Sensor ala Palembang

Taufik Wijaya

Mon, 1 April 2002

PERS kita remnya blong, kata Presiden Megawati Soekarnoputri kepada Dewan Pers, akhir 2001. Maksudnya, pers sudah kelewat bebas.

PERS kita remnya blong, kata Presiden Megawati Soekarnoputri kepada Dewan Pers, akhir 2001. Maksudnya, pers sudah kelewat bebas. Mungkin terinspirasi pernyataan Megawati pemerintah kota Palembang mengusulkan penerbitan peraturan mengenai pengelolaan media informasi dan komunikasi.

Awal 2002 dewan kota Palembang membahas sejumlah peraturan daerah dan anggaran belanja dan pendapatan daerah. Biasanya, rancangan peraturan itu dengan mudah diperoleh wartawan. Namun, kali ini susah sekali. Bagian hubungan masyarakat pemerintah daerah tak mau membagikannya. Anggota dewan juga tak satu pun memberi kopi rancangan peraturan daerah itu.

Dua pekan kemudian peraturan itu disahkan dengan nama Peraturan Daerah Nomor 22 Tahun 2002 Kota Palembang tentang Pembinaan dan Retribusi Pemanfaatan Media Informasi dan Komunikasi. Disusul dengan surat keputusan walikota tertanggal 25 Januari 2002 mengenai pelaksanaannya.

Peraturan daerah itu dapat menabrak pengelola penerbitan dan grafika, radio siaran dan televisi swasta, warung internet, promosi dan pameran, rental komputer, rental video, play station, peredaran film dan rekaman video, pengusaha antena parabola, dan produksi rekaman video.

Koalisi Kebebasan Akses Informasi Sumatra Selatan memberi analisis peraturan itu. Beberapa pasal bertentangan dengan sejumlah perundangan. Peraturan daerah itu mengharuskan para pengelola media informasi dan komunikasi untuk meminta izin dan rekomendasi dari pemerintah kota Palembang. Ini tercermin dalam pasal empat, "Setiap orang atau badan yang mengusahakan pemanfaatan media informasi dan komunikasi dalam daerah wajib atas izin dan rekomendasi kepala daerah."

Koalisi itu beranggotakan Aliansi Jurnalis Independen kota Palembang, Balai Pemantau dan Penguatan Partisipasi Politik, Lembaga Analisis Informasi, Lembaga Bantuan Hukum Palembang, Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi Sumatra Selatan, Ikatan Advokat Indonesia Palembang, South Sumatra Corruption Watch, dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatra Selatan.

Media massa yang dikontrol adalah radio siaran, televisi swasta, penerbitan dan grafika, serta warung internet tempat publik mengakses berbagai media dotcom. Wilayah kebebasan berekspresi yang terancam yakni promosi, pameran, dan film. Artinya, para pekerja seni rupa atau pekerja seni lainnya yang ingin memamerkan karyanya harus mendapat rekomendasi dari pemerintah.

Tragisnya, produksi film dan peredarannya, termasuk rekaman video, harus mendapatkan izin. Sepintas dapat menertibkan atau mengontrol pembajakan film atau peredaran film porno secara ilegal, tapi karena tidak detail, aturan itu bisa saja mematikan kreativitas para pekerja film.

Koalisi meminta Walikota Palembang Husni agar mencabut peraturan daerah itu. Husni, hingga kini belum memberikan tanggapan.

"Semangat peraturan ini sangat Orde Baru. Jadi, harus dicabut," ujar Tommy Indriadi Agustian, aktivis Koalisi.

Muhammad Yunus Hamidin, ketua Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia, Sumatra Selatan, kecewa. Organisasinya yang beranggotakan 16 radio swasta di Palembang akan mendukung Koalisi menentang peraturan itu. Kalau perlu melakukan gugatan class action.

Kepala Dinas Informasi dan Komunikasi Kota Palembang A.B.L. Tobing kepada radio Smart 100,9 FM mengatakan peraturan itu bukan untuk mengekang kebebasan pers dan berekspresi. "Kami sudah meneliti, dan sudah kita lihat bahwa tidak ada satu pun pasalnya yang mengekang kebebasan individu. Justru memberikan perlindungan konsumen," ujarnya.

Namun, Tobing mengatakan jika ada pengelola media informasi dan komunikasi tak mau melaksanakan aturan yang berlaku akan diambil tindakan administratif berupa pencabutan izin atau rekomendasi.

Tampaknya, kerisauan atas kontrol masyarakat membuat para penyelenggara negara mencari peluang untuk kembali berkuasa atas pers.*

kembali keatas

by:Taufik Wijaya