MUSIM panas, Agustus 2001. Namun, Amsterdam terasa dingin. Sesekali gerimis. Di tengah kerumunan orang-orang kulit putih, seorang lelaki Melayu berdiri tenang. Jas abu-abu dan rompi cokelat membuatnya kelihatan seperti Belanda totok. Namanya Ibrahim Isa. Ia seorang pelarian politik.

Bersama istri dan seorang anaknya, Isa tinggal di daerah Belberg, sebuah kawasan pendatang Afrika di Belanda.

“Khusus di tempat saya ini, sulit mencari orang bule, kebanyakan penghuninya dari Suriname, Nigeria, Namibia, Ghana .… Itu akibat politik Amsterdam, setiap orang kulit hitam mencari rumah selalu dibilang tak ada, kosong. Jadi, akhirnya semua ngumpul di sini.”

Isa dan keluarganya sudah 15 tahun tinggal di situ, daerah yang terkenal sarang pencuri dan pecandu obat bius.

Isa gemar menulis. Bukunya yang berjudul Suara Seorang Eksil diterbitkan Pustaka Pena, Jakarta. Kini ia menulis buku baru tentang Gerakan Asia-Afrika. Ia dulu terlibat dalam menggalang solidaritas bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Selain menulis, Isa bekerja di lembaga penelitian yang turut ia dirikan, Stichting Asie Studies, Onderzoek en Informatie di Amsterdam. Ia juga anggota Amnesty International Belanda.

Menurut Isa, di Belanda sekarang ada sekitar 300 orang pelarian politik akibat peristiwa 1965. Sebagian sudah meninggal dunia, sedang yang hidup masih melakukan aktivitas politik, meski tidak giat dan luas. Salah satu faktornya adalah usia dan bahasa. Sebagian besar pelarian ini sudah berumur di atas 50 tahun dan hanya sedikit dari mereka yang mampu berbahasa Belanda atau Perancis secara lancar, walau sudah tinggal di negara pemberi suaka itu hampir dua puluh tahun. Padahal, bahasa merupakan kunci agar bisa melakukan aktivitas bersama masyarakat setempat.

Aktivitas politik berjalan ketika ada tokoh Indonesia yang berkunjung. Kunjungan Sri Bintang Pamungkas, Abdurrahman Wahid, Budiman Sudjatmiko dan Pramoedya Ananta Toer, bisa menyedot perhatian mereka. Namun, pertemuan-pertemuan politik yang mereka selenggarakan tak banyak menyedot pengunjung di luar komunitas tersebut.

Kebanyakan pelarian politik bergabung dalam organisasi persaudaraan, antara lain arisan sambil pentas musik keroncong. Mereka berkumpul jika ada orang yang meninggal. Tak heran jika sering ada ejekan bahwa PKI singkatan dari Perkumpulan Kematian Indonesia.

Menurut Mugiyanto, mantan perwakilan Partai Rakyat Demokratik (PRD) di Belanda, mereka mempunyai circle politik sendiri-sendiri. Mereka terpencar-pencar dalam berbagai organisasi.

“Ada yang masuk PRD, ada yang Masuk GRI (Gerakan Rakyat Indonesia), ada yang masuk YPKP (Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966) dan ada juga yang masuk Pakorba (Paguyuban Korban Orde Baru),” kata Isa.

Beberapa di antara mereka bergabung dengan partai negara setempat, seperti menjadi anggota Marxist-Leninist Partei der Deutschland (MLPD) dan Socialist Partie der Deutschland (SPD). MLPD berhaluan Maois, sedang SPD Sosial-Demokrat.

Hubungan pelarian dari Indoinesia dengan para pelarian politik kasus Aceh, Ambon, dan Papua Barat kurang baik, karena mereka berteguh memegang konsep negara kesatuan.

“Kami tidak setuju mereka, karena ingin mendirikan negara sendiri. Mereka bilang, kita kan sama-sama melawan Soeharto. Betul, kita sama-sama melawan Orba, tapi Anda-anda itu tujuannya lain,” ujar Isa.

“Dengan orang Papua juga baik. Di Swedia juga ada yang berhubungan dengan kelompoknya Tiro. Kita bilang bahwa kita menentang tindakan yang tidak demokratis, penindasan di Aceh, tapi kami tidak setuju mereka memisahkan diri,” kata Isa, lagi.

Namun, GPDI bekerja sama mendukung aktivis Aceh. Pada Juli dan Agustus 2001, GPDI mendistribusikan tulisan yang memprotes represi tentara di Aceh.

Menurut Oei Hoy Djoen, mantan anggota parlemen dari fraksi Partai Komunis Indonesia (PKI), konflik-konflik sesama pelarian pelarian Indonesia amat rumit.

“Like and dislike, subyektif, dan sangat personal. Pertentangannya saling mengucilkan, intrik-intriknya tidak karu-karuan,” katanya.

SEBUAH rumah makan di Rue De Vrugirard 12, daerah Paris 6, tak jauh dari kampus Universitas Sorbone dan gedung Teater Nasional Odeon, sebuah rumah makan bernama Restoran Indonesia sudah 16 tahun berdiri.

Daerah ini dikunjungi banyak wisatawan. Saat itu 11 Agustus, pukul 19.00. Matahari masih menyinari Paris yang diguyur gerimis. Oemar Said atau Markam, duduk sendirian di kursi dekat pintu. Tubuhnya kecil namun berotot. Raut mukanya menggambarkan seorang pekerja keras yang suka humor.

“Mari! Mari! Silakan masuk!”sambutnya ramah, “Kalau ke Perancis, harus minum anggur, ya!” kata si pelarian politik itu sambil mengaliri gelas saya dengan anggur merah.

Oemar Said mantan wartawan. Ia sering menulis opini tentang politik dan demokratisasi di Indonesia.

“Saya menulis kadang-kadang seminggu dua kali, atau setidak-tidaknya satu kali dalam seminggu,” tuturnya.

Tulisan-tulisan Oemar dimuat di berbagai mailing-list, seperti Apakabar, CARI (Committee Anti Racism Indonesia), HKISS (Hong Kong Indonesian Student Society), dan ASIET (Action in Solidarity with Indonesia and East Timor). Ia juga pernah menulis untuk harian terkemuka di Perancis, Le Monde Diplomatique. Le Monde Diplomatique adalah suplemen Le Monde, bacaan untuk kalangan diplomatik. Tulisannya juga pernah dimuat berbagai media di Indonesia, seperti Oposisi, Tekad, Pikiran Rakyat, dan Astaga!.com.

Di masa Soeharto ia sempat menulis dengan nama samaran. Namun, sejak Soeharto tak lagi presiden, ia kembali menggunakan nama aslinya. Oemar memilih menulis di internet dibanding media cetak, “Sekali klik, tulisan saya langsung terkirim ke lebih dari lima ratus alamat. Dan itu dibaca oleh puluhan ribu orang.”

Karir jurnalisme Oemar tak tanggung-tanggung. Ia pernah memimpin harian Ekonomi Nasional. Pada 1963-1966, Oemar menjabat bendahara Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat. Pada 1967, ia menjadi bendahara Konferensi Wartawan Asia Afrika (PWAA). Dua minggu sebelum terjadi peristiwa 1965, Oemar terbang ke Santiago, Chile, untuk menghadiri kongres International Organization of Journalist (IOJ). Setelah peristiwa tersebut, kantor pusat PWAA dipindahkan dari Jakarta ke Peking, karena sekretaris jendral PWAA, Sudjarwoto, sedang menjabat duta besar Indonesia untuk Republik Rakyat Cina (RRC). Oemar menetap di Peking sampai 1973, lalu pindah ke Paris.

Karir jurnalistiknya ia teruskan di Paris. Sejak 1973, ia menerbitkan majalah bulanan Ekonomi Tiongkok. Harian tersebut cukup dikenal kalangan pengusaha di Paris, terutama yang mempunyai minat berdagang dengan RRC. Oemar menangani sendiri media tersebut, dari urusan pengumpulan data sampai pendistribusian.

“Sewaktu saya datang ke Paris pertama kali, saya heran melihat dia menerima fax dari Tiongkok.Ia baca, ia seleksi, dan ia tulis. Itu dilakukan setiap hari, sendiri. Pekerjaan tersebut normalnya dilakukan oleh 20 orang,” cerita Joesoef Isak yang mengunjungi Paris pada 1973, selepas dari Pulau Buru.

Kini Ekonomi Tiongkok telah ditutup, karena Oemar sudah terlalu tua untuk bekerja. Ia tinggal menikmati uang pensiun dari media tersebut. Ekonomi Tiongkok didaftarkan sebagai perusahaan resmi di Perancis dan membayar iuran dana pensiun untuk satu-satunya karyawan: Oemar Said.

Restoran Indonesia buka mulai pukul 19.00. Dari daftar pengunjungnya, ada beberapa menteri dan presiden yang pernah berkunjung.

“Sewaktu Gus Dur makan malam di sini, banyak orang Indonesia berkumpul. Gus Dur secara langsung ngomong dengan Iba dan menyatakan permintaan maaf,” kata Oemar.

Iba yang dimaksud tak lain dari Ibaruri Aidit, putri Dipa Nusantara Aidit, ketua komite sentral PKI yang dibunuh.

Jumlah pelarian politik Indonesia di Paris tak sebanyak di Belanda. Di sana hanya ada sekitar 15 orang, sebagian telah meninggal dunia.

PADA 27 Juli 1996, terjadi kerusuhan di Jakarta akibat penyerbuan kantor Partai Demokrasi Indonesia. Peristiwa itu berbuntut tuduhan pemerintah terhadap PRD sebagai dalang peristiwa tersebut. Tuduhan berkembang menjadi isu bangkitnya gerakan komunis.

Sobron Aidit, adik kandung Dipa Nusantara Aidit, dituduh sebagai orang yang berada di belakang PRD.

“Wah ini celaka!” kata Sobron ketakutan seperti yang ditirukan Agustin Sibarani, seorang kartunis.

Sobron yang juga penyair ini mendirikan Restoran Indonesia lantaran kesulitan mencari nafkah di Paris. Pada 1982 pengangguran terus meningkat di Perancis, dari ratusan ribu menjadi lebih dari tiga juta orang. Untuk pekerjaan kasar saja ia harus bersaing dengan migran dari Eropa Timur atau negara bekas jajahan Perancis di Afrika dan Asia.

Restoran Indonesia pernah dituduh sebagai “sarang pelarian politik” oleh pemerintah Indonesia. Saat Mokhtar Kusumaatmadja menjabat menteri luar negeri Indonesia, kedutaan besar Indonesia di Paris pernah mengeluarkan surat edaran agar tidak mengunjungi Restoran Indonesia.

“Tapi, soal makan dan soal selera tidak bisa diinstruksikan dengan ultimatum moderat atau keras sekalipun,” ujar Sobron.

Pada 1999, muncul restoran Warung Indonesia yang didirikan oleh A.M. Hanafi, mantan dutabesar Indonesia untuk Kuba. Letaknya di daerah pemukiman orang kaya, Paris 16.

Warung Indonesia tak selaris Restoran Indonesia. Sibarani, sahabat Hanafi di Partai Indonesia, mengatakan ada semacam persaingan antara dua restoran tersebut.

Pada 1998, Sibarani mengunjungi Paris untuk pameran kartun. Program ini diorganisasi oleh Oemar dan Iba bekerja sama dengan Reporters San Frontieres. Sesampainya di Paris, ia dijemput oleh anak A.M. Hanafi.

“Tiba-tiba, Oemar Said membatalkan rencana pameran. Dia bilang akan berangkat ke Beijing hari ini, untuk bertemu Jusuf Adjitorop,” keluh Sibarani.

Namun, Sobron tak merasa Restoran Indonesia terancam oleh Warung Indonesia.

“Kalau ada pelanggan bertanya, apakah ada resto Indonesia lainnya, kami selalu menjawab dan memberikan alamat resto Indonesia lainnya itu. Dengan senang hati, dengan senang hati!” tulis Sobron dalam salah satu emailnya untuk saya.

BERITA dari tanah air selalu dinanti-nanti mereka yang tinggal jauh di negeri orang. Para eksil di Perancis berupaya memenuhi kebutuhan informasi ini. Sejak 1970-an, mereka mengumpulkan iuran untuk berlangganan Kompas lewat pos udara. Mereka membacanya secara bergilir.

“Kami menerimanya terlambat satu minggu,” kata Oemar.

Mengapa memilih Kompas?

“Kompas mempunyai kelebihan netral dan, dalam tanda kutip, obyektif. Pada waktu itu.” Oemar berargumentasi.

Selain melalui Kompas, mereka mengikuti berita melalui siara radio dan televisi di Eropa. Mereka menyimak Radio Perancis dan Televisi Perancis. Di Belanda, Radio Netherland sulit ditangkap.

“Radio Netherland ditujukan untuk orang-orang di tanah air,” kata Isa.

Para pelarian politik di Belanda kebanyakan berlangganan majalah Tempo atau Gatra. Selain itu, mereka mengikuti perkembangan di Indonesia dari media setempat, terutama Volksraad dan Metro. Metro adalah koran gratis di Belanda, yang sering memuat berita soal Indonesia.

Tentu saja, tak semua orang punyai akses terhadap media dari dalam negeri. Oleh karena itu, beberapa orang dari mereka menerbitkan Buletin Informasi. Buletin ini berisi potongan-potongan berita dari koran dan majalah. Teknik produksinya sederhana: difotokopi. Banyak orang Indonesia di Perancis, Belanda, dan Jerman yang berlangganan buletin ini.

Selain Buletin Informasi, ada Setia Kawan yang diterbitkan oleh sepasang suami-istri, Darmini dan Harsono. Alat produksinya sebuah mesin tik. Darmini lancar berbahasa Inggris, Perancis, Jerman, dan Belanda, kekecualian dari banyak teman senasibnya.

Para pelarian juga memperoleh informasi tentang Indonesia melalui surat-menyurat dengan keluarga. Mereka menggunakan nama samaran jika berkirim surat. Namun, sebagian besar tak melakukan kontak dengan keluarga sama sekali. Delegasi, nama lembaga yang menganggap dirinya sebagai perwakilan tunggal partai dalam pelarian, pernah menginstruksikan agar tak ada lagi yang menghubungi keluarga di tanah air demi keamanan.

Teknologi internet sangat bermanfaat. Para pelarian politik ini pun mulai meliriknya.

“Internet sangat murah,” kata Oemar.

Kebanyakan dari mereka memiliki akses internet, baik di tempat kerja ataupun di rumah.

Walau informasi dari Indonesia kini sangat mudah didapat, tapi untuk memahaminya tidaklah mudah. Mereka meninggalkan Indonesia sewaktu bahasa Indonesia masih menggunakan ejaan lama. Pada 1975, pemerintah menerapkan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).

“EYD itu mudah dipelajari.Tapi kami ini kan punya kecenderungan menolak apa yang dari Orba, ya, jadi waktu itu banyak yang menolak,” ujar Isa.

EYD memang bisa dipelajari, tapi istilah-istilah baru terus bermunculan.

Suminar, mantan mahasiswa pertanian Universitas Peking, misalnya, sering kesulitan memahami istilah-istilah baru, “Misalnya itu, tujuh bahan pokok itu disingkat apa?”

Pada 1 OKTOBER 1965 adalah hari Revolusi Cina. Seperti tahun-tahun sebelumnya, ada upacara besar-besaran di Lapangan Tian Anmen. Peringatan tersebut dirayakan secara kolosal dengan pawai yang diikuti ratusan ribu orang. Mereka akan mendengar pidato Mao Tse Tung, pemimpin revolusi mereka. Seperti biasanya, banyak kader partai komunis dari berbagai negara yang diundang.

PKI merupakan partai komunis terbesar setelah Partai Komunis Cina (PKC) dan Partai Komunis Rusia. Akhir September 1965, beberapa pesawat dari Jakarta mengangkut para kader buruh, tani, dan mahasiswa untuk menghadiri acara tersebut. Tak semua orang mendapatkan kesempatan yang membanggakan ini, kecuali kader-kader pilihan, kader-kader berprestasi dan loyal pada partainya.

Sama sekali tak terbayangkan bahwa perjalanan rombongan dari Indonesia akan menjadi kunjungan yang permanen.

Pada 30 September 1965 terjadi peristiwa besar di tanah air. Tujuh jenderal diculik dan dibunuh. Tak disangka-sangka, peristiwa ini berbuntut panjang. PKI dituduh melakukan kudeta. Peristiwa itu disusul pembunuhan dan pemenjaraan jutaan orang.

Banyak mahasiswa Indonesia yang tengah belajar di RRC dan Rusia ketika itu. Mereka mendapat beasiswa dari pemerintah, partai, dan lembaga-lembaga lain. Mereka adalah orang-orang yang akan diandalkan untuk membangun Indonesia. Oleh pemerintahan Soekarno, setiap partai diberi hak merekomendasikan orang-orang untuk dikirim kuliah ke luar negeri, terutama ke Peking dan Moskow.

Selain yang tengah belajar, ada juga yang berkunjung lantaran tugas organisasi atau aktivitas lain. Saat itu keluarga Aidit juga berada di luar negeri. Salah seorang diantaranya, Iba yang baru berumur 8 tahun.

Menurut Oei, mereka tak bisa disebut exile atau pelarian politik.

“Exile itu pelarian politik, émigré politik, di negerinya dikejar-kejar, prosecuted. Tapi mereka ini kader yang mendapatkan fasilitas, sedang kuliah di luar negeri, menghadiri Satu Oktober dan sebagainya,” katanya.

Beberapa orang yang nekad kembali ke tanah air mengalami nasib buruk. Haryo Kecik, seorang pelukis terkenal dan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), harus menjalani hidup di penjara dan Pulau Buru. Nasib yang sama dialami Soesilo Subagio Toer, adik Prameodya Ananta Toer, yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di Universitas Patrice Lumumba, Moskow. Adik kandung anggota politbiro PKI Sudisman, Sadiman, yang waktu itu tengah melakukan kunjungan ke luar negeri sebagai anggota parlemen, terpaksa harus masuk bui.

MAO Tse Tung melancarkan Revolusi Kebudayaan pada 1965 sampai 1968. Peristiwa ini lahir dari konflik di antara para pimpinan PKC. Konflik tersebut bermula dari persaingan antara kelompok Mao dan kelompok Deng Xiaoping. Mao berpendapat bahwa partainya telah dipenuhi orang-orang brengsek dan revisionis. Orang-orang tersebut harus dibersihkan.

Intrik, faksionalisme, dan sikap saling curiga menyebar di mana-mana. Aksi pembersihan meluas dan melahirkan berbagai macam kekerasan. Orang-orang yang tadinya punya kedudukan terhormat, tiba-tiba dihukum. Sesama teman mendadak bermusuhan. Banyak kader dipenjara dan dibunuh.

Revolusi Kebudayaan berpengaruh dahsyat bagi anggota PKI di RRC. Mereka ikut terpecah-belah.Beberapa orang yang menolak Revolusi Kebudayaan lari dari RRC. Agam Wispi, seorang penyair mantan anggota LEKRA, lari ke Jerman dan mengeritik komunisme ala RRC ini.

“PKI yang oleh orang luar dikenal sebagai partai yang solid, monolit, mulai saat itu terjadi kristalisasi.”

Di saat bersamaan, Delegasi mendapat tentangan dari sejumlah kader PKI. Di Moskow, Thomas Sinuraya mengaku sebagai perwakilan PKI di luar negeri.

Banyak isu penting yang terus-menerus menjadi sumber konflik selama puluhan tahun di negeri orang. Persoalan siapa yang bertanggung jawab atas peristiwa 1965 adalah sumber perdebatan yang menimbulkan konflik tak kunjung selesai. Masing-masing saling menyalahkan.

Menurut Oei, Gerakan 30 September terjadi karena kesalahan pemimpin-pemimpin partai, “Jangan melulu menyalahkan Soeharto dan CIA. Kalau para pemimpin PKI waktu itu bener, tidak mungkin terjadi G30S itu,” sergah Oei.

Konstalasi ekonomi global terus-menerus berubah. RRC mulai melirik ekonomi pasar. Perdagangan internasional, bagi RRC, menjadi semakin vital. Industri di RRC yang tengah berkembang menuntut pasar-pasar baru. Indonesia yang waktu itu mempunyai penduduk sekitar 150 juta tak bisa diabaikan. Bahkan RRC melihat Indonesia semakin penting sebagai mitra dagangnya.

PKC pun mulai mengembangkan hubungan dengan Golongan Karya (Golkar), partai yang paling kuat di Indonesia saat itu. Hubungan baik PKC dan Golkar sangat penting bagi hubungan dagang Indonesia dan RRC.

Namun, ada satu hal yang mengganjal. Presiden Soeharto tetap tak ramah pada RRC. Tentu saja karena RRC dituduh berada di balik peristiwa 1965. PKC, satu-satunya kekuatan politik yang mempunyai hak hidup di RRC, adalah partai yang selama ini mendukung PKI. Bahkan, RRC saat itu menjadi negara yang menampung para pelarian politik 1965.

Solusinya? Pemerintahan RRC mengeluarkan himbauan agar pelarian politik dari Indonesia yang saat itu jumlahnya sekitar 600 orang harus segera meninggalkan RRC. Pemerintah RRC hanya menjanjikan tiket pesawat one way dan uang saku secukupnya.

Hal ini membuat mereka kalang-kabut. Mereka sudah terlanjur menyatu dengan rakyat RRC. Beberapa diantaranya, bahkan sudah menikah dengan penduduk setempat. Hal yang paling merisaukan adalah mereka tak punya kewarganegaraan.

Namun, harapan selalu ada di tengah situasi tak menentu. Negara-negara Eropa Barat dikenal ramah terhadap para pelarian politik. Mereka pun beramai-ramai menuju Jerman, Belanda, Perancis dan negara lain, tanpa paspor.

Tak berapa lama, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan stateless passport. Kini para pelarian itu menjadi warga negara setempat.

Jusuf Aditjorop tetap di RRC, sebagai perwakilan PKI, sampai meninggal pada 1999.

HARAPAN untuk kembali jadi warga negara Indonesia dan berkumpul dengan sanak keluarga timbul lagi di benak para pelarian itu ketika Abdurrahman Wahid menjabat presiden Indonesia pada 1999. Terlebih saat Gus Dur mempromosikan pencabutan TAP MPRS No. XXV/1966 yang melarang ajaran Marxisme-Leninisme.

Gus Dur mengirim Menteri Hukum dan Perundang-undangan, Yusril Ihza Mahendra, untuk menemui mereka. Ratusan orang dari seluruh Eropa berkumpul di kedutaan besar Indonesia di Den Haag, Belanda.

“Kita ini kan satu bangsa, kini situasi sudah berubah,” kata Yusril, sebagaimana ditirukan Isa.

Mereka terharu. Beberapa orang menangis sejadi-jadinya.

Selama tiga puluh tahun lebih mereka tak pernah menginjak kantor kedutaan, kecuali untuk demonstrasi kecil di luar pagar.

Beberapa bulan kemudian, Yusril berselisih dengan Gus Dur. Ia mengundurkan diri dari jabatan menteri. Pemerintahan Koalisi Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri pecah. Pada 21 Juli 2001, Gus Dur diturunkan dari jabatannya melalui Sidang Istimewa yang diselenggarakan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Megawati menggantikan Gus Dur. Tapi, Mega dinilai kurang responsif terhadap nasib orang-orang kiri.

Suminar, yang kini tinggal di Zeist, Belanda, berkomentar, “Dengan naiknya Megawati, harapan menjadi tipis, karena ia digunakan oleh Orde Baru dan militer. Mega tak mewarisi cita-cita dan pikiran Soekarno yang maju.”

Sidik Kertapati pernah menemui Baharrudin Lopa, yang menjabat jaksa agung, untuk memohon kembali kewarganegaraannya, namun tak membuahkan hasil.

Sebenarnya, usaha tersebut sudah dilakukan sejak masa pemerintahan presiden Soeharto. Hanafi, misalnya, pernah berusaha mengambil hati Soeharto dengan menulis buku yang isinya memuji-muji Soeharto agar ia diizinkan pulang. Usaha itu gagal. Karena kecewa, maka ia menulis buku baru yang isinya menyerang Soeharto, Hanafi Menggugat. Hanafi baru bisa kembali ke Indonesia ketika Gus Dur memerintah.

Basuki Resobowo, seorang pelukis anggota LEKRA, pernah berupaya untuk bisa mengakhiri hidupnya di Indonesia. Keinginan ini tak tercapai. Resobowo meninggal di negeri Belanda tahun 1997.

Sekarang para pelarian itu sudah tua dan tak mampu bekerja lagi. Mereka hidup dari tunjangan pemerintah. Kehidupan ekonomi mereka di Eropa lebih baik dari rata-rata orang Indonesia.

“Di sini orang dilarang tidak punya rumah, dilarang lapar, dilarang tidak punya pakaian. Ini kan welfare-state,” kata Isa.

“Beberapa orang yang sudah lama bekerja sebenarnya punya saving. Mereka bisa membuka usaha di Indonesia,” ujar Joesoef Isak.

Menurut Suminar, pulang atau tidak, bukanlah hal penting.

“Yang saya tuntut adalah rehabilitasi politik. Dulu kalau pulang pasti diadili. Kita ini tak ada hubungan dengan G30S. Rehabilitasi ini juga termasuk bagi orang-orang yang dibunuh dan orang-orang PKI. Dan G30S itu sendiri, ternyata berdasarkan Memoar Soebandrio, PKI tidak terlibat,” kilah Suminar.

Pada 17 Agustus 2001, para pelarian politik di Belanda dan Perancis diundang pihak kedutaan Indonesia di masing-masing negara itu untuk merayakan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Kendati mereka bukan lagi warga negara Indonesia, tapi masih antusias merayakannya. Mereka juga memperingati seratus tahun Bung Karno.

Para mahasiswa Indonesia di Belanda yang selama ini takut berhubungan dengan para pelarian ini mulai mendekat.

“Kami ini bukan hantu yang akan menggigit,” seloroh Isa, tapi terdengar juga kegetiran di sana.*

by:Margiono