Berpacu Melawan Waktu

Ria Clara

Mon, 3 December 2001

PEREMPUAN ini tak pernah bercita-cita jadi wartawan.Lulus sekolah menengah atas pada 1982, Enny Nuraheni hijrah dari Wonosobo,sebuah kota kecil di lereng Gunung Merbabu, di Jawa Tengah, ke metropolitan Jakarta.

PEREMPUAN ini tak pernah bercita-cita jadi wartawan.Lulus sekolah menengah atas pada 1982, Enny Nuraheni hijrah dari Wonosobo,sebuah kota kecil di lereng Gunung Merbabu, di Jawa Tengah, ke metropolitan Jakarta.

Selama tiga tahun dia bekerja di bagian administrasi perusahaan kartu ucapan selamat Halmark. Pekerjaan itu membosankannya. Enny ingin kuliah. Dia memutuskan membantu kakaknya Yuriah Tanzil. Keluarga Tanzil buka usaha studio foto, di rumah mereka. Enny membayangkan bekerja di studio foto lebih kreatif. Dia bisa membuat dokumentasi foto dan meliput acara-acara kedutaan. seperti yang kerap dilakukan Yuriah.

Di sana Yuriah, mengajari adiknya cara menggunakan kamera. “Paling tidak saya berharap Enny bisa motret foto dokumentasi hitam-putih. Dengan ketentuan speed 60, diafragma sudah tertentu, karena pemakaian ASA juga tertentu. ASA 100 atau 200.” Kata Yuriah kepada saya.

Jepretan pertama Enny, didapatnya ketika memotret seorang diplomat Indonesia ketika si diplomat mendapat bintang di sebuah kedutaan asing di Jakarta. Ini untuk pesanan buat studio kakaknya. Untuk meningkatkan keahlianya, dia sering keliling kota Jakarta. memotret suasana di sekitar kota. Kakaknya menyarankan agar foto-foto Enny dikirim ke Indonesia Times atau Indonesia Observer.

“Saya bantu membuatkan caption fotonya.” kata Yuriah.

Sejak dari situ, saya yakin, Enny bisa menghasilkan foto yang bagus.”

Semasa hidupnya, Michael Tanzil, suami Yuriah pernah mengatakan pada Enny bahwa , memotret harus bisa menghasilkan. “Peralatan, maupun filmnya mahal,” kata Michael.

Enny lima tahun bergabung di Studio Tanzil, begitu nama studio milik keluarga Tanzil, kakaknya. Dia juga diajari cuci-cetak di kamar gelap.

Sembari bekerja pada kakaknya Enny bisa lulus dari Akademi Bahasa Asing pada 1986. Bahasa Inggrisnya lancar. Enny merasa butuh peningkatan karir. Dia sadar ikut kakak berarti kepandaiannya mentok sampai di situ.

SEMINGGU setelah lulus, Enny memotret di kedutaan Jerman. Dari sana dia mendengar informasi, bahwa Reuters membutuhkan fotografer yang bisa bekerja tetap. Reuters adalah kantor berita internasional dari London. Walau sudah cukup lama membuka biro Reuters lebih sering membeli foto dari biro hubungan masyarakat Istana Merdeka atau dari harian Kompas.

Pada suatu hari Minggu, perempuan ini memberanikan diri mendatangi kantor Reuters di Wisma Antara, Jalan Medan Merdeka Selatan. Tanpa telepon atau buat janji terlebih dulu. Di sana dia bertemu dengan Yeremi Clief, kepala biro Reuters di Jakarta ketika itu. Enny mengutarakan maksud kedatangannya. Ada dua laki-laki yang juga melamar.

Kepada Enny diberikan dua roll film. Terserah mau potret apa. Dia keliling Jakarta.

“Saya membidik pengayuh sepeda yang penuh oleh keranjang,” katanya pada saya. Seorang nenek sedang berjualan kue di pinggir jalan tak luput dari perhatiannya. Habis dua roll jeprat sana-sini, Enny kembali ke kantor,dia ingin tahu cepat-cepat hasilnya. Proses cuci-cetak dia lakukan sendiri di kamar gelap Reuters.

Kepada Clief, Enny mengatakan kamar gelap Reuters agak pengap dan tak dilengkapi dengan peralatan yang memadai.

Clief kaget melihat Enny mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Apa boleh buat? Untuk memperlancar pekerjaan, hari itu juga Enny memboyong segala peralatan cuci-cetak dari rumah kakaknya: tank, reels, timer, obat-obatan kain panjang, kertas.”Yang ada cuma kertas itu pun bukan kwalitas yang baik,” kata Enny.

Pukul 1:00 dini hari baru selesai. Clief sudah pulang, Enny memilih beberapa yang bagus untuk diletakkan di meja kerja orang nomor satu Reuters itu.

Keesokan harinya, Enny diterima bekerja. Sebagai pemula, tugas yang diberikan tak terlalu menyita waktu. Pulang kerja,dia masih bisa membantu Yuriah di studio. Statusnya pada September 1986 itu adalah stinger. Dia menerima honor berdasarkan hasil foto, tanpa gaji tetap.

“Enny rajin, tidak pernah mengeluh capek. Dia ingin tau segala seluk-beluk foto,” kata Yuriah.

Tujuh bulan setelah diterima, pekerjaan Enny semakin padat. Otomatis waktu santai semakin berkurang. Enny ditugasi mencari foto Ditje, berita kematian peragawati cantik itu sendang santer. Gosip yang beredar di Jakarta mengatakan dia punya hubungan asmara dengan Indra Rukmana, menantu Presiden Soeharto. Gosipnya mengatakan Siti Hardiyanti Rukmana, istri Indra, merasa direndahkan dan entah bagaimana Ditje yang jadi sasaran. Gosip ini tak pernah bisa dibuktikan apakah benar terkait dengan keluarga Soeharto. Namun pengadilan menghukum seorang dukun dengan tuduhan membunuh Ditje. Enny tak menemukan kesulitan. Sebagai pemilik studio foto,Yuriah memiliki banyak dokumentasi para artis maupun peragawati.

Karena hanya dia satu-satunya fotografer di Reuters, semua pemotretan dikerjakan oleh Enny. Dia harus mengetahui seluruh peristiwa yang terjadi saat itu. Masuk 1987 adalah masa-masa sibuk bagi Enny, dia hampir tidak pernah berada di rumah. Hamil 9 bulan Enny masih manggul kamera.

Suatu saat, dengan lensa panjang, dia pergi ke stadion Senayan memotret jalannya pertandingan sepakbola. Tiba-tiba para pendukung bentrok. Kalau saja perutnya tidak besar, Enny pasti sudah mengabadikan peristiwa itu.

Agus Wahyudi, fotografer dari Jawa Post yang beberapa kali meliput bersama, masih ingat, Enny nyaris tertembak di Timor Timur.” Dia berani cari berita. Kodratnya sebagai perempuan tidak mempengaruhi pekerjaannya. Saya kagum lihat dia. Malah kita yang laki-laki suka takut.”

Menjelang melahirkan, siangnya dia masih terlibat sejumlah penugasan. Setelah tiga bulan cuti hamil, tugas berikut sudah menunggu. Keluar kota dengan beragam peristiwa. Dari Sabang sampai Merauke sudah dia jalani.

Di Reuters pula Enny belajar foto berita. Enny sempat menghadapi kesulitan. Selama ini dia hanya mengkonsumsi foto dokumentasi. “ Foto news harus tepat waktu dan cepat,” katanya

“Saya banyak belajar foto dari Mbak Enny. Terutama untuk foto news. Saya akui dia adalah guru saya.” Kata Supri, tim kerja Enny di Reuters.

Suatu hari Enny ditugasi menghadiri acara jumpa pers dengan Rebecca Gilling. Ia baru sadar ternyata jadi wartawan foto tidak segampang yang dia bayangkan. Enny takut sekaligus bingung ketika meliput artis Australia itu. Puluhan wartawan srudak-sruduk, sikut sana-sini. Meski akhirnya berhasil memotret Gilling,Enny tidak puas. Pekerjaannya dianggap gagal.

Sadar akan selalu menghadapi hal serupa, wanita berposter kecil ini mulai bikin strategi. Datang lebih awal dan mengambil posisi paling depan. Agar lebih leluasa merancng rencana pemotretan. Dia nggak pernah perduli, dengan makian wartawan yang merasa terhalang. Bahkan tak jarang dia membawa tangga.

Oskar, fotografer Antara berpendapat, Enny salah satu dari sedikit wartawan foto yang punya wawasan tentang apa yang ingin dia potret. “Dia dapat mengembangkan gambar tidak sekedar gambar indah.”

Pada 1994, sekembalinya Enny dari pemotretan gempa bumi di Pulau Sulawesi, esok paginya dia sudah berangkat lagi ke Timor Timur meliput suasana penyidangan tokoh perjuangan kemerdekaan Timor Timur Xanana Gusmao.

“Kalau ingat itu, saya ingin nangis, kasihan anak-anak.”

Enny menikah dengan Tjahyono Hadiwinoto, seorang wiraswastawan yang buka usaha kontruksi dan dikarunia dua anak. Kini umurnya masing-masing delapan dan 12 tahun.

Bekerja di Reuters bukan cuma memotret, Jepretan harus secepatnya dikirim ke Hongkong, kantor regional Reuters terdekat dengan Jakarta, yang bertanggungjawab menyebarkan foto ke seluruh dunia. Seorang fotografer juga harus mengirim jepretannya secepat mungkin.

“Sebagai orang yang bekerja di kantor berita Reuters, di mana date-linenya cepat, Enny sangat pandai melihat celah pemberitaan dengan cepat untuk skala internasional. Dan itu dikerjakan dengan cepat oleh Enny,” kata Oskar.

Antara 1986 dan 1995, kemana-mana Enny membawa kamera dengan seperangkat alat kirimnya. “Kayak tukang sirkus. Kemana-mana harus bawa kotak besar ditambah alat kirim,transmitter,” katanya tergelak.

Namun seiring perkembangan jaman, mengirim foto tidak lagi serumit dulu. Peralatannya sudah semakin canggih. Enny sendiri mengalami empat kali pergantian sistim pengiriman foto. Dari cuci cetak hitam-putih, cuci cetak warna, hanya cuci lalu krim dengan scanner negatif, dan dengan scanner digital.

“Sekarang serba simple, cukup bawa handphone, dan (kamera) digital.yang diisi disk. Fungsinya sama seperti film terdiri 154 frame juga laptop. Proses pengiriman foto bisa dilakukan dimana saja. Di atas mobil pun bisa. Tinggal masukkan digital ke laptop, aku pasang handphone. Dalam waktu dua menit, foto sudah terkirim,” kata Enny. Jaringan penjualan foto, materi televisi dan berita Reuters beredar di lebih dari 100 negara.

Enny tahu konsekuensi pekerjaannya termasuk harus siap kapan saja di antaranya meliput kunjungan kepala negara atau kepala pemerintahan negara asing ke Jakarta. Salah satu yang mengesankannya adalah mengabadikan kanselir Jerman Helmut Kohl ketika dasinya dibetulkan oleh Presiden Soeharto.

Menurut Enny, orang yang lebih bisa menghargai pekerjaannya justru negara-negara luar. Nama Enny Nuraheni, dikenal oleh banyak kalangan pembaca Reuters di berbagai negara. “Sering orang luar merekomendasikan saya jika ke Indonesia. Meskipun belum kenal, mereka mencari saya.” Enny senang memiliki banyak teman.

MEMASUKI 1993 Enny Nuraheni bisa lebih santai. Dia sudah punya tim kerja di kantor karena Reuters mempekerjakan dua stinger. Supri dan Bea Wiharta.

Enny juga belajar dari rekan-rekannya di Reuters yang berada di berbagai belahan dunia.. “Hasil foto mereka umumnya dasyat,aku banyak belajar dari mereka.”

Bila ada peristiwa besar di Indonesia, misalnya ketika Paus Yohanes Paulus II datang ke Indonesia, Enny belajar dari mereka sekaligus tak perlu merasa kelabakan, karena dia dibantu oleh sesama fotografer Reuters yang datang dari Australia dan Perancis. “Mereka men-support saya.”

Mungkin ada yang kurang dalam karirnya, Enny tidak sempat menyeleksi foto-fotonya. Dia tidak pernah ikut pameran.dia tak pernah punya proyek pribadi. ” Waktu saya habis untuk Reuters. Harus menguasai berbagai liputan, dari Politik, ekonomi, apapun yang terjadi saya harus watching.”

“Tubuh Enny yang kecil justru menguntungkan. Dia lincah bisa nyusup kemana-mana.” Kata Agus.

Bagi Enny Reuters tempat kerja yang menyenangkan. Meski banyak tantangan. Dari hari- kehari dia bisa melihat banyak peristiwa.

Peristiwa yang tidak bisa dia lupakan ketika mengurus kartu wartawan dari biro sekretariat negara, setelah empat tahun, kartu sakti itu baru dapat ia miliki. Seluruh peraturan yang sudah digariskan harus dijalani. “Saya dipimpong. Pertama kali baru diberikan surat ijin untuk meliput sementara yang setiap tiga hari sekali harus diganti dengan surat ijin baru. Minta lagi surat ke Sekneg kemudian dicap di Tanah Abang. Surat ini berlaku hanya tiga bulan. Periode berikutnya, masa berlaku surat ijin diperlonggar. Dari seminggu sekali, sebulan sekali, tiga bulan sekali, enam bulan sekali, terakhir setahun sekali.”

Peristiwa Santa Cruz di Timor Timur 12 Nopember 1991, menelan banyak korban Sehari setelah peristiwa itu, Enny mendapatkan foto tumpukan baju berdarah-darah setinggi gunung di Santa Cruz. Malang tak dapat dielakkan, tidak ada satu foto pun yang bisa keluar dari Timor Timur. Semua jalur ke luar diblokir oleh militer. Kemanapun Enny pergi selalu dikuntit oleh intel. Dia diintimidasi dan ditakut-takuti.

Enny terbang ke Bali. Dari Bali foto-foto itu dikirim. Dalam seminggu, empat kali dia bolak- balik Timor- Timur, Bali.

Enny sudah sepuluh kali lebih ke Timor Timur.Terakhir ketika baru saja referendum. Suatu hari disaat dia sedang menunggu hasil cuci-cetak di rumah milik Reuters yang ada di sana, ada berita, Milisi menyerang kantor Untayed. Enny bergerak ke lokasi. Di jalan betul ada milisi, tapi hanya dua orang.

Setengah jam kemudian terdengar suara tembakan dari sebelah kanan kantor Untayed. Sekitar lima ratus meter dari situ, Enny melihat milisi mulai menembak. Kemana arah dan target penembakan tidak jelas. Keadaan yang semula tenang, berubah panik. Penduduk dan wartawan berlarian pontang-panting menyelamatkan diri. Adu cepat ke kantor Untayed yang letakkan cuma bersebelahan tembok. Enny tidak menyia-nyiakan peristiwa dasyat di hadapan matanya. Ia membidik. Sesekali dia membantu penduduk menggendong anak-anak mereka menyebrangi tembok berduri.

Enny menjadi takut, ketika dia sadar tinggal sendirian. “Suasananya mengerikan. Milisi hanya berjarak 500 meter.” kata Agus yang juga lari terbirit-birit. Enny cepat berlindung di kolong truk. Merasa tidak nyaman, karena kakinya tidak bisa disembunyikan, dia ke luar dari persembunyian, berteriak minta tolong. Dua laki-laki membantunya menaiki tembok berduri.

Suara tembakan membuat Enny semakin ketakutan. “Seluruh persendianku lemas seketika. Aku tak berdaya, apalagi menaiki tembok setinggi dua meter. Setiap kali mereka mengulurkan tangan, usahaku menyelamatkan diri sia-sia. Tubuhku selalu melorot. Di tengah keputusasaan, aku memohon, Ya Tuhan tolong aku.”

Seperti muzizat .Tubuh Enny terasa ringan, dia berhasil memanjat tembok.

Sejak itu Enny semakin yakin, dimanapun berada hanya Tuhan yang dapat memberi pertolongan,”

“Dia mobile. Pekerja yang gigih. Untuk bekerja di pers asing nggak gampang. Tapi Enny bisa tembus Apalagi ketika dia baru di Reuters belum menggunakan kamera digital,” kata Gino, redaktur foto harian Media Indonesia, menambahkan bahwa Enny, “Dengan kamera yang digunakan ketika itu, bisa menghasilkan foto yang bagus.”

Di Ambon terjadi perseteruan antara Islam dan Kristen. Keduanya membentuk kubu. Peristiwa mencekam itu sudah terekam ketika pesawat yang membawa Enny mendarat di Bandara Pattimura. Dia bersyukur bersama sejumlah wartawan diijinkan menumpang mobil tentara menuju pusat kota.

Enny menolak, karena dianggap satu-satunya wanita, dirinya diminta duduk di samping supir. Dia ingin dapat leluasa memotret seluruh kejadian. Sasaran bidikannya tertuju kepada sejumlah Brimob yang berdiri di bak truk dengan sikap siaga. Laras panjangnya siap menembak jika terjadi serangan.

Keadaan kota Ambon lumpuh total. Pohon-pohon sengaja ditumbangkan sebagai pembatas antara kedua kubu. Sampai di hotel semua peristiwa yang sempat diabadikan sepanjang jalan dicuci untuk kemudian dicetak, segera dikirim.

“Perkara blusak-blusuk ke pedalaman Enny orangnya. Baginya tidak ada halangan terjun dirimba seperti apapun.” Komentar Gino.

Enny Nuraheni lahir di Wonosbo 27 Desember 1960. kota kecil di bawah lereng Gunung Merbabu, di Jawa Tengah. Dia anak ketujuh dari 11 bersaudara. Ayahnya bekerja di Dolog, mengirim berbagai hasil pertanian di desa ke berbagai kota di sekitar. Sementara ibunya, punya usaha warung nasi. Lulus sekolah menengah atas, Enny hijrah ke Jakarta, di rumah keluarga kakaknya, Yuriah Tanzil.

“Enny punya latar belakang jurnalistik yang baik. Dia banyak belajar dari pengalaman,” kata Oskar.”

Ketika Agum Gumelar dan Widodo H.S menghadap Gus Dur Dengan wajah masam Agum ke luar dari ruangan. Waktu itu sudah pukul 2:00 dini hari. Di depan Istana, wartawan berebut mengabadikan Agum saat menyatakan ketidakaksetujuannya terhadap Dekrit. Enny berada di antara puluhan wartawan yang siap mengabadikan peristiwa itu. Dia tidak memperdulikan tubuhnya yang kecil terhantam dorongan rekan-rekannya. Enny terjerembab. Kakinya tersandung kabel televisi. Demi menyelamatkan kameranya, Enny bertumpu pada dengkulnya. Celana jeansnya berdarah-darah, dengkulnya robek.

“Naluri perempuannya terkadang mendominasi naluri wartawannya. Terkadang dia tidak sampai hati mengabadikan peristiwa yang memilukan. “ kata Agus.

Seorang ibu tersedu menangisi jenazah korban pesawat terbang.”Orang sedih kok jadi obyek,” Tuntutan pekerjaan bicara lain. Enny memotret.“Itulah tugas. Tapi kita harus punya etika, secepatnya setelah memotret mundur. Orang nggak senang dicecer terus.”

Sebagai fotografer Reuters, Enny cukup lama berbekal kamera Olimpus OM 1 dengan fix lense 300 mm, widenya 24 mm. Sekarang dia sudah punya yang 300 mm.

Ke mana pun Enny pergi, dia selalu membawa dua camera. Digital dan kamera EOS- 1N. Ke tempat peribadatan sekalipun Enny membawa kamera, walau hanya kamera pocket.”Boss menyarankan harus siap di mana saja.”

Peristiwa tanah longsor di Bukit Tui, Padang pada 1986 menimbulkan banyak korban. Enny sampai dilokasi pukul 16.00 Itulah kali pertama dia mengoperasikan alat kirim foto S16. Dia masih sempat menyaksikan sebuah traktor mengangkat para korban. Enny yakin dapat foto yang bagus. Kemudian dia langsung cari studio foto terdekat.Dia belum mau menset-up kamar gelap sendiri. Karena sudah malam tidak ada studio foto yang buka. Lalu dia mendatangi salah satu toko yang biasa menangani foto hitam-putih. Dengan segala argumen akhirnya Enny diijinkan asal menggunakan obat sendiri.

Karena gugup, Enny lupa mencampur salah satu obat ke dalam cairan developer. Begitu film dicuci ternyata hasilnya blank, alias kosong.”Dua roll kosong semua,” kata Enny yang setelah pengalaman itu selalu menyulap kamar mandi hotel sebagai kamar gelap.

Malam itu juga Enny mencari fotografer yang sama-sama memotret di lapangan. Dia berjanji kepada Julian Sihombing untuk terlebih dahulu minta ijin ke majalah Jakarta-Jakarta, tempatnya bekerja di Jakarta. “Untuk kegagalan seperti itu di Reuters tidak jadi masalah, selama masih dapat mengusahakan foto lain,”

Ada satu yang terkesan dalam dirinya. Salah satu jepretan Enny menggambarkan bocah Timor Timur tengah berdoa dipilih sebagai kartu ucapan natal Reuters Foundations yang berada di kota London.

“Foto ini saya ambil saat prosesi Hari Bunda Maria di Dili.”

Kartu ucapan itu kemudian diperjualbelikan sebagai amal kemanusiaan. Hasil penjualan senilai 35 juta diserahkan Enny kepada penduduk di Timor Timur. "Saya hanya perantara dari Tuhan," katanya."

Sesunguhnya Enny kurang suka mengabadikan foto-foto kejadian tragis. Peristiwa Santa Cruz , di Timtim12 November 1991, Enny memotret gunung berdarah. “Saking banyaknya korban, baju-baju berlumur darah itu banyaknya sampai setinggi gunung. Saya heran, kenapa tentara hanya mengambil tubuh korban, sedangkan bajunya dibiarkan dikuburan.” Termasuk kasus Semanggi dan kasus-kasus berdarah lainnya. “Saya sudah muak memotret seperti itu. Kenapa orang luar harus melihat kehancuran negara ini. ”katanya kepada saya.

Di tengah jadwal padatnya sebagai pewarta foto, Enny menyempatkan diri memotret obyek foto bernuansa human interest. “Foto jenis ini membuat saya cooling down.”

Enny lebih suka memotret dengan sudut pandang keindahan. Dia memiliki foto human interest dari kawasan favoritnya, Wamena, Timor Timur, Sumba dan Dayak.

Foto menurut Enny dapat berbicara. “Kalau dengan tulisan, kita hanya dapat mereka-reka. Foto adalah realita selama tidak dimanipulasi oleh komputer. Tanpa cerita pun foto bisa jadi berita. Foto adalah kreasi antara hati dan otot yang kita tumpahkan.”

Sesekali Enny menyempatkan waktu mengunjugi pameran foto. Mencoba mengetahui cara rekannya mengambil sudut pemotretan.

Ada satu obsesinya yang sampai kini belum terlaksana. Enny ingin membuat buku tentang perjalanan hidupnya sebagai fotografer. “Tentu jika Tuhan mengijinkan.”*

kembali keatas

by:Ria Clara