Asrul Sani

Sjamsoeir Arfie

Mon, 1 April 2002

ASRUL SANI menjulurkan tangan, bersalaman. Wajahnya ceria. Rambut, kumis, dan jambangnya memutih.

ASRUL SANI menjulurkan tangan, bersalaman. Wajahnya ceria. Rambut, kumis, dan jambangnya memutih. Penampilan Sani, ayah tiga pasang anak, dengan enam orang cucu, kelihatan jauh berwibawa ketimbang saat belum beruban.

Sani bersama istrinya, aktris film layar lebar dan sinetron Mutiara Sarumpaet alias Mutiara Sani, tinggal di perumahan elite kawasan Pasarminggu, Jakarta Selatan. Rumah itu ditata dengan cita rasa seni. Temaramnya sinar lampu, ditambah gemericik air pada taman buatan di ruang keluarga membawa penghuni atau tamu pada suasana penuh ketenangan. Di dinding bergantung beberapa lukisan. Pada dinding ruang keluarga bergantung dua foto warna ukuran besar, satu foto Sani, dan yang satu lagi istrinya, Mutiara.

Dan pada ruang keluarga yang satu lagi, berada di atas meja terdapat mesik ketik elektrik merek Remington. "Dengan mesin tik itu saya menulis skenario. Saya tidak bisa dan belum pernah mencoba mengetik dengan komputer. Sebetulnya menulis dengan tangan lebih bagus, rasanya antara kita sebagai penulis dengan kertas itu terdapat kontak batin khusus," ujarnya.

Ketika menulis puisi Sani mengandalkan tulisan tangan, sebab kata yang telah ditulis boleh saja dicoret diganti kata baru, atau kata yang telah dicoret boleh jadi dipakai lagi atau dicoret ulang.

Sani salah seorang di antara tiga penyair Angkatan 45. Selain itu ia dikenal sebagai penulis cerita pendek, esei, penterjemah dari banyak naskah drama kenamaan dunia, penulis skenario drama dan film. Juga dikenal sebagai sutradara panggung dan film. Pada usianya yang menginjak 75 tahun, Sani tak pernah diam, kini ia mengerjakan penulisan skenario Kejarlah Daku, pesanan sebuah perusahaan sinetron.

Sani, maestro di bidangnya. Film yang pertama kali disutradarainya Titian Serambut Dibelah Tudjuh (1959) memperoleh sambutan khalayak. Lalu, Apa yang Kaucari Palupi? memperoleh penghargaan film terbaik di Festival Film Asia 1970.

Sani biasa mengetik di ruang keluarga, hilir mudik istri, anak, dan cucunya tak menggangunya. Sani tak punya waktu dan tempat khusus untuk mencari inspirasi. Ia bisa menulis sepanjang waktu, kapan saja, kerap antara pukul delapan pagi hingga sebelas siang. Pagi-pagi, pukul lima ia bangun, kebiasaannya pagi itu membangunkan anak bungsunya yang masih sekolah.

Lalu, berolahraga, sepeda ruangan. Bergiat di luar rumah dianggapnya tak sehat, polusi udara sangat mengganggu pernafasannya, maklum semasa muda ia pecandu rokok.

Sani meraih Piala Citra enam kali. Beberapa kali sempat masuk nominasi, meski kalah. Dinominasikan saja sebuah karya seseorang saat itu menjadi pertanda yang sangat baik, apalagi kalau memenangi Piala Citra.

"Dramatologi karyanya kuat sekali. Kelemahannya kalau skenario yang dia tulis, disutradarai sendiri," kata S.M. Ardan, rekan seusia dan seprofesi Sani, yang kini memimpin Sinematek Indonesia, semacam pusat dokumentasi perfilman.

Sani berprinsip, karyanya tidak boleh dibongkar pasang seenaknya oleh sutradara dan produser. Meski begitu Sani masih bisa lentur dalam bersikap.

"Saya bisa maklum kalau terjadi perubahan di sana sini, sebab suasana yang tertuang dalam skenario jelas tidak sama dengan suasana di lapangan," tutur Sani.

Namun, sebuah adegan yang di dalam skenario terjadi di pegunungan lalu diubah ke pinggir pantai, itu sudah keterlaluan. Ia pernah protes karena peristiwa seperti ini.

"Cara pikir orang di pinggir laut lebih terbuka dibanding orang di pedesaan dekat pegunungan," lanjut Sani.

Pada kesempatan lain sosok dokter pendiam dan kurang suka bergaul mau diubah sutradara dengan sosok dokter penggemar olah raga terjun payung, ia juga protes. Dalam penilaiannya seseorang yang punya hobi terjun payung pasti pandai bergaul.

Terkadang Sani menghadapi kendala kalau skenario yang mau dia tulis berasal dari sebuah buku. Misalnya dalam film Di Bawah Lindungan Kabah, yang diadopsi dari buku yang berjudul sama karya Haji Abdul Malik Kariem Amroellah, lebih dikenal sebagai Buya Hamka.

"Buku itu lebih banyak berisi surat-menyurat, di situ letak kendalanya, akhirnya judul film diganti menjadi Perintis Kemerdekaan, dan dengan nama pelaku tetap sama," ucap Sani.

Masa lampau Sani penuh warna. Masa revolusi memimpin Tentara Pelajar di Bogor. Ia pernah menerbitkan suratkabar Suara Bogor, redaktur majalah kebudayaan Gema Suasana, anggota redaksi Gelanggang, ruang kebudayaan majalah Siasat, dan jadi wartawan pada majalah Zenith.

Ia mendirikan, memimpin, sekaligus mengajar di Akademi Teater Nasional Indonesia. Politik pun ia geluti, 1966 jadi wakil Nahdhatul Ulama di parlemen, 1971 di tempat sama duduk sebagai wakil Partai Persatuan Pembangunan.

"Saya berasal dari desa, daerah pertanian," tutur Sani, yang lahir 10 Juni 1927 di Rao Sumatra Barat.

Setamat Sekolah Rakyat di Rao, Sani menuju Jakarta, belajar di Sekolah Teknik, lalu masuk Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Ia sempat pindah ke fakultas sastra, tapi balik lagi ke jurusan semula, dan menyelesaikannya dengan menyandang titel dokter hewan.

Namun, pengalaman masa kecil di desa kelahirannya sangat membekas dalam sanubari Sani. Jiwa seni nampaknya lebih memanggilnya. Selama 1951-1952 ia belajar di Sekolah Seni Drama di negeri Belanda. Dari 1955-1957 memperdalam bidang sama pada University of South California, Amerika Serikat.

"Di hari tua ini saya hanya menulis skenario dan membantu istri," kata Sani, membantu sang istri yang sibuk mengelola perusahaan taksi Mutiara di Padang, Sumatra Barat, dengan armada lebih dari 100 buah taksi.*

kembali keatas

by:Sjamsoeir Arfie