Tak Ada Film, Raam pun Jadi

Coen Husain Pontoh

Mon, 5 November 2001

SEORANG perempuan di ujung telepon berujar, "Halo, Tante; ajak Tante Maya ke rumah jenderal." Bola matanya jalang melirik ke kiri ke kanan. Nafasnya memburu cepat tak beraturan.

SEORANG perempuan di ujung telepon berujar, “Halo, Tante; ajak Tante Maya ke rumah jenderal.” Bola matanya jalang melirik ke kiri ke kanan. Nafasnya memburu cepat tak beraturan. Lalu, ia terdiam sejenak.

“Cut!” potong seseorang, yang ternyata sutradara, “Sebentar lagi selesai. Tinggal sedikit, santai saja.”

Perempuan itu beranjak dari kursi plastik, melangkah gontai ke luar warung telekomunikasi, menemui sutradara. Keduanya terlibat perbincangan santai. Seorang kru menjulurkan tangan, menawarkan tisu, untuk menghapus butiran keringat.

Perempuan itu Tamara Bleszynski, pemeran tokoh Kartika, karakter judes dalam sinetron Wah Cantiknya, produksi PT Tripar Multivision Plus, yang ditayangkan di SCTV.

“Kamera, lampu, action!”

“Halo, Tante; ajak Tante Maya ke rumah jenderal,” kembali Bleszynski mengulang adegan. Lagi-lagi ia terdiam.

“Cut! Sabar, tinggal satu alinea lagi.”

Seorang kru membacakan dialog yang harus diucapkan. Bleszynski terlihat gusar karena salah melulu. Saya menghitung lima kali adegan itu diulang.

“Kamera! Action!”

Kali ini, dialog mengalir lancar. Bleszynski menyunggingkan senyum, para kru menarik nafas lega. Ahmad Jusuf, sutradara yang biasa dipanggil Bang Ucup, tersenyum lebar.

Wah Cantiknya hanyalah salah satu dari sekian banyak sinetron produksi PT Tripar Multivision Plus. Lembaga ACNielsen menunjukkan, peringkat Wah Cantiknya 18,3 persen, sedikit di bawah Pernikahan Dini dengan 19,4 persen yang ditayangkan di RCTI. Tapi jika disandingkan Tersanjung, yang juga produksi Multivision tayangan Indosiar, Wah Cantiknya tak terhitung istimewa benar. Tersanjung telah memasuki edisi keenam, sehingga jumlah episodenya sudah melewati angka 100. Selain itu, penayangan 100 episode itu berlangsung tanpa jeda; satu prestasi yang belum tersamai oleh sinetron mana pun.

Menjulangnya sinetron tersebut di berbagai stasiun televisi, termasuk menempati jam tayang utama, tentu tak lepas dari peran petinggi Multivision: Raam Punjabi.

Seperti dilaporkan tabloid Cek & Ricek, 17-23 September 2001, selain Wah Cantiknya dan Tersanjung, sinetron yang pernah mendapat sukses besar dan menjadi tambang uang bagi Punjabi antara lain: Gara-Gara, Bella Vista, Saat Memberi Saat Menerima, Jinny Oh Jinny, Panji Manusia Milenium, Bidadari, Tuyul & Mbak Yul (semuanya tayangan RCTI), juga Dewi Fortuna (SCTV).

RAAM Jethmal Punjabi, lelaki berdarah India kelahiran Surabaya, 6 Oktober 1943, ini datang dari keluarga pedagang tekstil. Sejak usia delapan tahun, ia sudah tertarik pada dunia sinema lantaran gemar keluar masuk gedung bioskop di Surabaya. “Sejak kecil saya memang bercita-cita menjadi produser film,” kata Punjabi pada Tempo.

Sebelum mencemplungkan diri ke dunia sinema, Punjabi, lulusan SMA Vidya Bavan, Surabaya, 1958, pernah bekerja di perusahaan tekstil. Merasa tempat itu bukan habitatnya, ia kemudian hengkang dari pekerjaannya. Pada 1967, bersama kakaknya Dhammoo Punjabi dan Gobind Punjabi, dia mendirikan perusahaan importir film, PT Indako Film dengan modal Rp 30 juta. Tiga tahun kemudian, ia mendirikan PT Panorama Film yang memproduksi film Mama. Tapi kurang laku ketika dilempar ke pasar.

Kegagalan adalah sukses yang tertunda. Pada tahun yang sama, ia kembali merilis film layar lebar Demi Cinta, yang menampilkan Sophan Sophiaan dan Widyawati, dua artis idola remaja saat itu, sebagai pemeran utama. Tapi, sukses besar pertama Punjabi ketika memproduksi Pengalaman Pertama dengan pemeran utama Roy Marten, Yatie Octavia, dan Robby Sugara. Setelah itu, selama 17 tahun kemudian, ia memproduksi 100 film. Seperti ditulis Tempo, pada dasawarsa 1980-an, dengan mengusung bendera PT Parkit Film, yang didirikannya pada 1981, Punjabi sukses mengeksploitasi komedi slapstik trio Warkop DKI (Dono, Kasino, Indro), yang biasa didampingi gadis-gadis cantik berbusana seksi.

Ketika nafas industri perfilman Indonesia mulai ngos-ngosan dan akhirnya mati suri pada akhir dasawarsa 1980-an, Punjabi bergerak cepat. Tidak seperti produser lainnya yang ikut terpuruk bersama industri perfilman, pada 1989, Punjabi membanting setir masuk ke bisnis sinema elektronik (sinetron), sinema khusus untuk tayangan televisi. Pada 1990, dengan investasi sebesar Rp 250 juta, ia mendirikan PT Tripar Multivision Plus.

“Raam sangat tajam insting bisnisnya. Ketika industri film nasional mati suri akibat kalah bersaing dengan film impor, ia melihat peluang besar dengan munculnya RCTI. Ia melihat produk lokal merupakan potensi besar, jauh sebelum televisi swasta menyadarinya. Ia kemudian banting setir ke sinetron dan menjadi raja di bidangnya,” ujar Ilham Bintang, pemimpin umum Cek & Ricek.

“Sebagai seorang businessman, Bung Punjabi sangat hebat. Itu harus kita akui, lepas dari seleranya yang kontroversial,” tambah Jajang Pamuntjak, sutradara sinetron Bukan Perempuan Biasa karya Arifin C. Noer produksi Multivision.

Sejak merambah dunia sinetron dan sukses melalui Gara-Gara, yang dibintangi Lydia Kandou dan Jimmy Gideon, Punjabi berlari kencang meninggalkan pesaingnya. Produksi Multivision lantas membanjiri layar kaca televisi swasta dan merambah ruang-ruang pribadi keluarga Indonesia. Lepas dari segala kontroversi yang menyelubunginya, tak bisa dipungkiri, sinetron tayangan rumah produksi ini selalu menempati jam tayang utama, antara 19.00-21.00, di tiga stasiun televisi terkemuka: RCTI, SCTV, dan Indosiar.

Hingga saat ini, praktis tak ada yang bisa menyaingi kebesaran Punjabi dalam industri hiburan televisi, terutama film dan sinetron. Sebagai contoh, pada 1996 Multivision memproduksi 15 judul, pada 1997 naik 22 judul. Produksi Multivision menurun setelah krisis ekonomi datang menerpa. Kala itu, 1998, rumah produksinya hanya membuat 12 judul sinetron. Krisis belum usai, tapi grafik Multivision kembali bergerak naik, dengan memproduksi sinetron sekitar 9 ribu jam.

Dengan mempekerjakan karyawan tetap sebanyak 130 orang dan sekitar 800 karyawan tidak tetap, setidaknya setiap minggu ada 16 sinetron produksi Multivision yang ditayangkan lima stasiun televisi swasta, dengan total penonton 60 juta orang. Punjabi sendiri lupa berapa jumlah dan judul sinetron yang telah diproduksinya.

LALU, berapa pendapatan yang diraih Punjabi dari setiap judul sinetron? “Saya tidak ingat pasti,” ujar Abdul Azis, kepala hubungan masyarakat Multivision. Ilham Bintang mengkalkulasikan satu episode yang ditayangkan, ada yang menyita waktu 30 menit dan ada yang 60 menit. Dari durasi tersebut, jatah yang tersedia buat iklan 20 menit atau sekitar 1.200 detik. Kalau mengambil Tersanjung sebagai contoh, sinetron ini memasang tarif iklan Rp 14 juta per spot 30 detik. Dengan demikian, total penghasilan yang disumbangkan Tersanjung ke kantong Multivision sebesar Rp 560 juta per episode.

Kepada Kontan, 23 Oktober 2000, Punjabi mengatakan, ongkos produksi satu episode paling banyak Rp 200 juta. Dengan demikian, pendapatan bersih Punjabi per episode Tersanjung sebesar Rp 360 juta. Kemudian kepada Swasembada, 16 Mei 2001, ia mengatakan Tersanjung hingga menginjak sekuel kelima telah meraup iklan Rp 2 miliar per bulan. Dengan dirayakannya keberhasilan Tersanjung yang sukses menembus 100 episode tanpa jeda, pendapatan Punjabi mencapai Rp 36 miliar, hanya dari Tersanjung saja. Dengan sukses menayangkan 16 judul sinetron per minggu, julukan raja sinetron Indonesia layak disandangnya.

Tidak puas menjual lewat layar kaca, Multivision juga menjual produk-produk dengan karakter yang bersangkutan ke produsen barang-barang konsumsi. Misalnya, seri Saras 008, yang ditujukan pada anak-anak, tak hanya dijajakan di layar Indosiar, tapi juga di 16 produk lainnya; dari buku seri pendidikan, software komputer, buku dongeng, novel, kaset, topeng, topi, boneka, gantungan kunci, hingga sandal. Semuanya laku keras. Produk komik Saras 008, pernah mencapai angka penjualan 20 ribu eksemplar dengan harga Rp 6.000 per buah per April 2000. Sementara setiap kali show di kota-kota besar, 2.000 topeng berharga Rp 7.500 per buah tak pernah tersisa. Hal serupa juga dilakukan terhadap seri Panji Manusia Milenium

Berbekal pengalaman panjang sebagai importir film dan produser film layar lebar, Punjabi dengan bendera PT Parkit Film kini memonopoli lebih dari 4.000 judul film nasional. Ketika industri film Indonesia bangkrut, Punjabi menghubungi sejumlah produser dan pemilik film, membayar hak siarnya, lantas menjualnya ke televisi swasta. Sebagian lain melalui cara revenue sharing dari pendapatan iklan. Tidak itu saja, Punjabi juga berburu sejumlah film yang negatifnya tersimpan di laboratorium pemrosesan film di Hong Kong. Menurut Ilham Bintang, film yang menurut Punjabi masih layak, isi dan kondisinya, dicetak kembali, setelah membeli royaltinya dari produser atau ahli warisnya.

“Kini, praktis sejumlah film nasional milik produser besar Indonesia seperti Ali Hasan (PT Inem Film), Handi Muljono (PT Kanta Indah Film), Ferry Anggriawan (PT Virgo Putran Film), Gope Samtani (PT Rapi Films), Turino Djunaidy (Sarinande Film), dan beberapa nama besar lainnya, royaltinya sudah dibeli Punjabi,” ujar Bintang.

Bisnis distribusi film nasional memang menggiurkan. Menurut Marselli Sumarno, analis film yang sering menulis buat Kompas, film dengan biaya produksi ratusan juta rupiah, hanya dibeli Rp 5-10 juta. Memang, tarif iklan untuk film Indonesia tidak terlalu tinggi, karena sebagian besar penayangannya pada pagi atau siang hari. Tetapi, jumlah keseluruhan pendapatan tetaplah besar. Budi Darmawan, kepala divisi hubungan masyarakat SCTV, merinci, satu slot iklan per 30 detik sekitar Rp 5 juta. Untuk durasi film berkisar dua jam, tersedia 24 menit slot iklan. Andaikata 70 persennya terisi, total pemasukan iklan kurang lebih 150 juta.

Totalitas Punjabi dalam dunia sinetron menarik minat para produser dari mancanegara untuk menjalin kerja sama. Pada 12 Agustus 1999, mewakili PT Parkit Films Group, Punjabi menandatangani perjanjian kerja sama dengan produser dan sutradara film asal India, Prem Sagar, mewakili Sagar Entertainment. Mereka menjalin kerja sama senilai US$ 4,16 juta untuk memproduksi serial 104 episode Ramayana. “Kami memilih pemain dari Indonesia dan India. Seperti artis pria dari India dan artis wanitanya dari Indonesia. Tapi ini masih rencana jangka panjang karena situasi politik belum memungkinkan realisasi kerjasama itu terwujud,” ujar Punjabi.

Dengan sukses yang direngkuhnya, seperti laporan Cek & Ricek, Punjabi kemudian mengkonsolidasikan kerajaannya dengan menjadikan PT Parkit Film sebagai induk perusahaan, membawahkan PT Parkit Commercial Production, yang khusus membuat profil perusahaan dan audio visual presentasi perusahaan yang akan go public. Anak perusahaan lainnya, PT Tiga Cakra Film, bergerak di bidang penyewaan alat-alat film. PT Tripar Multivision sendiri kini memiliki perlengkapan lebih dari sekadar rumah produksi, misalnya studio in door seluas 4.000 meter di Plumpang, Jakarta Utara.

Toh, tak semua usaha Punjabi menuai sukses. Pada September 1999, Punjabi mendirikan majalah Multi 2000, yang menampilkan artis-artis cantik bertubuh molek sebagai primadonanya. Tapi, dalam mengelola majalah, tangan Punjabi tak lagi dingin sehingga usia Multi 2000 tak bertahan lama untuk kemudian hilang dari pasaran.

MALAM 15 September 1996, R.M. Soenarto, ketua Komite Seleksi Festival Sinetron Indonesia, membacakan laporan pertanggungjawaban. Soenarto bicara apa adanya tentang persinetronan Indonesia. “Tidak ada kecerdasan. Landasan moral begitu rapuh. Tak jelas di bumi mana mereka berpijak. Drama-drama panjang menjadi asing dan lebih mirip telenovela-telenovela tanpa selera. Kemiskinan ini menjadi persoalan besar, terutama pada faktor sumber daya manusianya,” ujar Soenarto.

Lima tahun setelah kritik pedas Soenarto, apakah terjadi peningkatan mutu sinetron?

“Saya sendiri menganggap kualitas sinetron kita nggak ada perkembangan. Bahkan dulu di zaman Dedi Setiadi, di mana Arswendo (Atmowiloto) menulis, Harry Tjahyono menulis, menurut saya ada sesuatu yang hendak ditawarkan dan lebih dahsyat, walaupun secara teknis sederhana,” ujar Harry Suharyadi, sutradara sinetron Ali Topan dan film Pachinko and Everyone’s Happy.

“Tontonan sinetron yang ada tidak membuat masyarakat kita menjadi berpikir, karena yang dipentingkan adalah unsur dramanya. Kalau saya bilang, sinetron kita ini betul-betul menjadi sarana pelepasan dari kesuntukan yang ada,” ujar Garin Nugroho, sutradara Daun di Atas Bantal.

Rayya Makarim, penulis skenario Pasir Berbisik dan kurator film di Teater Utan Kayu, Jakarta, mengatakan rendahnya kualitas tayangan sinetron Indonesia ditandai oleh miskinnya eksperimen, terbatasnya wawasan, dan daya imajinasi para pekerja sinetron.

“Sinetron sekarang ini hanya mengeksploitasi libido orang, khayalan-khayalan yang melangit. Lihat saja, bagaimana pakem untuk menghadirkan aktor cakep supaya masyarakat menengah ke bawah mengkhayalkan, ‘Oh, kalau dia tidur ama gua gimana, bagaimana kalau si cewek itu menjadi pacar gua,” tutur Suharyadi dengan nada kesal.

Karakter hitam putih yang ekstrem di luar logika dan menjadi pakem bisa dilihat dari serial Doa Membawa Berkah. Sinetron produksi Multivision yang ditayangkan saban Ramadan ini menampilkan karakter mertua yang serba baik, diperankan Nanny Wijaya. Karakter ini kontras dengan menantu yang luar biasa jahat. Serial Bidadari juga menampilkan karakter hitam putih. Ibu tiri dan putranya yang berlaku sadis terhadap anak tiri yang sangat baik. Alhasil manusia dan imajinasi dalam konstruksi Multivision seragam, satu dimensi: jahat ya jahat, baik ya baik. Bahwa setiap orang punya kelebihan dan kekurangan, itu dianggap di luar kewajaran.

Ciri lain sinetron produksi Multivision adalah karakter tokoh yang sulit dimengerti, bukan karena kompleksitasnya tapi lebih ketidakmampuannya membangun karakter itu sendiri. “Saya nggak ngerti karakter Cecep yang dimainkan Anjasmara itu. Apakah dia itu idiot, lugu, bodoh, atau apa; sebab karakter Cecep itu adalah preseden yang tak pernah saya temui. Dan lagi, saya ingin tahu apakah peran Cecep yang dimainkan Anjasmara itu merupakan kreativitasnya ataukah atas arahan sutradara. Betul-betul saya nggak ngerti,” ujar Makarim.

“Terus terang aja, mereka memproduksi tontonan yang merendahkan intelektual mereka sendiri. Misalnya, kalau nonton sinetron komedi yang kita temukan bukan hal-hal yang membuat kita tersenyum, tapi sebal. Itu karena berhubungan dengan intelektualitas kita yang terusik. Di luar negeri juga ada komedian seperti Bob Hope, Charlie Chaplin, dari komedi klasik maupun komedi situasi, tapi mereka tidak seperti di sini. Mending nonton Srimulat,” ujar Suharyadi.

PUNJABI, tentu, menolak kalau sinetronnya dituduh hanya menjual mimpi. “Anda menonton Tiga Orang Perempuan? Sinetron ini dibintangi pemain kawakan: Christine Hakim, Ade Irawan, dan pemain-pemain muda. Sutradaranya, orang-orang yang dikenal berbakat dan memiliki etos kerja bagus: Maruli Ara, Hadi Purnomo, Yazman Yazid, dan Agus Elias. Saya ingin mengatakan bahwa Multi punya komitmen pada industri yang terus berjalan. Tapi, kami juga memperhatikan kualitas,” ujar Punjabi pada saya.

Tapi, mayoritas sinetron Multivision kan menjual mimpi? “Saya tidak menjual mimpi, sebab mimpi tidak bisa dijual. Yang bisa dijual adalah harapan, dan sinetron saya yang ada adalah harapan.”

Bagaimana dengan formula air mata yang mengaduk-aduk emosi penonton? “Dalam sinetron Terpesona, tak ada satu butir air mata pun, dan suksesnya luar biasa,” tegasnya sambil mencontohkan. Diam-diam saya membatin, jika benar Terpesona yang dimainkan Anjasmara dan Krisdayanti dianggap sukses luar biasa, kenapa episodenya tak bersambung sebagaimana biasa dilakukan pada produksi sinetron yang dianggap sukses? “Dari sisi rating, Terpesona tak terhitung bagus,” ungkap Lies Yanti dari bagian akuisisi program di RCTI sebagaimana diinformasikan wartawan Veven Sp. Wardhana.

Punjabi kemudian menambahkan, “Kalau ingin tontonan berkualitas, berikan saya penulis yang baik. Apapun cerita Anda, entah itu berlatar belakang Batak, Jawa, Bugis, atau dari daerah mana saja, sejauh memadai kami sambut.”

Penyataan Punjabi itu dibantah Jajang C. Noer. “Sebagai produser, campur tangan Bung Raam dalam pemilihan pemain bisa dikatakan dominan. Saya ingin memasang Ratna Riantiarno menjadi ibu dalam Bukan Perempuan Biasa yang saya sutradarai. Saya merasa Ratna bisa menjabarkan peran ibu seperti yang saya inginkan. Namun Raam menolak dengan pertimbangan lain, akhirnya saya mengalah, lebih tepatnya kompromi,” ujarnya.

Perihal pelbagai latar etnis, penulis skenario Satmowi Atmowiloto memberikan informasi: beberapa nama tokoh dalam skenarionya justru diubah Punjabi dengan nama model-model Jeremy, Adam, Tiara, dan semacamnya. Maknanya, tak bakal muncul nama Sri atau Bambang atau Joko yang Jawa, atau nama-nama tertentu yang menunjukkan kekhasan latar belakang etnis dan budaya itu.

Sutradara Wah Cantiknya, namanya Achmad Jusuf, akrab disapa Bang Ucup, berpendapat sinetron yang disutradarinya bisa diterima penonton karena bertolak dari realitas yang ada. “Yang kami lakukan adalah mengemas realita itu sehingga menjadi tontonan yang menarik,” ujarnya. “Saya bisa menunjukkan Cecep yang sebenarnya,” ujar Bang Ucup, sambil memanggil nama seseorang yang menurutnya tipikal sosok Cecep. Dalam amatan saya, lelaki muda itu nampak lugu tapi tak bisa disetarakan dengan karakter Cecep dalam sinetron yang semula direncanakan berjudul Sang Idiot itu.

Niat Punjabi untuk menampilkan tontonan berkualitas dibuktikannya dengan berkolaborasi dengan Jajang C. Noer membuat Bukan Perempuan Biasa. Tak berhenti di situ, Multivision kemudian memproduksi Tiga Orang Perempuan, yang dibintangi artis senior Christine Hakim. Ide ceritanya diangkat dari novel karya Maria A. Sardjono.

“Ke depan, saya berharap tayangan seperti Tiga Orang Perempuan akan lebih bisa dinikmati, dan kita makin bersemangat membuat yang sejenis ini,” ujarnya.

“SINETRON kita payah!” kata masyarakat.

“Karena SDM-nya juga payah!” kata pemilik rumah produksi.

“Siapa bilang? SDM kita sebenarnya bagus. Tapi, kita buat yang bagus malah ditolak. Programming di stasiun televisinya yang payah!” ungkap pemilik rumah produksi lainnya.

“Tapi, ini kan bisnis, lho. Penonton harus diperhitungkan,” kilah orang televisi.

“Jadi, hanya satu dua kepala saja yang menentukan apa yang layak dan tak layak ditonton bangsa ini? Tapi, apa dasar bagian programming menentukan selera berjuta pasang mata milik bangsa ini? Dan sejauh mana tanggung jawabnya terhadap masa depan bangsa ini?” selidik para pakar.

Dialog itu direkonstruksi Adhie M. Massardi yang pernah bekerja pada lembaga penelitian dan pengembangan program televisi swasta dan kemudian menjadi juru bicara Abdurrahman Wahid semasa menjadi presiden. Itulah gambaran tentang lingkaran setan keterpurukan mutu sinetron. Lingkaran setan itu sulit diterabas, sehingga yang ingin keluar dari bingkai itu dapat dipastikan sulit memperoleh rating tinggi.

“Sistem ini membuat kreator nggak bisa bergerak, sehingga temanya hanya berputar di situ-situ saja. Yang dijual juga sama, cuma bintang,” ujar Hani R. Saputra, sutradara Lo Fen Koei, yang meraih penghargaan film terpuji dalam Forum Film Bandung dan Asian Television Technical and Creative 2001, di Singapura.

Multivision, dengan posisinya sebagai pemimpin industri sinetron, tak lepas dari tuduhan sebagai penanggung jawab kemerosotan mutu tontonan. Seperti dikatakan Jajang, visi dan misi utama Punjabi menghibur rakyat Indonesia.

“Ia sadar betul bahwa sinetronnya hanya menjual mimpi, sebab menurutnya rakyat ini sudah susah, tengah menderita, sehingga harus dihibur dengan sesuatu yang bersifat khayali,” ujar Jajang.

“Misi kami memang menghibur pemirsa dan tidak menyesatkan mereka. Karena Multivision adalah industri hiburan, maka 75 persen misinya jelas hiburan; selebihnya informasi yang positif. Dan bagi saya, hiburan itu harus beberapa tingkat lebih tinggi dari kenyataan. Enak dipandang dan enak dilihat,” kata Punjabi.

Konsepsi Punjabi dibenarkan Jeremy Thomas, salah seorang aktor laris saat ini. “Orang Indonesia suka cerita-cerita seperti dalam film India. Ada tangisan, sayang pada ibu. Sinetron memang mimpi. People still like it,” tegasnya.

Dengan pola pikir semacam itu, maka berkualitas tidaknya sinetron lantas diukur berdasarkan selera pasar atau yang disebut rating. Jika rating jeblok, pertanda tontonan tersebut gagal. Mengapa? Karena rating telah menjadi hakim satu-satunya dalam memutuskan apakah sebuah sinetron diminati penonton atau tidak, tak peduli berkualitas sampah. Rating juga menjadi acuan bagi para pemasang iklan untuk menawarkan produknya. Semakin tinggi rating, semakin banyak pemasang iklan yang antre. Kecuali dalam kasus-kasus tertentu, misalnya Bukan Perempuan Biasa, dari segi rating rendah, tapi iklannya banyak.

“Bukan Perempuan Biasa tidak memenuhi target, rating-nya rendah; terakhir hanya mencapai angka 8,6 persen. Tapi iklannya banyak karena pemasang iklan melihat bahwa sinetron itu membawa misi yang baik,” tutur Punjabi.

“Biasanya, jika penonton diberi suguhan sinetron yang pakai mikir, mereka langsung meninggalkannya. Dan yang rugi adalah stasiun televisi,” ujar Lies Yanti, local acquisition executive pada departemen program RCTI, sebagaimana ditulis Tempo.

“Saya mungkin terlalu kasar, ya; tapi, audiensi Indonesia itu umumnya tidak terlalu intelek. Jadi kalau kita mau bikin ceritanya terlalu jauh, kita terbentur pada pertanyaan, audiensinya ngerti apa tidak?” kata Maruli Ara, sutradara Tiga Orang Perempuan.

“Selama rating-nya tinggi, Gerhana akan terus kami produksi,” kata Shanker, produser PT Kharisma Starvision Plus.

Punjabi sendiri sepertinya tidak berdaya untuk keluar dari belitan itu. Baginya, sinetron itu baik ketika mendapatkan tanggapan dari penonton. Artinya ber-rating tinggi. “Pernah nonton Daun di Atas Bantal? Memang mengagumkan, tetapi penontonnya kayak apa? Kenapa copy-nya sedikit? Kenapa enggak ada uangnya?” ujarnya dengan nada tanya.

“Siapa bilang, itu kan kasus. Jangan digeneralisir untuk membenarkan tindakannya. Saya juga memperhatikan pasar, tapi bukan berarti saya membuat film yang membodohi diri saya dan penonton dari segi sistem maupun dari segi cerita. Kita bisa bikin tontonan yang menghibur tanpa harus merendahkan intelektualitas penonton, misalnya Ali Topan. Terbukti Ali Topan laku, apa itu dianggap tidak komersial?” ujar Harry Suharyadi kesal.

PANJI Wibowo, pembuat film, berpendapat lain. Menurutnya, rendahnya mutu sinetron dipicu oleh tiga hal. Pertama, bangkrutnya film nasional yang menyebabkan banyak pekerja film telantar dan kemudian ditampung sinetron. Daripada terlunta-lunta, mereka akhirnya banyak melakukan kompromi dengan para produser, sehingga melahirkan kualitas tontonan seperti saat ini.

“Jasa Raam salah satunya adalah memberi lapangan pekerjaan pada pekerja film,” ujar Bintang. Dari sinilah berawal plesetan: tak ada film, Raam pun jadi.

Kedua, menurut Wibowo, jika dicermati lebih jauh, umumnya para pembuat sinetron adalah mahasiswa film. “Mereka sebenarnya belajar film, tapi menghasilkan karya untuk media televisi yang paradigmanya berbeda. Kalau saya ngomong-ngomong sama beberapa teman yang berkarya untuk televisi, mereka merasa sedang membuat film. Pemahamannya jadi salah kaprah karena antara film dan televisi karakternya sangat berbeda,” ujarnya.

Ketiga, kualitas sebuah tontonan juga ditentukan karakter medianya. Film misalnya, dari segi karakter adalah media yang berjarak dan intensitas kehadirannya terbatas. Antara penonton dengan yang ditonton jaraknya tegas. Untuk datang ke bioskop misalnya, dibutuhkan waktu dan suasana khusus. Sementara televisi, karakternya tidak berjarak, intensitasnya sangat tinggi karena ia hadir setiap saat. “Kita bisa menonton televisi kapan saja dan dalam suasana apa saja. Barangnya pun bisa diletakkan di sembarang tempat. Jadi media dengan intensitas sangat tinggi seperti televisi, kita tidak bisa berharap banyak untuk menikmati tontonan yang sifatnya terlalu berat. Bahkan menurut saya, salah jika kita berharap ada tontonan berkualitas di televisi,” lanjut Wibowo.

“Anda bisa bayangkan, televisi itu dalam setahun ada 60 ribu jam yang harus diisi. Dan itu nggak bisa ditunggu, sehingga orang seperti Slamet Rahardjo Djarot, pasti tidak cocok. Karena Djarot itu kan kalau bikin film harus riset paling tidak setahun, sementara televisi butuh hasil cepat,” ujar Bintang. Slamet Rahardjo Djarot aktor papan atas yang pernah bermain dalam film Pasir Berbisik, Badai Pasti Berlalu, dan Kodrat.

Soal kecepatan yang dituntut televisi menjadi faktor pelengkap rendahnya mutu tontonan. Kerja dikejar jam tayang akhirnya telah menjadi sebuah pemandangan lumrah dalam industri sinetron. Seperti dikemukakan artis Bella Saphira Veronica Simanjuntak, yang berkibar lewat Dewi Fortuna, akibat cara kerja yang mengejar jam tayang itu dirinya merasa dikejar-kejar pula. “Misalnya tayang Jumat. Senin malam pukul sebelas skenario baru turun. Jadi, kita baru diberitahu tengah malam, untuk syuting hari Selasa. Padahal, satu skenario bisa 40 halaman. Semua sinetron begitu, tergantung skenario. Kita kayak bukan manusia lagi,” ujarnya pada Cek & Ricek, 27 Agustus-2 September 2001.

“Saya bisa memahami soal itu, dan soap opera di mana-mana sama: penulis skenario dikejar sutradara, sutradara dikejar produser, produser dikejar jam tayang. Di Amerika Serikat pun mengalami hal yang sama, tapi di sana akting dan pengambilan gambar masih bagus,” tutur Makarim.

Masalahnya menjadi sangat bakucako dan mendatangkan kegusaran di kalangan pekerja film tatkala Multivision memanfaatkan kelemahan itu untuk sebesar-besarnya penumpukan modal. Garin Nugroho mengatakan saat ini tidak ada penulis skenario yang mampu bikin serial setahun dalam ketrampilan yang valid dengan struktur dan content yang tepat bagi industri. Hal ini dimanfaatkan produser untuk mengadopsi tayangan asing. “Di Indonesia, tontonan yang diadopsi itu datang dari lima negara: Amerika Serikat, Amerika Latin, Jepang, Hong Kong, India, atau campuran kelimanya,” tuturnya.

Hal senada dikatakan Yan Wijaya, redaktur pelaksana tabloid Film. Menurutnya, 60 persen tayangan Multivision mengadopsi film India. “Serial Terpikat adalah adaptasi Kuch Kuch Hota Hai, sedangkan Panji Manusia Milenium adalah saduran dari Mr. India, yang dibintangi Anil Kapoor,” ujarnya.

“Tidak benar kalau kami mengadopsi film India. Kenapa muncul kesan seperti itu? Apa karena saya punya darah India atau karena orangtua saya lahir di sana? Kalau saya penjual gado-gado, apa lantas saya dicap hobi makan gado-gado? Tapi, saya tidak menutup diri dengan perkembangan industri film di negara lain, sebab itu juga nggak benar,” ujar Punjabi.

JALAN Punjabi meniti puncak kesuksesan, tak lepas dari beragam kontroversi. Segala daya cipta dan kreativitas ia tumpahkan demi merengkuh tahta tertinggi industri film di tanah air. Di satu sisi ia dipuji sebagai penyelamat industri film Indonesia, pada saat bersamaan dinista sebagai biang kemerosotan mutu tontonan. Tapi Punjabi terus melangkah walau harus menabrak rambu-rambu yang ada.

Hari itu, Rabu, 24 September 1996, sejumlah wartawan yang tengah meliput pembuatan sinetron Janjiku di kawasan perumahan Cipinang Jaya, Jakarta Timur, diusir dari lokasi syuting tanpa alasan yang jelas. Para wartawan dilarang memotret dan dipaksa keluar dari lokasi. Tak lama berselang, wartawan yang mendapat perlakuan kasar tersebut melapor ke direktorat jenderal imigrasi.

Ada apa? Usut punya usut, ternyata di lokasi syuting sebagian kru yang terlibat berasal dari India. Mereka adalah chief director Sharad Sharan, make up man Zala Mukesh Vadansigh, assistant cameraman Haresh Laxman Sawant, swithcher Nemichand Bhagwansa Gore, art director Suresh Somappa dan Sanjay Sanatan Prasad, second unit director Vasant Ramjibbhai Patel, dan chief sssistant director Rajesh Kumar Rahi. Celakanya, seperti dituturkan Zaiman Nurmatias, direktur Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian, kedelapan tenaga kerja berkebangsaan India tersebut telah melanggar keimigrasian.

"Mereka telah menyalahi ketentuan keimigrasian. Dalam ketentuan visa kunjungan usaha beberapa kali perjalanan (VKUBP), mereka tidak boleh bekerja. Maka kami akan melakukan koordinasi dengan departemen tenaga kerja," ujar Zaiman. Terbongkarnya kasus ini juga membuat gerah pihak Departemen Penerangan (Deppen).

“Mereka tidak lapor ke Deppen sehingga pantas saja kalau terkait dengan soal keimigrasian. Deppen tidak pernah mengeluarkan izin pada mereka untuk bekerja,” tutur Dewabrata, direktur jenderal radio, film, dan televisi kala itu.

“Lalu, apa hubungannya dengan Punjabi?” tanya saya kepada Bintang.

“Kedelapan orang tenaga kerja asal India itu bekerja untuk Multivision,” jawabnya.

Punjabi sendiri, sebagai presiden direktur PT Trimulti Jaya Films, saat itu kepada pers di gedung Direktorat Jenderal Imigrasi menyatakan tak tahu-menahu jika dokumen VKUBP yang dipegang awaknya tidak dapat dipakai sebagai dokumen untuk bekerja. "Selain itu, mereka itu adalah mitra kami. Mereka tidak kami pekerjakan. Mereka di sini adalah untuk transfer of technology," ujarnya kepada Kompas. Tak lama kemudian, dua dari delapan tenaga kerja asing itu dideportasi oleh pihak imigrasi.

Praktik kontroversial yang dilakoni Punjabi dalam meniti sukses tidak berhenti sampai di situ. Bisnis industri hiburan yang keras dengan persaingan superketat, rupanya membentuk Punjabi menjadi produser yang berani menantang risiko. Sesuai dengan filosofinya untuk menyuguhkan tontonan yang bersifat menghibur, Punjabi kemudian memasang artis-artis cantik dan ganteng sebagai pemeran utama setiap sinetronnya.

“Harus diakui, cewek cantik dan pria tampan adalah tiket pertama untuk bisa main di sinetron. Dasar untuk menjadi bintang, objektif saja: penampilan dan wajah. Tapi kemudian bakatnya harus lebih diasah,” ujar Punjabi kepada saya.

“Soal akting, bisa dipoles. Postur tubuh, bisa dijaga melalui olah raga teratur dan makanan terkontrol. Inilah yang membedakan Multivision dengan rumah produksi yang lain,” sambung Ucup.

Bersandar pada filosofi itu, Punjabi kemudian menerapkan strategi ganda. Pertama, ia memberlakukan kontrak eksklusif kepada artis-artisnya. Dengan kontrak eksklusif, seorang artis tidak boleh terlibat kontrak dengan rumah produksi lain. Di satu sisi, dengan kontrak eksklusif, seorang artis bisa berharap bahwa suatu saat dirinya pasti mendapat kesempatan untuk menjadi bintang.

“Star system itu memang policy kami. Tujuannya semata-mata untuk efisiensi kerja buat perusahaan dan bintangnya tahu komitmennya seperti apa. Juga agar sang artis lebih punya kepastian,” kata Punjabi.

Masalahnya, ada juga sejumlah artis yang melakukan kontak eksklusif tanpa kejelasan masa berlaku dan besarnya bayaran. “Ada artis yang dikontrak hanya dengan menyebut sejumlah episode, tanpa judul tanpa batas waktu,” ujar Bintang. Celakanya, dengan ketakjelasan semacam itu, seorang artis, seperti Tia Ivanka, tidak bisa bekerja di tempat lain hanya karena terikat kontrak dengan Multivision.

“Akibatnya, Raam terpaksa harus bersengketa dengan sejumlah artis papan atas yang semula diorbitkannya. Kasus paling gres ketika dua maskot Tersanjung, Ari Wibowo dan Lulu Tobing, memutuskan hengkang dari Multivision,” tambah Bintang.

Seperti biasa, Punjabi membantah kisah sedih itu. “Bagi artis yang mendapat kontrak di luar, Multivision juga tak melarang. Saya akan bangga kalau mereka bisa mengembangkan karier mereka di luar dengan ilmu dari Multivision. Sesungguhnya tidak ada artis yang meninggalkan Multivision, itu hanya isu,” ujarnya.

Metode lain yang digunakan Multivision adalah menciptakan star system. Kepada Tempo Punjabi secara jujur mengatakan metode star system ini dimulai sejak memproduksi Gara-Gara. Ketika Gara-Gara menuai sukses, star system ini kemudian menjadi resep utama. Pada Pelangi di Hatiku, ia memasang Desy Ratnasari, Rano Karno, dan Ria Irawan. Pada Bella Vista, ia menampilkan Roy Marten dan Venna Melinda sebagai bintang utama. Demikian juga dengan Tersanjung yang awalnya menjual Ari Wibowo dan Lulu Tobing yang belakangan digantikan pemain lain setelah Wibowo dan Tobing “hengkang.”

Dengan star system ini, yang dijual benar-benar tampang belaka, sedangkan unsur cerita atau karakter figur yang diperankan menjadi urutan kesekian. Dari sini saja terlacak penyebab munculnya tontonan berselera rendah yang merangsang libido itu.

Peristiwa terakhir yang menyeret Punjabi pada kontroversi adalah dugaan penggelapan pajak yang dilakukannya. Menurut Bintang, modus operandi yang dilakukan Punjabi adalah menggunakan modus bagi hasil (revenue sharing) dengan pihak stasiun. Dengan sistem itu, saat penyerahan sinetron untuk ditayangkan belum ada atau belum muncul suatu angka yang dapat dijadikan dasar pengenaan pajak untuk kewajiban menyetor pajak pendapatan (PPn) sebesar 10 persen. Jika kita menggunakan angka Rp 360 juta per episode sebagai dasar, maka 10 persen dari angka itu pajak yang dikemplang Punjabi.

“Tak benar pemberitaan tabloid itu. Kami selalu membayar pajak,” ujar Abdul Azis, kepala hubungan masyarakat Multivision.

Punjabi juga menyanggah tuduhan buruk yang dialamatkan padanya. “Lho, PPn saya sudah disetorkan pihak stasiun televisi,” ujarnya seperti dikutip Cek & Ricek. Pada kesempatan lain ia mengatakan pemeriksaan rutin yang dialaminya saat ini karena Multivision mau go public. Rencana go public itu memang beredar sejak 2000, walaupun hingga kini belum terealisasi.

Tetapi pernyataan Punjabi itu ditampik Neny Soemawinata, mantan direktur operasional RCTI. “Dalam perjanjian kami dengan pihak Punjabi, pihaknyalah yang berkewajiban menanggung atau menyetor PPn. Buktinya, Punjabi kan tidak pernah mengajukan faktur pajak untuk memungut PPn dari kami,” katanya.

Kini tuduhan penggelapan pajak tersebut menjadi perbincangan publik. Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat turun tangan. “Khusus untuk Raam Punjabi, sebaiknya segera dipanggil oleh Komisi IX DPR RI untuk hearing(rapat dengar pendapat),” ujar Ade Komaruddin, anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar.

Ramainya isu itu tidak menggoyahkan semangat kerja Punjabi dan Multivision. “Dalam waktu dekat, dalam seminggu ada 16 serial Multivision yang ditayangkan televisi. Bertambah satu dari jumlah yang ditayangkan saat ini,” ujar Azis.

“Bagi Raam semuanya halal, kecuali kemiskinan,” ujar Ilham Bintang dengan nada kesal. Ilham Bintang adalah petinggi sebuah perusahaan yang memproduksi mata tayangan gosip seputar artis Indonesia di beberapa stasiun televisi: Cek & Ricek, Halo Selebritis, dan Buletin Sinetron

Omong-omong, sedari awal ucapan Bintang tentang Punjabi kok senantiasa terdengar sumbang? Adakah pernah terjadi friksi di antara mereka? “Saya memang sakit hati,” ucap Bintang. “Perusahaan saya selalu membayar pajak, kenapa Raam Punjabi bisa tak membayarnya?”*

kembali keatas

by:Coen Husain Pontoh