JUMAT, akhir Oktober 2001. Hari masih pagi, pukul 07.55. Delegasi pemuda dari 30 provinsi di Indonesia, plus utusan dari Malaysia, berkumpul di salah satu aula Bumi Perkemahan Cibubur, Jakarta Timur. Duduk melingkar di lantai, mereka gelisah menunggu seseorang. Tiba-tiba suasana menjadi riuh. Semua mata mengarah ke sosok: langsing, berkulit putih, cantik, rambut pendek, berkaus biru, celana jins, turun dari mobil: Nurul Arifin!

Serentak peserta Pertukaran Pemuda Antar-Provinsi, Kemah Kesatuan Pemuda Tingkat Nasional 2001, yang diselenggarakan Departemen Pendidikan Nasional itu merubung, berebut menyalami Nurul Arifin. Pagi itu Nurul Arifin dijadwalkan berceramah tentang narkotik, psikotropika, dan obat terlarang alias narkoba. Tidak duduk di sebelah moderator, Nurul dikelilingi peserta.

Nurul berceramah selama dua jam. Ia sangat komunikatif dengan audiens. Celetukan-celetukan peserta ia tanggapi dengan tangkas dan tak terlihat grogi. Kata-katanya meluncur deras -ia biasa bicara cepat. Tampak sekali ia menguasai materi. Mulai dari jenis narkoba, komposisi kandungan tiap jenis, peredaran, ciri-ciri korban, sampai cara pencegahan dan penanggulangannya. Sesekali ia melontarkan canda. Sesekali ia menyentil betapa oknum aparat sering berada di balik pengedaran narkoba. Sesekali pula ia memberi ilustrasi kisah para pengguna: teman kuliah, teman sesama artis, sampai para narapidana.

"Saya pernah menerima pengaduan dari seorang janda. Anaknya overdosis. Ia menangis menceritakan masalah itu," tuturnya.

Memang, sejak 1997, Nurul menjadi aktivis pencegahan AIDS/HIV dan narkoba. Tahun sebelumnya, ia bermain dalam sinetron Kupu-Kupu Ungu (RCTI, 1998), yang mengangkat aspek-aspek seputar HIV/AIDS.

Nurul tak hanya berakting dalam sinema layar televisi. Ia juga aktif di Yayasan Pelita Ilmu yang menangani masalah HIV/AIDS, selain di Yayasan Cinta Anak Bangsa, lembaga swadaya masyarakat yang menangani masalah narkoba. Pernah ia menerima penghargaan dari Yayasan Pelita Ilmu sebagai pemerhati AIDS. Dan, sejak 1999, ia sering berbicara tentang kesetaraan gender di pelbagai forum seminar, temu wicara, dan layar sinetron. Karena aktivitas itu pula Nurul kerap pergi ke daerah; Merauke, misalnya. Di sana ia menemui banyak kasus, antara lain tindakan kekerasan terhadap perempuan. Ia sempat trenyuh mengetahui banyak pekerja seks, kebanyakan transmigran dari Jawa Timur, yang akhirnya "mengaryakan" istrinya.

Hari-hari Nurul penuh kesibukan. Usai ceramah, ia langsung meluncur ke kantor Bank Rakyat Indonesia di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Pukul 11.00 dia syuting di sana. "Saya mesti on time," ujarnya. Selama dalam perjalanan, sejam lebih, dalam obrolan dengan saya, dia tak menunjukkan rasa letih. Jawabannya tangkas dan spontan. Kadang menjawab pendek, kadang menguraikannya panjang lebar, disertai analisis.

Sutradara Jajang C. Noer dan kru sudah menunggunya. Toh, syuting belum dimulai. Penata cahaya sedang mempersiapkan lampu. Nurul mengusulkan untuk menyudahi perbincangan, dan menjanjikan lagi di lain waktu. Tampaknya ia ingin konsentrasi pada pengambilan gambar sinetron Tidak Semua Laki-Laki itu. Memang, usai syuting, pemain film yang dulu kerap muncul dalam komedi slapstik -sementara dia tereksploitasi anatomi seksinya- ini meluncur ke Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat, markas stasiun televisi Indosiar. Dia harus rekaman untuk acara talk show bersama aktor Deddy Mizwar, yang ditayangkaan pukul 08.00 esoknya.

NURUL Arifin lahir Selasa Pahing, 18 Juli 1966, di rumah sakit Santo Josef Cikutra, Bandung. Nama lengkapnya: Nurul Qomaril Arifin. Di sebuah gang kecil, perkampungan padat Cicadas, Nurul tumbuh menjadi bocah lincah. Di daerahnya kala itu, adanya bioskop misbar alias layar tancap. Waktu kanak-kanak, orangtuanya sering mengajak menonton film yang dibintangi Elizabeth Taylor. Pernah menonton film Indonesia Beranak dalam Kubur, dibintangi Suzanna, toh tidak terbersit keinginan jadi bintang film. Ayahnya, Muhammad Jusuf Arifin, adalah anggota Angkatan Darat asal Pekalongan, Jawa Tengah. Ibunya, Annie Maerle campuran Sunda-Belanda, ibu rumahtangga biasa. Keduanya sudah meninggal. Nurul anak kesepuluh dari sebelas bersaudara.

Sebagaimana umumnya, terjunnya Nurul ke kancah film Indonesia karena tak sengaja. Menang kontes pemilihan model, 1982, dia diminta ikut kasting film Roro Jonggrang. Gagal -karena masih kecil. Produser yang sama, saat hendak memproduksi film Hati yang Perawan, 1984, asisten sutradara Dimas Haring menghubunginya lagi. Saat itu Nurul duduk di kelas dua SMA.

"Saya lihat anak ini berbakat. Cepat tanggap. Kelihatan IQ-nya tinggi juga. Dia melakukannya dengan baik, dengan dialog-dialog sesuai dengan skenario. Nangisnya, nangis betul. Tidak pakai obat tetes mata," tutur Chaerul Umam, sutradara Hati yang Perawan. Nurul lulus kasting, memerankan tokoh Diah.

Saat syuting, ternyata ada sedikit kesulitan.

"Nanti ada adegan berenang. Bisa berenang nggak?" tanya Umam, waktu itu.

"Bisa," jawab Nurul.

Ternyata Nurul tidak bisa berenang. Terpaksa dia belajar berenang di lokasi itu, yang kebetulan ada kolam renangnya, dalam waktu singkat.

Begitu juga waktu tes naik sepeda. "Saya kan tidak bisa naik sepeda. Ya, akhirnya saya latihan naik sepeda sampai jatuh-jatuh," kenang Nurul.

Setelah main dalam Hati yang Perawan, Nurul berniat menyelesaikan sekolahnya, sekalipun banyak tawaran main film. Tamat SMA, ia kirim surat ke Hendrick Gozali, produser, di Jakarta; dia katakan dirinya siap main film lagi. Lalu ia main sebagai pemeran utama di film Madu dan Racun (1985).

Pada 1986, ia hijrah ke Jakarta. Suatu hari, Bustal Nawawi, eksekutif produser di film Hati yang Perawan, datang kepadanya. Ia merekrut Nurul main dalam Nagabonar di bawah arahan sutradara M.T. Risyaf. Sebagai pemeran Kirana, Nurul perlu menjalani proses latihan yang terhitung lama: tiga bulan, karena film ini menggunakan suara langsung, direct sound, tanpa dubbing atau isi suara saat proses pasca-produksi. Ada latihan pernapasan, suara, intonasi, dan sebagainya. "Saya cenderung omong cepat. Itu kelemahan saya. Lalu, saya disuruh baca koran dengan suara keras dan pelan," tutur Nurul.

Karena proses latihannya lama, syuting jadi lebih mudah. Petunjuk-petunjuknya sudah mantap. Sutradara bertugas mengingatkan dan memberi arahan. Nurul tampil sesuai dengan naturalitasnya. Tidak terobsesi akting lawan main. "Itu yang membuat saya kelihatan apa adanya. Cuma, waktu itu arahan sutradara: secara figur, Kirana itu kayak Rae Sita," tuturnya.

Dalam Festival Film Indonesia (FFI) 1987, Nagabonar meraih enam Piala Citra. Sejak itu, nama Nurul Arifin melambung. Tawaran main film pun terus berdatangan. Pada FFI 1988, namanya masuk sebagai nomine lewat film Istana Kecantikan.

AAT perfilman Indonesia lesu, pada 1993 sineas Garin Nugroho menawarinya untuk main dalam Surat untuk Bidadari. Nurul langsung setuju. "Saya selalu antusias kalau ditawari sutradara yang bagus."

Ia pun siap bekerja di bawah kru film generasi baru: anak-anak muda lulusan Institut Kesenian Jakarta, yang berbeda taste dan cara pengarahannya dibanding generasi sebelumnya. Film ini berseting desa Pau, satu-satunya desa di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, yang bisa ditanami padi, selain satu-satunya desa yang punya waduk. "Udaranya sangat panas. Saat syuting film ini, Sumba Timur sedang dilanda kemarau. Pohon-pohon tinggal ranting tanpa daun. Tanah retak-retak. Padang savana jadi coklat. Alam yang keras. Karakter penduduknya pun keras," ujar Satari S.K. "Satu minggu di sana, saya sudah kayak orang negro," kata Satari, pemeran orangtua Lewa dalam film tersebut. Peran itu tidak mungkin dimainkan orang asli sana, karena mereka tak mau memerankan orang yang sudah mati.

Nurul berperan sebagai Berlian Merah, ibu Lewa, orang asli Sumba. Itu tantangan baginya. Dua minggu sebelum syuting, ia datang lebih dulu. Ia sengaja menghitamkan kulitnya dengan berjemur selama 10 hari. Juga menghitamkan gigi dengan makan sirih. Ombu Giku, salah seorang raja di sana, mengajari Nurul bahasa Sumba. "Selama dua minggu saya belajar bahasa Sumba, termasuk logatnya, dialeknya," tuturnya. Selain dengan Biku, Nurul mengadakan pendekatan dengan masyarakat setempat.

Salah satu yang dimainkan adalah adegan pemerkosaan. Adegan itu dianggap tabu oleh penduduk setempat. Karena itu, arealnya ditutupi kain hitam. Tapi banyak juga yang nonton dengan naik pohon. "Saya tahu, Surat untuk Bidadari adalah film seni. Saya tahu film seni hanya laku dijual di luar. Untuk ikut festival. Buat saya, nggak apa-apa. Yang penting, kepuasan bermain," tuturnya.

"Akting Nurul betul-betul maksimal. Persis orang Sumba," komentar Satari.

Film ini mendapat penghargaan Berliner Zeitung Prize dalam Des Jungen Folms 1994, forum penting untuk film alternatif di Festival Film Berlin, Jerman. Pada tahun yang sama, Surat untuk Bidadari juga meraih penghargaan tertinggi Cariddi d’Oro dalam Festival Film Taormina, Italia.

Sikap yang rileks dalam menghadapi peran, itu yang terjadi dalam diri Nurul. Main film kelas "festival luar negeri," main film komedi yang mengeksploitasi keelokan tubuhnya, juga main untuk tayangan sinema televisi alias sinetron. Selain Bayang-Bayang (TVRI, 1989), sinetron pertamanya, juga serial Abad 21 (Indosiar, 1996-1997), Lupus II, Cintailah Daku (SCTV, 1998), Dewi Selebriti (Indosiar, 1998), dan Jangan Ada Dusta (SCTV, 2001). Pada Festival Sinetron Indonesia 1998, namanya masuk sebagai nomine pemeran utama wanita dalam sinetron Cintailah Daku.

Nurul menyadari sinetron adalah industri, yang justru banyak keterbatasan. "Sulit untuk memberikan karya maksimal di sinetron. Karena sinetron itu industrialistis. Ada keterikatan waktu, diburu kejar tayang. Biaya sudah ditarget. Ketika minta kostum sesuai karakter, itu pun sulit dipenuhi," kilahnya.

Toh, ketika ditawari main di sinetron yang dianggapnya menantang, dia memberikan totalitasnya. Itu terjadi ketika main sinetron satu episode Aku, Perempuan, dan Lelaki Itu garapan sutradara Aria Kusumadewa untuk Anteve, 1997. "Sinetron ini bercerita tentang hubungan lesbi. Sebuah problem perubahan dalam diri manusia, yang kadang tidak diakui. Kita mencoba mengangkat soal gender," ujar Kusumadewa.

Kusumadewa punya feeling antara dia dan Nurul bisa bekerja sama. Pertimbangan lain: selain bintang laku, Nurul adalah sosok yang punya keinginan serius, sangat dedikatif, dan berbakat. Baginya, Nurul menjadi spirit dan mitra untuk maju. Kerja sama antara Nurul dan Kusumadewa kemudian berlanjut dalam produksi film Beth pada 2000.

"Saya tahu film-film Aria akan nggak laku, tapi idealisme dia tinggi. Warna dia sangat spesifik. Bukan warna pasar," kilah Nurul.

"Nurul kayak orang trance ketika membaca naskah itu. Sebagai perempuan, ia merasa punya naluri lesbi. Tiba-tiba ia suka pada perempuan, tapi belum pernah melakukan. Dia pernah merasakan," cerita Kusumadewa pada saya.

Mengingat biaya produksi kecil, Nurul rela tidak dibayar. Totalitas pun Nurul berikan. Bahkan ia mempersilakan rumahnya untuk lokasi syuting selain menyediakan makan kru dan pemain selama beberapa hari. "Saya sampai nggak enak juga sih sama Mayong; di situ sampai malam," kata Kusumadewa. Mayong adalah suami Nurul, lengkapnya MayongÊSuryo Laksono.

ORANG boleh mengingat-ingat Nurul pernah cuma "jualan" keseksian tubuhnya dalam beberapa film komedi, termasuk orang juga boleh tercengang mendengarkan kilahannya atas peran-peran seksi itu. "Itung-itung amal," katanya ketika itu. Toh, sejarah mencatat bahwa Nurul pada akhirnya bukanlah aktris yang tak pernah melakukan tawar-menawar dengan sutradara bila dia merasa tidak sesuai dengan visinya. Selain kerap mengampanyekan kesetaraan gender, Nurul juga antikekerasan. Visi ini tetap dia pegang ketika harus berakting.

Ketika syuting sinetron Si Jamin dan Joana -diangkat dari novel Si Jamin dan Si Johan (1921) karya sastrawan Merari Siregar- garapan sutradara Isdaryanto B.U., produser Ray Sahetapi dan Dewi Yull, ia melakukan tawar-menawar Nurul memerankan tokoh Inem, seorang ibu tiri yang gemar berjudi, tukang mabuk, bekas wanita tuna susila, serta orang miskin yang bermimpi kaya dan tidak mau hidup susah. Baginya, itu peran istimewa dan menantang. Lagi pula, cerita dalam sinetron itu sangat kuat, dan terasa unsur teaternya. Mengeluarkan kegalakan dalam akting tak masalah. "Manusia punya unsur baik dan buruk. Kadang-kadang kita pun punya unsur kejam. Kadang kita kesal dan galak terhadap orang, itu yang saya keluarkan," tutur Nurul. Dan tak ada masalah dengan menyulap kulitnya yang putih menjadi hitam tak terawat dengan bedak warna coklat.

Yang jadi masalah, Inem harus melakukan adegan kekerasan kepada anak tirinya. "Waktu syuting saya sudah cerewet banget. Saya beragumentasi bahwa ibu tiri tidak selalu jahat. Dari 10 adegan kekerasan, saya minta cuma dua. Itu pun verbal saja. Visualisasinya tidak ada. Ketika saya melakukan adegan menaruh tempat nasi di kepala anak, yang muncul hanya ekspresi si anak yang kesakitan. Gambar itu dihilangkan," tutur Nurul. "Kebetulan, stasiun televisi yang akan menayangkannya tidak menginginkan adegan kekerasan."

Hal serupa dilakukan ketika syuting film televisi Tidak Semua Laki-Laki arahan sutradara Jajang C. Noer. Ia melakukan tawar-menawar dalam menginterpretasi karakter. Dalam judul tersebut, ia berperan sebagai Aida, perempuan mandiri yang tidak percaya laki-laki, tetapi jatuh cinta kepada laki-laki humanis dan mencintai hidup seluas-luasnya tanpa atribut materi.

"Di skenario tidak ada, misalnya, Aida menari-nari dangdut. Interpretasi saya tentang karakter Aida tidak seperti itu. Kenapa tiba-tiba jadi norak?" ujar Nurul.

Argumentasi sutradara: itu kehendak sutradara. Cerita bisa berkembang di lapangan. "Oke, berkembang di lapangan. Tapi pemain dikasih tahu. Jangan menganggap pemain tidak tahu dan jadi boneka," sergah Nurul.

Menurut Nurul, itu merupakan bentuk-bentuk yang tidak kritis. Pemain tidak dibangun untuk mengritisi apa pun. "Persoalannya jadi panjang bagi saya ketika orang tidak kritis terhadap permainannya, pengembangan di lapangan. Kita tidak harus menerima mentah. Ketika memilih kita sebagai pemain, kita mesti didengar, dan percaya pemain bisa bermain seperti itu."

Dalam sinetron Aku Ingin Pulang produksi Persari Film, Nurul berperan sebagai dokter Ayu. Dalam lima episode pertama, dokter Ayu adalah dokter yang baik. Tetapi, pada episode selanjutnya jadi dokter yang jahat. "Waktu dikasih peran Aku Ingin Pulang, saya positive thinking saja. Tidak ada bayangan akan berubah seperti itu," tuturnya. "Karena tidak ada pegangan skenario -kadang, saat syuting skenario baru jadi, kadang syuting break dulu menunggu skenario- jadi saya tidak menyangka peran dokter Ayu itu jahat. Tapi, okelah, sejahat-jahatnya dokter Ayu, buat saya jahatnya tidak secara fisik. Itu masih oke, saya masih mampu memerankan tokoh antagonis dan berhasil."

"Saya belajar akting secara autodidak," kata Nurul. "Sebetulnya, segala sesuatu bisa dipelajari, asalkan ada keinginan dan kedisiplinan," sambungnya.

Dalam penilaian sutradara Chaerul Umam dan Aria Kusumadewa, Nurul malah seakan mengerti teori dan menguasai teknik. "Untuk melakukan peran apa pun dia bisa. Di sinetron Aku, Perempuan, dan Lelaki Itu dia berperan sebagai lesbi. Di film Beth dia main sebagai orang waras lalu menjadi gila. Dalam melakukan perubahan itu benar-benar seperti tahu teori. Padahal, saya tahu persis dia tidak tahu teori. Dia benar-benar autodidak," ujar Kusumadewa.

Di mata Chaerul Umam, improvisasi Nurul bagus di film komedi Jangan Bilang Siapa-Siapa produksi Parkit Film. "Improvisasinya bagus. Lucu sekali. Dia sudah mulai berani dan percaya diri," kata Umam.

Nurul sendiri merasa miskin improvisasi. "Cuma, adaptasi dengan lingkungan, saya gampang. Adaptasi dengan gaya bicara, gaya berpakaian orang di komunitas tertentu, itu nggak soal. Makanya saya dibilang oleh Garin seperti bunglon, yang mudah beradaptasi, termasuk karakter-karakter berbeda," ujar Nurul, "dalam film-film komedi, seperti dengan Warkop, saya lebih pada text book, hanya berpegang pada skenario. Tidak melakukan improvisasi-improvisasi, kecuali improvisasinya dari Dono dan Indro."

NURUL melakukan akting berdasarkan rasa. Suatu ketika ia bertanya kepada Kusumadewa, "Aria, gua nggak ngerti akting itu apa. Tapi, kalau menurut gua, akting itu hidup."

"Oke, Nurul. Semua dinilai dari rasa. Sebab, rasa itu transformasi dari Yang di Atas. Syuting itu hanya media bagaimana kita menemukan timing," jawab Kusumadewa. Dia selalu mengatakan pada Nurul bahwa akting itu sebenarnya jujur. Jujur pada diri sendiri. Untuk mencapai jujur dengan diri sendiri sangat sulit. Kalau melihat penokohan suatu peran, Kusumadewa menyarankan untuk jujur berinterpretasi. Tidak usah dipengaruhi oleh Sigmud Freud, Jean Paul Sartre, dan tidak usah yang dalam-dalam. Tidak usah berfilsafat.

"Bermain dengan rasa, itu lebih jujur. Kalau dia tahu teori, dia mulai membikin. Kalau dia maju ke depan, dia harus menghitung bloking dengan tempo sekian. Sementara memikirkan tempo sekian, akting dia menjadi palsu," kilah Kusumadewa menambahkan.

"Ada kekurangan dan kelebihan antara yang autodidak dan yang berlatar pendidikan formal atau dari teater. Bagi yang autodidak, saat melakukan bloking bingung. Di depan kamera, bloking menjadi siksaan. Kayak robot. Adapun orang-orang teater atau yang berlatar pendidikan formal tahu teori. Kekuatan mereka ada di bloking. Mereka tahu bagaimana beradaptasi dengan lingkungan. Cuma, kadang orang-orang teater overacting di depan kamera. Mereka biasa dilihat jarak dari cukup jauh. Sedangkan kamera cukup sensitif," ujar Nurul Arifin.

Untuk semua film yang ia bintangi, Nurul memberikan totalitas yang sama. Dalam film bagus, apalagi lawan main bagus dan sutradara bagus, ia selalu memberikan yang optimal. "Kalau lawan main jelek, saya terbawa bermain jelek. Kalau sutradaranya jelek, tidak memberikan pengarahan yang kuat, saya kebawa jelek. Apalagi kalau main di film yang targetnya cuma pasar, saya selalu main setengah-setengah. Itu jeleknya saya," ujarnya.

"Di sinetron yang kurang tergarap dengan baik, sinetron ecek-ecek, dia kayak meremehkan perannya sendiri," tambah Kusumadewa.

Nurul pun menyadari bahwa seorang pemain tidak boleh seperti itu.

Ruang kreasi bagi pemain adalah sesuatu yang penting bagi Nurul. Kusumadewa sependapat dengannya. Dalam setiap filmnya, termasuk yang dibintangi Nurul, ia selalu memberikan ruang kreasi bagi pemain, juru kamera, penata cahaya, juga penata artistik.

Ruang kreasi itu antara lain interpretasi karakter.

"Masalah karakterisasi itu interpretasi dari pemainnya sendiri. Pemain diberi kebebasan untuk menginterpretasikan karakter yang dia mainkan. Kewajiban sutradara, bagi saya, menggali apa yang saya interpretasikan, membumbui bloking yang tidak saya keluarkan di lapangan. Kadang pemain ada keterbatasan, detail-detail terlewati oleh aktor," tutur Nurul.

Nurul memang, pada akhirnya, adalah aktor dengan "teori" autodidak plus. Wawasan senantiasa dia reguk, entah untuk kebutuhan akting maupun untuk keperluan sebagai pembaca dalam sejumlah forum diskusi. Untuk wawasan perfilman, ia banyak membaca buku. Ia biasa membeli buku-buku di toko buku milik Jose Rizal Manua, di kompleks Taman Ismail Marzuki, kawasan Cikini. Buku yang dia baca antara lain Menjadi Sang Aktor karangan Marseli; bukunya Garin Nugroho; Teguh Karya; juga Perempuan-Perempuan karya Usmar Ismail.

Baginya, wawasan berpikir dan pendidikan sangat penting dimiliki artis. Tidak hanya memiliki kemampuan akting dan modal fisik, tapi juga kemampuan intelektual sehingga, menurutnya, artis akan memiliki posisi tawar tinggi dan tidak dilecehkan. Dan sutradara, produser, atau pencari bakat pun menaruh hormat pada artis dan calon artis.

Ia juga mengamati bintang film Hollywood seperti Jodie Foster, Meryl Streep, dan Robert de Niro. "Saya kagum pada Robert de Niro. Kalau ia memerankan suatu karakter sangat pas dan selalu beda, kecuali ada beberapa yang secara fisik tidak bisa dihilangkan, itu khasnya dia. Pengaruhnya bagi akting, saya cenderung membawakan peran-peran wanita yang tegar saja," ujarnya.

Keartisan sudah seperti magnet dalam diri Nurul. Ketika orang masuk ke dunia film atau sinetron, akan seperti kecanduan, dan karenanya sulit keluar. "Jadi, bukan lagi berbicara tentang uang. Bukannya sombong, saya sudah punya uang. Kadang honornya lebih besar bicara di seminar. Kayak kesenangan: ngumpul dengan teman-teman. Kok sudah lama nggak main, nih."

Nurul sadar betul, ia berangkat dari dunia artis. Ia merasa dituntut untuk setor muka: saya harus main film atau sinetron. Dari segi keartisan, ia tidak mem-publicrelation-kan diri lagi. "Dari segi nama, sudah cukup. Saya sudah jadi seseorang. Artinya, kalau setor muka itu, saya mesti main sinetron," katanya.

Ia tinggal memilih. Kalau ingin main dan ada tawaran, ia main. Kata Nurul, "Kalau tidak main, mungkin tidak ada tawaran, mungkin saya malas. Kalau nggak ada kegiatan saya mencari aktivitas, misalnya acara kuis, yang bisa membantu publisitas seseorang dalam menjaga eksistensi. Paling susah kalau seseorang itu menjaga eksistensi, apalagi bertahun-tahun."

Mayong Suryo Laksono, wartawan Intisari, suaminya -yang berjodoh saat sebagai wartawan tabloid Monitor yang pernah mewawancarai Nurul- mendukung profesinya sebagai artis maupun sebagai aktivis pencegahan HIV/AIDS dan narkoba. Kedua anaknya, Maura Magnalia dan Melkior Mirari, juga mau mengerti. "Saya sering meninggalkan rumah. Saya selalu ngasih pengertian bahwa saya adalah ibu pekerja. Buat mereka itu bukan hal yang aneh. Ketika saya meninggalkan mereka selama 10 hari, mereka tidak seperti anak yang kehilangan induk," tuturnya.

Setelah 17 tahun berkecimpung dalam perfilman, sudah cukupkah?

Ia masih meragukan kredibilitasnya jika belum bisa memberikan yang terbaik. "Kalau 17 tahun akting saya masih jelek, itu tidak menghargai profesi saya," katanya.*

by:Ngarto Februana