Prahara Angling Dharma

Ni Luh Dian Purwati

Mon, 1 April 2002

SEBUAH jip memasuki halaman Sekolah Tinggi Agama Hindu, Denpasar, Bali. Dari mobil itu keluar seorang laki-laki bertubuh tambun dan berkacamata.

SEBUAH jip memasuki halaman Sekolah Tinggi Agama Hindu, Denpasar, Bali. Dari mobil itu keluar seorang laki-laki bertubuh tambun dan berkacamata. Namanya, Budhi Sutrisno, direktur PT Gentabana Pitaloka, sebuah rumah produksi film di kawasan Bekasi, Jawa Barat. Ia ditemani seorang petugas stasiun relai televisi Indosiar di Bali. Mereka mulai memasang peralatan untuk pemutaran dua episode sinetron Angling Dharma.

Budhi Sutrisno sebetulnya tak perlu datang ke Denpasar bila keadaan tak sangat mendesak pada Sabtu 9 Februari lalu. Sinetron Angling Dharma yang diproduksinya, dan disiarkan Indosiar, diprotes orang Bali. Film itu dianggap menyinggung perasaan umat Hindu.

Bagian yang menyinggung itu adalah sekuen tentang wabah yang menyerang kerajaan Malwapati, sebuah kerajaan kuno dalam serial tersebut. Alkisah, Suliwa, tangan kanan Prabu Angling Dharma bersemedi. Hasilnya? Ia mendengar suara gaib yang bilang wabah penyakit itu bisa hilang dengan kedatangan dua orang dari negeri asing yang membawa ajaran agama baru. Agama baru inilah yang nantinya bisa menghilangkan segala macam wabah, penyakit, dedemit, dan sejenisnya.

Adegan tersebut menimbulkan kesedihan di hati, misalnya Wayan Sudiana, mahasiswa sekolah tinggi itu. Apalagi, pada lima episode terakhir, Sudiana mendengar ucapan-ucapan yang terkesan merendahkan ajaran Hindu. Menurut Sudiana film yang bertema keagamaan sebaiknya direkomendasikan dulu ke lembaga umat sebelum ditayangkan.

Dengar pendapat pun digelar. Ia mengundang tokoh-tokoh Hindu Bali untuk berembuk. Hasilnya, terbitlah surat pernyataan yang ditujukan ke Indosiar. Surat tertanggal 25 Januari itu menegur Indosiar dan minta penghentian penayangan sinetron ini paling lambat 30 Januari. Mereka juga mengancam akan menduduki stasiun relai bila permintaan tak ditanggapi.

Empat hari kemudian Nurwadi Purwosaputro, direktur Indosiar, minta maaf. Maaf diterima tapi tokoh-tokoh Bali tetap minta film itu dihentikan. Surat kedua dilayangkan ke Indosiar.

Namun, Wawi Adini, seorang mahasiswa Universitas Udayana, menganggap hal itu tak perlu dipermasalahkan. "Itu kan fiksi," ujarnya dalam sebuah diskusi.

Afrizal Malna, seorang sastrawan yang pernah mengarang buku Arsitektur Hujan, mengatakan bahwa hampir tak ada batas antara fiksi dan nonfiksi bila ia sudah memasuki wilayah publik. Karena yang bermain di sana adalah rasa. Misalnya, film tentang hantu akan menimbulkan rasa ketakutan meski orang mengetahui hal itu fiktif.

"Saya tidak tahu apakah penulis skenario sudah melakukan riset atau belum, yang jelas bila ia menggunakan kata-kata tersebut, ini bisa dikatakan propaganda," ujarnya.

Menurut Sudiana, walaupun fiktif tetap jangan sampai menyinggung orang lain.

Kejadian itu merisaukan Imam Tantowi, penulis skenario sinetron itu. Ia sempat menjelaskan sama sekali tak ada niat membuat masalah. Tantowi sudah menulis sekitar 400 skenario dan 300 di antaranya tentang raja-raja Hindu. Penulisannya kali ini pun sudah berdasarkan riset. Ia juga minta maaf dan diterima dengan baik pula, lantas mundur dari produksi film itu. Edward Pesta Sirait yang meneruskannya.

Di luar fiksi atau bukan fiksi, kebenaran sejarah yang terkandung dalam sinetron itu juga masih dipertanyakan. Ada tidaknya Angling Dharma juga jadi soal. Masyarakat Bali menganggap Angling Dharma salah satu tokoh cerita panji yang lahir pada zaman Kediri. Angling Dharma kemudian diceritakan secara turun-temurun.

Di masyarakat sendiri kontroversi itu belum menemukan titik temu. Tapi toh Budhi Sutrisno merasa perlu datang ke Bali. Ia memutar dua episode terakhir Angling Dharma yang pernah ditayangkan sebelumnya di hadapan mahasiswa sekolah tinggi agama Hindu. Bedanya, yang diputar di kampus itu adalah penghilangan dua tokoh Gujarat. Sutrisno mengatakan untuk episode selanjutnya, sudah ada tiga konsultan yang akan membantunya. Dua orang dari Parisada Hindu Dharma yang akan mengurusi masalah isi, sedangkan pakaian, arsitektur, dan segala macam penampakan teknis diminta Ida Bagus Oka, seorang sejarawan dari Universitas Indonesia.

Kesigapan Indosiar menangani kasus itu cukup beralasan. Angling Dharma menduduki peringkat tinggi. Dengan penundaan tayangan, bukan cuma penggemar yang dirugikan, tapi juga belanja iklan. Jika masalah itu selesai, maka Rabu berikutnya Angling Dharma bisa beraksi lagi di layar kaca.*

kembali keatas

by:Ni Luh Dian Purwati