Witoelar Tak Menyesal

Bill Aribowo

Mon, 1 April 2002

ISI buku ini adalah artikel dan kolom saya era lengser.” Guyonan ini meluncur enteng dari mantan presiden Abdurrahman Wahid di depan ratusan hadirin yang menyesaki ruangan sebuah hotel di Jakarta, akhir Februari lalu.

ISI buku ini adalah artikel dan kolom saya era lengser.” Guyonan ini meluncur enteng dari mantan presiden Abdurrahman Wahid di depan ratusan hadirin yang menyesaki ruangan sebuah hotel di Jakarta, akhir Februari lalu. Hadirin menyambutnya dengan gerrr. Acaranya, peluncuran buku Greg Barton, akademikus dari Universitas Deakin Australia, berjudul Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid dan No Regrets karya Wimar Witoelar, mantan juru bicara Presiden Wahid.

Hadiran berasal dari berbagai kalangan. Mulai dari novelis Pramoedya Ananta Toer, pensiunan jendral Hasnan Habib, aristokrat Rachmawati Soekarnoputri, politisi Theo Sambuaga dan Dewi Fortuna Anwar, editor Jakob Oetama, hakim Benjamin Mangkudilaga, hingga diplomat beberapa negara-negara sahabat, semua tumplek di situ.

Di depan pintu ruangan berjejer tiga krans kembang, ukuran besar. Suasana ruangan dibiarkan lengang, tanpa musik, yang terdengar obrolan ringan, berdengung laksana lebah, ditingkahi cekikikan hadirin. Mereka datang satu per satu sejak pukul tujuh malam. Gus Dur, panggilan akrab Wahid, datang pukul delapan bersama istri dan anaknya. Ia langsung jadi pusat perhatian.

Gus Dur berbaju batik lengan pendek, celana warna gelap, kopiah warna krem bertengger di kepalanya. Badannya masih tampak subur. Untuk menopang berat badannya, tangan kanannya menggenggam tongkat setinggi pinggang. Sinta Nuriyah, seperti biasa, duduk di atas kursi roda dengan senyum ramah mengembang. Wimar Witoelar tampil dengan stelan jas warna gelap, melayani tamu-tamunya dengan ramah. Senyum khasnya bertaburan.

Bukan Gus Dur kalau tanpa guyonan. Dalam bahasa Inggris ia mengatakan, “Wimar Anda beruntung bekerja sama dengan saya. Jadi pantas kalau Anda tidak menyesal.”

Maksudnya No Regrets. Itu joke pertama yang dilemparnya tatkala Gus Dur dipersilakan memberikan sambutan. Tentu saja ruangan penuh dengan ger-ger-an. Sebelumnya, ketika mengakhiri pidato singkatnya, Witoelar mengatakan “To me Gus Dur is the great man I ever known.”

Ketika acara penandatanganan buku berlangsung Gus Dur bahkan sempat menyambar mikropon untuk mengeluarkan guyonan politik yang terbaru. Katanya ia baru sejam lalu bertemu Amien Rais di ruang tunggu bandara Soekarno-Hatta. Yang dimaksud siapa lagi kalau bukan ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat dan rival politik Gus Dur. Amien mengatakan pada Gus Dur kalau ia marah karena pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri ternyata menjual aset-aset negara. Merasa bukan orang nomor satu lagi, Gus Dur menanggapinya dengan enteng saja, “Kalau begitu pemerintah ini kita sebut saja P-PAN, kependekan Pemerintah Penjual Aset Negara.” Lagi-lagi gerrr.

Antrian penandatanganan buku berlangsung sekitar satu jam. Mereka antre satu per satu untuk mendapatkan tanda tangan dari masing-masing penulis buku itu. Malam itu terjual sekitar 600 buku Gus Dur dan 800 buku Witoelar.

Sehari sebelumnya di tempat yang sama diselenggarakan jumpa pers. Tak kurang 90 wartawan hadir di sana. Acara ini digelar Equinox Publishing and InterMatrix Communications. Equinox adalah penerbit buku-buku tersebut sedang InterMatrix adalah perusahaan Witoelar yang bergerak di bidang komunikasi.

Di pentas Wimar Witoelar duduk menghadapi hadirin ditemani Greg Barton. Pentas dihiasi dengan gambar Gus Dur dan Witoelar sebesar papan tulis ukuran sedang. Gambar itulah yang dipakai sebagai kulit buku yang diperkenalkan saat itu, yaitu No Regrets dan Gus Dur.

Dengan penampilan seadanya Witoelar meladeni pertanyaan. Enak didengar dan bernas. Mengenakan baju kotak-kotak lengan pendek, rambut kriting, tanpa dasi, Witoelar tampak kontras dengan tampilan Barton dan Mark Hanusz dari Equinox yang lengkap berjas-dasi. Tapi itu tak mengurangi wibawa Witoelar di mata hadirin. Witoelar memang tetap menarik, atraktif, dan good citizen.

Menurut Witoelar, orang luar mengira bangsa Indoneisa tak bermutu. Mereka tak mampu mencerna kejatuhan Gus Dur, yang terpilih secara demokratis dan tak terbukti melakukan korupsi. “Dengan buku ini saya ingin menjelaskan kepada dunia, rakyat Indonesia are beautiful,” ujarnya.

Dunia, karenanya Witoelar menulis dalam bahasa Inggris. Witoelar percaya kebesaran Gus Dur, sebagai pribadi dan sebagai presiden, yang mencoba menegakkan demokrasi yang masih rawan di tengah persoalan-persoalan besar warisan pemerintahan Presiden Soeharto, serta berbagai kejadian di balik peristiwa memalukan digulingkannya presiden yang terpilih secara demokratis itu.

Ia juga mengatakan sering mendapat pertanyaan, apa tak menyesal ikut dalam pemerintahan Gus Dur hanya selama 10 bulan? “Saya merasa sebagai orang biasa yang terbawa ke arus sejarah. Saya tak menyesal ikut dalam the big experience in democracy.” Bahkan saking seringnya ia mengucapkan kalimat tak menyesal, maka dua kata itulah yang dipilih penerbit untuk judul bukunya.

Buku Witoelar juga banyak mengkritik media, mulai dari Bambang Harymurti dari Tempo yang dinilainya sering menjelek-jelekkan Gus Dur hingga Lally Weymouth dari Newsweek yang rewel. Hanny Hasyim dari InterMatrix mengatakan edisi bahasa Indonesia bakal terbit tiga bulan lagi.*

kembali keatas

by:Bill Aribowo