Atap, Jendela, dan Pintu

Indri Cristianty

Mon, 1 April 2002

JAM masih menunjukkan pukul enam sore. Malam itu, Sabtu, 16 Februari 2002, novelis Fira Basuki datang ke toko buku Gramedia Istana Plasa, Bandung, untuk berdiskusi.

JAM masih menunjukkan pukul enam sore. Malam itu, Sabtu, 16 Februari 2002, novelis Fira Basuki datang ke toko buku Gramedia Istana Plasa, Bandung, untuk berdiskusi. Sebelumnya ia mampir di sebuah sekolah di kota yang sama. Keesokan harinya, pukul dua siang, Fira hadir juga di acara serupa di sebuah pusat perbelanjaan besar di Bandung.

Dua hari itu Fira sengaja datang dari Singapura untuk mengobrol soal novel terbarunya yang bertitel Atap. Sebelumnya Fira menulis novel Jendela-jendela dan Pintu. Fira menghasilkan sebuah karya trilogi. Dimulai dengan novel pertamanya Jendela-jendela yang terbit Juli 2001, dilanjutkan Pintu, dan Atap, seluruhnya terbitan Gramedia.

Seperti melongok keluar atau mengintip jendela rumah orang lain, Jendela-jendela menceritakan kehidupan pasangan muda. Cerita mengalir dari mulut June yang memiliki latar belakang budaya Amerika, Singapura, dan Jawa. June berbagi cerita masa lalunya, teman-temannya, dan pengalaman lainnya.

Pertanyaan seperti mengapa kehidupan pernikahan tidak semudah yang diharapkan atau tidak seperti layaknya dalam negeri dongeng, sang putri dan pangeran impian hidup bahagia selama-lamanya? June mencari jawabannya.

Lain lagi dengan Pintu yang menceritakan kehidupan seorang pria yang memiliki mata ketiga atau indra keenam. Bowo, tokoh utama, mengajak pembaca mengikuti kehidupannya, mulai saat lahir hingga kini. Ia juga mengajak pembaca membuka berbagai pintu kehidupan. Bowo yang memiliki latar belakang budaya Jawa, berbagi cerita, mulai dari pengalaman spiritual hingga kehidupan percintaannya.

Trilogi ini semuanya menceritakan kehidupan dan problemanya di berbagai tempat seperti di Indonesia, Amerika Serikat, dan Singapura. Karakter utama, June dan Bowo, memiliki latar budaya Jawa yang kental, tapi uniknya juga terpengaruhi beberapa budaya asing.

Membaca ketiga novel itu baik secara berurutan atau tidak, pembaca akan menemukan hubungan satu dengan lainnya. Membaca satu novel, pembaca akan tetap menemukan cerita tersendiri yang terpisah. Fira mencoba mengupas berbagai sisi kehidupan manusia sehari-hari.

Fira menyebut novelnya trilogi. Awalnya ia ingin bikin satu novel saja tentang pengalaman seorang perempuan. Ide makin berkembang, jika hanya satu buku saja sangat tebal lagi membingungkan pembaca. Akhirnya dicetaklah jadi tiga buku.

Jendela-jendela ditulis ketika ia mengandung anaknya. Awal Februari 2002 Jendela-jendela dan Pintu memasuki cetakan ketiga, cetakan keduanya pada Desember 2001. Tiap kali cetak 3.000 eksemplar.

Fira lahir di Surabaya 7 Juni 1972. Sejak kecil ia senang menulis. Pendidikannya panjang. Selepas dari SMU Regina Pacis, Bogor, 1991, ia meneruskan studi antropologi, di Universitas Indonesia tapi tak tuntas. Setahun kemudian ia pindah ke Pittsburg, kuliah di komunikasi-jurnalisme, Pittsburg State University. Musim panas 1995 lulus dengan gelar bachelor of arts. Masih kurang, sepanjang musim panas yang terik hingga musim gugur 1995 ia meneruskan studi master di jurusan Communication Public Relation, di universitas yang sama. Selama musim semi hingga musim panas 1996 ia mengambil studi di bidang yang sama tapi di universitas yang berbeda: Wichita State University.

Menulis menjadi dunia Fira. Ia pernah bekerja di majalah Dewi dan menjadi kontributor pada beberapa media asing seperti Sunflower, Collegio, dan Morning Sun Kansas. Dunia siaran dirambahnya, sebagai anchor pada CAPS-3 TV, Pittsburg. Waktu senggangnya dihabiskan sebagai produser radio Singapore International dan di tengah kesibukannya menulis novel, ia bekerja juga buat majalah Harpper’s Bazaar Indonesia, majalah yang terbit di Singapura. Fira menikahi Palden Galang seorang pria keturunan Tibet-Filipina.

"Tiap hari ada saja pembeli dari anak SMP sampai kuliahan, terutama Jendela-jendela," ungkap Devi Prinadi, penjual buku di Palasari, Bandung.

"Bukunya bagus dan seru," ujar Utami Wedaringtyas, seorang mahasiswa.

Keinginan Fira satu. Ia ingin pembaca menganggap kehadiran ketiga novelnya sebagai fiksi semata.*

kembali keatas

by:Indri Cristianty