The Insider

Sutradara: Michael Mann

Produser: Michael Mann dan Pieter Jan Brugge

Skenario: Eric Roth dan Michael Mann

Fotografi: Dante Spinotti

Editor: William Goldenberg, Paul Rubell, David Ronsenbloom

Musik: Lisa Gerrad dan Pieter Bourke

Pemain: Al Pacino, Russel Crowe, Chrisopher Plummer

Produksi: 1999


JEFFREY Wigand berseru, “Gugat para bajingan itu ke pengadilan!”

Wigand adalah mantan kepala riset dan pengembangan Brown and Williamson Tobacco Corporation (B&W) –perusahaan rokok nomor tiga terbesar di Amerika Serikat. Wigand menyatakan itu sebagai respon atas pertanyaan seorang mahasiswa tentang perlu tidaknya menuntut perusahaan rokok atas kematian anggota keluarganya, seorang perokok.

Malam itu, di Harlen Adams Theatre California State University (CSU), Wigand hadir sebagai tamu North Valley Tobacco Prevention Center dan CSU, Chico School of Nursing. Wigand sudah menginjak usia 57 tahun, rambutnya sudah putih seperti salju, tapi lehernya masih menunjukkan sisa-sisa otot keras sebagai mantan atlet judo. Seperti yang dilaporkan majalah CSU Chico Inside edisi 30 Maret 2000, malam itu Wigand berbicara mengenai pentingnya pendidikan bahaya rokok kepada generasi muda.

Meskipun 85 persen perokok mulai merokok di usia 18 tahun, perusahaan rokok juga mendekati anak-anak di bawah usai dewasa sebagai calon konsumen. “Sejak usia enam tahun anak-anak sudah tahu tentang rokok,” kata Wigand. Selanjutnya, katanya, “30 persen anak-anak usia tiga tahun lebih mengenal Joe Camel dibanding Ronald McDonald.” Joe Camel adalah merk rokok yang terkenal di Amerika Serikat dan Ronald McDonald merupakan maskot dari restoran McDonald.

Wigand menyerukan agar orang-orang yang hadir di Harlen Adams Theatre itu mencari tahu akan dikemanakan dana ganti rugi 22 miliar dollar yang diterima Negara Bagian California dari perusahaan rokok.

“Pendidikan harus diberikan sejak dini kalau kita ingin melindungi anak-anak kita dari pengaruh iklan rokok. Ini adalah sebuah pertempuran. Industri rokok telah menghabiskan banyak uang untuk membersihkan citra mereka,” kata Wigand berapi-api. Wigand meneruskan, “ Jutaan dolar dihabiskan untuk public relations, tapi apakah itu semua memberi mereka izin untuk membunuh 200.000 nyawa setiap tahun?”

Wigand menjadi perhatian tidak hanya karena pidatonya tapi juga karena kehidupannya telah menjadi subjek film The Insider –yang mendapat tujuh nominasi untuk Academy Awards. Di sisi lain Wigand belum bisa hidup tenang karena dia merasa perjuangannya belum selesai.

Kurang lebih 10 tahun sudah Wigand, anak-anaknya, dan pengacaranya menerima teror, mulai dari pembunuhan, penyadapan, pembobolan rumah, serta ancaman penjara akibat kesaksiannya di pengadilan tentang kejahatan perusahaan tempatnya pernah bekerja. Menghadapi itu Wigand sadar bahwa dia sudah memasuki “point of no return.” Dia pun berkata, “Saya harus tetap melawan.”

“Hanya ini satu-satunya cara agar kita bisa membuat semua orang tahu,” katanya penuh semangat.

JEFFREY Wigand lahir dan besar dalam komunitas Katolik di Bronx, New York. Ketika remaja, keluarganya pindah ke Pleasant Valley, sebuah kota kecil di utara New York. Ketika sedang belajar di Dutchess Community College di New York, Wigand menghabiskan banyak waktunya di laboratorium mempelajari kimia dan biologi dengan harapan bisa melanjutkan studi kedokteran. Jalan hidupnya malah membuatnya keluar dari college; dia melamar ke Angkatan Udara. Kepada Marie Brenner dari Vanity Fair, Wigand berkata, “ Ini pemberontakan saya yang pertama.”

Tahun 1961, Wigand di kirim ke Misawa, tempat pangkalan militer Amerika Serikat di Jepang. Tidak lama, dia kemudian dikirim ke Vietnam. Kembali ke Amerika Serikat, dia melanjutkan studi dan meraih gelar master dengan tesis tentang Vitamin B12, kemudian meraih gelar doktor di bidang biokimia dari State University of New York di Buffalo.

Ketika harus cerai dari istri pertama, Wigand menemukan pasangan baru dan dari pernikahan keduanya, dia mempunyai anak. Kariernya berpindah-pindah dari perusahaan yang satu ke perusahaan yang lain, tapi dia selalu mendapatkan gaji yang layak.

Dari sekian banyak tempat kerja, Johnson & Johnson merupakan tempat yang paling membekas baginya. Ketika bekerja di Johson & Johnson pada 1982, direktur utama James Burke memutuskan untuk menarik semua produk Tylenol dari pasaran setelah produk itu diketahui beracun.

Suatu hari, 1988, Wigand didatangi sebuah biro penyalur pekerjaan yang menanyakan minatnya untuk bekerja buat perusahaan rokok Brown & Williamson. Dalam tulisan Marie Brenner, “ The Man Who Knew Too Much,” yang dipublikasikan majalah Vanity Fair edisi Mei 1996, Wigand menceritakan bahwa dia menanggapi tawaran itu dan bertemu dengan Alan Heard, kepala riset dan pengembangan BAT (British American Tobacco) Industries, sebuah konglomerasi dengan keuntungan 3 miliar US dollar per tahun, dan konglomerasi ini dikuasai oleh B&W. Heard mengatakan, dia ingin mengembangkan sebuah produk baru yang bisa berkompetisi dengan rokok Premierre produksi RJ Reynolds Tobacco Company (RJR) yang mempunyai kadar nikotin rendah. Tawaran ini pun langsung disambut Wigand dan dia memperoleh gaji sebesar 300.000 US dollar per tahun, dengan anggaran sebesar 30 miliar US dollar dan 243 orang staf. “Saya berpikir bahwa saya mempunyai kesempatan untuk membuat rokok yang lebih aman,” kata Wigand kepada Vanity Fair.

Tiga bulan setelah bekerja di B&W, RJR menarik Premiere dari pasaran karena rasanya tak disukai perokok. Tetapi Wigand tak pernah melihat fenomena itu sebagai tanda-tanda bahwa dia sudah masuk ke dalam perangkat B&W. Wigand terus bekerja keras di B&W sebagai sosok yang ambisius dan haus uang.

Hampir setahun bekerja di B&W, Wigand mulai merasakan ada banyak hal yang dirahasiakan. Saat pertemuan para peneliti BAT di Vancouver, Wigand melihat laporan tentang “peningkatan aktivitas biologis.” Di kemudian hari diketahui bahwa kalimat itu merupakan kode untuk kanker dan penyakit-penyakit lainnya. Sepulang dari Vancouver, dia mulai mendengar nama-nama misterius saat acara makan malam perusahaan: “Ariel dan Hippo.” Belakangan Wigand mengetahui bahwa “Ariel dan Hippo” merupakan kode untuk hasil studi tentang nikotin yang dilakukan BAT di Swiss pada 1970.

Konflik terbuka muncul ketika dia mengkritik produk B&W berupa tembakau bubuk yang diolah berbentuk permen (snuff). Wigand menemukan bahwa snuff mempunyai masalah fermentasi bakteri. Persoalannya, menurutnya, dikarenakan proses fermentasi tidak dilakukan dengan sempurna. Akibatnya, bubuk tembakau tersebut sudah dipenuhi bakteri begitu selesai dikemas.

Wigand berpikir tak ada rasa tanggung jawab perusahaan terhadap generasi muda, karena snuff dipasarkan kepada anak-anak. Wigand semakin meradang karena Thomas Sandefur, putra mahkota B&W, mengatakan, “Kita harus memperhatikan para calon perokok; kalau Anda tidak mendapatkan mereka sebelum usia 18, Anda akan kehilangan konsumen.”

Snuff merupakan produk B&W yang berada di bawah pengawasan Sandefur.

Wigand semakin berang ketika membaca The Journal of the Americal Medical Association yang mempublikasikan: tiga juta orang Amerika di bawah usia 18 tahun menghabiskan satu miliar bungkus rokok dan 26 juta kontainer snuff setiap tahunnya. Diperkirakan, seseorang mulai merokok pada usia 14 tahun.

WIGAND mulai jadi topik pembicaraan dalam rapat-rapat perusahaan dan Thomas Sandefur adalah orang yang paling tak suka terhadap suara-suara vokalnya. Puncaknya ketika Wigand membaca laporan National Toxicology Program yang menguraikan coumarin, sebuah zat yang berasal dari kacang almond yang biasa dipakai untuk membuat sabun atau parfum. Dari penelitian mendalam ditemukan bukti-bukti bahwa coumarin mengandung zat beracun yang bisa menimbulkan kanker. Komposisi coumarin ini hampir sama dengan komposisi yang terdapat pada racun tikus.

“Kita harus segera membuang zat ini dari rokok kita,” kata Wigand lantang sambil merujuk pada salah satu produk B&W yang mengandung coumarin, yaitu Sir Walter Raleigh. Wigand menyadari bahwa Sandefur tak akan berbuat apa-apa untuk memperbaiki produk tersebut. Wigand pun minta memo dukungan ilmiah dari ahli racun B&W, Scott Appleton, tapi Appleton menolak untuk memberi dukungan.

Dengan kemarahan yang meluap Wigand memutuskan mengadakan penelitian sendiri.

Pada musim panas 1992, Earl Kohnhorst, seorang eksekutif senior B&W memanggil Wigand ke kantornya. Wigand mengetahui dia telah diberi peringatan perusahaan karena dianggap tak bisa bekerjasama dan terlalu vokal. Wigand diminta menyimpan semua hasil penelitiannya tentang bahaya rokok dan mencabut memonya tentang coumarin.

Januari 1993, Sandefur diangkat menjadi direktur utama B&W. Tanggal 24 Maret 1993, Wigand dipecat.

Enam bulan setelah dipecat, Wigand mengetahui bahwa B&W tengah mempersiapkan tuntutan hukum dan mengancam menghentikan jaminan kesehatan serta uang pensiun Wigand. Wigand dituduh melakukan pelanggaran atas perjanjian pemutusan hubungan kerja yang melarang Wigand membocorkan rahasia perusahaan kepada pihak lain.

Mengingat anaknya menderita asma akut, Wigand bersedia bernegosiasi dengan B&W dan setuju untuk menandatangi "nondisclosure settlement agreement” yang berisi ketentuan lebih keras tentang larangan menceritakan rahasia B&W kepada pihak luar. Wigand merasa dirinya telah masuk perangkap dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

AWAL musim semi 1993, Lowell Bergman, produser mata acara “60 Minutes” di jaringan televisi CBS menemukan sejumlah dokumen tanpa pengirim yang ditaruh di depan rumahnya di Berkeley California. Bergman adalah wartawan spesialis investigasi. Di masa mudanya dia mahasiswa radikal di University of California, San Diego, tempatnya jadi murid filsuf politik kiri dan bapak gerakan New Left, Herbert Marcuse.

Pagi itu, Bergman membolak-balik ratusan lembar dokumen. Dalam waktu beberapa jam dia mulai mengambil kesimpulan bahwa itu merupakan dokumen internal Philip Morris, sebuah perusahaan produksi dan penyalur makanan terbesar di Amerika Serikat. Philip Morris terkenal dengan produknya seperti rokok Marlboro, keju Kraft, ataupun restoran California Pizza Kitchen. Dokumen-dokumen itu berisi data-data teknis tentang hubungan antara kebakaran dengan produk rokok. Bergman mencoba mencari ahli yang bisa menjelaskan data tersebut kepadanya.

Bergman segera menghubungi temannya, Andrew McGuire, anggota Technical Advisory Group yang dibentuk Konggres Amerika Serikat untuk mengawasi pelaksanaan Fire Safe Cigarette Act yang diundangkan Presiden George Bush Sr, 1990. McGuire menyarankan Bergman menghubungi Jeffrey Wigand. McGuire mengenal Wigand karena setelah dipecat dari B&W, Wigand pernah bekerja dengannya sebagai tenaga ahli untuk proyek konggres tersebut.

Butuh waktu berminggu-minggu bagi Bergman untuk menghubungi Wigand sampai akhirnya mereka bertemu di Louisville, tempat tinggal Wigand. Mulailah mereka menjalin hubungan yang di kemudian hari menggemparkan dunia industri tembakau Amerika Serikat. Awalnya Bergman hanya minta Wigand memeriksa dokumen Philip Morris dan dia dibayar dengan gaji $1.000 per hari.

Di akhir Maret 1994, CBS telah merampungkan dokumentasinya tentang rokok anti-kebakaran (fire-safe cigarette) yang diproduksi Philip Morris. Dokumentasi itu menyimpulkan Philip Morris menolak menciptakan rokok yang lebih aman karena proyek itu dianggap merugikan. Wigand diminta datang ke New York untuk melihat proses screening dokumentasi tersebut. Setelah menyaksikan dokumentasi, Wigand mengatakan, “Mereka sebenarnya tahu bahwa mereka bisa menciptakan produk rokok yang bisa meminimalisasi kebakaran, bahkan mereka memberikan kode Hamlet untuk hasil penelitian itu karena ucapan Hamlet diplesetkan menjadi “to burn or not to burn.” Kalimat pangeran Denmark –sebagaimana dalam repertoar William Shakespeare– aslinya berbunyi: “to be or not to be….”

Bergman mulai mencium bahwa Wigand merupakan sumber yang baik untuk mengungkap kejahatan industri rokok. Dari pembicaraan mereka, Bergman mendapat isyarat bahwa Wigand punya informasi penting tentang praktek kotor B&W. Toh Wigand mengatakan dia tak dapat bercerita tentang B&W –karena ada ikatan perjanjian tutup mulut.

Bergman semakin antusias menggali informasi dari Wigand ketika pada April 1994 tujuh eksekutif perusahaan rokok raksasa di Amerika Serikat –oleh Bergman dijuluki “tujuh kurcaci” dari karya klasik Snow White dan Tujuh Kurcaci karya Jacob dan Wilhelm Grimm– bersaksi di depan Kongres. Andrew Tisch, presiden direktur perusahaan rokok Lorillard bersaksi, “Saya yakin nikotin tidak menimbulkan kecanduan.” Kesaksian Tisch ini didukung Thomas Sandefur dengan mengatakan hal yang sama.

Setelah bekerja sebagai konsultan CBS, nama Wigand mulai dikenal di kalangan aktivis antirokok. Wigand mulai mendapat tawaran dari Food and Drug Administration (FDA) sebagai penasihat proses kimiawi industri rokok. Setelah disewa FDA, Wigand disewa penasihat hukum stasiun televisi ABC, kantor pengacara Wilmer, Cutler & Pickering, untuk menghadapi gugatan ganti rugi sebesar $10 miliar dari Philip Morris terhadap laporan ABC tentang manipulasi kadar nikotin di rokok produk mereka.

Meski namanya dirahasiakan FDA, tak urung Wigand menerima sejumlah teror dan intimidasi. Wigand mulai bimbang antara memilih mematuhi kontrak yang dia teken demi kesehatan anaknya atau mengikuti suara hati. Wigand mulai frustasi dan kesulitan berkonsentrasi. Dia mulai minum hampir setiap malam bahkan kedapatan mencuri sebotol minuman keras seharga $10.

Maret 1995, setelah melakukan pembicaraan panjang dengan Bergman, Wigand akhirnya setuju membantu “60 Minutes” mengadakan investigasi tentang B&W. Bergman mulai mengirimkan asistennya ke Louisville untuk mengadakan wawancara awal dengan Wigand. Asisten Bergman segera menelepon Bergman ketika Wigand memberikannya fotokopi "nondisclosure settlement agreement.”

“Dia butuh pengacara,“ jawab Bergman. Bergman tetap optimistik dan menegaskan pada asistennya bahwa mereka harus meneruskan investigasi itu. “Kalau seseorang terikat perjanjian untuk tidak membocorkan rahasia, itu bukan masalah bagi saya! Tugas saya adalah membuat mereka berbicara,” kata Bergman kepada Vanity Fair.

LOWELL Bergman mengambil kesimpulan bahwa informasi Wigand tentang kecanduan dan bahaya rokok merupakan informasi yang didukung fakta-fakta ilmiah. Bergman juga mendapat informasi bahwa Wigand akan diminta bersaksi di pengadilan untuk mendukung investigasi Departemen Kehakiman terhadap tujuh orang eksekutif perusahaan rokok. Di samping itu Wigand juga diminta bersaksi untuk mendukung ABC menghadapi tuntutan Philip Morris.

Bergman sadar bahwa dia berpacu dengan waktu. Kalau sampai Wigand bersaksi di pengadilan, mungkin dia akan diperintahkan pengadilan untuk tidak memberikan kesaksian di depan publik atau pers lagi. Bergman kembali berusaha meyakinkan Wigand bahwa dia harus segera memutuskan tampil di depan kamera.

3 Agustus 1995, Wigand menyatakan bersedia diwawancarai Mike Wallace, koresponden senior dan pembawa acara “60 Minutes.” Bergman sebagai produser acara memberi nota tertulis yang menjamin CBS tak akan menyiarkan wawancara itu tanpa persetujuan dari Bergman.

Ketika Bergman berkutat memproses cerita tentang Wigand dan B&W, pada awal September 1995 mendadak dia dipanggil ke kantor perusahaan CBS di Black Rock. Bergman mulai merasakan ada sesuatu yang aneh. Selama 12 tahun bekerja di CBS dia tak pernah sekali pun menginjakkan kaki di Black Rock. Selain kantor perusahaan dan kantor redaksi terpisah, para awak redaksi dilarang keras mencampuri urusan perusahaan.

Di Black Rock, Bergman berjam-jam duduk di ruang rapat berdebat dengan para pengacara CBS yang minta Bergman menghentikan berita tentang Wigand. Para pengacara menyampaikan pesan dari Wakil Presiden Direktur CBS Ellen Kaden yang khawatir B&W akan mengajukan gugatan kepada CBS atas upaya CBS mempengaruhi Wigand melanggar perjanjiannya untuk tutup mulut (tortious interference).

“Selama karir saya sebagai wartawan, hari ini untuk pertama kalinya saya mendengar konsep tortious interference,” kata Bergman.

“Ini adalah self-cencorship. Tidak ada gugatan yang dilakukan B&W, bahkan setahu saya tiada utusan B&W yang datang menemui CBS membicarakan hal ini,” kata Bergman kepada Frontline –sebuah program berita yang ditayangkan PBS, sebuah televisi lembaga nirlaba berbasis di Virginia dan disiarkan di seluruh Amerika Serikat.

Lebih lanjut Bergman mengatakan, “Ini merupakan prinsip dasar jurnalisme. Dalam kasus ABC melawan Philip Morris atau kasus-kasus lainnya, berita disiarkan terlebih dahulu baru kemudian ada gugatan; tapi ini tidak terjadi dalam kasus CBS. Jelaslah ini merupakan self-cencorship.”

Tidak puas dengan para pengacara, Bergman minta agar diadakan pertemuan dengan para pemimpin CBS. Bertempat di Black Rock pada 12 September 1995 diselenggarakan pertemuan besar. Hadir Eric Ober, kepala pemberitaan CBS; Ellen Kaden, wakil presiden direktur CBS; Phil Scheffler; produser senior “60 Minutes”; Don Hewitt, produser eksekutif “60 Minutes”; pembawa acara Mike Wallace; dan Bergman sendiri. Bergman mencoba meyakinkan mereka bahwa setahun lebih dia habiskan waktu untuk membujuk Wigand agar bicara dan dia tidak mau menyia-nyiakan hal itu. Ditambah lagi mereka harus berpacu dengan waktu sebelum Wigand dilarang pengadilan agar tak berbicara kepada publik. Pertemuan itu berakhir tanpa keputusan. Ellen Kaden mengatakan dia akan minta second opinion dari pihak di luar dewan direksi.

Bergman mulai mendapat titik terang agenda tersembunyi para pemimpin CBS, ketika dalam pertemuan kedua di Black Rock, muncul pernyataan, “Apakah Anda mengharapkan kita menyiarkan berita yang bisa membuat anak pemimpin kita masuk penjara?”

Dalam dokumentasinya, Bergman mencoba menyandingkan kesaksian Andrew Tisch, presiden direktur perusahaan rokok Lorillard, dengan kesaksian Wigand. Andrew Tisch adalah putra Laurence Tisch, orang nomor satu CBS. Tisch senior jadi pemegang saham mayoritas CBS pada 1986 dan beberapa tahun kemudian diangkat menjadi presiden direktur CBS. Di bawah kepemimpinannya, redaksi CBS mulai diperintahkan menjaga kepentingan bisnisnya dan anggaran untuk urusan redaksi dipotong habis-habisan. Perusahaan rekaman CBS dijual dan Tish memutuskan melakukan investasi untuk tayangan National Football Leaque. Tayangan olah raga ini jauh lebih dimanjakan daripada “60 Minutes.”

LORILLARD adalah tambang emas bagi Loews Corporation, perusahaan induk yang dikuasai Tisch bersaudara dengan keuntungan sekitar $700 juta per tahun. Pada 1994, Federal Trade Commission memerintahkan B&W menjual enam produk rokok murah (discount cigarette), yaitu Montclair, Malibu, Crown’s Special 10’s, Riviera, dan Bull Durham dengan alasan antimonopoli. Lorillard merupakan calon pembeli potensial. Meski Lorilard sudah menguasai 80 persen pasar rokok, mereka belum berkembang untuk produk discount cigarette.

Jelaslah bagi Bergman. Berita tentang Wigand dan B&W bisa mengancam rencana keluarga Tisch membeli produk B&W. Ditambah lagi, Bergman menemukan data bahwa pundi-pundi uang petinggi CBS semakin bertambah seiring rencana merger CBS dengan konglomerat Westinghouse Corporation.

Satu hari setelah rencana merger dengan Westinghouse diumumkan, Loews Corporation milik Tisch bersaudara telah menuai keuntungan sebesar $1 miliar dari kenaikan harga saham CBS. Ellen Kaden pribadi meraup untung $5 juta, dan Eric Ober juga ketiban rezeki sekitar $4 juta. Kalau sampai B&W menuntut CBS, maka rencana merger bisa batal dan saham CBS akan turun sehingga keuntungan para petinggi CBS itu pun akan menguap.

Hitungan itu baru didapat melalui lonjakan harga saham. Dari merger sendiri, pundi-pundi uang petinggi CBS juga makin menggemuk. Peter Lund, president CBS Broadcast Group, akan mendapat $2,2 juta, Eric Ober $1,46 juta, Ellen Kaden $1,2 juta, dan Laurence Tisch $12 juta.

Bergman sadar akan sulit baginya untuk menghentikan usaha self-censorship para petinggi CBS yang rakus. “Saya dapat mengundurkan diri, seperti saran teman-teman saya: keluar dan lupakan semuanya!” ungkap Bergman kepada Frontline. “Akan tetapi Wigand adalah sumber saya, dan saya tidak bisa mengungkapkan namanya. Saya justru akan membahayakan dia kalau saya keluar,” ungkap Bergman lebih lanjut. “Saya putuskan tetap bertahan dan menggunakan segala upaya membuat berita ini bisa ditayangkan, entah semuanya atau sebagian.”

Belum sempat Bergman merancang strategi untuk membuat beritanya bisa ditayangkan, Ellen Kaden sudah siap dengan keputusan bahwa berita tentang Wigand dan B&W tak bisa disiarkan, second opinion dari para penasihat perusahaan menguatkan keputusan dewan direksi tentang kemungkinan gugatan B&W.

Gerilya pun dimulai Bergman. Dia menghubungi harian Wall Street Journal. Pada 18 Oktober 1995, Wall Street Journal menurunkan dua laporan tentang B&W yang menambahkan zat amoniak dalam produk rokok mereka sehingga menimbulkan kecanduan yang tinggi. Laporan itu juga membandingkan produk B&W dengan rokok Marlboro. Nama Wigand tak disebutkan meski laporan itu hampir 100 persen mirip dengan wawancaranya buat “60 Minutes” pada 3 Agustus (Wall Street Journal memenangkan hadiah Pulitzer untuk berita ini).

Bergman terus bergerilya. Dua minggu kemudian harian The New York Times memberitakan, bahwa para pengacara CBS memerintahkan “60 Minutes” tidak menyiarkan wawancara Wigand. Berita itu menyimpulkan “Baik Wallace dan Hewitt tidak keberatan atas keputusan Kaden dan Ober.”

CBS kebakaran jenggot. Mereka memutuskan menurunkan berita tentang B&W tapi tanpa wawancara Wigand dan tak menyebut nama Wigand sama sekali. CBS khawatir reputasinya terganggu karena bocoran tersebut. Usaha ini terlambat untuk mempercantik diri. Mereka kembali dihantam The New York Times edisi 13 November yang menurunkan editorial berjudul “Self-censorhip di CBS.”Isinya? “Hal yang paling memalukan dari keputusan CBS adalah keputusan itu tidak dibuat pemimpin redaksi, tapi oleh pemimpin perusahaan yang kepalanya dipenuhi kepentingan kantong pribadi ketimbang kepentingan publik. Merger senilai $5,4 miliar dengan Westinghouse Electric Corporation akan segera dilakukan, dan mereka tidak ingin uang di depan mata hilang karena gugatan hukum.”

Akhir Januari 1996, Wall Street Journal menerbitkan kesaksian tertulis Wigand yang disiapkannya pada November 1995 untuk kesaksian di pengadilan Mississipi dalam gugatan negara bagian Mississippi terhadap sejumlah perusahaan rokok. Mississippi menuntut ganti rugi atas biaya perawatan kesehatan yang dikeluarkan negara bagian itu buat para penderita penyakit akibat rokok.

“60 Minutes” memutuskan menyiarkan wawancara dengan Wigand pada 4 Februari 1996. Wallace memberi pengantar, “Manajemen CBS tidak memperbolehkan kami menyiarkan wawancara dengan Jeffrey Wigand karena mereka takut akan gugatan hukum. Tapi sekarang semuanya sudah berubah. Minggu lalu Wall Street Journal mempublikasikan kesaksian Wigand, berarti kami sudah tidak terancam gugatan hukum karena mempublikasikan kesaksian Wigand.”

MICHAELL Mann bertanya pada Michael Sragow dari Salon.com, “Ingat De Niro dalam film Heat?” Heat adalah film cerita kriminal karya Mann tahun 1995. Itu merupakan film terakhirnya sebelum membuat The Insider yang menceritakan kisah Jeffrey Wigand dan Lowell Bergman.

Mann menekankan bahwa karakter Robert De Niro dalam Heat sebagai seorang pencuri ulung dengan tujuan menyelesaikan pekerjaannya dalam 30 menit untuk kemudian menghilang. Sementara Mann mempunyai tujuan membuat para penonton duduk menonton filmnya selama dua jam 30 menit.

Menggunakan teknik audiovisual yang rapi dan penelitian mendalam, Mann sudah jadi nama besar di dunia perfilman. Filmnya seperti The Last of Mochicans, Heat, dan beberapa episode film seri televisi Strasky and Hutch, Miami Vice, dan Crime Story merupakan bukti keandalan Mann.

Mann sutradara yang serius. Bahkan untuk The Last of Mochicans dia mengadakan studi selama kurang lebih dua tahun, untuk mendapatkan background yang tepat untuk peristiwa tahun 1757. ”Saat itu saya harus berperan sebagai reporter investigatif seperti Lowell Bergman,” kata Mann, seperti dilaporkan Salon.com pada November 1999.

Mann kembali membuktikan keandalannya dengan mengangkat kisah seorang pejuang antirokok ke layar lebar. Sebuah cerita yang bertolak belakang dengan pola hidup Mann sendiri. Mann adalah perokok berat. Begitu pula Eric Roth, mitranya dalam menulis naskah The Insider. “Kami berdua duduk sambil merokok di bar Broadway Deli di Santa Monica ketika menulis skenario film”, kata Mann, penuh tawa kepada Salon.com.

Menjelang Bergman memutuskan keluar dari CBS pada Januari 1996, dia mulai didekati Michaell Mann untuk mengangkat kisahnya ke dalam film. Mann sendiri mulai serius mengadakan observasi sejak musim gugur tahun itu, setelah dia membaca artikel panjang dari Marie Brenner yang dimuat Vanity Fair. Bergman menyambut antusias rencana Mann, tapi dia mengatakan harus terlebih dahulu minta CBS membebaskan dia dari perjanjian untuk tidak membocorkan rahasia perusahaan. Awal 1997, Mann dan Bergman terlibat pembicaraan serius tentang proyek pembuatan film The Insider tersebut.

Ketika ditanyakan apakah artikel Marie Brenner merupakan inspirasi utama, Mann menjawab bahwa baginya, sosok Wigand dan Bergman lebih menjadi inspirasi pada proses pembuatan filmnya. Mann bahkan hampir membatalkan proyek film ini manakala dia kesulitan berbicara dengan Wigand. “Saya tidak mau membuat film yang tidak membuat penonton bisa terlibat di dalamnya,” ucapnya. Lebih lanjut dia mengatakan, “Satu-satunya cara agar saya bisa mengangkat cerita Wigand adalah saya harus mendengar langsung pengalamannya dari dia sendiri.”

Mann memandang bahwa sosok Wigand dan Bergman sangat bertolakbelakang. “Kalau mereka hidup bersama dalam satu kehidupan sosial, kita tidak akan menemukan banyak persamaan,” kata Mann kepada Salon.com. Tapi Mann memandang mereka punya satu persamaan, ”Keduanya sadar bahwa ada yang lain dalam kehidupan ini, yakni mempertahankan hal yang kita yakini.”

Di layar lebar pun Mann mengangkat dua dunia yang berbeda dari kedua tokoh ini. Mulai dari adegan Lowell Bergman mencoba mewawancarai pemimpin spiritual organisasi militan Hezbollah, Sheik Fadlallah, adegan film meloncat ke Amerika Serikat dengan adegan Wigand baru dipecat dari B&W. Dalam adegan lain tampak Wigand sedang berada di tempat tidurnya menelepon Bergman yang sedang berada di New Orleans di tengah-tengah mayat dan puluhan polisi.

Dua dunia yang berbeda tapi memiliki satu persamaan digambarkan Mann dengan adegan di mana Wigand membawa istrinya ke New York tanpa memberitahu bahwa dia akan melakukan wawancara dengan “60 Minutes.” Istri Wigand baru mengetahui ketika mereka makan malam dengan Bergman dan Mike Wallace.

“Wigand seorang pria yang sangat humanis dan saya merasakan itu sangat kuat,” kata Mann. Mann mengangkat hal ini dalam adegan yang menggambarkan Wigand duduk sendirian dalam ruangan membayangkan dia pergi ke New York untuk melakukan wawancara dan dia merasa tidak bisa memberitahu istrinya bahwa dia akan melakukan hal itu. Atau adegan Wigand duduk di kamar hotel sambil membayangkan anak-anaknya bermain di halaman rumah.

Kekaguman akan karakter Wigand ini juga yang membuat Mann menghabiskan waktu untuk mengambil adegan Wigand berpikir panjang lebar sebelum bersaksi di pengadilan Mississpi karena dia tahu B&W akan menuntutnya dan risikonya dia akan meringkuk dalam penjara. Wigand berjalan di tepi danau dan merenung. Akhirnya Wigand kembali di depan rumah pengacaranya dan dia berkata, “Persetan! Ayo kita berangkat ke pengadilan.” Ini merupakan adegan puncak bagi sosok Wigand dalam The Insider.

SOSOK Wigand memang mendapat perhatian besar dari Mann dalam film ini, mulai dari pergulatan Wigand menghadapi teror yang melanda rumahnya, pertengkaran dengan istrinya, anaknya yang menderita asma akut, sampai adegan Wigand bermain golf. Bahkan hari pertama Wigand menjadi guru kimia di Du Pont High School mendapat perhatian sendiri dari Mann. Beberapa menit dihabiskan untuk gambar Wigand memberi pengantar bagi pelajaran kimia di sekolahnya.

Russel Crowe, aktor kelahiran New Zealand yang sukses lewat film L.A Confidential –dan belakangan dalam Gladiator– bekerja keras agar bisa memerankan Wigand, sosok pria berumur 53 tahun. Crowe yang baru berumur 33 tahun harus menggemukkan tubuhnya sekian kilo dan mencukur botak rambutnya agar bisa memakai rambut palsu berwarna putih seperti rambut Wigand. Bertolak belakang dari sosok yang ia perankan, Crowe sudah jadi perokok sejak usia 10 tahun.

Penyosokan Wigand yang mendapat perhatian besar dari Mann membuat Crowe menempatkan pergulatan di CBS dalam porsi yang tidak terlalu banyak. Mann juga tak terlalu detail mengungkapkan kepentingan bisnis para petinggi CBS yang membuat mereka tidak menyiarkan berita yang sedang dipersiapkan Bergman. Dalam dunia nyata, dokumentasi tentang B&W belum selesai dibuat Bergman. Sedangkan dalam film muncul kesan dokumentasi tersebut telah selesai dibuat dan kemudian diputuskan untuk tak disiarkan.

Meski tidak mendapat porsi sebanyak Wigand, Bergman tetap hadir sebagai sosok pahlawan dalam film The Insider. Bagi Mann, Bergman adalah sosok yang menjunjung tinggi moral dan berusaha mempertahankan kebenaran sampai titik darah penghabisan. Bergman selalu bergerak cepat dan seakan-akan tak pernah berhenti menelepon, entah menelepon The New York Times atau Wall Sreet Journal atau menelepon para pengacara untuk melindungi Wigand; seakan-akan dia malaikat pelindung Wigand.

Peran Bergman dimainkan dengan baik oleh Al Pacino, yang juga dipakai Mann dalam filmnya Heat. Pacino adalah aktor kondang, dan mahal, yang terkenal dengan sejumlah film box office, antara lain The Godfather, Dog Day Afternoon, And Justice for All, dan Dick Tracy. Al Pacino berhasil mengangkat naluri jurnalisme Bergman ke layar lebar, meski dia harus mengikuti skenario yang digariskan Mann, yang membawa sosok Bergman sebagai seorang pahlawan.

Bergman muda sosok yang terpengaruh Herbert Marcuse. Kritik Marcuse terhadap masyarakat kapitalis sudah mengkristal sejak dia masih mengajar di Frankfurt Institute of Social Research, yang dikenal sebagai think tank kelompok New Left. Salah satu warisan Frankfurt School adalah teori yang dikenal sebagai Critical Theory.

Teori ini menempatkan pemirsa sebagai pihak yang pasif dan gampang dicuci otaknya, masyarakat yang hanya duduk di rumah dan menonton televisi tanpa pengetahuan atau daya kritik. Mereka menerima begitu saja cerita yang diungkapkan media sebagai suatu kebenaran dan mereka kemudian menyebarkan berita tersebut.

Sebagai murid Herbert Marcuse, Bergman mempercayai teori ini. Makanya dia berharap bahwa yang dia sajikan di televisi adalah suatu kebenaran dan dia hanya akan menyiarkan apa yang seharusnya masyarakat ketahui. Inilah yang jadi bekal untuk memahami mengapa Bergman habis-habisan membela Wigand.

Michael Mann gagal mengungkapkan bahwa Bergman sebenarnya tak gentar menghadapi semua itu karena Bergman sadar bahwa dia tidak akan dipecat oleh CBS. Televisi itu tak mau menjadikan Bergman martir bagi kebebasan pers. Bergman memang bukan pahlawan yang jadi penyelamat Wigand, tapi dengan peristiwa ini, dia telah menorehkan reputasinya di kalangan dunia pers sebagai wartawan andal. Bergman sebetulnya tidak kehilangan apa pun.

Bandingkan dengan Wigand yang tak mendapat apa-apa selain anugerah karena mendengar suara hatinya. Wigand kehilangan semuanya: gaji $300.000, anak, istri, dan ketenangan hidup. Mann tidak secara jelas menekankan dalam filmnya kesulitan itu. Meski Mann memasukkan adegan kehidupan Wigand sebagai guru SMA setelah diusir istrinya dari rumah. Entah dia sadari atau tidak, dalam The Insider, Mann akhirnya mengikuti pakem Hollywood yang dalam setiap filmnya senantiasa menghadirkan seorang hero.

“PERS yang bebas … bagi orang yang memilikinya,” kata Lowell Bergman untuk melukiskan hubungan media dan masyarakat dalam konteks media yang bertugas memberikan informasi bagi masyarakat. Ungkapan ini didukung Michael O’Shaughnessy, dosen dari Edith Cowan University, Perth, Australia, dalam karyanya Media and Society, “Media hanya akan melayani kepentingan pemiliknya.”

Cerita dalam The Insider adalah seputar peristiwa di mana masyarakat hanya mengetahui apa yang diputuskan media untuk diberitakan –media yang telah dimanipulasi oleh kepentingan bisnis para pemiliknya yang rakus. Wigand orang yang mengetahui nikotin menimbulkan kecanduan dan perusahaan rokok memanipulasi informasi ini. Satu-satunya cara agar masyarakat tahu tentang informasi ini adalah mempublikasikannya melalui media.

Celakanya, media tersebut lebih mengedepankan keuntungan pribadi para petinggi-petingginya daripada kepentingan orang banyak. “Sejak kapan pemimpin CBS mendikte kita bahwa ini berita dan itu bukan berita?” tanya Bergman. Jawabannya jelas. Ketika harga saham sudah melambung tinggi atau ada konflik kepentingan antara Lawrence Tisch dan usahanya untuk membeli produk B&W melalui perusahaan yang dipimpin anaknya.

Di titik inilah Michael Mann kurang berhasil mengungkapkan secara detail konflik kepentingan yang terjadi dalam pertarungan antara Bergman melawan para petinggi CBS. Mann seharusnya tahu bahwa tak ada jalan bagi Bergman untuk bisa membuat beritanya disiarkan CBS karena mereka tak akan membiarkan Andrew Tisch digiring ke pengadilan.

Konflik kepentingan yang muncul dalam merger CBS dengan Westinghouse menunjukkan Tisch seorang pengusaha dan bukan seorang wartawan. Dalam realita, dia memang seorang pengusaha yang memulai usahanya sejak 1967 dan baru 20 tahun kemudian masuk ke industri pers. Mann kurang berhasil mengungkapkan bahwa Tisch tak pernah memikirkan kepentingan publik atau melindungi masyarakat dari zat berbahaya, yang hanya menginginkan orang lebih banyak membeli rokoknya.

Hal yang sama juga terjadi pada ABC dalam kasus melawan Philip Morris, di mana Wigand diminta jadi saksi. Ketika sengketa itu berlangsung, ABC juga sedang berada dalam negosiasi merger dengan Disney Corporation. Pertanyaan yang muncul adalah: Siapa yang mau merger dengan perusahaan yang akan menanggung gugatan ganti rugi sebesar $15 miliar? ABC akhirnya memilih minta maaf kepada Philip Morris. Bedanya, ABC sudah lebih dulu menyiarkan berita mereka. Sedangkan CBS sama sekali tak mau ambil risiko.

Noam Chomsky, profesor bahasa dari Massachussetts Institute of Technology, selain salah satu pemikir New Left, adalah orang yang kritis memandang hubungan antara media dengan kepentingan pemilik modalnya. Dalam pidatonya di Z Media Institute, Juni 1997, Chomsky mengatakan, “The New York Times dan CBS adalah contoh media yang berkaitan dengan perusahaan raksasa seperti General Electric, Westinghouse, dan lainnya. Perusahaan-perusahaan raksasa itu memiliki struktur yang hirarkis dan tirani.”

”Ambil The New York Times. Mereka tidak lebih dari sebuah perusahaan yang menjual produk. Produk mereka adalah pembaca. Mereka tidak mendapat duit ketika Anda membeli koran mereka. Faktanya, mereka dengan senang hati mempublikasikan berita mereka di internet dan setiap orang bisa gratis mengaksesnya. Pembaca adalah produk mereka. Produk mereka adalah orang-orang terhormat, para pembuat keputusan dalam masyarakat. Mereka menjual produk mereka pada pasar yang tidak lain adalah komunitas bisnis. Sederhananya, ini adalah proses di mana perusahaan yang menjual produknya, yaitu pembaca, kepada perusahaan lain.”

Sebagian besar pembaca The New York Times atau pemirsa CBS adalah kelas menengah ke atas yang terlibat langsung dalam sistem politik, ekonomi, bahkan trend mode seperti yang diberitakan media tersebut. Yang mereka dapatkan dari media akan jadi dasar pikiran dan tindakan mereka sebagai manajer perusahaan atau politisi.

Mungkin Michaell Mann kurang lengkap dalam melakukan penelitian untuk pembuatan The Insider, sehingga dia kurang berhasil mengangkat teori Herbert Marcuse yang hinggap dalam otak Bergman. Seandainya Mann berhasil menangkap pemikiran ini, film ini mungkin akan berjudul All the Corporations Men.*

by:Hendri Kuok