WARTAWAN amplop? Apa istimewanya membicarakan itu lagi? Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya telah melakukan penelitian perihal wartawan amplop di Jawa Timur yang kemudian dibukukan dalam Amplop: Candu bagi Jurnalis (2001). Yayasan Kajian Informasi, Pers, dan Penerbitan Sumatra, sebuah lembaga yang bergerak dalam pemantauan media di Medan, juga pernah melaporkan praktik wartawan sejenis itu di kawasan mereka.

Kalau disederhanakan, ada beberapa pola wartawan amplop, terutama ditilik dari sisi modus operandinya, yakni yang aktif berburu amplop dan yang pasif. Untuk jenis kedua, mereka tak mengharapkan dapat amplop, tapi kalau ada …. ya diterima. Yang aktif, mereka datang ke suatu acara -diundang atau tidak diundang- kalau perlu meminta atau bahkan sedikit memaksa agar dapat amplop. Mereka juga aktif membuat acara, perkumpulan, kalau perlu organisasi wartawan agar lebih mudah mengorganisasi uang amplop. Tak sedikit wartawan amplop yang menggunakan pola pemerasan, macam menghubungi narasumber, bukan untuk dimintai konfirmasinya, melainkan mengancam akan membeberkan keterlibatan si narasumber dalam suatu kasus.

Wartawan amplop sering kali dihubungkan dengan penghasilan pas-pasan di perusahaan penerbitan tempatnya bekerja. Lantaran bergaji rendah, amplop bukan lagi sebagai penghasilan tambahan, melainkan sumber utama. Ada bahkan wartawan tak bergaji, hanya dibekali kartu pers, sehingga amplop menjadi tujuan utama. Kondisi macam itulah yang membuat banyak wartawan lain yang tak terimbas "kultur amplop" mengeluhkan ulah para wartawan bodrex tadi lantaran tindakan mereka itu membuat profesi wartawan menjadi cemar.

Ada pertanyaan sederhana tapi mendasar: apa definisi amplop bagi wartawan? Tindakan macam apa yang disebut amplop serta tindakan apa pula yang bukan amplop? Bagaimana jika narasumber tidak memberikan uang di dalam amplop, melainkan mentransfernya melalui rekening wartawan? Bagaimana pula jika yang diberikan narasumber bukan uang, melainkan barang? Pemberian alat masak saat peluncuran produk kompor listrik dapat disebut amplop ataukah bukan? Bagaimana pula dengan pemberian lukisan untuk wartawan yang menulis resensi atau pemberitaan saat pameran lukisan? Bagaimana perspektif wartawan sendiri terhadap tindakan para narasumber tersebut?

Pertanyaan-pertanyaan itu yang coba dijawab dalam survei ini. Survei tak dimaksudkan untuk melihat bagaimana praktik amplopisme dalam media, tapi lebih dikhususkan pada persepsi wartawan terhadap kultur amplop itu.

Dari berbagai media terbitan Jakarta, dipilih 20 media, dengan mempertimbangkan tingkat pembaca atau pemirsa tertinggi. Dasar datanya dari lembaga AC Nielsen. Media terpilih meliputi suratkabar harian (10 buah), majalah berita (empat buah), dotcom (dua buah), dan televisi (empat buah). Radio tak disertakan dalam survei ini karena AC Nielsen tak memperingkat program berita radio (peringkat hanya stasiun radio secara keseluruhan). Keduapuluh media itu adalah: Berita Kota, Bisnis Indonesia, Harian Terbit, Kompas, Media Indonesia, Pos Kota, Rakyat Merdeka, Republika, Sinar Pagi, Suara Pembaruan, Forum Keadilan, Gamma, Gatra, Tempo, Detik.com, Satunet.com, Anteve, RCTI, SCTV, dan TPI.

Pasti muncul pertanyaan: dengan mengambil sampel media besar, bukankah survei hanya akan menyertakan media besar dan mengesampingkan media kecil yang selama ini sering dituding lebih banyak menampung wartawan amplop? Jawaban saya, justru karena media besar, sampel dalam survei ini bisa dianggap menyertakan media mainstream. Ini sekaligus menjawab berbagai kritik terhadap wartawan amplop. Saya sering mendengar dari wartawan media besar yang mengatakan, wartawan amplop tak menggambarkan wartawan Indonesia. Kilahnya, mereka berasal dari koran yang tak berpengaruh, bahkan tak punya media. Dari sinilah saya justru ingin mendapatkan jawaban: benarkah amplop hanya fenomena media kecil?

Dari 20 media, sampel diambil secara merata sebanyak 15 orang untuk masing-masing media. Sampel diambil dengan menggunakan teknik kuota (quota sampling). Dari tiap media diambil sebanyak 15 orang wartawan (10 orang kategori reporter dan lima kategori redaktur). Sebelumnya, direncanakan untuk memakai sampel acak (random sampling). Namun ketiadaan kerangka sampel, misalnya kalau di Washington D.C. ada semacam buku yang memuat daftar nama semua wartawan di ibukota Amerika Serikat itu, menyebabkan metode ini sukar dilakukan. Keterbatasan ini diatasi dengan memilih secara hati-hati dan memberikan batasan yang ketat atas wartawan yang akan diwawancarai dan disertakan dalam survei. Karena tak memakai sampel acak, survei ini memang tak mewakili pendapat wartawan Jakarta yang beragam. Tapi paling tidak, ia menggambarkan secara kasar, bagaimana wartawan Jakarta terutama dari media besar, menilai amplop.

Wawancara dilakukan secara langsung tatap muka, sejak 20 Januari hingga 2 Februari 2002. Dari 300 responden, 240 orang berhasil diwawancarai: 67,3 persen reporter dan fotografer; sisanya, redaktur dan redaktur pelaksana.

KATA "amplop" memang tidak tertera dalam berbagai kode etik wartawan di Indonesia. Kata yang dipakai adalah suap atau sogokan. Dalam pasal 5 dari Kode Etik Wartawan Indonesia, yang disusun 26 organisasi wartawan pada sebuah pertemuan di Bandung pada 1999, disebutkan, "Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi." Uraian lebih rinci terdapat dalam kode etik AJI, salah satu organisasi yang ikut pertemuan Bandung itu. Dalam pasal 14 kode etik AJI disebutkan, "Jurnalis tidak dibenarkan menerima sogokan." Dalam penjelasannya, yang dimaksud sogokan adalah semua bentuk pemberian berupa uang, barang, atau fasilitas lain yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi jurnalis dalam melakukan kerja jurnalistik. Meskipun dalam kode etik AJI ada usaha untuk membuat rincian, tetap saja belum benar-benar jelas apa definisi suap.

Dalam survei ini ditemukan perbedaan pandangan di antara wartawan tentang definisi suap atau amplop. Ada kesan kuat yang tertangkap bahwa suap atau sogokan itu hanya pemberian yang bentuknya uang. Ketika responden ditanya apakah pemberian sejumlah uang oleh narasumber masuk kategori suap, sebagian besar (79,2 persen) menyatakan "ya." Jadi hampir 80 persen wartawan-wartawan ini menolak amplop dalam bentuk uang. Ketika pertanyaan dilanjutkan dengan apakah pemberian bingkisan/barang dapat dikategorikan sebagai suap, proporsi yang menjawab "ya" turun jadi 53,1 persen. Jawaban permisif makin tinggi untuk pertanyaan yang berhubungan dengan fasilitas yang diberikan narasumber.

Ketika ditanyakan apakah narasumber memberikan fasilitas akomodasi untuk liputan jurnalistik bisa dianggap amplop, sebagian besar (53,8 persen) menjawab "tidak." Hal yang sama, ketika ditanyakan untuk tiket perjalanan, sebagian besar (50,2 persen) juga menjawab "bukan" kategori sogokan. Jamuan makan yang diberikan narasumber, oleh sebagian besar responden (57,7 persen), juga tidak dikategorikan sebagai suap atau sogokan.

Menurut penilaian Anda, apakah tindakan yang dilakukan narasumber berikut dapat dikategorikan sebagai sogokan/suap?

Uraian

Ya

(%)

Tidak

(%)

Ragu-ragu (%)

Tidak tahu/

Tidak menjawab

(%)

Narasumber memberikan sejumlah uang

79,2

7,9

6,2

6,7

Narasumber memberikan bingkisan barang

53,1

25,9

15,5

5,4

Narasumber memberikan tiket perjalanan untuk liputan wartawan

23,6

50,2

17

9,1

Narasumber memberikan fasilitas akomodasi (makan, akomodasi) untuk liputan wartawan

22,1

53,8

15,4

8,8

Narasumber mentraktir makan

21,7

57,7

13,8

6,7

Narasumber memberi tumpangan kendaraan

12,2

79,2

7,2

8,6

Bagi banyak wartawan, pengertian suap melulu didefinisikan soal uang. Kenapa? Barangkali uang atau barang merupakan pemberian yang terlihat dan ada wujud konkretnya. Sebaliknya, pemberian tiket perjalanan atau pemberian fasilitas akomodasi tiada wujud fisiknya. Hal ini pula yang mendasari sebagian besar responden menganggapnya sebagai bukan suap atau sogokan. Di sini terjadi inkonsistensi jawaban. Bukankah tiket perjalanan atau akomodasi tersebut tetap mempunyai nilai kalau diuangkan?

Tiadanya batasan yang jelas perihal amplop ini kemungkinan juga karena tiadanya aturan yang tegas di perusahaan media. Media besar umumnya membuat aturan melarang wartawannya menerima pemberian dari narasumber yang bisa mempengaruhi pemberitaan. Tapi pemberian yang mana? Apakah semua pemberian narasumber harus ditolak? Pemberian mana yang bisa dibenarkan dan mana yang tidak? Macam mana pula batasan pemberian yang bisa mempengaruhi pemberitaan? Bagaimana jika pemberian itu ternyata tidak mempengaruhi pemberitaan?

Menurut Anda, apakah tindakan narasumber berikut ini bisa mempengaruhi independensi wartawan ketika menulis berita?

Uraian

Ya

(%)

Tidak

(%)

Ragu-ragu (%)

Tidak tahu/

tidak menjawab (%)

Narasumber memberikan sejumlah uang

75,1

17,8

2,9

4,1

Narasumber memberikan bingkisan barang

49,6

35,1

8,7

6,6

Narasumber memberikan tiket perjalanan untuk liputan wartawan

30,8

50,8

10,8

7,5

Narasumber memberikan fasilitas akomodasi (makan, akomodasi) untuk liputan wartawan

29,9

51

11,6

7,5

Narasumber mentraktir makan

17,3

59

17,3

6,3

Narasumber memberi tumpangan kendaraan

16,2

69,7

5,8

8,3

Mari kita lihat kode etik masing-masing perusahaan media. Di harian Jawa Pos misalnya. Pada 1998, harian ini membuat kode etik dan salah satu aturannya adalah larangan menerima amplop. Pasal 6 kode etik wartawan Kelompok Jawa Pos mengatakan, "Wartawan Kelompok Jawa Pos tidak menerima pemberian dalam bentuk uang, barang atau material lainnya yang bertujuan mempengaruhi tulisan/artikel/gambar/foto yang disiarkan."

Meski terlihat tegas, kode etik ini tak menjelaskan aturan baku soal apakah barang bisa diterima atau tidak, apakah cinderamata bisa diterima atau tidak, dan kalau bisa diterima, berapa ambang nilainya?

Jika amplop adalah uang, media besar terbitan Jakarta kebanyakan menolaknya. Kebijakan ini sering kali diumumkan lewat media mereka bahwa wartawan mereka tak diizinkan menerima uang atau imbalan dari narasumber. Harian Kompas misalnya mencantumkan kalimat di bawah masthead, "Wartawan Kompas selalu dibekali tanda pengenal, dan tidak diperkenankan menerima/meminta apa pun dari narasumber." Ini bertolak belakang dengan media kecil yang integritasnya kurang jelas yang umumnya memberi ruang kepada wartawannya untuk menerima suap. Banyak media yang menerapkan kebijakan tegas. Tidak ada toleransi kalau wartawannya kedapatan menerima amplop. Bila terbukti, wartawan bisa dipecat. Di SCTV misalnya, menurut Don Bosco Selamun, wakil pemimpin redaksi pemberitaan SCTV, sejak 1999, sudah ada tiga wartawan SCTV yang diberhentikan karena terbukti menerima amplop. Di stasiun televisi, karena kalau meliput harus bertiga (reporter, kamerawan, dan pengemudi), sistem saling mengawasi bisa dijalankan sehingga lebih sulit buat nakal.

LAIN uang, lain barang, ternyata. Untuk pemberian barang, ada perbedaan aturan. Di majalah Tempo, dan ini yang paling jelas aturannya, pemberian barang diberi patokan. Yang bisa diterima adalah pemberian barang di bawah Rp 50 ribu. Pemberian barang di atas angka itu tak bisa ditoleransi. Meski bisa diterima, pemberian di bawah Rp 50 ribu pun tetap harus dilaporkan ke sekretaris redaksi untuk dicatat. Menurut Toriq Hadad, redaktur eksekutif Tempo, batas nominal itu dibuat untuk memberi rambu yang jelas pada wartawannya. "Berbeda dengan uang, ada kalanya barang itu hanya berupa suvenir saja -seperti kaos, topi, buku atau alat tulis. Wartawan sering kali dihadapkan pada situasi tidak enak menolak- untuk menjaga hubungan baik dengan narasumber. Tetapi suvenir itu juga harus masuk akal. Kalau harganya mahal, tetap harus ditolak. Batas nominal itu memberi batasan mana suvenir yang wajar dan tidak wajar," kata Hadad.

Di majalah Gamma, batasan nilai nominal untuk barang tak ada. Menurut Kemala Atmojo, penanggung jawab redaksi Gamma, tak ada aturan barang mana yang boleh dan tak boleh diterima, dan berapa pula nilai barang yang bisa diterima. Hanya, katanya, boleh tidaknya pemberian barang diterima disesuaikan dengan konteks liputan yang dilakukan wartawan. Jika barang tersebut diberikan saat konferensi pers atau peluncuran sebuah produk, bisa diterima. Yang tidak bisa diterima adalah barang yang diberikan narasumber yang sedang diwawancarai secara khusus oleh Gamma.

Apakah dapat dibenarkan kalau wartawan menerima uang, barang atau fasilitas tertentu dari narasumber dalam situasi sebagai berikut?

Uraian

Bisa dibenarkan (%)

Tidak bisa dibenarkan (%)

Ragu-ragu (%)

Tidak tahu/

tidak menjawab (%)

Gaji wartawan rendah, tidak mencukupi kebutuhan

21,3

67,5

4,6

6,7

Tidak ada aturan/larangan dari media tempat wartawan bekerja mengenai pemberian uang/barang

26,6

61

7,5

Uang/barang pemberian narasumber nilainya kecil

6,6

83

3,3

Uang/barang tersebut tidak mengikat: tidak ada keharusan peristiwa/narasumber ditulis wartawan

29,1

57,8

7,2

5,9

Berita tidak berkaitan dengan narasumber yang memberi uang/barang

32

49

12,4

6,6

Narasumber tidak mempunyai motif khusus agar komentarnya dimuat media

31,5

51,5

9,5

7,5

Narasumber memaksa memberi uang/barang. Bukan wartawan yang meminta

23,8

60

8,3

7,9

Wartawan yakin bisa menjaga independensi terhadap narasumber

39,5

30,2

24,1

6,2

Wartawan yakin bisa mengambil jarak, tidak menjadi corong narasumber

43,3

40

10

6,7

Wartawan yakin bisa menampilkan berita yang berimbang, dua sisi

46,5

38,5

9,6

5,4

"Motivasi pemberian barang pasti berbeda. Saat konferensi pers, barang itu diberikan hanya sekadar mengenalkan produk, dan nilainya pasti tidak besar. Sementara barang yang diberikan narasumber saat wawancara, pasti narasumber punya motivasi khusus. Kalau demikian, pemberian barang itu harus ditolak," kata Atmojo.

Di RCTI juga belum ada batasannya. Menurut wakil pemimpin redaksi RCTI Atmadji Sumarkidjo, mereka tak mengharuskan pemberian barang dicatat atau dilaporkan ke redaksi. Pemberian barang, asal wajar, tak dianggap sebagai amplop. Bagaimana menghindari wartawan yang nakal? RCTI menerapkan aturan: wartawan hanya boleh datang ke suatu acara dengan persetujuan koordinator liputan. "Acara peluncuran produk atau acara sejenis hanya bisa dihadiri wartawan setelah mendapat penugasan dari koordinator liputan. Kebanyakan acara yang banyak amplopnya dan menyediakan barang berharga justru sering kali peristiwa yang tidak layak berita, seperti acara rapat umum pemegang saham atau peluncuran produk baru," ujar Sumarkidjo.

Meski tidak memberi aturan tegas, mekanisme semacam itu, menurut Sumarkidjo, tergolong efektif. "Ketika kami tahu ada wartawan kami yang datang ke suatu acara yang bisa dikategorikan banyak amplopnya, padahal wartawan itu tidak ditugaskan oleh koordinator liputan, kami bisa mencurigainya," tambah Sumarkidjo.

Media terbitan Jakarta mempunyai kebijakan yang berbeda atas fasilitas akomodasi dan tiket perjalanan yang disediakan sumber. Majalah Tempo, menurut Toriq Hadad, akan mempertimbangkan terlebih dahulu undangan perjalanan. Kalau redaksi menganggap undangan tersebut penting dan layak berita, Tempo akan mengirim wartawan. Sebagai konsekuensinya, Tempo menanggung biaya perjalanan dan akomodasi, termasuk uang saku wartawan. Harian Republika menerima uang perjalanan dan fasilitas akomodasi yang disediakan narasumber. Gamma juga tidak mempersoalkan fasilitas tiket perjalanan dan akomodasi yang disediakan sumber. Hanya, menurut Kemala Atmojo, undangan tersebut harus didiskusikan dan diputuskan terlebih dahulu dalam sidang redaksi. Keputusan ini, menurut Atmojo, untuk mengurangi bias. "Dengan mekanisme seperti itu pihak redaksi yang akan memilih dan memutuskan apakah undangan tersebut perlu diterima atau tidak," katanya. Aturan yang sama diterapkan di RCTI. Menurut Atmadji Sumarkidjo, RCTI menerima tiket transportasi dan akomodasi yang disediakan penyelenggara dan tidak mengganggapnya sebagai bentuk amplop. Hanya, seperti Gamma, acara itu diseleksi dan harus dianggap layak berita.

Bagaimana dengan aturan yang lebih detail, seperti jamuan atau traktir makan oleh narasumber? Di Tempo, untuk traktir makan yang sederhana bisa diterima. Tapi kalau traktir makan di restoran mewah, Tempo yang akan menanggungnya. Setiap wartawan dibekali dana lobi yang mencakup jamuan untuk sumber. Di Republika, traktir makan oleh narasumber diperbolehkan. Menurut Mustoffa Kamil Ridwan, wakil pemimpin redaksi Republika, traktir makan oleh narasumber tak mengganggu independensi wartawan. "Sebagian terbesar untuk menjaga itikad baik dan menjaga perasaan narasumber," kata Ridwan.

Soal aturan jamuan makan agak berbeda antara media cetak dengan televisi. Di SCTV, menurut Don Bosco Selamun, selama ini jarang ada undangan makan untuk wartawan atau kamerawan. Undangan biasanya ditujukan untuk produser atau manajer. "Kami datang untuk mendapatkan latar belakang persoalan. Ini beda dengan cetak. Kalau orang memberi background pada saya, itu tak berarti apa-apa, karena tak ada kamera. Kalau di media cetak, saya bisa menulis sesuai dengan background yang diberikan pada saya. Kalau di televisi, kami diundang makan siang, tidak ada soundbite yang kita ambil. Tak ada kamera. Berita duduk-duduk itu tak terlalu penting buat audio visual. Saya enam tahun di sini, saya jarang dengar reporter diundang makan siang," katanya.

ROSIHAN Anwar, seorang wartawan senior, pada 1957 pernah bercanda dengan Kafrawi, sekretaris jenderal kementerian agama. "Kafrawi, apakah Anda bisa memberi saya kesempatan naik haji ke Mekah?" tanya Rosihan Anwar dengan nada bercanda. Permintaan itu ternyata dikabulkan Kafrawi dengan memberi ongkos perjalanan gratis ke Arab Saudi. Rosihan menanggung biaya makan selama menunaikan haji.

Cerita soal Rosihan Anwar sekadar contoh bahwa wartawan bisa dengan mudah mendapatkan fasilitas. Kedekatan wartawan dengan narasumber -dari pejabat, artis, hingga pengusaha- sering kali berbuntut pada berbagai kemudahan yang bisa diterima wartawan. Peresmian suatu proyek atau pabrik, atau peluncuran produk baru, selalu mengundang wartawan. Kunjungan pejabat ke luar negeri tidak pas kalau tidak menyertakan wartawan. Fasilitas berupa ongkos perjalanan dan akomodasi biasanya disediakan secara gratis untuk wartawan.

Amplop bisa mempengaruhi independensi wartawan. Wartawan bisa menulis secara berimbang jika independen terhadap sumber yang ia tulis. Amplop membuat wartawan bergantung dengan sumber berita. Apalagi bagi orang Indonesia yang menyimpan sifat sungkan: pemberian membuat wartawan enggan untuk menulis hal-hal buruk mengenai narasumber. Liputan wartawan dengan biaya dari sumber, ditraktir makan sumber, sedikit banyak akan membuat wartawan sungkan terhadap sumber. Menarik melihat bagaimana wartawan memaknai pemberian uang atau barang atau fasilitas tersebut dihubungkan dengan independensinya dalam menulis berita.

Dari survei ini ternyata tak semua pemberian uang dan sejenisnya dianggap mempengaruhi independensi wartawan. Ketika responden ditanya apakah pemberian uang dari narasumber bisa mempengaruhi independensi, sebagian besar (75,1 persen) menjawab "ya." Tapi ketika ditanya apakah pemberian barang bisa mempengaruhi independensi wartawan, proporsi yang menjawab "ya" sudah berkurang jadi 49,6 persen. Sebagian yang lain (35,1 persen) menyatakan pemberian barang tak mempengaruhi independensi wartawan.

Yang menarik adalah persepsi wartawan yang ditanya soal independensinya saat menerima fasilitas yang diberikan narasumber. Sebagian besar responden menilai jamuan makan dan fasilitas akomodasi serta tiket perjalanan yang diberikan narasumber, tak mempengaruhi independensi mereka ketika meliput peristiwa. Di sini terlihat bahwa responden hanya menilai pemberian uang yang bisa mempengaruhi pemberitaan. Sementara fasilitas liputan yang diberikan -seperti akomodasi, uang makan, atau biaya transportasi- dianggap tak berpengaruh pada independensi wartawan.

Menanggapi hasil survei ini, sekretaris jenderal Aliansi Jurnalis Independen Solahudin menilai selama ini ada persepsi yang keliru tentang amplop. Semua bentuk pemberian narasumber dengan maksud mempengaruhi pemberitaan, mestinya termasuk dalam kategori amplop. Pemberian, kata Solahudin, tak hanya dalam bentuk uang, tapi juga barang, serta berbagai fasilitas dan kemudahan yang diberikan sumber pada wartawan. "AJI selama ini sudah gencar mengampanyekan amplop. Kita akan terus mengampanyekan bahwa amplop itu bukan melulu uang," kata Solahudin. Tanggapan yang sama diberikan ketua Persatuan Wartawan Indonesia Tarman Azzam. Bagi Tarman, semua bentuk pemberian yang tujuannya mengganggu independensi adalah amplop.

Menurut ketua Dewan Pers Atmakusumah Astraatmadja, semua pemberian dan fasilitas yang diberikan narasumber bisa dikategorikan sebagai amplop. Semua pemberian tersebut, kecil atau besar, menghilangkan independensi wartawan. "Bentuk amplop saat ini memang beragam dan bervariasi dibandingkan 1950-an dulu. Amplop bukan hanya berupa uang yang dimasukkan amplop. Ini yang sering tidak disadari wartawan," kata Astraatmadja.

Ini termasuk ditraktir narasumber, diberi fasilitas, biaya transpor dan akomodasi yang disediakan oleh narasumber. Bahkan, menurut Astraatmadja, tiket gratis tanda masuk nonton film atau teater, yang dipakai wartawan untuk menulis resensi, bisa juga dikategorikan amplop. Berbagai jenis rabat atau potongan dari perusahaan juga bisa dikategorikan sebagai amplop. Hanya karena nilainya kecil, sering kali tak disadari oleh wartawan. Pemberian sekecil apa pun bisa merusak independensi wartawan. "Amplop itu tingkatannya memang banyak. Semuanya harus dilawan. Meskipun prioritas utama adalah amplop dalam bentuk uang " kata Astraatmadja.

BANYAK alasan yang sering disampaikan wartawan yang menerima amplop. Sering kali dikatakan, amplop itu kondisi yang bisa diterima kalau gaji wartawan tidak mencukupi. Argumentasi ini sering kali keluar dari wartawan dengan gaji pas-pasan. Sederhananya, mereka seolah ingin mengatakan, "Saya sebetulnya tidak ingin menerima amplop, tapi bagaimana lagi kalau gaji pas-pasan ….."

Karenanya, amplop semata dilihat sebagai akibat dari tingkat kesejahteraan yang buruk. Meski tampak masuk akal, argumentasi ini keliru. Bukankah gaji kecil merupakan risiko profesi? Lagi pula, bukankah gaji kecil bukan semata monopoli wartawan? Gaji pegawai negeri, tentara, polisi, jaksa, hakim atau juga kecil? Bukankah dengan logika kecilnya gaji ini nantinya orang membiarkan -bahkan menyokong- pegawai negeri, hakim, polisi atau tentara yang minta uang?

Pembenar lain yang sering saya dengar, amplop dibolehkan jika berita yang ditulis wartawan tak bersangkut-paut dengan narasumber. Pemberian barang saat peluncuran produk baru dari suatu perusahaan bisa diterima, toh berita itu tak akan ditulis. Tak ada yang dirugikan dari tindakan menerima barang tersebut. Masyarakat tak dirugikan, berita juga tak bias, karena tidak ditulis. Sumber pun tidak mengharuskan agar peristiwa tersebut ditulis. Argumentasi ini juga mudah dipatahkan. Kalau memang wartawan tak hendak menulis berita yang berhubungan dengan peluncuran produk baru tersebut, kenapa pula wartawan harus menghadiri acara itu serta menerima amplopnya? Bagaimana bila kelak ia harus menulis produk tersebut? Bagaimana citranya di mata perusahaan?

Saya juga kerap mendengar pembenar lain: amplop bisa diterima asal wartawan tetap menjaga independensinya. Yang tak diperbolehkan adalah amplop yang berpengaruh terhadap pemberitaan. Kalau wartawan bisa menjaga jarak terhadap narasumber, tak menjadi corong narasumber, amplop bisa saja diterima. Agak mirip dengan pembenar ini adalah amplop boleh diterima asal wartawan bisa menulis berita secara fair dan berimbang. Wartawan yang tak menerima amplop belum tentu bisa menulis berita fair dan berimbang. Saya sering mendengar guyonan ini, "Nggak apa-apa kita terima amplopnya, tapi nanti ketika menulis berita, kalau perlu kita sikat." Sebuah guyonan yang tampak gagah, seakan ingin mengatakan, "Kita tipu saja sumber, kita pura-pura tunduk!"

Banyak alasan pembenar lain yang dikemukakan pihak yang pro-amplop. Secara umum mereka ingin mengatakan, ada saatnya amplop tak bisa dihindari. Saya ingin menguji berbagai pembenar tersebut dengan menanyakan kepada responden: apakah pemberian uang/barang/fasilitas bisa dibenarkan dalam kondisi tertentu? Ada 10 kondisi yang ditanyakan kepada responden, dari sini bisa dilihat apakah jawaban responden konsisten atau tidak dalam menolak amplop.

Survei menunjukkan inkonsistensi responden dalam menolak pemberian narasumber. Wartawan tak bersifat total dalam menolak pemberian uang, fasilitas, atau barang dari narasumber. Responden masih bisa menerima pemberian narasumber dalam kondisi tertentu. Responden menilai pemberian uang/barang/fasilitas "tidak bisa" dibenarkan meski gaji wartawan kecil (67,5 persen). Hasil yang mengejutkan, karena selama ini justru gaji yang sering dikemukakan sebagai alasan diperbolehkannya amplop. Tapi hasil ini harus dilihat dari latar belakang responden. Survei ini hanya menyertakan wartawan media besar di Jakarta, yang gaji dan kesejahteraannya, relatif lebih baik ketimbang wartawan yang bekerja di media kecil dan kurang jelas integritasnya.

Responden juga menolak amplop meski tak ada aturan yang tegas dalam perusahaan (61 persen) atau meski pemberian narasumber nilainya kecil (83 persen). Tingkat penolakan responden pada item tersebut cukup tinggi.

Tetapi tingkat penolakan berkurang ketika disodori pertanyaan apakah amplop masih bisa dibenarkan kalau wartawan bisa menjaga independensinya. Ternyata wartawan menilai pemberian narasumber bisa dibenarkan (39,5 persen), lebih besar dari responden yang menilai tidak bisa dibenarkan (30,2 persen). Ketika responden ditanya apakah amplop masih bisa dibenarkan kalau wartawan bisa mengambil jarak dan tidak menjadi corong narasumber. Hasilnya, responden menilai bisa dibenarkan (43,3 persen). Persentase jawaban ini lebih besar dibandingkan dengan responden yang menjawab "tidak bisa" dibenarkan (40 persen). Hal yang menarik dari survei ini, responden juga cenderung bisa menerima amplop kalau wartawan yakin bisa menulis dari dua sisi. Responden yang ditanya dalam survei ini banyak yang berpendapat, kalau memang wartawan bisa menulis berita secara fair, menerima amplop sah-sah saja.*

by:Eriyanto