WILDAN adalah seorang bocah laki-laki keturunan keluarga Arab yang turun-temurun tinggal di tanah Palembang. Ia ingin bisa pandai menari Japin, seperti temannya, Emon yang juga sama-sama keturunan Arab. Japin adalah jenis tarian yang populer di kalangan keluarga-keluarga keturunan Arab disana. Gerakan-gerakan tari Japin ini enak dilihat, seperti joget yang biasa ada di bawah panggung-panggung pagelaran musik dangdut, dengan gerakan tangan di atas kepala, kaki berjinjit, sesekali tangan bertepuk, tubuh berputar-putar mengikuti irama musik …. Bedanya, irama musik yang mengiringi tari Japin adalah musik gambus. Menurut Emon, supaya lincah menari Japin, kita harus rajin berlatih berloncatan dan berayun-ayun di sela-sela pohon.

Wildan tidak pandai menari Japin, tapi ia pandai bernyanyi dengan iringan musik gambus. Suatu saat, Wildan, Emon, dan kerabat mereka yang lain berlatih gambus sebagai persiapan untuk tampil di pesta pernikahan salah seorang kerabat mereka yang tinggal di kampung sebelah. Ketika ia didaulat untuk menari Japin bersama Emon, ia tidak bisa melakukannya karena belum lancar. Semua orang menertawakannya. Wildan malu dan ngambek. Ia lari meninggalkan tempat latihan. Ia merasa, Emon menertawakan dan mengejeknya habis-habisan karena dirinya tidak pandai berjapin.

Tidak lama kemudian, Wildan dan Emon berdamai kembali. Wildan bahkan bersedia diajak Emon untuk latihan menari Japin di rumah Emon bersama kakek Emon. Akhirnya, semua berjalan dengan baik. Pentas musik gambus di pesta pernikahan sukses. Wildan tidak hanya tampil dengan baik saat menyanyi, ia juga tidak malu-malu dan ragu-ragu lagi berjapin bersama Emon dan teman-temannya yang lain.

Pesan moral yang ingin disampaikan adalah, kita tidak boleh cepat putus asa. Kita harus rajin berusaha sampai apa yang kita inginkan tercapai. Cerita diatas adalah cuplikan dari film Penari Japin, salah satu episode film dari rangkaian seri film Pustaka Anak Nusantara yang diputar setiap hari Minggu di SCTV jam 09.30 WIB, dan TVRI jam 17.30 WIB.

Dalam film yang berdurasi 30 menit itu kita tidak hanya menyaksikan usaha-usaha yang dilakukan Wildan untuk belajar menari Japin, tapi juga bisa melihat bagaimana Wildan melewatkan hari-harinya bersama keluarganya. Mendengar bahasa yang dipakai Wildan dan keluarganya, juga kerabat-kerabatnya, sesama keturunan Arab Bani Alkaff yang masih banyak tinggal di Palembang; melihat persiapan-persiapan yang dilakukan sebelum tampil di panggung musik gambus: memakai parfum, minum jamu, memakai celak; memperhatikan gaya pakaian mereka: celana berukuran longgar dan atasan yang panjangnya sampai dibawah pinggang dengan warna-warna terang, dan surban yang menutupi kepala; juga melihat persiapan-persiapan yang dilakukan keluarga Arab menjelang pernikahan: menyediakan nasi kebuli, sambal nanas, dan roti ragi.

MENDISKRIPSIKAN Indonesia rupanya memang tidak pernah jadi persoalan yang mudah. Selama puluhan tahun kita diajar dan diajak untuk percaya bahwa persatuan dan kesatuan Indonesia itu sesederhana konsep Bhineka Tunggal Ika.

Pada buku-buku pelajaran di Sekolah Dasar, perbedaan selama ini diajarkan dan dikenalkan lewat gambar-gambar pakaian adat yang bermacam-macam, gambar alat-alat musik yang beraneka ragam, juga gambar-gambar rumah-rumah adat yang berbeda-beda. Rumah Gadang itu bentuk rumah suku Minangkabau di Sumatra Barat, Rumah Joglo itu bentuk rumah suku Jawa yang tinggal di Yogyakarta. Ada banyak suku, ada banyak bahasa daerah, ada banyak pakaian adat, ada banyak rumah adat, tapi pada dasarnya semua perbedaan itu tidak berarti karena semuanya melebur jadi satu: Indonesia.

Dan tiba-tiba sekarang kita dihadapkan pada kenyataan yang samasekali berbeda. Kerusuhan meledak di Ambon, Aceh, Sampit, dan daerah-daerah lain. Aceh ingin merdeka. Dan diujung kepulauan yang lain, masyarakat Papua mengibarkan bendera Bintang Kejora. Konsep Bhineka Tunggal Ika yang didengung-dengungkan di telinga kita selama ini jadi buyar.

Jika kita ingin mengetengahkan persoalan-persoalan yang menyangkut suku, agama, dan warna kulit dalam sebuah film, bagaimana caranya? Apakah harus menunjukkan misalnya, percintaan antara gadis keturunan Cina dengan seorang pemuda Jawa atau pemuda asal Minangkabau? Ataukah harus menunjukkan gambaran kekhasan propinsi-propinsi yang ada di Indonesia, lengkap dengan tempat-tempat wisata yang ada disana? Film Pustaka Anak Nusantara yang sekarang muncul di tengah-tengah kita adalah sebuah film yang dibuat dengan niat untuk menampilkan multikulturalisme di Indonesia.

“Film ini adalah sebuah film pendidikan multikultur untuk anak-anak. Ada proses pendidikan untuk menjadi profesi tertentu, ada gambaran tentang lingkungan keluarga dan lingkungan kampung yang sekarang retak dimana-mana,” kata Garin Nugroho ketika ditemui di kantor Yayasan Sains, Estetika, dan Teknologi yang baru, Jl. Bacang III No. 5, Jakarta Selatan, sore itu. Kali ini Garin Nugroho tidak menyutradarai satu film pun dalam film seri itu. Bersama dengan Arturo GP, Garin menjabat sebagai produser sekaligus supervisor editor.

Seri film doku-drama Pustaka Anak Nusantara ini terdiri dari 32 episode. Temanya beragam. Di sini kita bisa menyaksikan tema-tema seperti berburu ikan pari yang banyak terdapat di Lamalera, Nusa Tenggara Timur; tentang barongsai yang dilakukan anak-anak keturunan Cina di Singkawang; tentang kereta api uap di Ambarawa; tentang suku anak dalam di Jambi; tentang anak-anak yang tinggal di desa Rawa Biru, di Papua; tentang tradisi menari Japin di kalangan keluarga keturunan Arab di Palembang; atau tentang anak-anak yang tinggal di pesantren di Jombang. Lima film yang lain, masing-masing berlokasi di Papua Tengah, Papua Barat, Aceh, Maluku Tenggara dan Maluku Utara masih berada dalam proses produksi. Ketika saya hubungi, salah seorang sutradara dalam Pustaka Anak Nusantara, Tony Trimarsanto bahkan sedang mempersiapkan diri untuk berangkat ke lokasi syuting di Tual, Maluku Tenggara. Tema film Pustaka Anak Nusantara di Tual adalah tentang anak-anak pengungsi yang terpaksa hidup di pengungsian sejak kerusuhan melanda Ambon beberapa tahun lalu. Ia agak khawatir dengan kondisi keamanan di Tual saat ini. “Bagaimana kira-kira sikap mereka terhadap orang-orang pendatang ya?” tanyanya.

ADA begitu banyak etnis yang hidup di negara ini dengan ciri kebudayaan sendiri-sendiri yang melekat, ada begitu banyak peristiwa-peristiwa konflik antar etnis yang terjadi di negeri ini, tetapi mengapa kehidupan anak-anak yang tinggal di sebuah pondok pesantren di Jombang; kehidupan Rio, seorang atlit bulu tangkis cilik yang tinggal di asrama olahraga di Ragunan, Jakarta; kehidupan Wildan, seorang anak laki-laki keturunan Arab yang tinggal di Palembang; atau kehidupan anak-anak yang tinggal dekat hutan tempat penangkaran orang utan di Tanjung Puting, itu yang lantas dipilih sebagai sudut pandang-sudut pandang untuk masuk dalam persoalan-persoalan multikulturalisme di negeri ini?

Persoalan mengapa memilih anak-anak yang hidup di pesantren untuk menggambarkan Jombang, mengapa memilih seorang anak perempuan yang sedang belajar menenun untuk menggambarkan Lombok, atau mengapa memilih menampilkan berlakunya tradisi Sasi untuk mengenalkan anak-anak yang tinggal di Desa Rawa Biru, Papua, bermakna politis karena berkaitan dengan pilihan-pilihan yang diambil oleh para pembuat film ini untuk menampilkan suatu kebudayaan tertentu kepada kebudayaan yang lain. Bagaimana proses riset film ini dilakukan dan bagaimana tim riset film ini bekerja di lapangan?

Aryo Danusiri, antropolog lulusan Universitas Indonesia, yang dalam produksi seri ini menjabat sebagai sutradara sekaligus koordinator tim riset film ini mengatakan bahwa riset film ini dilakukan dengan menggunakan metode yang disebutnya sebagai metode kualitatif. “Pertama-tama, kami melakukan riset untuk mencari data-data sekunder dari buku-buku dan bahan-bahan lain untuk mencari tema-tema apa saja yang terdapat dalam suatu daerah. Kemudian setelah itu baru kami melakukan riset visual,” kata Aryo. Riset visual dilakukan untuk mengidentifikasi unsur-unsur visual yang dianggap bisa mewakili suasana khas suatu daerah.

Jalannya riset yang dilakukan untuk mempersiapkan bahan-bahan bagi seri film ini sebenarnya bisa dikatakan sederhana dan tidak rumit. Masing-masing tim riset yang terdiri dari seorang periset dan seorang fotografer pergi ke 4-5 titik dalam suatu propinsi untuk melakukan pengamatan di daerah-daerah itu selama 1-2 hari. Setelah itu, semua tim riset berkumpul di Jakarta untuk melakukan pilihan-pilihan lokasi film dan tema.

Dirmawan Hatta, salah seorang anggota tim riset menceritakan bahwa waktu itu tujuan utama tim riset bisa dirumuskan dengan satu kalimat sederhana: pergilah ke suatu propinsi dan temukan apa yang menarik disana. Perpustakaan Nasional, Perpustakaan LIPI dan Perpustakaan Litbang KOMPAS adalah contoh tempat-tempat yang dituju oleh Hatta untuk mendapatkan data-data tentang hal-hal menarik yang bisa didapat di suatu daerah. Saat itu Hatta mendapat tugas untuk meriset kota Lampung, Palembang, Bengkulu dan Jambi. Selain pergi ke tempat-tempat tersebut, Hatta juga membaca buku-buku pariwisata Indonesia terbitan Periplus. Dari riset awal tersebut Hatta menemukan beberapa titik-titik menarik yang mungkin bisa dieksplorasi untuk kepentingan film ini. Ia menemukan Sungai Musi sebagai wahana yang sangat penting bagi masyarakat Palembang, tidak hanya sebagai alat transportasi yang berfungsi mengangkut segala macam bahan dari bahan-bahan tradisional macam daun rumbia, pisang, dan hasil bumi lain, sampai perangkat modern. Tidak hanya itu. Sungai Musi juga merupakan salah satu sarana yang menyebabkan kekuasaan Raja Sriwijaya masa itu menjadi begitu kuat. Sungai Musi mempengaruhi banyak hal dalam kehidupan masyarakat Palembang. Hatta juga menemukan sebuah penelitian yang menyebutkan tentang keberadaan sebuah desa di Bengkulu yang semua penduduknya berprofesi sebagai pengrajin berbahan baku tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di sekitar desa mereka. Sejak di Jakarta, Hatta juga sudah melakukan kontak-kontak dengan orang-orang atau lembaga yang kemungkinan bisa memberikan jalan berupa data, informasi, atau akses ke penduduk asli ke desa atau kampung-kampung yang ingin dituju.

Tapi Hatta tidak tahu mengapa tema film yang dipilih akhirnya bukan tentang Sungai Musi, tetapi tentang penari japin pada komunitas Arab di Palembang. Sebagai tim riset, Hatta hanya bertujuan untuk melakukan riset di suatu daerah sampai menemukan hal-hal apa yang kira-kira menarik sebagai tema, tidak sampai pada tahap pengambilan keputusan daerah-daerah mana saja dan tema-tema apa saja yang akhirnya diambil. Hatta juga bercerita bahwa di Bengkulu ia mendapati kenyataan bahwa ternyata usaha kerajinan di desa pengrajin yang ditujunya ternyata sudah mati. Ada beberapa usaha kerajinan yang masih hidup disana, tapi kebetulan saat itu juga sedang tidak diproduksi. Akhirnya Hatta mengalihkan penelitiannya ke sebuah tambang emas bikinan Belanda di Rejang Lebong. Alasan pemilihan tema itu sebagian besar juga karena lokasi tambang emas di Rejang Lebong tidak jauh dari desa pengrajin. “Kalau saya mencari tema-tema lain yang lokasinya berjauhan, waktunya tidak cukup,” kata Hatta.

Wimo Ambala Bayang, seorang fotografer yang bersama seorang periset lain bernama Bayu melakukan riset untuk daerah Surabaya, Banten, Lembang dan Majalengka juga menceritakan bahwa tema-tema yang diajukan oleh mereka ternyata akhirnya tidak jadi diambil sebagai tema film. Tahap awal riset yang dilakukan oleh Wimo dan Bayu, seperti diceritakan oleh Wimo, ternyata juga sama seperti yang dilakukan oleh Hatta, pergi ke perpustakaan dan membaca buku-buku yang mungkin bisa memberikan informasi tentang hal-hal menarik yang mungkin terdapat di daerah yang mereka tuju. Menurut Wimo, waktu itu mereka mengusulkan tema atlet Balet dengan latar belakang klub balet Marlupi Sijangga yang terkenal di Surabaya, juga tema Banten sebagai kota sejarah, tema teropong bintang Boscha di Lembang, dan tema pekerja anak-anak di pabrik bola di Majalengka. Keputusan penentuan tema sepenuhnya terletak pada otoritas tim produksi yang ada di Jakarta, bukan pada perolehan tim riset sebagai ujung tombak awal di lapangan.

Menurut cerita Aryo Danusiri, ada daerah-daerah tertentu yang mempunyai beberapa tema menarik sehingga harus dipilih salah satu. Daerah Singkawang misalnya mempunyai 2 tema menarik yaitu barongsai dan keramik, sampai akhirnya dipilihlah barongsai sebagai tema salah satu episode film Pustaka Anak Nusantara. Sebaliknya, ada daerah-daerah tertentu yang akhirnya urung dijadikan lokasi syuting. Pilihan-pilihan daerah dan tema yang diambil, menurut Aryo, didasarkan pada 3 unsur yang harus ada pada suatu tema yaitu, unsur petualangan, unsur ilmu pengetahuan, dan unsur estetika.

Dengan demikian bisa dipahami mengapa tema episode Pustaka Anak Nusantara yang di Lampung bercerita tentang seorang anak perempuan yang berusaha memelihara kupu-kupu dan menceritakan panjang lebar proses metamorfosis dari ulat menjadi kupu-kupu, bisa juga dipahami mengapa film yang berlokasi syuting di Yogyakarta mengambil tema tentang gunung Merapi, mengapa tema film yang berlokasi di Lembang bercerita tentang peternakan sapi yang ada disana, dan mengapa pula film yang berlokasi syuting di Tanjung Puting, Kalimantan, mengambil tema tentang seorang anak laki-laki yang bersahabat dengan seekor orang utan bernama Adung di sebuah penangkaran orang utan disana. Ketiga episode film yang saya sebut diatas dipilih untuk mendapatkan unsur-petualangan, ilmu pengetahuan, estetika-dalam sebuah tontonan. Episode Adung Sahabatku yang ditayangkan pada 25 Juni lalu misalnya banyak bercerita tentang perilaku para orang utan yang hidup di penangkaran orang utan di Tanjung Puting, bagaimana mereka makan, apa yang terjadi kalau seekor orang utan sedang sakit. Pada episode-episode film tersebut juga selalu ditampilkan tokoh-tokoh untuk memperkuat kesan ilmu pengetahuan disana. Ada figur dokter hewan pada film Adung Sahabatku, dan ada figur seorang guru pada episode yang bertema kupu-kupu di Lampung.

Disadari juga oleh tim periset yang diwawancarai bahwa waktu riset yang pendek membuat pilihan-pilihan tema menjadi terbatas. “Riset dua hari itu cuma dapat apa?” cetus Hatta. Meskipun menurut pengakuan Hatta, jauh-jauh hari sebelumnya, sebenarnya tim riset sudah mendapat patokan supaya tidak terjebak dengan eksotisme. Tetapi waktu riset yang sempit menurut saya akhirnya membuat tim riset ini tidak ada bedanya dengan sekelompok turis yang melihat negeri ini dengan mata seorang pelancong yang kemudian menceritakan pengalamannya berkeliling daerah-daerah di Indonesia kepada penonton televisi Indonesia bahwa beginilah gambaran upacara adat penguburan jenazah di Toraja, bahwa ada kereta api uap di Ambarawa, atau bahwa ada Gunung Merapi di Yogyakarta, dan seterusnya.

FILM seri Pustaka Anak Nusantara ini mengatakan dirinya sebagai film multikultur, lantas mengapa episode-episode film ini hanya menunjukkan kehidupan salah satu suku saja, bukannya persentuhan sebuah suku dengan suku-suku yang lain? Episode Penari Japin misalnya, menceritakan tentang kehidupan seorang Wildan, si tokoh, yang berasal dari keluarga keturunan Arab dengan teman-temannya dan kerabat-kerabatnya yang juga orang Arab. Episode Singa Si Alun bercerita tentang Si Alun, seorang anak laki-laki keturunan Cina yang mempunyai kegiatan belajar menari Barongsai dengan komunitas sekitarnya yang juga terdiri dari keturunan Cina.

Aryo Danusiri mengatakan bahwa film ini berangkat dari persoalan multikultur yang sudah sedemikian rumit. “Saking rumitnya sampai-sampai pluralismenya saja nggak kena,” kata Aryo. Karena itulah film ini kemudian memutuskan untuk bertolak dari sisi multikultur yang sederhana yaitu identifikasi atau pengenalan sisi-sisi budaya yang berbeda-beda. Aryo kemudian menjelaskan empat tahapan multikulturalisme yang harus dilewati bangsa ini yaitu tahap pengertian, tahap penerimaan, tahap toleransi, dan tahap bekerjasama. “Pustaka Anak Nusantara masih berada dalam tahap pertama, yaitu pengertian dengan cara mengenalkan anak-anak dengan bermacam-macam suku bangsa yang ada di Indonesia. Film-film doku-drama yang berisi tahap pertemuan atau pergaulan antara suatu etnis dengan etnis yang lain, itu masuk dalam tahap bekerjasama yang akan dikerjakan dalam proyek pembuatan film-film doku-drama yang lain lagi,” kata Aryo. Dan karena itulah maka Pustaka Anak Nusantara ini disebutnya berbeda dengan Anak Seribu Pulau.

Film Anak Seribu Pulau, dalam istilahnya Aryo Danusiri, hanya mengetengahkan gambaran suku-suku seperti yang ada dalam gambaran Bhineka Tunggal Ika, dan melupakan bahwa ada etnis-etnis lain seperti Cina atau Arab yang sudah hidup bersama-sama dengan kita sejak dulu. Ketidaktahuan dan ketidakmengertian kita pada etnis-etnis yang dianggap asing itulah yang dipercaya sebagai salah satu cikal bakal terjadinya konflik antar etnis. Dengan alasan itulah, maka Pustaka Anak Nusantara berusaha keras untuk menunjukkan semua jenis etnis yang memang hidup di negeri ini. “Sekarang lihat film-film di Anak Seribu Pulau. Mana ada orang-orang etnis Arab dan Cina yang digambarkan disana?” tanya Aryo.

“Film Anak Seribu Pulau itu bagus, tapi tidak mempunyai visi yang jelas dan kongkret. Anak Seribu Pulau sebenarnya juga punya kesadaran multikultur, tapi belum terarah dengan baik. Lebih sebagai tontonan sensasi,” kata Garin Nugroho. Gunawan Rahardja, sutradara salah satu film Pustaka Anak Nusantara yang bertema upacara adat kubur jenazah di Toraja, Sulawesi Selatan, mengatakan bahwa film Anak Seribu Pulau itu lebih makro dan disutradarai oleh sutradara-sutradara yang sudah terkenal. Pada Pustaka Anak Nusantara, semuanya itu diperbaiki. “Menjadi lebih subtil, lebih detil, lebih tidak mengada-ada, dan lebih deskriptif,” kata Gunawan.

Anak Seribu Pulau adalah film yang pernah muncul di televisi Indonesia pada tahun 1996 dan diputar di semua stasiun televisi setiap hari Minggu pagi. Tipikal film Anak Seribu Pulau juga serupa dengan Pustaka Anak Nusantara yaitu film anak-anak bergaya dokumenter dengan mengambil latarbelakang kekayaan berbagai macam kebudayaan yang ada di Indonesia. Kesamaan tipikal kedua film tersebut, ditambah dengan nama Garin Nugrogo di belakangnya, membuat kemunculan Pustaka Anak Nusantara kerap diidentikkan dengan Anak Seribu Pulau.

Hanung juga bercerita tentang panduan atau aturan main yang harus ditaati oleh semua sutradara yang terlibat dalam produksi film Pustaka Anak Nusantara ini, yaitu bahwa film ini bersifat ensiklopedi dan bersifat dua dimensi, bukan tiga dimensi. “Mengingat film ini juga sebuah pustaka, maka kita datang kesana seperti sebuah turis yang memotret segala hal yang ada disana. Tidak boleh masuk terlalu dalam. Kalau masuk terlalu dalam, itu nanti pada proyek film dokumenter yang lain,” kata Hanung lagi.

Lalu apakah anak-anak yang hidup bertebaran di negeri ini tidak mengalami pergeseran kebudayaan? Bagaimana sebenarnya anak-anak itu dibesarkan di jaman seperti sekarang ini? Tingkat kemajuan daerah-daerah di Indonesia ini sangat beragam dan menunjukkan gradasi yang berbeda-beda. Tentunya, ini berpengaruh pada tingkat pengikatan masyarakat akan tradisinya masing-masing, dan akhirnya berpengaruh pada bagaimana seorang anak dibesarkan dalam ruang lingkup budaya aslinya. Misalnya, apakah anak-anak yang tinggal di kawasan Tanjung Puting itu benar-benar tertarik pada orang-orang utan, atau apakah anak-anak yang tinggal di Padang itu masih tertarik makan masakan Padang? Tentunya persoalan tersebut tidak bisa dicapai dengan tim riset yang hanya bertujuan untuk mencari poin-poin yang menarik di suatu daerah tanpa mempunyai pengalaman hidup di suatu daerah dalam tempo yang agak lama dan menghubungkan kehidupan anak-anak dengan praktek kebudayaan yang sedang berlangsung di daerah tersebut. Anak-anak akhirnya hanya jadi simbol yang ditempelkan begitu saja pada latar belakang kehidupan suatu daerah yang dianggap menarik untuk ditampilkan, bukan jadi titik sentral yang menjiwai seluruh isi film dokumenter Pustaka Anak Nusantara. Dan jawaban Aryo Danusiri yang mengatakan bahwa seri film yang saat ini sedang diputar memang hanya menampilkan satu sisi paling sederhana dari multikulturalisme, telah mengunci pertanyaan-pertanyaan diatas. Artinya, penonton sebaiknya berhenti berusaha mencari sisi-sisi pelik dan rumit dari multikulturalisme dalam film ini karena itu bukan bagian yang ingin dikupas dari Pustaka Anak Nusantara saat ini.

ARYO mengatakan bahwa selama melakukan syuting, mereka juga selalu didampingi oleh pemandu yang terdiri dari masyarakat asli daerah tersebut. Kehadiran pemandu-pemandu lokal tersebut, menurut Aryo membuat tingkat kepercayaan film seri ini tinggi. “Karena mereka kan masyarakat asli daerah itu. Merekalah yang memberi tahu kita hal-hal kecil yang tidak kita ketahui. Misalnya apa syarat-syarat sebuah upacara adat,” jelas Aryo. Dengan kata lain, kehadiran masyarakat lokal ini juga jadi jaminan bahwa film-film yang dibuat ini semuanya terdiri dari fakta, bukan fiksi.

Perdebatan antara fakta dan fiksi sebenarnya merupakan perdebatan lama dalam kajian media. Selalu ada pertanyaan-pertanyaan atau gugatan kepada tampilan suatu media: apakah ia seluruhnya berisi fakta atau fiksi belaka. Apakah hal-hal yang memang ada dalam suatu masyarakat, dan kemudian direkonstruksi kembali untuk kepentingan sebuah film, masih bisa digolongkan sebagai fakta atau sudah termasuk fiksi. Pertanyaan-pertanyaan itu juga bisa ditujukan untuk film ini.

Hanung Bramantyo, salah seorang sutradara film ini menuturkan pengalamannya selama melakukan syuting di sebuah pondok pesantren di Jombang. “Saya pernah mendapat pelajaran tentang film dokumenter ini di IKJ. Dari sana saya tahu bahwa film dokumenter ini sejauh mungkin tidak mau mengarahkan. Makanya waktu saya syuting di Jombang, saya mati-matian tidak mau melakukan rekonstruksi. Padahal waktu itu kameramen saya sudah bilang supaya adegan-adegan itu direkonstruksi saja. Alasannya, momen-momen menarik kan tidak bisa hadir begitu saja. Tapi saya tidak mau,” cerita Hanung.

Episode Pustaka Anak Nusantara yang mengambil tema anak-anak yang tinggal di pesantren di Jombang yang disutradarainya, menurut Hanung relatif bersih dari unsur rekonstruksi kecuali adegan belajar. Karena bertepatan dengan jam anak-anak pesantren ini belajar, ada momen lain yang lebih penting. Akhirnya adegan belajar ini kemudian direkonstruksi. “Saya tanya ke anak-anak itu bagaimana kebiasaan mereka kalau belajar. Ya, kemudian mereka saya suruh pura-pura belajar…,” kata Hanung.

“Tapi begitu saya pulang ke Jakarta, ternyata banyak sekali film-film yang direkonstruksi. Ketika saya bertanya mengapa film-film ini direkonstruksi, salah seorang kameramen yang ada disitu ngomong ke saya, kamu pikir film seri discovery itu film dokumenter, itu kan film hasil rekonstruksi juga. Kalau begitu, apa bedanya film dokumenter sama film cerita?” tanya Hanung.

“Yang penting adalah film-film ini sudah memberikan informasi yang jelas dan tidak memberikan pesan-pesan yang salah tentang masyarakat tersebut. Juga yang tidak boleh dilupakan adalah film tersebut juga harus mengandung unsur dramatika. Selama masih berada dalam ruang lingkup kebudayaan masyarakat tersebut, dan selama kita tidak menipu, atau mengarang-ngarang tentang kondisi suatu masyarakat, misalnya kita menambahkan elemen-elemen lain yang sebenarnya tidak ada disana, saya kira tidak masalah,” ungkap Aryo.

Melihat penamaan film seri ini sebagai sebuah doku-drama, term doku(menter) sendiri dalam film ini rupanya dimaknai sebatas pada tema-tema film yang memang berdasar pada fakta-fakta yang ada di lapangan. Sementara persoalan bagaimana memunculkan fakta-fakta itu dalam sebuah film bagi para pembuat film ini memang longgar karena bisa direkonstruksi atau dijadikan sebuah drama. Pustaka Anak Nusantara jelas mengandung fakta karena tema-tema yang digambarkan disana berdasarkan pada apa yang ada di lapangan, tetapi melihat cara yang digunakan untuk menggambarkan fakta budaya yang ada, bisa dikatakan ia juga mengandung fiksi.

MARIZA Hamid, ketua Yayasan Visi Anak Bangsa mengatakan bahwa SCTV dipilih sebagai tempat penyiaran seri film Pustaka Anak Nusantara karena SCTV dianggap sebagai stasiun televisi yang netral. “Kalau RCTI dan Indosiar kan mengandung saham orang-orang seperti Bimantara dan Liem Sioe Liong, sementara Anteve jangkauannya tidak terlalu luas. Makanya kita lantas memilih SCTV,” kata Mariza. Sementara TVRI jelas dipilih karena ia mempunyai jangkauan yang lebih luas daripada stasiun-stasiun televisi yang lain.

Film Pustaka Anak Nusantara ini merupakan salah satu program kerja Yayasan Visi Anak Bangsa. Visi Anak Bangsa sendiri pada awalnya merupakan program kerja dari kelompok Sains, Estetika dan Teknologi yang didirikan pada tahun 1987 oleh sekelompok anak muda dari Institut Kesenian Jakarta, termasuk diantaranya Garin Nugroho dan Arturo GP. Tahun 1997, Visi Anak Bangsa resmi menjadi Yayasan Visi Anak Bangsa, dan pada tahun 1999 kelompok Sains, Estetika dan Teknologi resmi menjadi Yayasan Sains, Estetika, dan Teknologi. Pada perkembangannya sekarang, Yayasan Sains, Estetika dan Teknologi dan Yayasan Visi Anak Bangsa bersifat saling melengkapi. Visi Anak Bangsa lebih terfokus pada fungsi hubungan masyarakat, social marketing dan funding system, sementara Sains, Estetika dan Teknologi lebih banyak berada pada lapangan produksi, penciptaan dan pengolahan ide.

Rating film Pustaka Anak Nusantara sendiri mencapai angka 4%. Artinya, setiap episode film tersebut ditonton oleh 4% dari populasi penonton televisi. Total populasi penonton televisi sendiri saat ini mencapai angka 27 juta.

“Untuk program lokal, angka yang diraih oleh film Pustaka Anak Nusantara ini sangat bagus. Dari pengalaman SCTV sendiri, belum ada program lokal, apalagi yang termasuk dalam kategori film dokumenter, yang mampu menembus angka 4 pada jam tayang tersebut di hari Minggu,” jelas Harsiwi, Manajer Perencanaan dan Pembangunan SCTV. Keberhasilan film ini juga dilihat dari fakta bahwa pada jam Pustaka Anak Nusantara ditayangkan, stasiun-stasiun televisi swasta yang lain beramai-ramai memutar film kartun yang juga pasti banyak peminatnya. Tapi bisa jadi juga rating yang tinggi itu diperoleh karena Pustaka Anak Nusantara di SCTV tidak punya banyak saingan. Pada jam yang sama, ia hanya bersaing dengan Crayon Shinchan di RCTI dan Teletubbies di Indosiar. Setelah jam 10 pagi, masih banyak film-film kartun lain yang bisa dinikmati anak-anak tanpa gangguan: Star Ranger dan B Robo Kabutaku di RCTI, serta Dr. Slump, Samurai X, dan Robotan di SCTV.

Selain berupa film seri di televisi, Pustaka Anak Nusantara juga akan terbit dalam bentuk buku dan compact disc. Yayasan Visi Anak Bangsa akan menerbitkan 3000 eksemplar buku seri Pustaka Anak Nusantara. Tujuan penerbitan buku ini diutamakan untuk disumbangkan ke perpustakaan-perpustakaan sekolah-sekolah dasar di Indonesia. Mariza Hamid dan Hera Mohammed, Manajer Produksi Pustaka Anak Nusantara, yang mendampinginya ketika wawancara mengatakan bahwa mereka bekerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional untuk menunjuk perpustakaan-perpustakaan sekolah dasar mana saja yang perlu diberi bantuan.

Belum semua buku seri Pustaka Anak Nusantara selesai dicetak. Anastasia Rina, ketua Yayasan Sains, Estetika, dan Tekonologi, pernah menunjukkan contoh buku seri Pustaka Anak Nusantara episode Rawa Biru ketika saya melakukan wawancara di kantor Yayasan Sains, Estetika dan Teknologi. Buku tersebut berukuran besar, dibuat dengan kertas art paper, berwarna, lengkap dengan sisipan sebuah compact disc di bagian depan. Isi bukunya merupakan versi lengkap dari cerita yang pernah ditayangkan di televisi, dilengkapi dengan bentuk-bentuk rumah yang ada di Papua, bentuk-bentuk permainan, dan bahasa-bahasa yang dipakai oleh anak-anak yang ada di sana. Semacam buku ensiklopedi ringan begitulah. Rencananya, buku dan compact disc itu juga akan dipasarkan kepada masyarakat dengan harga 45-50 ribu rupiah.

Berbicara soal tercapainya program film ensiklopedi ini tentu tidak bisa lepas dari pembicaraan soal sponsor. Seri film Pustaka Anak Nusantara ini disponsori penuh oleh Indofood. Setiap film yang terdapat dalam film ini menurut Garin Nugroho menghabiskan dana sekitar 175-200 juta rupiah, tergantung tingkat kesulitan daerahnya masing-masing. Untuk 32 episode film seri Pustaka Anak Nusantara, dana yang dikeluarkan untuk produksi film saja sudah berjumlah sekitar 6 milyar rupiah. Belum lagi biaya yang dikeluarkan untuk melakukan riset. Hatta misalnya, mengatakan bahwa ia mengantongi uang sekitar 8 juta rupiah untuk melakukan riset ke daerah-daerah yang ditujunya. Indofood merupakan perusahaan makanan yang menguasai pasar produksi mi instan dan makanan ringan di Indonesia. Makanya setiap pemutaran episode seri film Pustaka Anak Nusantara di SCTV selalu ramai dihiasi oleh iklan berbagai macam makanan ringan produk Indofood, sementara penayangan episode film ini yang di TVRI tentu saja sepi dari iklan. Tampaknya Indofood saat ini sedang giat mensponsori kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk publik anak-anak. Bagi Indofood, anak-anak adalah pasar potensial bagi produk-produk makanan ringan yang dibuatnya. Baru saja saya membaca sebuah artikel di KOMPAS 8 Juli 2001 yang menceritakan bahwa konser tunggal Sherina yang baru saja dilakukan juga terlaksana dengan dukungan dana dari Indofood.

Dana untuk mengembangkan Yayasan Sains, Estetika dan Teknologi dan Yayasan Visi Anak Bangsa juga diperoleh dari sponsor yaitu USAID. Saat ini Yayasan Sains, Estetika dan Teknologi mengembangkan dirinya menjadi lima divisi, yaitu: divisi multikultur, divisi desain informasi, divisi pendidikan dan penerbitan, divisi televisi publik, dan divisi produksi. Divisi multikultur bertujuan melakukan dukungan terhadap persoalan-persoalan multikultur dan konflik kedaerahan lewat media, sementara divisi pendidikan dan penerbitan bertujuan menerbitkan buku-buku yang menyangkut media dan demokratisasi. Divisi televisi publik yang kemudian menamakan dirinya sebagai Komunitas Televisi Publik Indonesia (KTVPI) dideklarasikan pada tanggal 30 Juni 2000 di Jakarta. Komunitas Televisi Publik Indonesia mempunyai tujuan untuk memelopori kelahiran televisi publik di Indonesia. Tapi baik Garin Nugroho maupun Mariza Hamid menolak menyebutkan berapa jumlah dana yang diterima dari lembaga asing tersebut. Seorang sumber dari USAID yang tidak mau disebutkan namanya menyebutkan bahwa saat ini USAID sudah tidak mendanai Visi Anak Bangsa lagi. Terakhir kali mereka mendanai Visi Anak Bangsa untuk pembuatan public service announcement dalam rangka Pemilu 1999 lalu.

Dari situs USAID, terdapat informasi bahwa budget OTI (Office of Transition in Indonesia) untuk tahun anggaran 2001 adalah 12,5 juta dolar. Khusus untuk bidang media sendiri disediakan 23 grant sebesar 357.823 dolar. Salah satu film Garin Nugroho yang jelas mendapat dana dari luar negeri adalah ‘Puisi Tak Terkuburkan’. Film itu mendapat dana dari Ford Foundation sebesar 30000 dolar.

BAGAIMANA respon anak-anak sendiri terhadap film itu?

Ridho Astika Putra, murid kelas 5 SD Jetisharjo II, Yogyakarta mengaku setiap hari Minggu selalu nonton film Pustaka Anak Nusantara. “Aku selalu nonton Pustaka Anak Nusantara. Itu film yang ada laut-lautnya itu kan….”

Sementara Riska, teman sekelas Ridho, mengaku tidak pernah menonton Pustaka Anak Nusantara. “Kalau jam setengah sepuluh pagi, aku selalu nonton Sinchan,” katanya.

Ristiani, murid kelas 4 SD Sindurejan I, Yogyakarta juga selalu menonton film Pustaka Anak Nusantara. “Tapi kalau nonton televisinya di rumah nenek, biasanya kalau iklan suka diganti sama Sinchan. Soalnya adik dan kakakku lebih suka nonton Sinchan. Jadi kadang-kadang, aku nggak bisa nonton penuh,” katanya.

Ketika ditanya mengapa ia senang dengan film itu, Ristiani mengatakan bahwa ia senang melihat anak-anak yang menggunakan bahasa daerah yang berbeda dengan yang ia gunakan. “Kayak anak-anak Dayak itu kan beda dengan kita,” katanya. “Tapi kalau di sekolah, kita jarang ngomong soal film. Yang diobrolkan itu biasanya grup-grup musik kayak Dewa, Padi, atau Westlife. Yang sering diomongin lagi paling-paling sinetron kayak Kera Sakti atau Misteri Gunung Merapi,” kata Ristiani lagi.

Apakah proyek sosialisasi multikultur ini akan berhasil? Pertanyaan ini tentunya bisa dibalik lagi dengan pertanyaan lain: apa tolok ukur keberhasilan film ini? Apakah proyek ini dinyatakan berhasil jika toleransi sudah tercipta dengan baik, atau kalau sudah tidak ada kerusuhan-kerusuhan lagi di Indonesia.

Para pembuat film ini menyatakan bahwa ini adalah proyek yang belum selesai. Film-film lain masih menunggu untuk dibuat. Berarti publik masih berkesempatan untuk melihat film-film doku-drama lain yang dijanjikan akan berisi sisi-sisi yang lebih rumit dari persoalan-persoalan multikultur negeri ini. Dan pasti, membutuhkan biaya yang tidak kecil jumlahnya.

Masih terngiang di kepala saya ucapan Mariza ketika saya akan pamit pulang dari mewawancarai dia siang itu, “Kami juga berencana akan membuat museum anak-anak tahun 2004 nanti. Kami sudah mulai mengumpulkan mainan-mainan anak-anak sedikit demi sedikit”.*

by:Nuraini Juliastuti