Riset

Kursus

Buku

Kezaliman Ancol Timur

Saut Simatupang

Mon, 1 April 2002

DARMANTO, anak kecil berusia dua tahun yang baru belajar bicara, tak bisa lagi leluasa bermain pasir di pantai. Dunianya kini hanya perahu ukuran tujuh kali satu setengah meter milik ayahnya.

DARMANTO, anak kecil berusia dua tahun yang baru belajar bicara, tak bisa lagi leluasa bermain pasir di pantai. Dunianya kini hanya perahu ukuran tujuh kali satu setengah meter milik ayahnya. Jika ada orang asing menghampiri, dengan cepat ia bersembunyi di balik kaki sang ibu. Entah apa yang ada di dalam benaknya.

Akhir tahun lalu, rumah Darmanto dirobohkan dan dibakar, seperti juga rumah-rumah lain di kampung nelayan Ancol Timur, Jakarta. Tenda plastik coklat tua dibentangkan menjulang di antara dua sisi perahu agar tak kepanasan atau kehujanan. Perahu itu, seperti juga beberapa perahu lain, belakangan punya dua fungsi, untuk mencari nafkah dan sebagai tempat tinggal. Jika matahari terik, ibunya menjemur pakaian di situ. Malangnya setiap akhir dan awal tahun cuaca tak bersahabat. Musim barat, angin bertiup kencang dan hujan tercurah hampir tiap hari.

Seorang lelaki separuh baya berdada bidang termenung di buritan. Namanya singkat, Katu, nelayan asal Bugis ini ayah Darmanto. Matanya menatap hamparan tanah merah di depannya. Kampung itu berubah wajah. Paku bumi raksasa berdentam-dentam siang malam.

Di lokasi ini akan berdiri Jakarta Yacht Club, sebuah dermaga untuk kapal-kapal layar milik orang berduit. Pantai sepanjang 200 meter itu dicor beton setinggi satu meter supaya tak terkena abrasi. Tapi di atasnya membentang pagar seng berwarna kusam di mana terdapat tulisan bercat putih, yang mulai pudar akibat hempasan gelombang, "Pemda Musuh Warga."*

kembali keatas

copyright © 2013 Yayasan Pantau

by:Saut Simatupang