak akan menjumpai beragam pendidikan. Kepahlawanan sosial, melakukan demonstrasi tanpa kekerasan, yang bisa menyanyi membantu dengan nyanyian, atau berorganisasi. Kesemuanya bisa dilakukan demi memelihara lingkungan.

Hutan tengah kota menjadi lokasi utamanya. Dan pilihan itu jatuh pada Kebun Raya Bogor. Sebelumnya, menurut Hanung Bramantyo, asisten sutradara, Garin mengusulkan kawasan hutan Kaliurang di Yogyakarta. Kebun raya Bogor dikhawatirkan tak lagi menyuguhkan keasrian alam lantaran dikenal sebagai hutan wisata. Tetapi setelah hunting selama lebih kurang dua bulan, Kebun Raya Bogor makin menunjukkan pesonanya.

Ada saja kejadian yang tak terduga selama pengambilan gambar di lokasi tersebut. Misalnya saat adegan dialog, ada sekelompok kalong bergelantungan di dahan tak jauh dari mereka. Kamera yang sedianya untuk menyorot adegan dialog tersebut segera beralih. Momen agaknya menjadi yang lebih penting. Teriakan lantang menggema. Sekawanan kalong itu pun berhamburan, terbang. Dan kru film puas bisa mengabadikan peristiwa itu.

Namun itu satu-dua saja. Selebihnya tayangan tentang keasrian alam diambil dari stock shoot serial dokumenter film Pustaka Anak Nusantara yang diproduksi bersama Visi Anak Bangsa.

Garin memang tak gegabah meski ia mengatakan Rembulan di Ujung Dahan sebagai proyek coba-coba. "Harus ada eksperimen," begitu katanya. Biaya Rp 500 juta kucuran Kebun Raya Bogor bukanlah apa-apa dibandingkan dengan sosialisasi suatu visi yang didengungkan.

Keseriusannya ini ditunjukkan dengan mengadakan riset pasar selama lebih kurang tiga bulan dan riset materi dua bulan. Selain itu ada riset audiovisual dan riset untuk ilmu pengetahuan. Kedua hal ini lumrah dilakukan Garin dan orang-orangnya.

Begitu pula dalam pemilihan para pemain. Prosedur casting tetap diberlakukan terhadap artis yang sudah punya nama sekali pun. Tak terkecuali Novia Ardana, Tamara Blezinsky, juga Ira Wibowo. Setelah melalui perdebatan yang panjang antara Garin, Hanung, juga kru lainnya, Ira Wibowo akhirnya terpilih memerankan sosok Ranti.

Hanung sendiri merasa kurang sreg apabila melibatkan selebritas. Tapi agaknya Garin mempunyai pertimbangan lain, visionomi Ira Wibowo dirasa paling pas: muka, postur tubuh, tinggi badan, juga kostum. Dan yang terpenting, pemeran Arini, ibu Ranti, adalah Marini Soerjosoemarno, sedang pemeran sang ayah Deddy Sutomo. Dalam sebuah dialog Arini berkata kepada Ranti, "Wajah kau seperti ayah, tapi hidung kau seperti ibu." Maka hidung Ira Wibowolah yang memang ada kemiripan dengan Marini, bukan Tamara Blezinsky atau Novi Ardana. Begitu pun dalam perwajahan, lebih mendekati Deddy Sutomo.

Lain halnya dengan Anton Mirzaputra. "Saya pilih Anton, maaf saja, dia itu kan cacat yang sudah merupakan pendidikan tersendiri tanpa dieksploitasi. Saya lihat dia begitu semangat. Orang yang bisa survival dengan penuh semangat itu adalah pendidikan yang terbaik," kata Garin.

"Coba dites deh," kata Garin saat itu. Meski Anton dan teman-temannya yang bergabung dalam kelompok vokal Jamaica Cafe pernah bernyanyi untuk film Garin sebelumnya, yaitu Bulan Tertusuk Ilalang bukan berarti Anton lantas bebas melenggang. Ia dites tujuh sampai delapan kali, seperti pada pemain biasanya.

Yang lebih rumit lagi soal casting pemain anak-anak. Tak mudah memilihnya. Semua suku harus terwakili, sebagai ciri film Garin yang multikultur. Mata sipit atau belok, rambut keriting atau lurus, hidung mancung atau pesek. Tapi satu syarat yang tak bisa ditawar: bisa bernyanyi.

Hanung selaku asisten sutradara sering kewalahan menghadapi pemain anak-anak ini. Rasa percaya diri mereka tinggi. Saat adegan bernyanyi, semua merasa bisa. Dan bernyanyi sekeras-kerasnya. Tak jarang terdengar satu-dua yang sumbang. Tentu Hanung tak langsung mengatakan suara mereka buruk. Ia punya banyak cara untuk menyiasatinya.*

kembali keatas

by:Heru Widhi Handayani