Ayu Utami Tak Mampir di Kedai

Anonim (sementara)

Mon, 3 December 2001

MENJELANG maghrib di Utan Kayu. Tangan novelis Ayu Utami membuka dokumen-dokumen surat dari penggemarnya yang dikliping rapi dalam sebuah map.

MENJELANG maghrib di Utan Kayu. Tangan novelis Ayu Utami membuka dokumen-dokumen surat dari penggemarnya yang dikliping rapi dalam sebuah map. Dia mengambil kartu pos bergambar lukisan karya Alfi mulai Pencerah, Kepala Dingin, Melayang, sampai Spirit. Ia menulis, dan sret … sret menekennya.

“Gue cuma mo kasih tau,” ujarnya. Ayu memang hendak mengabarkan kepada para penggemarnya tentang novel terbarunya, Larung, yang beredar mulai minggu pertama November 2001. Ia harus bekerja manual sebab printer di ruangan kerjanya lagi macet.

Larung membawa kesibukan baru baginya, memang. Hari ini konferensi pers, besok peluncuran perdana, lusa temu publik. Praktis, sejak akhir Oktober 2001, Ayu Utami sering tak terlihat mampir di Kedai Tempo—yang berjarak kurang lebih 10 meter dari kantornya di jurnal kebudayaan Kalam—sekadar untuk menyantap mie rebus atau soto bihun panas-panas dengan cabai melebihi porsi seumumnya.

Ayu Utami bukan nama anonim dalam jagat sastra Indonesia ini hari. Tiga tahun lalu, ia memulai debutnya dengan merilis Saman, yang memenangkan Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1998.

Tahun itu pula Kepustakaan Populer Gramedia mendatangi Utami dan menawarkan royalti 10 persen. Utami setuju. Saman dicetak tiga ribu eksemplar. Sambutan publik sungguh luar biasa. Saman dilahap pasar dalam waktu singkat. Fenomena ini membuat banyak empu sastra tercengang. Sebagian malah menyangsikan Saman lahir dari tangan Utami.

Kini, Saman sudah memasuki edisi ke-18, dengan oplah mencapai 55 ribu eksemplar. Ayu layak berbangga hati, sebab selain royaltinya diperbarui sejak edisi kedua menjadi 12,5 persen, Saman pun berhasil menyabet Prince Claus Award dari Belanda karena dianggap meluaskan kaki langit sastra Indonesia.

Semula Saman dan Larung adalah sebuah kesatuan dalam novel Laila tak Mampir di New York. Akan tetapi, beberapa subplot rupanya mengalami perkembangan sedemikian rupa sehingga Ayu memutuskan menyulapnya jadi dwilogi yang independen. Sebagai dwilogi, Larung menghadirkan empat tokoh perempuan seperti juga dalam Saman: Cok, Laila, Shakuntala dan Yasmin.

Dalam Larung, tokoh lelaki yang menonjol tidak hanya Saman, tetapi juga Larung—sosok manusia dengan riwayat hidup yang muskil buat kebanyakan orang, dengan kecerdasan di atas rata-rata, dengan schizophrenia yang membelenggu akal sehatnya. Larung digambarkan sebagai manusia dengan banyak luka sejarah; luka yang muncul akibat peristiwa-peristiwa politik yang dialaminya, luka karena status dirinya yang tak jelas, luka karena punya nenek penyihir yang susah mati sehingga Larung sendirilah yang harus membunuhnya.

Masih dicetak penerbit itu-itu juga, bekerjasama dengan jurnal kebudayaan Kalam, tempatnya bekerja, edisi perdana Larung langsung digeber dengan oplah 20 ribu eksemplar. Hingga pekan awal November 2001, separuh lebih oplah novel seharga Rp 30 ribu ini sudah dipesan oleh toko buku, agen, pengecer, dan perorangan.

Berbeda dengan Saman yang menampilkan ilustrasi grafis, sampul Larung dipajangi sebuah foto buram ombak laut pantai Parangtritis di Yogyakarta. Obyek ini diambilkan fotografer Erik Prasetya, sekaligus teman dekat Ayu, sekitar pukul 19.00, dengan bukaan lensa 8. “Semua foto yang diambil fokus. Iseng-iseng saya mengambil satu yang nggak fokus,” ujar Prasetya menunjuk poster Larung di depannya ketika berlangsung acara pembacaan Larung di Galeri I See, Jakarta, awal November 2001.

Novel setebal 268 halaman ini dibagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama dan kedua, lebih ke perkenalan tokoh Larung dengan teknik penceritaan ‘aku-naratif’. Baru pada bagian ketiga, Utami memilih ‘dia-naratif’ untuk menggabungkan karakter-karakter yang muncul di bagian awal.

Buat mereka yang baru mengeja sastra, teknik bercerita semacam itu mungkin tak akan dapat menjadi kendaraan yang efektif dalam mengantarkan simbol-simbol yang hendak diperkatakan pengarang. Bukan tidak mungkin, orang merasa sedang diceramahi—kalau bukan sedang menyimak keluh-kesah. Beruntung Larung tidak terjebak ke dalam permutasi-permutasi yang tak perlu. Dalam kesublimannya, Utami mengendalikan alur cerita dengan kata-kata, yang menurut redaktur kepala Kalam Nirwan Dewanto, “efisien.”

Novel ini diolah dari mitologi leak dan Calon Arang. Pada beberapa bagian, tak ubahnya seperti outlet dari begitu beragamnya bentuk-bentuk kesintingan, tak terkecuali kesintingan dalam domain seks dan sensualitas. Perhatikan misalnya, bagaimana karakter Shakuntala mengenalkan diri: “Jika aku berputar terus dan berputar lebih kencang, maka sosok-sosok lain akan berlepasan dari diriku. Dua, lalu tiga, lalu empat, lalu banyak, dengan kelaminnya masing-masing, tidak laki tidak perempuan, bentuk-bentuk yang tak pernah dikenal orangtuaku dan segala ayah ibu. Seperti bunga-bunga yang kuncup, menjengat, rekah, lembut, kasar. Tetapi aku tak bisa berputar lebih cepat daripada itu. Aku belum bisa.”

Jangan salah duga, Larung bukan novel yang berangkat dari psikoanalisis yang hendak menguliti relung-relung perilaku manusia dan berakhir dengan pamer istilah-istilah keilmuan. Ini novel kaya tema, yang melansir pergulatan batin tokoh-tokohnya, mitologi, kesejarahan, keadaan sosial-politik berikut segala kebebalan dan kebiadabannya.

Dalam tema yang disebut terakhir tadi, ada dua setting yang diambil Larung. Yakni, peristiwa pembantaian massal terhadap mereka yang dituduh punya kaitan dengan Partai Komunis Indonesia (1965 – 1966) dan peristiwa penyerbuan ke kantor Partai Demokrasi Indonesia yang dimiliki pendukung Megawati Sukarnoputri yang dikenal dengan Peristiwa 27 Juli 1996. Jika pembantaian massal menandai berdirinya Orde Baru, penyerbuan kantor partai politik itu menandai awal hancurnya Orde Baru di bawah rezim Presiden Soeharto. Tanpa berpretensi hendak mengungkap lika-liku sejarah, di antara kedua peristiwa tersebut, Utami memompakan kegetiran-kegetiran yang dialami kaum muda dalam menghadapi kekuasaan yang memuakkan.

Kekayaan tema tentu saja tidak datang dari langit ketujuh. Selama tiga tahun proses penulisan Larung, Ayu Utami membanting-tulang dalam riset ke berbagai tempat. Di antaranya ke bagian forensik rumah sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, untuk melihat anatomi tubuh. Ke Museum Zoologi, Bogor, untuk menghapal binatang, juga tumbuhan. Ke Kepulauan Riau, tepatnya Pulau Bintan, untuk memotret situasi tempat pelarian para aktivis. Ke Tulungagung untuk mendengar cerita-cerita mengenai ilmu hitam. Juga ke Kediri, situs bekas kerajaan Kediri dan Jenggala di mana raja Erlangga bertahta, demi menangkap mitos-mitos berkembang di situ.

Berapa biaya yang dikeluarkan untuk riset sebanyak ini?

“Nggaklah. Gue nggak ngitung karena kan sambil sekalian jalan-jalan,” kata Ayu. Sebelum memutuskan menulis novel, Ayu Utami bekerja sebagai wartawan buat majalah Matra dan Forum Keadilan. Sebagai jurnalis, Ayu ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen, organisasi pekerja pers yang kini makin condong ke aktivitas serikat buruh dan aktifisme.

Sebenarnya, masih ada riset lain yang dikerjakan Utami untuk bahan karangan yang bertutur tentang tarian tango sepanjang kurang dari sejengkal. Ia mendatangi HM Damsyik, seorang selebritas yang memerankan tokoh Datuk Maringgi dalam sinetron terkenal Siti Nurbaya. Ayu pun kursus selama dua bulan di sana, dengan merogoh kocek Rp 750 ribu per bulannya. Namun, dalam acara-acara promosi novelnya, Ayu Utami tampaknya belum berani memamerkan hasil latihannya ber-tango.*

kembali keatas

by:Anonim (sementara)